“Istriku, ada apa?” tanya Pangeran Wang Li saat melihat istrinya menoleh ke belakang.
“Ah, tidak apa-apa. Aku hanya mengira melihat orang yang aku kenal. Padahal bukan,” jawab Li Jia.
Sementara Liang Yi, kembali melanjutkan perjalanan ke desa. Namun, tatapan mata Li Jia yang sempat dilihatnya membuat pemuda itu gelisah. “Kenapa aku harus melihatmu? Ah, kenapa bayangan wajahmu begitu sulit untuk aku lupakan?” batinnya gusar.
Dia terus memacu kudanya karena hari mulai senja. Cuaca di sore itu tampak berbeda. Langit terlihat mendung dengan kilatan putih yang menyambar di atas cakrawala. Setibanya di gerbang desa, Paman Chow sudah menunggunya. Wajah lelaki itu tampak cemas.
“Paman, ada apa?”
“Cepatlah ke rumah. Liang Zia akan segera melahirkan,” jawab lelaki itu. Liang Yi lantas bergegas ke rumah.
Kandungan Liang Zia sudah memasuki usia persalinan. Gadis itu kini sedang bertarung nyawa untuk melahirkan sang buah hati ke dunia.
Liang Yi menunggu dengan harap-harap cemas. Terdengar suara rintihan kesakitan dari dalam kamar. Tak mudah bagi Liang Zia untuk melahirkan. Tubuhnya yang sering sakit-sakitan dan lemah, membuat dirinya mengalami kesulitan. Peluh dan lelah membuatnya kadang mengalami pingsan. Tabib yang menyadari itu dibuat kewalahan. Dengan segala cara, dia berusaha agar gadis itu bisa melahirkan sang bayi dengan selamat.
Suara rintihan tak lagi terdengar. Liang Zia kembali pingsan. Di antara sadar dan tidak, dia melihat kedua orang tuanya yang menatap ke arahnya. Mereka menatapnya sembari tersenyum.
“Ayah, Ibu,” ucap Liang Zia lirih.
“Anakku, kami akan menunggumu, tapi sebelum itu lahirkanlah cucu kami dengan selamat. Kasihan kakakmu karena kesepian. Ayo, Ibu akan membantumu.” Nyonya Ling mendekati Liang Zia dan menggenggam tangannya. Sementara sang ayah, duduk di sampingnya dan membelai puncak kepalanya.
Seketika, Liang Zia membuka matanya. Rasa sakit di bagian perut membuat dirinya kembali mengejan. Tak perlu waktu lama, suara bayi terdengar seiring air matanya yang terjatuh. Dia menatap bayangan kedua orang tuanya yang masih berdiri menatapnya seraya tersenyum.
Liang Yi masuk ke kamar setelah diizinkan oleh tabib. Dia lantas menggendong bayi mungil yang sudah dibalut kain dan meletakkannya di samping Liang Zia.
Liang Yi menitikkan air mata saat menatap wajah Liang Zia yang tampak pucat. Walau begitu, Liang Zia masih berusaha tersenyum. “Kakak, maafkan aku,” ucapnya sedih.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kakak bangga denganmu. Kakak sekarang menjadi seorang paman dan itu berkat dirimu.”
Liang Yi menatap wajah mungil yang tertidur di samping Liang Zia. Wajah seorang bayi laki-laki yang sangat tampan.
“Kakak, berikan nama untuknya,” pinta Liang Zia.
“Bagaimana kalau dia diberi nama Liang Yuwen.”
Liang Zia tersenyum dan mengangguk. Dia menatap putranya. Ingin rasanya dia memeluk putranya itu. Akan tetapi, tubuhnya terasa kaku dan merasakan dingin di sekujur tubuhnya.
Dia menatap ke arah bayangan kedua orang tuanya yang belum beranjak. Mereka mengulurkan tangan padanya. “Apakah ini saatnya aku harus berpisah dengan kakak dan putraku?” batin Liang Zia.
Liang Zia meminta untuk duduk. Liang Yi lantas membantunya untuk duduk.
“Kakak, bisakah aku memelukmu?”
Liang Yi mengangguk dan segera memeluk adiknya itu. Liang Yi memeluknya erat. Air bening yang sedari tadi ditahan akhirnya jatuh.
“Kakak, maafkan aku. Aku harus pergi,” ucap Liang Zia dengan air mata. Liang Yi terdiam. Dia hanya mampu memeluk adiknya itu.
