Selama 10 tahun, Li Jia diasah menjadi penari yang andal. Tak hanya menari, tetapi dia juga diajarkan untuk mengenal puisi dan sastra. Keterampilannya dalam menari dan puisi sudah diakui oleh Yi Wei.
Li Jia termasuk gadis yang cerdas. Dia memiliki daya tanggap yang cukup akurat. Dengan mudah, dia bisa menguasai tarian yang diajarkan oleh Yi Wei. Bahkan, teman-temannya pun mengagumi kemampuannya itu.
Li Jia tak hanya cerdas, tetapi juga memiliki paras yang sangat cantik. Wajah cantik dengan kulit yang putih selaras dengan tatapan matanya yang seteduh lautan. Siapa pun yang melihatnya akan terpana karena wajahnya begitu sempurna layaknya seorang dewi.
Kemahirannya dalam menari membuatnya dipilih untuk ikut serta dalam rombongan yang akan pergi ke istana. Namun, Yi Wei memintanya untuk menutupi wajahnya itu.
“Li Jia, aku sudah mengajarkan semua tarian yang aku kuasai padamu. Sekarang, kamu harus bisa menghadapi dunia dengan kekuatanmu sendiri. Karena itu, mulai saat ini aku mengizinkanmu untuk menunjukkan kemampuanmu itu di depan khalayak. Tapi sebelum itu kamu harus melakukan satu hal,” jelas Yi Wei.
“Aku harus melakukan apa, Nyonya?”
“Tutupi wajahmu dan jangan perlihatkan wajahmu di depan orang lain,” jawab wanita itu.
“Maksud, Nyonya?”
Selama ini, Li Jia diasingkan di tempat yang sepi. Di tempat itu, Yi Wei mengajarinya. Semakin bertambah usia, wanita itu mulai menyadari kalau kecantikan Li Jia bisa menjadi boomerang bagi gadis itu sendiri. Kecantikan Li Jia akan menimbulkan perselisihan antar para pengunjung di Rumah Pelangi. Karena itu, dia sudah mempersiapkan Li Jia untuk menjadi penari satu-satunya yang tidak menampakkan wajah di depan orang lain, yaitu dengan cara memakai penutup wajah.
“Nyonya, kenapa aku harus menutupi wajahku?” tanya Li Jia heran.
“Aku hanya punya firasat kalau sebenarnya keluargamu dan penduduk desamu sengaja dibunuh. Karena itu, aku berpikir untuk menutupi wajahmu karena matamu itu.”
Li Jia menatapnya. Dia masih bingung dengan penjelasan wanita itu.
“Li Jia, bukankah orang-orang di desamu memiliki warna mata yang sama denganmu? Apa kamu tidak berpikir kalau kalian dibunuh mungkin karena warna mata kalian?”
Li Jia mencoba berpikir walau dia belum yakin dengan hal itu. “Tapi, Nyonya, apa mungkin karena warna mata yang kami miliki ini lantas mereka dengan kejam membunuh semua penduduk desa? Apa itu mungkin?”
“Sudahlah, apa pun alasannya kamu harus menutupi wajahmu itu. Sudah jangan membantah. Aku sudah siapkan hanfu dan penutup wajah di kamarmu. Sekarang pergi dan bersiaplah. Sebentar lagi kita akan berangkat.”
Li Jia sama sekali tidak membantah. Dia kembali ke kamarnya dan mengenakan hanfu berwarna biru laut dan penutup wajah berwarna biru muda. Kulitnya yang putih membuatnya terlihat menarik walau dengan wajah yang sudah tertutup.
Pagi itu, rombongan dari Rumah Pelangi sudah bersiap untuk berangkat. Mereka akan pergi ke istana. Li Jia duduk di dalam kereta kuda bersama Yi Wei. Sementara beberapa gadis lainnya mengendarai kuda. Hal itu dilakukan karena Yi Wei ingin memperlihatkan kecantikan gadis-gadis itu pada khalayak ramai.
Setibanya di istana, keduanya lantas memasuki halaman istana yang begitu luas. Li Jia begitu kagum dengan kemegahan istana yang baru pertama kali dilihatnya. Ditatapnya bangunan istana yang baginya sangan luar biasa. Li Jia, gadis desa yang belum tersentuh dengan dunia luar perlahan mulai tertarik dengan kehidupan di luar Rumah Pelangi.
Di halaman istana, terlihat lampion dengan aneka warna dan bentuk. Lampion warna-warni diatur dengan sedemikian rupa, hingga membuat pemandangan di halaman istana terlihat sangat indah.
