Di aula istana, para perdana menteri sedang berkumpul untuk membahas tentang ancaman dari kerajaan kecil yang berada tak jauh dari Wilayah Utara.
Wilayah Utara berada di perbatasan antara negeri yang dipimpin Pangeran Wang Li dengan sebuah kerajaan kecil yang dipimpin oleh seorang raja yang terkenal dengan kerakusannya dalam menguasai lahan. Karena itulah, pemimpin dari Wilayah Utara mengirimkan surat yang meminta agar Pangeran Wang Li menjadikan putrinya sebagai selir agar wilayah itu masuk di bawah kepemimpinan Pangeran Wang Li.
“Maaf, Yang Mulia. Yang Mulia harus memutuskan untuk mengatasi masalah ini. Wilayah Utara sangat strategis untuk pertahanan negeri kita. Kalau Yang Mulia bisa memperistri putri pemimpin di wilayah itu, hamba yakin kekuatan negeri kita akan semakin kuat,” ucap seorang menteri yang mencoba membujuk rajanya itu.
“Benar, Yang Mulia. Hanya itu satu-satunya cara agar kita bisa memperluas wilayah negeri kita.” Seorang menteri turut menambahkan.
Pangeran Wang Li memandangi mereka dengan tangan yang mengepal. Setiap perkataan mereka telah membuat amarahnya memuncak.
“Yang Mulia. Tolong pertimbangkan masalah ini, karena …. ”
“Cukup!” seru Pangeran Wang Li sambil berdiri. Semua perdana menteri terdiam. Mereka tidak lagi bersuara dan menundukkan wajah mereka.
“Aku bilang cukup! Aku tidak ingin mendengar tentang masalah ini lagi. Aku tidak akan pernah menjadikan wanita mana pun sebagai selir. Aku tidak akan peduli dengan wilayah itu. Kalaupun mereka menolak untuk bergabung dengan wilayah kita, maka satu-satunya jalan adalah dengan berperang!” seru Pangeran Wang Li tegas. Sontak, semua perdana menteri menatap ke arahnya.
“Yang Mulia, tolong pertimbangkan lagi keputusan Yang Mulia,” ucap mereka serempak.
“Kalau kalian terus menggangguku dengan masalah ini, aku tidak akan segan-segan menyerang wilayah itu dan memaksa mereka untuk bergabung dengan wilayah kita. Sekarang, aku perintahkan untuk mengirim pasukan ke wilayah itu. Kalau mereka berani membangkang, serang mereka!” perintah Pangeran Wang Li dengan suara yang lantang.
Semua perdana menteri menundukkan wajah. Baru kali ini mereka melihat raja semurka itu.
Pangeran Wang Li lantas meninggalkan aula. Dia terlihat marah. Dengan langkah yang dipercepat, Pangeran Wang Li memasuki paviliun dan menemui Li Jia yang sementara bermain dengan putra mereka.
Melihat kemarahan di wajah suaminya, Li Jia lantas mendekatinya. Tanpa berkata apa pun, Pangeran Wang Li meraih tubuh istrinya itu ke dalam pelukannya.
Dayang Lin yang sementara menjaga Pangeran Wang Yi lantas membawa bocah itu dan meninggalkan mereka.
“Istriku, aku mohon tenangkan aku,” ucap Pangeran Wang Li dengan suara yang terdengar serak.
Li Jia mengelus lembut punggung suaminya itu. “Baiklah, apa kamu ingin aku menari untukmu?” tanya Li Jia yang membuat lelaki itu mengangkat wajahnya.
“Lakukanlah, biarkan aku menikmati tarianmu itu.”
Sambil tersenyum, Li Jia menari di depan suaminya. Dia tidak pernah menari di depan orang lain. Hanya kepada suami dan putranya, Li Jia sering mempersembahkan tarian yang indah.
Pangeran Wang Li tersenyum saat melihat istrinya menari. Walau itu bukan yang pertama kali, tetapi tarian Li Jia mampu menenangkan hati dan pikirannya.
Tarian Li Jia selalu meluluhkan hatinya. Kemarahannya seakan memudar. Lelaki itu lantas mendekati Li Jia dan meraihnya dalam pelukan. Mata biru sang istri telah menenangkan jiwanya. Wajah cantik yang kini di depannya telah mengalihkan dunianya.