“Tolong jaga putraku. Jangan biarkan dia menjadi seperti ayahnya. Didiklah dia agar menjadi sepertimu. Katakan padanya kalau aku dan juga kedua orang tua kita sangat menyayanginya.”
Liang Yi menahan tangisnya. Dia sadar, adiknya akan pergi. “Jangan khawatirkan Kakak dan putramu. Pergilah dengan tenang dan sampaikan salamku pada ayah dan ibu. Katakan pada mereka kalau aku sangat menyayangi mereka.”
Liang Zia tersenyum dan menatap bayangan kedua orang tuanya. “Mereka sudah mendengarnya, Kak. Mereka sedang menungguku,” ucapnya dengan suara yang mulai tertahan. “Aku menyayangimu, Kak.”
Seketika, tubuhnya melemah seiring napas yang tidak lagi berembus. Tubuhnya tertahan dalam pelukan Liang Yi yang kini menangis.
“Kakak juga menyayangimu, Adikku.”
Liang Yi membaringkan tubuh adiknya yang telah tak bernyawa itu. Dia menggenggam tangan sang adik dengan erat. Setelah itu, jasad gadis itu ditutupi kain.
Liang Yi menggendong bayi mungil yang kini kehilangan ibunya. Dia menatap bayi itu dengan derai air mata. “Paman akan menjagamu dan membuat ibu serta kakek dan nenekmu bangga padamu.”
Kematian Liang Zia meninggalkan luka bagi desa itu. Gadis yang ramah dan pintar kini telah pergi untuk selamanya.
Liang Yi mengiring kepergian sang adik ke peristirahatan terakhir. Setelah melakuakn berbagai ritual, jasad yang terbaring di dalam peti itu lantas dibawa ke tempat pemakaman. Sebuah tanah kosong yang tidak jauh dari desa menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi Liang Zia.
Liang Yi menatap ke arah peti yang diturunkan ke dalam liang. Pemakaman diiringi tangisan dari warga desa. Liang Yi tampak tegar walau dirinya sangat kehilangan.
Saat semua orang sudah meninggalkan tempat pemakaman, Liang Yi masih berada di sana. Dia menatap papan yang bertuliskan nama sang adik. “Bahagialah di sana dan tunggu Kakak. Suatu saat, kita pasti akan berkumpul lagi.”
Hujan turun membasahi tempat itu. Liang Yi bergeming. Dia masih enggan beranjak.
“Liang Yi, kembalilah ke rumah. Liang Yuwen membutuhkanmu.”
Suara Paman Chow membuyarkan lamunan Liang Yi. Dia lantas bangkit dan pergi ke rumahnya. Dia memeluk sang keponakan dengan janji yang terucap. Janji untuk menjaga dan membimbingnya kelak untuk menjadi orang yang berguna.
Suara petir menggelegar di antara air hujan yang jatuh. Di istana, Li Jia tampak duduk termenung. Ada perasaan aneh yang saat ini dia rasakan. Perasaan akan kehilangan.
“Istriku, ada apa?” tanya Pangeran Wang Li sambil memeluknya.
“Entahlah, aku ingin menangis, tetapi aku tidak tahu apa yang membuatku ingin menangis. Aku seakan telah kehilangan seseorang yang aku sayangi,” ucapnya sedih di dalam pelukan sang suami.
“Kalau begitu, menangislah. Aku akan ada di sini untuk menemanimu.” Pangeran Wang Li membelai lembut puncak kepala Li Jia. Li Jia menyembunyikan wajahnya di dada bidang lelaki itu dan menangis di sana. Dia menangis karena mengingat Liang Zia yang semalam hadir dalam mimpinya. Gadis itu tersenyum sembari melambaikan tangan seolah itu adalah lambaian perpisahan.
“Liang Zia, aku merindukanmu. Aku harap mimpiku itu hanyalah bunga tidur. Semoga di suatu tempat kamu dan Liang Yi baik-baik saja. Aku merindukan kalian.” Li Jia menangis menumpahkan sedihnya seiring air hujan yang enggan untuk berhenti.
Sejak kematian Liang Zia, bayi Liang Yuwen diasuh oleh Liang Yi dan dibantu beberapa wanita untuk menyusui bayi malang itu. Bayi itu begitu mendapat kasih sayang dan perhatian dari Liang Yi.