Mereka lantas dibawa ke sebuah ruangan khusus yang disediakan untuk para penari. “Ayo, bersiaplah. Sebentar lagi kita akan tampil,” ucap Yi Wei pada para penarinya. “Li Jia, kamu tunggu saja di sini. Setelah selesai pentas aku akan datang memanggilmu. Mengerti!”
“Baiklah,” jawab Li Jia yang sedikit acuh.
Setelah selesai bersiap, Yi Wei membawa semua penarinya ke halaman istana. Siang itu, Yi Wei akan menari di depan raja dan semua tamu undangan.
Li Jia menunggu di dalam ruangan seorang diri. Karena merasa bosan, dia lantas keluar dan melihat sekeliling tempat itu. Pemandangan di tempat itu membuat Li Jia melangkahkan kaki menuju taman kecil yang saat itu mulai berbunga. Dia begitu tertarik dengan kecantikan aneka bunga warna-warni yang bermekaran.
Tak hanya itu, pohon sakura yang tumbuh di samping taman tampak berbunga dengan warna merah muda yang cerah. Angin yang bertiup semilir membuat bunga-bunga itu jatuh betebaran. Li Jia mendongakkan kepala seraya tersenyum saat satu per satu kelopak bunga jatuh berguguran.
Melihat pemandangan itu, Li Jia teringat pada desanya. Desa yang damai dan tenteram karena kerukunan mereka. Desa yang dipenuhi dengan pohon sakura yang menyambut di depan pintu gerbang desa.
“Ayah, ibu, maafkan aku. Aku pasti akan membalaskan dendam pada mereka yang telah membunuh kalian. Aku janji!” batinnya seiring air mata yang perlahan jatuh.
Karena sedih, Li Jia mulai menari. Tarian yang melambangkan kesedihan hatinya. Tubuhnya yang gemulai kini menari di bawah pohon sakura. Tariannya begitu indah seiring guguran bunga yang jatuh mengenai tubuhnya.
Tanpa disadari olehnya, dia sedang diperhatikan oleh dua orang pemuda yng berdiri tak jauh darinya. Mereka menatapnya tanpa kedip. Keelokan tariannya telah menarik perhatian mereka.
“Kakak!”
Seketika, Li Jia terkejut dan menghentikan tariannya saat mendengar suara seseorang. Dia lantas melihat ke arah suara itu. Dirinya cukup terkejut saat melihat dua orang pemuda dan seorang gadis yang sebaya dengannya. Karena takut, Lia Jia bermaksud untuk masuk ke dalam ruangan, tetapi salah satu pemuda mencegahnya.
“Tunggu dulu!” Pemuda itu kini berdiri di depannya. “Siapa kamu dan sedang apa kamu di sini?” tanya pemuda itu kembali.
“Maaf, aku harus pergi.” Li Jia berusaha untuk pergi, tetapi pemuda itu segera meraih lengannya. Sesaat, pemuda itu menatapnya. Dari balik penutup wajah, Li Jia dapat melihat wajah pemuda itu.
“Dasar gadis kurang ajar! Apa kamu tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa?” Seorang gadis lantas mendekatinya. “Kakak, jangan lepaskan dia! Dia harus dihukum karena tidak menghargai Pangeran,” ucapnya sambil melirik ke arah pemuda yang berjalan ke arah mereka.
“Sudahlah Adik Zia, mungkin dia tidak tahu,” ucap pemuda itu.
Li Jia lantas memerhatikannya dan dia terkejut saat melihat pemuda itu mengenakan jubah kerajaan. “Maafkan, Hamba, Pangeran. Hamba tidak bermaksud kurang ajar. Hanya saja Hamba ingin mawas diri karena baru pertama kali datang ke istana. Sekali lagi, maafkan Hamba.” Li Jia menunduk di depan pemuda itu. Pemuda yang merupkan pangeran dari kerajaan itu hanya tersenyum.
“Apa aku bisa melihat tarianmu lagi?” tanya pangeran itu. Li Jia hanya terdiam. Dia tidak tahu apakah harus menerima ataukah menolak permintaan itu.
“Apa jangan-jangan kamu adalah salah satu penari dari Rumah Pelangi?” tanya gadis yang bernama Zia. Gadis itu menatap sinis pada Li Jia karena tahu kalau penari dari Rumah Pelangi adalah wanita penghibur.