Li Jia tersenyum saat melihat wajah suaminya yang mulai tenang. Dengan mesra, dia mengecup pipi suaminya itu. “Kalau kamu marah, datanglah padaku. Jangan lampiaskan kemarahanmu pada orang lain. Semarah apa pun, aku tetap akan ada di sampingmu.”
Mendengar hal itu, Pangeran Wang Li mengangguk. Hatinya kini mulai tenang. Melihat senyuman di wajah istrinya, membuatnya ingin menikmati keindahan wajah itu. Dengan kedua tangannya, Raja Zhao Li membopong tubuh istrinya dan masuk ke dalam ruangan paviliun. Li Jia hanya tersenyum sambil melingkarkan kedua tangannya di leher suaminya seraya berbisik mesra, “Aku mencintaimu.”
Keputusan sepihak Pangeran Wang Li untuk mengirimkan pasukan ke Wilayah Utara menuai kritikan. Banyak yang tidak sependapat dengan keputusannya itu karena permasalahannya dapat diatasi hanya dengan menikahi putri pemimpin wilayah itu, hingga tidak perlu ada pertumpahan darah.
“Selama ini keputusan raja selalu bijaksana dan tidak pernah semudah itu menyatakan perang. Padahal, solusi yang ditawarkan hanya menikahi putri pemimpin Wilayah Utara agar terjalin ikatan keluarga hingga mereka akan tunduk pada raja, tapi kenapa raja begitu bersikeras untuk menolak pernikahan itu?” Seorang pejabat istana yang cukup senior melontarkan pendapatnya.
“Apa itu karena Yang Mulia Ratu?” tanya seorang lelaki yang membuat mereka memandanginya. “Kalian tahu ‘kan, bagaimana raja sangat mencintai Yang Mulia Ratu? Apa mungkin penolakan raja karena dihasut olehnya?”
Mereka terdiam. Mereka sangat paham dengan sikap raja dalam memperlakukan istrinya. Lelaki itu tidak pernah melirik wanita lain karena rasa cintanya pada sang istri. Karena itulah, permintaan mereka untuk menikahi putri dari Wilayah Utara sangat sulit untuk diterima oleh raja.
Karena tidak menemukan jalan keluar, mereka akhirnya memutuskan untuk mendekati Li Jia. Salah seorang perdana menteri senoir lantas menemuinya.
“Yang Mulia Ratu, hamba tahu ini mungkin sulit bagi Yang Mulia Ratu, tapi hanya ini jalan keluar bagi kita. Hamba mohon, bujuklah Yang Mulia agar mau menerima putri Wilayah Utara menjadi selir.”
“Aku tidak bisa melakukannya. Aku harus menuruti permintaan suamiku dan Tuan tahu apa permintaannya padaku?” Mata biru Li Jia menatap lurus ke wajah perdana menteri itu, hingga membuat lelaki itu menundukkan pandangan.
“Suamiku tidak akan pernah menikahi wanita mana pun. Walau aku sendiri sudah memintanya, tapi suamiku tetap tidak ingin mempunyai selir. Jadi, apa aku salah jika menuruti perintah suamiku?”
Perdana menteri itu menatap Li Jia. “Apa itu berarti kita harus berperang dengan mereka?”
Li Jia sedikit terkejut saat mendengar hal itu. Namun, dia harus teguh dengan keputusannya. “Tuan, apa pun keputusan suamiku, kalian patut melaksanakannya. Kenapa Tuan masih menyangsikan keputusan raja dan masih meminta bantuanku? Maaf, untuk masalah ini, aku tidak bisa membantu,” ucap Li Jia tegas.
Perdana menteri itu cukup paham dengan tabiat Li Jia. Dia merasa telah gagal melakukan tugasnya.
“Kalau itu sudah menjadi keputusan Yang Mulia, kami akan menerimanya dan hamba akan mencoba untuk mencari solusi yang lain agar peperangan tidak akan terjadi, tapi apa Yang Mulia Ratu tidak memikirkan dampak dari peperangan nanti? Hamba sangat berharap, masih ada solusi yang terbaik tanpa harus memaksa raja untuk memperistri putri pemimpin Wilayah Utara. Namun, jika solusi itu tidak berhasil, apa yang harus kita lakukan? Apakah peperangan adalah solusi selanjutnya?”
Kata-kata perdana menteri mulai menggoyahkan hatinya, tetapi Li Jia harus memercayakan semua masalah itu kepada suaminya dan tidak terpengaruh dengan kata-kata perdana menteri itu.