Tahun berganti. Liang Yuwen tumbuh menjadi anak yang mandiri. Walau tanpa seorang ibu, tidak membuatnya menjadi anak yang pendiam. Dia begitu lincah. Bocah berusia tiga tahun itu sangat suka bermain bersama teman sebayanya. Bahkan, para ibu di sana sering memanjakannya.
Terkadang, dia pulang dengan membawa buah-buahan yang diberi oleh warga. Pernah sekali, dia membawa pulang semangkuk ubi rebus yang diberi oleh ibu dari salah satu temannya.
“Liang Yuwen, darimana kamu dapatkan ubi rebus ini?” tanya Liang Yi.
“Aku diberi oleh Bibi Ci. Katanya ini untuk makan malam kita,” jawab bocah tiga tahun itu sambil memasukkan ubi rebus ke dalam mulutnya.
Melihatnya, Liang Yi tersenyum. Kepala bocah itu dielus lembut. “Ya sudah, kamu makan saja.”
“Paman, ayo makan bersamaku. Ubi rebusnya enak, Paman.” Bocah itu memberikan sepenggal ubi rebus pada Liang Yi. Sambil tersenyum, Liang menerimanya. Mereka terlihat begitu menikmati hidangan sederhana yang membuat mereka semakin dekat.
Sementara di istana, Wang Yi tumbuh menjadi anak yang penurut dengan rasa ingin tahu. Di usianya yang baru berumur lima tahun, bocah itu sudah pandai menulis, bahkan sudah mulai belajar membaca. Kecerdasan pangeran kecil itu turun temurun dari kecerdasan ayah dan ibunya.
Bukan hanya itu, Wang Yi ternyata anak yang cepat tanggap. Dia diajarkan untuk menghormati orang yang lebih tua darinya dan tidak bersikap sombong. Dia sangat disukai dayang-dayang istana karena sikapnya yang selalu membuat mereka tersenyum dengan tingkahnya yang lucu dan menggemaskan.
“Ayah, ibu, lihat gambarku ini!” seru Wang Yi sambil berlari kecil ke arah ayah dan ibunya.
Melihat gambar yang diberi putranya, Li Jia tersenyum. Begitu pun dengan Pangeran Wang Li. Lelaki itu lantas mengangkat putranya dan mendudukan bocah itu di atas bahunya.
“Putra Ayah ternyata pintar menggambar. Siapa yang mengajarimu?” tanya Pangeran Wang Li sambil memegang kedua tangan anaknya yang masih betah duduk di atas bahunya.
“Aku belajar sendiri, Ayah,” jawab bocah itu.
“Memangnya, bunga apa yang kamu gambar tadi?”
“Bunga itu, Ayah. Bunga berwarna putih, itu bunga kesayangan Ibu,” jawabnya sambil menunjuk salah satu bunga yang ada di taman.
Pangeran Wang Li tersenyum dan menurunkan sang buah hati dari atas bahunya. “Petiklah bunga itu dan berikan pada Ibumu. Ibu pasti akan menyukainya,” bisik Pangeran Wang Li pada anaknya itu. Bocah itu lantas berlari kecil ke arah taman bunga dan memetik beberapa tangkai bunga putih dan memberikannya pada sang ibu.
“Ibu, bunga ini untuk Ibu.”
Li Jia menerima bunga itu dan mencium punggung tangan putranya. Bocah itu lantas dipeluknya.
Kehadiran Wang Yi dalam kehidupan rumah tangga mereka memberikan kebahagiaan bagi Li Jia dan Pangeran Wang Li. Tawa dan senyum bocah itu membuat keduanya merasa damai.
Wang Yi sangat suka jika melihat Li Jia menari. Dia begitu terpesona, hingga membuat matanya enggan berpaling. Seperti sekarang ini, Li Jia menari di depan anak dan suaminya. Melihat ibunya menari, Wang Yi tersenyum dan ikut meniru-niru gerakan ibunya.
Melihat anaknya ikut menari, Li Jia tersenyum dan meraih tubuh anaknya itu ke dalam gendongan. Mereka menari bersama. Melihat istri dan anaknya menari membuat Pangeran Wang Li mendekati dan memeluk mereka.
