Penempatan pasukan di perbatasan antara Kerajaan Wu dan Wilayah Utara membuat Raja Kerajaan Wu menjadi geram. Wajah lelaki yang sudah tidak muda lagi itu tampak mengerut dengan ekspresi yang terlihat marah. Wajahnya memerah dengan sorot mata yang tajam. Walau begitu, garis wajahnya menunjukkan kalau di masa mudanya dia adalah lelaki yang cukup tampan dan memiliki kekuatan fisik yang prima.
Dia semakin dibuat geram saat salah satu anak buahnya menyampaikan kalau Putri Ling telah dipersiapkan untuk menjadi selir bagi Pangeran Wang Li.
“Apa itu benar?”
“Benar, Yang Mulia, tapi sepertinya Pangeran Wang Li menolak tawaran itu dan memilih untuk mengirimkan bantuan pasukannya untuk berjaga-jaga kalau saja pasukan kita menyerang mereka,” jelas lelaki itu.
Lelaki yang bernama Wu Zia itu terdiam. Dia menyadari kalau dirinya tidak bisa menyaingi Pangeran Wang Li yang memiliki ketampanan yang sudah menjadi buah bibir. Bukan hanya itu, tetapi kerajaannya tidak sebanding dengan kerajaan yang dipimpin oleh Pangeran Wang Li.
“Yang Mulia, lantas apa yang harus kita lakukan?”
“Tempatkan pasukan kita di perbatasan. Kita lihat, apa yang bisa mereka lakukan.”
Di perbatasan Wilayah Utara, situasi tampak tegang karena separuh pasukan Kerajaan Wu sudah berkumpul. Kedua pasukan yang berada di perbatasan tampak saling berjaga-jaga.
Pemimpin Wilayah Utara tampak terbaring lemah. Lelaki yang sudah tidak muda lagi itu tengah sakit keras. Dia mengalami sakit yang mengharuskan dirinya untuk terus berbaring.
“Aku memutuskan untuk mengangkat putriku untuk menggantikan posisiku,” ucapnya pada anak buah kepercayaannya. Lelaki itu lantas berusaha untuk duduk.
“Aku tahu kalian pasti ada yang kecewa, tapi ini adalah satu-satunya jalan agar wilayah kita tetap aman. Aku ingin kalian membantu putriku untuk bisa menjadi istri Pangeran Wang Li. Hanya dengan begitu, kita bisa menjaga Wilayah Utara dari gangguan Kerajaan Wu.” Pria tua itu terbatuk dengan mata yang memerah.
“Putriku, Ayah ingin kamu melindungi Wilayah Utara dengan sekuat kemampuanmu. Maafkan Ayahmu karena harus membebankanmu dengan permintaan yang sulit untuk kamu jalani, tapi hanya itu satu-satunya jalan agar wilayah kita tetap aman. Apa kamu bisa menerima permintaan terakhir ayahmu ini?”
Putri Ling mengangguk. “Baik, Ayah. Aku akan menuruti permintaan Ayah,” ucap gadis cantik itu sambil menggenggam tangan ayahnya.
“Kalian dengar, kan? Mulai sekarang, apa pun keputusan Putri Ling harus kalian ikuti.”
Lelaki itu menatap salah seorang anak buah kepercayaannya. Lelaki muda yang sudah ikut dengannya sejak masih kecil. “Yuan, tolong dampingi Putri Ling. Lindungi dia dan jagalah dia. Aku mengandalkanmu,” ucap lelaki itu. Dia kemudian terbatuk-batuk hingga membuat napasnya terasa berat.
“Ayah!” seru Putri Ling sambil menggenggam tangan ayahnya. Gadus itu kini menangis.
Tatapan mata lelaki itu perlahan sayu. Napasnya terasa berat seakan ada batu besar yang menindih dadanya. Tak lama kemudian, lelaki itu terpejam dengan napas yang sudah tidak lagi berembus.
Melihat pemimpin mereka telah meninggal, semua orang yang ada di tempat itu lantas memberikan penghormatan terakhir.
“Umumkan kematian ayah pada semua penduduk dan segera siapkan upacara pemakaman.”
Putri Ling menghapus air matanya. Kini, dia telah menjadi ketua dari Wilayah Utara dan memiliki hak mutlak untuk memerintah wilayah itu.
“Yuan, setelah upacara pemakaman selesai, segera umumkan pengangkatanku sebagai ketua yang baru. Sekarang, kamu adalah tangan kananku,” ucapnya pada seorang pemuda yang merupakan anak angkat dari ayahnya itu.
“Baik, Ketua,” jawab Yuan sambil menunduk di depannya.
Wajah cantik Putri Ling kini datar tanpa ekspresi. Dia akan melakukan permintaan terakhir ayahnya, yaitu menjadi istri Pangeran Wang Li. Tak peduli jika dia kembali ditolak, dia akan tetap melakukannya hingga berhasil merebut posisi sebagai ratu.
Kabar kematian Pemimpin Wilayah Utara membuat Raja Wu Za besar kepala. Dia yakin kalau jalannya untuk menaklukan daerah itu semakin mudah.