“Adik Zia, jangan berkata seperti itu. Kakak tidak suka kalau kamu bersikap seperti itu. Apa pun alasannya, kita tidak boleh merendahkan orang lain,” ucap pemuda yang sempat menahan Li Jia. Gadis itu hanya tersenyum kecut karena ditegur oleh sang kakak.
“Nona, maafkan kelancangan adikku. Dia tidak bermaksud menyinggungmu,” ucap pemuda itu. Di balik penutup wajah, Li Jia hanya bisa tersenyum kecut.
“Tidak apa-apa walau tidak semua gadis di Rumah Penari adalah gadis penghibur. Maaf, aku harus pergi.” Li Jia menunduk memberi hormat tanpa peduli dengan permintaan pangeran. Dia kemudian masuk ke ruangan, tetapi langkahnya terhenti karena Yi Wei tiba-tiba datang.
Melihat pangeran, wanita itu menunduk memberi hormat. “Maafkan kelancangan penari Hamba, Pangeran. Dia baru pertama kali datang ke istana. Jadi, dia tidak tahu apa-apa. Apakah dia telah lancang pada Pangeran?”
Pangeran lantas tertawa. “Tidak, dia tidak melakukan kesalahan. Tadi aku tidak sengaja melihatnya menari dan aku memintanya untuk menari lagi, tetapi dia mungkin enggan melakukannya,” jelas pangeran sambil melirik ke arah Li Jia.
“Kalau Pangeran ingin melihatnya menari, sebaiknya Pangeran datang ke halaman istana. Dia akan menari di sana.”
Li Jia terkejut. Pasalnya, dia belum pernah menari di depan umum. “Nyonya, apa aku harus menari di depan semua orang?” tanya Li Jia dengan suaranya yang terdengar manja. Yi Wei hanya diam dan tak menjawab pertanyaannya itu.
“Baiklah kalau begitu. Aku akan pergi ke halaman istana. Aku harap dia melakukan tariannya dengan baik. Jika tidak …. ”
“Jika tidak memangnya kenapa?” tanya Li Jia pada pemuda itu.
“Jika tidak kamu akan membuat Nyonyamu dalam masalah. Benar ‘kan, Nyonya?” Yi Wei mengangguk mengiakan. Sementara Li Jia dibuat kesal dan hanya bisa memerhatikan mereka pergi.
Yi Wei lantas membawa Li Jia ke dalam ruangan. Di sana, dia dimarahi. “Cepat ganti baju! Kali ini kamu harus tampil.”
“Tapi, Nyonya, aku …. ”
“Cepatlah, aku tunggu di luar!”
Wanita itu lantas pergi dan menunggu di luar. Li Jia terpaksa mengiakan perintahnya. Baginya, Yi Wei tak hanya sebagai Nyonya, tetapi juga sebagai seorang kakak. Karena itu, dia sama sekali tidak menolak apa pun perintahnya.
Li Jia kini mengenakan hanfu putih dengan penutup wajah yang juga berwarna putih. Kain tipis menutupi wajahnya dengan tali yang melingkar di kepalanya. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai dengan hiasan tusuk rambut yang menjuntai indah.
Li Jia melihat sekeliling halaman istana dan cukup terkejut karena melihat pejabat istana yang duduk sambil menikmati tarian dari teman-temannya. Tak hanya itu, seorang lelaki paruh baya tampak gagah dengan baju kebesarannya tengah duduk di samping seorang wanita yang masih terlihat cantik. Walau tak lagi muda, tetapi wajah wanita itu cukup menarik.
“Dia adalah selir raja. Karena itu, menarilah dengan baik. Tunjukkan kehebatanmu pada mereka. Setelah ini selesai, kamu boleh beristirahat dan carilah orang yang kamu cari. Siapa tahu, pembunuh itu ada di sini,” ucap Yi Wei.
Setelah semua penari selesai melakukan tugasnya, Li Jia kemudian yang akan tampil. Gadis itu berdiri di sisi panggung dengan menautkan kedua tangannya. Dia tampak gugup, tetapi dia mencoba menenangkan dirinya. “Jangan takut. Anggap saja mereka seperti patung. Menarilah dan buat mereka kagum dengan tarianmu.” Li Jia memotivasi dirinya sendiri. Dia lantas melangkah maju ke tengah pentas, hingga membuat semua orang melihat ke arahnya.
Li Jia masih berdiri dan memerhatikan orang-orang yang melihatnya. Tangan dan kakinya kini gemetar karena gugup. Suara musik mengalun perlahan, tetapi dia masih berdiri tidak bergerak.