“Lebih baik Tuan pergi sebelum suamiku datang ke sini. Aku tidak ingin membuatnya khawatir dengan masalah ini. Apa pun yang akan diputuskannya kelak, aku tidak bisa membantah. Jadi, maafkan aku karena kali ini aku tidak bisa membantu,” ucap Li Jia yang berusaha tegas di depan perdana menteri itu.
Tampak, rasa kecewa terlihat di wajah perdana menteri itu. Sekuat apa pun dia berusaha untuk meyakinkan Li Jia, tetapi dia tetap tidak mampu menggoyahkan kesetiaan seorang istri terhadap suaminya.
“Baiklah, Yang Mulia Ratu. Kalau begitu, hamba mohon undur diri.” Perdana menteri itu bangkit seraya memberi hormat dan melangkah pergi dengan rasa kecewa.
Li Jia yang sedari tadi berusaha terlihat tegas di depan perdana menteri itu tiba-tiba lemas. Raut wajahnya seketika berubah saat mengingat ucapan perdana menteri tentang peperangan. “Suamiku, apa karena diriku kamu menolak pernikahan itu dan lebih memilih untuk berperang?” batin Li Jia yang terlihat gelisah.
Tiba-tiba, pintu ruangannya terbuka. Li Jia lantas berdiri dan menyambut Pangeran Wang Li yang berjalan mendekatinya. “Suamiku, ada apa? Kenapa wajahmu seperti itu?” tanya Li Jia lembut. Tanpa menjawab, lelaki itu lantas memeluknya.
“Katakan padaku, untuk apa Perdana Penteri Qing datang menemuimu?” tanya Pangeran Wang Li yang belum melepaskan pelukannya.
Li Jia terkejut. Dia lantas melepaskan pelukannya, tetapi Pangeran Wang Li kembali meraih tubuhnya dalam pelukan. “Biarkan aku memelukmu dan jelaskan saja padaku. Walaupun aku akan marah, setidaknya ada dirimu yang bisa meredakan amarahku,” ucap Pangeran Wang Li. Li Jia lantas mengelus lembut punggung suaminya itu.
“Perdana Menteri Qing memintaku untuk membujukmu agar menerima pernikahan dengan putri dari pemimpin Wilayah Utara,” jelas Li Jia sambil memeluk tubuh suaminya itu erat, karena dia tahu saat ini suaminya tengah menahan amarah.
Jawaban Li Jia cukup membuat Pangeran Wang Li menahan emosinya. Dia mengepalkan kedua tangannya. Dia marah karena menteri-menteri itu tidak mengindahkan perintahnya dan mencoba untuk menghasut istrinya.
“Lalu, apa yang kamu katakan padanya?” tanya Pangeran Wang Li dengan hati berdebar karena penasaran dengan jawaban istrinya itu.
“Suamiku, aku tidak akan pernah melawan perintahmu. Mana mungkin aku akan menyetujui permintaan mereka kalau suamiku sendiri sudah memberikan jawabannya padaku. Aku akan mendukung apa pun keputusanmu.” Jawaban Li Jia membuat Pangeran Wang Li mengeratkan pelukannya.
“Aku tahu mereka berusaha untuk membujukmu. Karena itu, aku sangat takut jika kamu menerima permintaan mereka. Aku tidak ingin kamu tersakiti, karena aku tahu kamu tidak akan sanggup melihatku dengan wanita lain. Aku pun tidak akan bisa bersama wanita lain selain dirimu.” Pangeran Wang Li masih memeluk istrinya itu dan meluapkan semua kegundahan hatinya.
Li Jia melepaskan pelukannya seraya tersenyum. Dia meraih tangan Pangeran Wang Li dan mengajaknya duduk. Dengan mesra, Li Jia membelai lembut wajah suaminya yang telah duduk di depannya.
“Suamiku, aku tahu kamu tidak ingin menyakitiku dan menolak pernikahan itu, tapi kamu tidak bisa memutuskan untuk memerangi mereka. Bagaimanapun juga, peperangan tidak akan bisa menyelesaikan masalah karena akan menimbulkan korban dari kedua belah pihak. Cobalah untuk mencari solusi yang bisa menguntungkan keduanya tanpa harus ada peperangan dan pernikahan. Aku tidak ingin kamu dikenang dengan kebijakanmu yang membuat rakyat tidak menyukaimu. Aku ingin kamu dikenang sebagai raja yang selalu mementingkan rakyatnya. Suamiku, berjanjilah padaku agar tidak akan ada lagi peperangan di negeri ini, aku mohon padamu.”
