Liang Zia menghapus air matanya sambil menutupi tubuhnya dengan selembar kain. Sudut bibirnya terasa perih dan mengeluarkan darah. Dengan sedih, dia menatap suaminya yang masih terkulai di sampingnya. Pemuda yang masih mabuk itu sesekali memanggil namanya.
“Tidak bisakah kamu memperlakukanku selayaknya seorang istri? Kenapa kamu memperlakukanku seperti wanita jalang yang hanya dijadikan sebagai pemuas nafsumu?” Liang Zia membatin. Air matanya kembali jatuh.
Tiba-tiba, pemuda itu membuka matanya. Melihat air mata di wajah Liang Zia, membuatnya semakin beringas. Sifat kebinatangannya pun muncul. Dia kembali melampiaskan nafsu birahinya pada tubuh Liang Zia yang sudah tidak berdaya.
Gadis itu terbaring tanpa daya. Bibirnya kembali berdarah. Isak tangisnya tidak membuat sang suami mengasihaninya, tetapi membuatnya semakin beringas, hingga dia tersenyum puas saat berhasil melampiaskan hasratnya itu.
“Mulai saat ini, kamu tidak bisa meninggalkan kamar ini. Kamu bukan lagi istriku, melainkan selirku. Aku akan menikahi wanita yang lebih cantik dan tentu saja bisa memberikanku anak. Karena dia telah mengandung anakku.”
Mendengar ucapan suaminya, Liang Zia kembali menitikkan air mata. Malam nanti, suaminya akan menikah dengan wanita yang sudah mengandung anaknya. Liang Zia menahan sakit hati dan luka tanpa berdarah. “Apa aku masih pantas untuk hidup? Apa aku masih punya muka untuk bertemu denganmu?”
Liang Zia menangis mengingat sang kakak. Ingin rasanya dia keluar dari rumah itu dan menemui Liang Yi, tetapi dia tidak seberani itu karena rasa malu yang sudah terlanjur dia rasakan.
Sementara Liang Yi, kini sedang berusaha menahan amarahnya. Hasil penyelidikan Paman Chow membuat emosinya memuncak. Bagaimana tidak, adik yang paling disayanginya kini sedang menderita.
“Sebentar malam, kita pergi menjemput Liang Zia!” seru Liang Yi geram. Paman Chow kemudian pergi dan menyiapkan rencana. Orang-orang terbaiknya, sudah disiapkan.
Liang Yi rupanya telah menjadi kepala desa di desa kecil itu. Dia juga telah menjadi pemimpin dari satu kelompok rahasia yang sengaja dibentuk untuk melindungi desa dan juga negerinya. Kelompok itu beranggotakan orang-orang terpilih yang sudah lulus dari seleksi ketat yang dilakukan sendiri olehnya.
Diam-diam, merekalah yang membantu memberantas para perampok dan penjarah yang mencoba mengganggu keamanan negeri. Merekalah yang berhasil menghadang sekelompok orang yang ingin melakukan pemberontakan kepada istana. Dan semua itu dia lakukan karena rasa cinta pada seorang wanita yang memintanya untuk membantu raja yang juga merupakan sahabatnya.
Matahari perlahan meninggalkan peraduan. Langit senja berganti dengan langit hitam. Cahaya bintang memenuhi cakrawala saat Liang Yi dan pasukannya sudah bersiap untukk bergegas.
Di rumah besar itu, suasana tampak ramai. Terlihat, beberapa orang penari mulai menunjukkan kelihaian mereka. Beberapa orang pemuda tampak sedang menikmati hidangan dan arak yang sudah disiapkan yang empunya rumah. Di depan mereka, terlihat sepasang pengantin yang memakai baju berwarna merah dan menunduk saat tamu-tamu itu berjabat tangan.
Suara musik yang menggema terdengar di telinga Liang Zia. Dia menutupi telinga dengan kedua tangannya. Saat ini, hatinya hancur. Kehidupannya sedang dipertaruhkan. Mereka tidak lagi menganggapnya ada dan memaksanya menerima perkimpoian yang seharusnya tidak pantas mereka lakukan. “Aku membencimu. Aku membenci kalian!” teriak Liang Zia dengan amarah.
Sementara di luar sana, Liang Yi dan beberapa anak buahnya sudah bersiap-siap. Dengan pedang di punggungnya, Liang Yi tampak gagah. Dia lantas memberi aba-aba.