Karena kelelahan, Wang Yi tertidur dalam gendongan Li Jia. Wajah menggemaskan bocah itu membuatnya tersenyum. “Ibu menyayangimu, Nak.” Li Jia mengelus lembut kepala bocah itu sembari mencium dahinya.
“Biar aku yang menggendong Wang Yi. Kamu pasti lelah karena sudah menggendongnya dari tadi.”
Lelaki itu lantas meraih Wang Yi dari gendongan Li Jia dan membawanya ke kamar.
“Tidurlah yang nyenyak, Ayah dan Ibu akan selalu ada untukmu,” ucap Pangeran Wang Li saat meletakkan putranya di atas tempat tidur.
“Ayo, kita keluar dari sini. Jangan sampai dia terbangun karena kita.” Pangeran Wang Li meraih tangan Li Jia dan meninggalkan tempat itu.
“Istriku, apa aku bisa tidur di pangkuanmu?” ucap Pangeran Wang Li yang kini memeluk istrinya. Lelaki itu tampak berlaku manja. Melihat sikapnya itu, Li Jia tersenyum. Tanpa menunggu, Pangeran Wang Li mengecup kening istrinya. Dia lantas membopong tubuh istrinya itu dan membawanya ke tempat tidur.
Li Jia duduk di atas tempat tidur sambil memainkan untaian rambut Pangeran Wang Li yang sudah berbaring sambil meletakkan kepala di pangkuannya.
“Istriku, putra kita sudah besar. Apa kamu tidak ingin memberikannya seorang adik?”
“Apa kamu masih menginginkan seoarang anak lagi?” tanya Li Jia sambil menatap lekat suaminya itu. Lelaki itu mengangguk seraya tersenyum.
“Aku ingin putra kita memiliki seorang adik agar dia tidak kesepian.”
Pangeran Wang Li tidak ingin anaknya bernasib sama seperti dirinya. Dia besar tanpa kehadiran saudara ataupun teman, selain Liang Yi yang selalu ada untuknya. Hanya Liang Yi satu-satunya sahabatnya sejak kecil. Sahabat yang dianggap seperti kakaknya sendiri.
“Terserah saja padamu. Apa pun yang kamu inginkan, aku pasti akan turuti. Jangankan satu, kalau Dewa mengizinkan, berapa pun anak yang kamu inginkan akan aku berikan. Asalkan kamu tersenyum bahagia dan selalu ada di sisiku,” ucap Li Jia sambil mengelus lembut sudut wajah suaminya itu.
Mendengar ucapan istrinya, Pangeran Wang Li tersenyum. Dia lantas duduk di depan Li Jia dan menatapnya lekat. Dengan mesra, Pangeran Wang Li meraih bibir ranum istrinya itu dan mengecupnya.
“Terima kasih karena sudah memberikanku seorang putra yang sangat tampan. Aku mencintaimu dan selamanya akan tetap mencintaimu,” ucap Pangeran Wang Li sambil membaringkan tubuh istrinya itu.
Malam itu, mereka bak pengantin baru. Pangeran Wang Li seakan tidak pernah puas dan bosan dengan kecantikan istrinya. Wajah cantik Li Jia bagaikan magnet yang terus menariknya untuk menikmati keindahan wajah itu.
Di balik selimut, Li Jia terbaring dengan sisa peluh di dahinya. Pangeran Wang Li tersenyum seraya memeluk tubuh istrinya. Entah mengapa, dia tidak bisa berpaling dari wajah cantik itu. Di matanya, hanya ada wajah istrinya, hingga membuatnya tidak bisa berpaling pada wanita lain.
Dalam selimut, tubuh Li Jia bergeliat dan membalas pelukan Pangeran Wang Li yang sedari tadi memeluknya. Lelaki itu kembali mengeratkan pelukannya dan menatap wajah cantik yang kini tertidur dalam pelukannya.
“Istriku, aku harap kita akan selamanya bersama. Aku ingin dirimu yang selalu ada dalam pelukanku. Apa pun yang terjadi, dirimu adalah satu-satunya wanita di dalam kehidupanku. Kalaupun Dewa tidak menginginkan kita untuk tetap bersama, setidaknya biarkan aku memilikimu di kehidupan yang lain. Namun, aku berharap Dewa masih memberikan kita waktu untuk tetap bersama, kini dan untuk selamanya.” Pangeran Wang Li mengecup kening istrinya dan berharap apa yang menjadi keinginannya akan benar-benar menjadi sebuah kenyataan.