Li Jia memohon sambil menggenggam tangan suaminya dengan erat. Dia tahu, dampak dari perang hanya akan meninggalkan kesengsaraan bagi rakyatnya dan dia tidak ingin rakyatnya menderita.
Pangeran Wang Li memandangi wajah istrinya itu. Dia sangat paham dengan keinginan istrinya yang tidak ingin melihat rakyat menderita. Dia sangat bersyukur karena memiliki seorang istri yang tidak hanya cantik, tetapi memiliki hati yang lembut. Pangeran Wang Li tersenyum melihat istrinya yang begitu bijak.
“Aku akan berusaha untuk mencari solusi yang terbaik. Terima kasih, Istriku. Kamu sudah menenangkan hatiku. Aku sangat beruntung mempunyai ratu yang cantik dan bijaksana sepertimu.” Pangeran Wang Li mengecup mesra punggung tangan Li Jia sembari mendekatkan wajahnya dan mendaratkan kecupan mesra di bibir ranum istrinya itu.
Pemimpin Wilayah Utara memiliki seorang putri yang sangat cantik. Wanita itu telah beberapa kali menjadi incaran dari raja kerajaan kecil yang berada di perbatasan wilayah mereka.
Utusan dari kerajaan itu sudah beberapa kali datang untuk meminangnya. Namun, pemimpin Wilayah Utara tidak menerima pinangan itu. Dia telah bertekad untuk menjadikan putrinya sebagai ratu di istana yang dipimpin Pangeran Wang Li. Karena itu, dia kembali mengirim utusannya ke istana dan menemui Pangeran Wang Li.
Seorang anak buah kepercayaannya lantas menemui Pangeran Wang Li. Namun, dia ditolak.
“Katakan padanya kalau aku tidak akan menerima wanita mana pun untuk menjadi selir. Suruh dia kembali!” perintah Pangeran Wang Li tegas.
Utusan itu tidak diperkenankan bertemu dengan raja. Dia terpaksa harus kembali. Saat dirinya melintasi halaman istana untuk pulang, langkahnya terhenti. Dia melayangkan pandangan ke arah seorang wanita yang berjalan di depannya. Seketika, dia menunduk karena prajurit yang mengantarnya menunduk di depan wanita itu.
Saat wanita itu pergi, dia lantas mengangkat wajahnya. “Apa mungkin dia adalah Yang Mulia Ratu?” batinnya.
“Siapa wanita itu?” tanya lelaki itu pada salah satu prajurit.
“Apa Tuan tidak tahu kalau wanita itu adalah Yang Mulia Ratu?”
Lelaki itu akhirnya mengerti. Wanita itu adalah alasan yang membuat raja menolak untuk menerima selir. Dia lantas kembali dan melaporkan tentang penolakan raja yang tidak ingin bertemu dengannya.
“Apa? Kamu ditolak!”
Pemimpin Wilayah Utara tampak geram. Dia tidak percaya kalau utusannya akan ditolak.
“Apa dia pikir bisa memperlakukan putriku seperti ini?” Lelaki itu memukul meja dengan keras. Meja itu patah dan terbelah menjadi dua.
“Ayah, jaga emosi Ayah,” ucap seorang gadis cantik yang duduk di dekat lelaki setengah baya itu.
“Putriku, apa kamu terima diperlakukan seperti ini? Ah, andai saja Kerajaan Wu tidak memiliki raja yang angkuh dan mata keranjang, aku tidak akan segan bergabung dengannya dan menghancurkan Pangeran Wang Li.”
“Ayah, tenanglah. Aku akan mengurusnya. Lelaki mana yang tidak akan takluk di depanku. Bagaimanapun caranya, aku akan menjadi ratu dari Pangeran Wang Li dan mewujudkan keinginan Ayah,” ucap gadis itu yakin.
Ambisi Pemimpin Wilayah Utara membuat gadis yang bernama Putri Ling ikut berambisi. Awalnya, dia tidak tertarik dengan keinginan ayahnya. Namun, saat penolakan demi penolakan dari Pangeran Wang Li membuatnya ingin mendekati lelaki itu. Dia ingin membuat lelaki itu menyesal karena telah menolaknya.
“Lihat saja, aku akan membuatmu menyesal. Aku akan membuatmu berlutut di depanku. Aku ingin lihat seperti apa wanita yang sudah membuatmu tak ingin berpaling. Apakah dia memang pantas terus berada di sampingmu?” batin gadis itu.