Beberapa orang berpakaian hitam dengan wajah yang ditutupi seketika menerobos masuk hingga membuat suasana menjadi panik. Para penari dan tamu-tamu berlari menyelamatkan diri.
Paman Chow yang menutupi wajahnya berlari ke arah pengantin laki-laki dan meletakkan pedang di lehernya.
Dari depan gerbang, Liang Yi muncul tanpa menutupi wajahnya. Dia tampak gagah dengan pedang yang menggantung di punggungnya.
“Kamu?” tanya wanita tua itu sambil menunjuk ke arahnya.
“Apa kalian tidak menghargaiku sebagai kakak Liang Zia? Apa pantas kalian melangsungkan pernikahan padahal adikku masih hidup?” Liang Yi menatap mereka geram. “Kamu sebagai seorang suami apa pantas menikahi wanita lain padahal istrimu masih hidup?” tunjuk Liang Yi ke arah lelaki itu. Wajahnya pucat dengan tubuh yang gemetar.
“Itu karena adikmu tidak bisa memberikan keturunan. Aku menikahkan anakku untuk mendapatkan keturunan. Masih bagus aku tidak menyuruhnya pulang dan masih menampungnya di rumah ini. Kamu harusnya bersyukur karena nama baik kalian tidak tercoreng karena adikmu yang mandul.”
Liang Yi mengepalkan kedua tangannya. Dia marah saat mendengar ucapan wanita itu. “Mandul? Apa karena menginginkan keturunan kalian menghancurkan kehidupan adikku? Baiklah, aku ingin lihat, apakah wanita tua sepertimu masih bisa mendapatkan seorang cucu jika anak kesayanganmu itu tidak bisa lagi bersenang-senang?”
Liang Yi kemudian meraih tubuh lelaki itu dan menjatuhkannya di atas tanah. Dia meraih pedang di punggungnya. Lelaki itu mulai meronta saat pedang di genggaman Liang Yi diarahkan di atas perutnya.
“Ampuni aku! Aku mohon, jangan bunuh aku!” seru lelaki itu ketakutan.
Liang Yi tidak peduli. Wajahnya tersenyum sinis dengan air mata yang jatuh. Dia mengangkat pedangnya tinggi-tinggi dan bersiap menghujam pedangnya di alat vital lelaki itu, tetapi suara seseorang berhasil menghentikan aksinya dan memaksanya menoleh ke arah suara itu.
Liang Yi memandangi seraut wajah yang membuat hatinya hancur. Wajah cantik sang adik kini telah berubah. Dia tampak lelah seakan menanggung beban kehidupan yang tidak sanggup dipikulnya.
Liang Yi menangis dan menitikkan air mata. Dia memalingkan wajahnya karena tidak sanggup melihat wajah sang adik yang membuat hatinya lemah. Dia tidak bisa membiarkan manusia-manusia jahat itu menghancurkan kehidupan adiknya lagi.
Tangannya masih menggenggam pedang yang siap menancap di alat vital lelaki itu. Baginya itu adalah hukuman yang pantas diterima oleh lelaki itu.
“Kalian telah menghancurkan kehidupan adikku. Aku akan menghancurkan kehidupanmu. Rasakan ini!” Liang Yi menghujamkan pedang itu, tetapi suara tangisan Liang Zia kembali membuatnya luluh. Pedang yang semula diarahkan ke lelaki itu tertancap di atas tanah. Wajah lelaki itu pucat dengan keringat dingin yang membasahi wajahnya.
Liang Zia berlari dan memeluk Liang Yi. Dia menangis dalam pelukan kakaknya itu. “Jangan mengotori tangan Kakak dengan darah kotor mereka. Mereka tidak pantas mati di tanganmu. Aku baik-baik saja. Kakak, bawa aku pergi dari sini,” ucap Liang Zia dengan tangis pilu. Liang Yi memandangi wajah adiknya itu dengan air mata yang menggenang dipelupuk matanya. Tangannya gemetar saat menghapus air mata di pipi adiknya itu.
“Maafkan Kakakmu ini yang tidak bisa melindungimu. Entah apa yang harus Kakak katakan pada ayah dan ibu nanti.” Liang Yi menangis dan memeluk tubuh Liang Zia yang tampak kurus. “Ayo kita pulang.” Liang Yi lantas duduk berjongkok dan meminta sang adik untuk naik ke atas punggungnya. Dengan air mata, Liang Zia menuruti permintaan kakaknya. Sambil melingkarkan kedua tangannya di leher Liang Yi, dia menangis dan menyandarkan kepalanya di punggung kakaknya itu.