Yi Wei masih berdiri menatapnya. Sementara Pangeran dan pemuda yang menemaninya tampak mulai khawatir karena gadis itu belum juga menari. Namun, kekhawatiran mereka seketika musnah saat melihat Li Jia mulai menggerakkan tubuhnya.
Suara alunan musik membuat Lia Jia mulai menghayati tariannya. Dengan lemah gemulai, dia lantas menari dengan mengikuti alunan irama. Liukan tubuhnya terlihat begitu anggun. Tubuhnya meliuk gemulai bak seorang dewi yang sedang menari di depan Raja Langit. Tatapan mata tak terlepas saat Li Jia menarikan tarian yang hanya diketahui olehnya dan Yi Wei. Tarian yang memiliki arti tentang ketulusan cinta.
Suara tepuk tangan menggema saat Li Jia menyelesaikan tariannya. Mereka begitu terpukau dengan tarian yang sangat istimewa. Tarian yang membuat sang pangeran mengaguminya dalam diam. Pemuda itu tersenyum saat disuguhkan dengan tarian yang begitu memesonanya.
Li Jia menunduk memberi hormat pada Raja dan selirnya. “Selamat ulang tahun, Yang Mulia,” ucapnya tulus.
“Terima kasih. Ah, tarianmu sangat indah. Aku bersyukur karena diberi hadiah seindah ini,” ucap wanita itu sambil tersenyum.
“Sepertinya kamu penari baru. Apa itu benar?” tanya Raja padanya.
“Benar, Yang Mulia. Maafkan Hamba, jika tarian Hamba kurang berkesan.”
“Ah, kamu salah. Dilihat dari kepuasan istriku, aku yakin tarianmu sudah membuatnya terkesan.” Lelaki itu kini menatapnya lekat. “Kenapa kamu menutupi wajahmu itu? Apa kamu sengaja melakukannya?” tanya Raja kembali. Yi Wei tampak panik saat Raja melontarkan pertanyaan itu.
“Maafkan Hamba, Yang Mulia. Ini adalah identitas Hamba. Tapi, jika Yang Mulia ingin aku membukanya, akan aku lakukan.” Yi Wei semakin panik dan tidak menyangka kalau Li Jia akan mengatakan hal itu.
“Tidak perlu. Tetaplah seperti itu karena itu adalah identitas dirimu.”
Li Jia tersenyum di balik penutup wajahnya. Dia lantas meminta undur diri dan berdiri di samping Yi Wei. “Gadis bodoh! Apa kamu sudah gila?” bisik wanita itu menahan geram. Li Jia hanya diam dan memerhatikan para pejabat istana yang duduk tak jauh dari tempatnya berdiri.
Satu per satu wajah para pejabat diperhatikan olehnya, tetapi tidak satu pun yang dikenalinya. Namum, satu wajah membuat Li Jia menatapnya lekat. Dia memerhatikan wajah seorang pria yang mengenakan jubah yang cukup mewah.
Tak hanya itu, dia cukup terkejut saat melihat seorang pemuda dan seorang gadis yang baru ditemuinya berjalan ke arah lelaki itu. “Ayah,” panggil gadis itu sambil menggelayutkan tangannya di lengan lelaki itu.
“Jadi, mereka berdua adalah anaknya?” gumam Li Jia sambil memerhatikan mereka.
“Nyonya, apa Nyonya tahu siapa dia?” tanya Li Jia pada Yi Wei.
“Dia adalah Jenderal Liang Zhou. Dia salah satu jenderal yang sangat hebat. Pemuda itu adalah putranya. Namanya adalah Liang Yi dan itu adalah putrinya yang bernama Liang Zia,” jelas Yi Wei panjang lebar. “Apa kamu mengenalnya?”
Li Jia mengangguk. “Dia adalah lelaki yang membiarkanku dibawa oleh pengacau yang menjualku pada Nyonya. Aku tidak menyangka kalau bisa melihatnya lagi. Aku sangat membencinya karena dia tidak menolongku saat aku dibawa pengacau itu.”
Li Jia masih mengingat kejadian itu. Di mana dia menatap seolah meminta pertolongan dari lelaki itu, tetapi dia tidak digubris. Li Jia marah karena tidak ada satu pun yang menolongnya. Semuanya bungkam dan membiarkannya menjalani dendam yang semakin berkecamuk di dalam dadanya. Dendam yang entah kapan akan terbalaskan.