Menyadari ancaman itu, Putri Ling lantas bersiap untuk menemui Pangeran Wang Li. Dia ingin meminta bantuan pasukan tambahan untuk berjaga di perbatasan wilayahnya.
Bersama Yuan, Putri Ling beranjak ke istana. Wanita itu tampak cantik. Dia ingin terlihat sempurna agar Pangeran Wang Li tertarik padanya.
Di ruang pertemuan, wanita itu dipersilakan untuk duduk. Saat memasuki istana, dia cukup kagum dengan kemegahan istana itu. Keinginannya untuk menjadi ratu semakin kuat. Dengan begitu, dia bisa menguasai istana dan melindungi Wilayah Utara sesuai permintaan ayahnya.
Ruangan pertemuan tampak lengang. Putri Ling masih duduk menunggu kedatangan Pangeran Wang Li. Tak lama, sosok yang ditunggu kini muncul. Putri Ling seketika berdiri seraya menunduk memberi hormat.
“Silakan duduk,” ucap Pangeran Wang Li.
Putri Ling lantas kembali duduk. Di depannya kini tampak seorang lelaki tampan yang terlihat gagah dengan jubah raja yang dikenakannya. Sesaat, Putri Ling terpaku menatap seraut wajah tampan itu.
“Apa yang membawamu ke sini? Bukankah, kamu sudah tahu keputusanku?”
“Maaf, Yang Mulia. Kedatangan hamba bukan untuk hal itu, melainkan untuk meminta bantuan pasukan untuk berjaga di perbatasan. Pasukan Kerajaan Wu semakin mendekat setelah kematian ayahku. Mereka masih ingin menguasai Wilayah Utara. Yang Mulia, tolong kirimkan bantuan ke sana. Hamba mohon.” Putri Yuri lantas bangkit dan berlutut di depan Pangeran Wang Li. Dia bahkan menangis.
“Suamiku, segera kirimkan pasukan ke Wilayah Utara. Jangan biarkan rakyat kita tertindas di sana.” Li Jia tiba-tiba muncul. Dia lantas mendekati Putri Ling. “Putri Ling, bangkitlah. Jangan khawatir, suamiku pasti akan membantumu,” ucap Li Jia sambil membantu gadis itu untuk berdiri.
Putri Ling lantas bangkit. Di depannya, tampak seorang wanita yang sangat cantik. Seketika dia menyadari kalau wanita yang merupakan ratu itu memiliki paras wajah yang membuat setiap wanita menjadi iri. “Wanita yang sangat cantik. Apa dia adalah alasan yang membuat Pangeran Wang Li enggan berpaling?” batinnya.
“Terima kasih Yang Mulia Ratu. Hamba sangat berterima kasih,” ucap Putri Ling.
Di depan Li Jia, gadis itu merasa tidak berarti. Kecantikan dan pesona yang dimiliki Li Jia membuatnya iri dan cemburu. Li Jia begitu hangat menyambut sang tamu. Namun, tatapan mata Pangeran Wang Li hanya tertuju untuk Li Jia. Tak sekali pun lelaki itu melihat ke arahnya.
Setelah jamuan selesai, Putri Ling lantas meminta undur diri. Li Jia dan Pangeran Wang Li mengantarnya sampai di gerbang istana dan memerintahkan prajurit untuk.mengantarnya dengan tandu. Gadis itu lantas pergi.
Di dalam tandu, dia mengepalkan tangannya. Rasa iri pada Li Jia membuatnya semakin ingin menyingkirkan wanita itu. “Aku harus bisa menyingkirkannya. Aku harus menduduki posisi sebagai ratu. Dia harus aku singkirkan!”
Sementara Pangeran Wang Li telah menyiapkan surat perintah untuk pemimpin pasukan yang berada di perbatasan Wilayah Timur. Surat yang menyatakan kalau pemimpin tersebut harus membawa pasukannya dan pindah ke perbatasan Wilayah Utara untuk membantu wilayah itu dari pasukan Kerajaan Wu.
Surat yang diberikan Pangeran Wang Li ditujukan pada seorang lelaki yang sebenarnya tidak asing baginya. Seorang jenderal yang memiliki hubungan kekeluargaan yang sangat dekat. Lelaki itu adalah Jenderal Wang Zhu. Lelaki yang sudah makan asam garam dalam dunia peperangan sejak muda.
Jenderal Wang Zhu adalah kakak sepupu dari Pangeran Wang Li dari jalur ayah. Hanya saja, ibunya dari kalangan rakyat biasa. Karena itu, kedudukannya tidak terlalu berarti di istana. Ayah dan ibunya memilih tinggal di luar istana dan menjadi warga biasa. Karena terlalu cinta pada sang istri membuat ayah Jenderal Wang Zhu memilih untuk keluar dari istana.
Karena permintaan dari ayahnya, raja terdahulu akhirnya merawat Jenderal Wang Zhu hingga dewasa. Karena keuletan dan kemampuan bertarungnya yang sudah jauh di atas rata-rata, lelaki yang memiliki wajah tampan itu diangkat menjadi seorang jenderal.