Mereka kemudian pergi meninggalkan rumah itu. Wanita angkuh itu terdiam dan tidak bisa melakukan apa-apa saat Liang Yi membawa Liang Zia keluar dari rumah. Suaminya tampak menangis saat melihat istrinya pergi. Kini, dia hanya bisa menyesali diri.
Sepanjang perjalanan pulang, Liang Yi hanya terdiam. Dia tidak mampu berkata apa pun. Hanya air mata yang tak hentinya mencari jalan untuk keluar. Sementara Liang Zia tengah terlelap dalam gendongannya. Wajah gadis itu terlihat damai dalam tidur lelapnya.
Setibanya di rumah, tubuh Liang Zia diletakkan di atas tempat tidur. Tubuh gadis itu kemudian ditutupi selimut. Liang Yi menatap wajah sang adik dengan sedih. Kedua tangannya mengepal mengingat perlakuan mereka pada adiknya itu. “Aku tidak akan membiarkan mereka menyakitimu lagi, aku janji,” ucap Liang Yi sambil membersihkan sisa darah yang menempel di sudut bibir adiknya.
Malam itu, Liang Yi duduk menemani Liang Zia. Dia tidak melepaskan pandangan dari Liang Zia yang sering mengigau dan memanggil namanya. Tangan adiknya itu lantas digenggamnya, hingga gadis itu terdiam dan kembali tertidur.
“Maafkan Kakak karena terlambat membantumu. Kakak tidak akan membiarkan mereka mendekatimu lagi,” ucap Liang Yi sambil mengelus lembut kepala adiknya itu.
Saat matahari mulai menampakkan diri, Liang Zia terbangun. Malam itu adalah malam terpanjang yang pernah dia rasakan selama ini. Dia bisa terlelap tanpa ada rasa takut. Dan yang paling membuatnya bahagia, kini dia telah kembali ke desa dan tinggal bersama kakaknya.
Liang Yi membawakannya sarapan pagi. Gadis itu menatapnya seraya tersenyum. “Aku merindukan Kakak,” ucapnya. Liang Yi lantas memeluknya.
“Kakak juga merindukanmu. Mulai sekarang kita akan tinggal bersama. Jadi, kamu jangan bersedih lagi,” ucap Liang Yi sambil mengelus lembut puncak kepala adiknya itu. “Mandilah, Kakak sudah menyiapkan air panas untukmu. Kamarmu ini akan kembali jadi milikmu.” Liang Yi tersenyum dan meninggalkannya. “Cepatlah, Kakak akan menunggumu di luar. Hari ini, kita akan memanen di kebun,” ucap Liang Yi dari luar.
Liang Zia tersenyum. Dia lantas bangkit dari tempat tidurnya dan ingin merasakan kembali nikmatnya berendam di air panas seperti yang sering dia lakukan.
Kini, dia tidak akan kesepian lagi karena ada Liang Yi yang akan selalu ada untuknya. Dia tidak akan menderita lagi karena ada Liang Yi yang tidak akan membiarkannya hidup menderita. Kini, dia akan melanjutkan hidupnya tanpa lagi rasa cinta untuk lelaki mana pun. Semua rasa itu sudah dia tinggalkan bersama semua kenangan buruk yang sudah menghancurkan hidupnya. Dan kini, dia ingin melanjutkan hidupnya untuk sang kakak, hingga ayah dan ibunya kelak datang menjemputnya.
Sementara di istana, Pangeran Wang Li tampak mondar mandir di depan pintu kamar. Wajahnya begitu cemas saat mendengar suara rintihan dari sang istri yang saat ini tengah berjuang untuk melahirkan buah cinta mereka.
“Yang Mulia, jangan khawatir. Silakan Yang Mulia duduk.” Seorang kasim berusaha menenangkannya, tetapi tidak berhasil. Pemuda itu tidak bisa menyembunyikan ketakutannya saat mendengar suara rintihan sang istri.
Saat menakutkan dan menegangkan akhirnya berakhir saat suara tangisan bayi terdengar. Pangeran Wang Li terduduk lega saat mendengar tangisan bayinya.
Pintu kamar perlahan terbuka. Seorang dayang keluar sambil menggendong seorang bayi dan menyerahkannya pada Pangeran Wang Li.
“Selamat Yang Mulia. Yang Mulia Ratu telah melahirkan seorang pangeran,” ucap dayang itu.
Pangeran Wang Li menitikkan air mata saat mengambil bayi itu dan menggendongnya. Dia menatap penuh kasih sayang pada bayi lelaki yang terlihat tampan dan menggemaskan.
“Bagaimana dengan keadaan istriku? Apa aku sudah bisa menemuinya?”
“Maaf, Yang Mulia. Yang Mulia Ratu saat ini dalam proses pembersihan diri. Setelah selesai, Yang Mulia akan diperkenankan untuk masuk.”
Lelaki itu mengangguk. Dia tampak bahagia karena telah memiliki seorang putra. Dia mencium dahi bayinya dengan sebuah harapan semoga kelak putranya itu bisa menggantikan posisinya menjadi raja.
Li Jia masih terbaring lemah pasca melahirkan. Pangeran Wang Li lantas menemuinya. Wajah istrinya yang masih pucat membuatnya menggenggam tangan istrinya itu. “Istriku, kamu baik-baik saja, kan?”
Li Jia mengangguk perlahan. Dia tersenyum saat melihat suaminya menitikkan air mata.
“Istriku, terima kasih karena sudah memberiku seorang putra yang tampan. Aku mencintaimu,” ucapnya sambil mencium tangan sang istri. Li Jia ikut menitikkan air mata. Dia begitu terharu saat melihat suaminya yang tampak bahagia.
Li Jia menatap wajah bayinya dengan seksama. Wajah bayi itu sangat tampan dengan pipi yang menggemaskan. Bibir mungil bayi itu terkadang menguap pelan hingga membuatnya tersenyum saat melihatnya. Di gendongannya kini, tampak seraut wajah mungil yang membuatnya merasa telah menjadi wanita seutuhnya.
“Istriku, lihatlah wajah putra kita. Dia sangat tampan dan menggemaskan,” ucap Pangeran Wang Li. Li Jia mengangguk. Dia tidak menyangka kalau dirinya sudah menjadi seorang ibu.
“Suamiku, apa kamu bahagia?” tanya Li Jia pada suaminya itu.
“Aku sangat bahagia, bahkan terlalu bahagia hingga tidak ingin pergi dari sini,” jawabnya sambil tersenyum.
Li Jia membalas senyumnya dan kembali menatap wajah pangeran mungil yang sudah terlelap dalam gendongannya.
“Berikan dia padaku. Sebaiknya kamu beristirahat. Aku tahu kamu sangat lelah karena sudah mempertaruhkan nyawamu untuk melahirkan buah cinta kita. Tidurlah, biar aku yang akan menjaga bayi kita,” ucap Pangeran Wang Li lembut sambil mengambil bayi itu dari gendongan Li Jia.
Walau tidak ingin, tetapi dia tidak bisa membantah ucapan suaminya. Baginya, setiap ucapan suaminya adalah perintah yang harus dipatuhi karena baginya Pangeran Wang Li tak hanya sebagai suami, tetapi juga sebagai seorang raja yang patut untuk dia patuhi. Li Jia lantas menyerahkan bayinya ke gendongan Pangeran Wang Li yang tampak bahagia.
“Tidurlah, biar aku yang menjaga putraku kita,” ucap Pangeran Wang Li kembali.
Sambil tersenyum, Li Jia memerhatikan Pangeran Wang Li yang tengah asyik menimang buah hati mereka. Rasa sakit dan lelah pasca melahirkan tidak membuatnya menjadi wanita lemah. Walau harus bertarung nyawa, dia tetap bersemangat karena rasa cintanya pada sang suami yang sudah menunggunya dengan perasaan cemas. Dan semua itu terbayar dengan hadirnya bayi mungil yang membuat hidup mereka lebih sempurna.
Karena kelelahan, Li Jia akhirnya tertidur. Wajah cantiknya tampak pucat saat Pangeran Wang Li mendekatinya. “Istriku, terima kasih karena sudah memberikan kabahagiaan untukku. Terima kasih karena sudah menghadirkan pangeran mungil yang akan membuat keluarga kita semakin sempurna. Terima kasih, istriku,” ucap Pangeran Wang Li sambil mengecup kening istrinya itu.