Sedari kecil, Jenderal Wang Zhu sudah tidak lagi merasakan kasih sayang orang tuanya karena mereka meninggal di saat dirinya berumur delapan tahun.
Walaupun sepupu, tetapi mereka tidaklah terlalu dekat. Umur mereka hanya terpaut dua tahun. Sikap Jenderal Wang Zhu yang pendiam membuatnya tidak mudah bergaul. Yang dilakukannya hanyalah berlatih beladiri dan memanah. Karena itu, dia menjadi salah satu jenderal muda yang sangat ditakuti dan disegani oleh kawan maupun lawannya.
Jenderal Wang Zhu menerima surat yang dibawa salah satu prajurit dan membacanya. Raut wajahnya seketika berubah. Dia mengangkat kepala dan mengedarkan pandangannya ke arah prajurit-prajuritnya yang tengah beristirahat.
“Kumpulkan semua pasukan! Ada yang harus aku sampaikan,” perintahnya pada pada salah satu anak buahnya.
Prajurit itu kemudian pergi dan melakukan perintahnya. Tanpa menunggu lama, semua prajurit yang ada di bawah naungan Jenderal Wang Zhu telah berkumpul.
Lelaki itu tampak gagah dan berkharisma. Wajahnya sangat tampan dengan warna kulit yang agak gelap karena sudah hampir sepuluh tahun berkutat di medan pertempuran. Jenderal Wang Zhu adalah seorang jenderal yang ahli dalam bertarung. Karena itu, dia selalu ditugaskan memimpin pasukan untuk menjaga perbatasan atau menjadi pasukan penghancur bagi pasukan musuh.
Selama hampir sepuluh tahun menjadi Jenderal, tidak sekali pun Jenderal Wang Zhu diizinkan untuk kembali ke istana. Jika dia sudah berhasil menaklukkan suatu daerah, maka dia akan kembali ditempatkan ke daerah lain. Seakan-akan tugasnya tidak pernah habis dan selalu ditempatkan di daerah yang berbahaya. Walau begitu, dia tidak pernah mengeluh apalagi menolak perintah itu.
Di depan pasukannya, Jenderal Wang Zhu berdiri. Dia mengedarkan pandangannya dan memandangi wajah-wajah prajuritnya. Wajah-wajah yang selalu setia menemaninya di saat berperang atau paling tidak saat mengumpulkan jenazah teman-teman mereka yang telah gugur.
Pasukan yang tak seberapa itu adalah pasukan yang berani mati untuk membela pemimpin dan juga negerinya. Mereka sangat loyal kepada Jenderal Wang Zhu. Di mata mereka, dia adalah pemimpin yang bijaksana dan peduli pada prajuritnya.
“Aku baru saja mendapatkan surat perintah dari istana yang memerintahkan kita untuk bergerak ke Wilayah Utara dan menjaga wilayah itu dari gangguan Kerajaan Wu,” ucap Jenderal Wang Zhu di depan pasukannya. Terlihat ekspresi kekecewaan. Mereka seolah lelah untuk berperang.
“Aku tahu kalian sudah merindukan keluarga kalian. Karena itu, aku janji kalau pertempuran ini adalah pertempuran terakhir kita. Aku akan meminta raja untuk memulangkan kalian.” Seketika raut wajah mereka tampak gembira. Akhirnya, mereka bisa kembali berkumpul bersama keluarga setelah dua tahun mengemban tugas dan jauh dari sanak keluarga.
Pasukan di bawah naungan Jenderal Wang Zhu sangatlah terlatih. Walau tak seberapa, tetapi mereka bisa menghancurkan konsentrasi lawan dengan taktik yang sangat jitu. Tak sedikit musuh akan lari tunggang langgang jika berhadapan dengan pasukan tersebut.
Iring-iringan pasukan berjalan menuju Wilayah Utara. Mereka sangat bersemangat karena ini adalah peperangan terakhir mereka.
Sebelum itu, Jenderal Wang Zhu sudah mengirimkan surat permohonan kepada Pangeran Wang Li agar setelah peperangan ini usai semua pasukannya harus diizinkan pulang dan diganti dengan pasukan yang lain. Permintaannya lantas disetujui oleh Pangeran Wang Li.
Dari jauh, terlihat gumpalan debu yang beterbangan saat pasukan Jenderal Wang Zhu memasuki Wilayah Utara. Setibanya di sana, dia lantas menemui Putri Ling.
“Silakan duduk, Jenderal.” Putri Ling mempersilakannya untuk duduk.
“Jenderal, terima kasih karena sudah bersedia membantu kami. Dengan kehadiran jenderal tangguh seperti Anda, aku yakin pasukan Kerajaan Wu akan berpikir dua kali untuk menyerang.” Putri Yuri memandang wajah lelaki itu. Wajah yang mengingatkannya pada Pangeran Wang Li.
“Jenderal, aku sudah menyiapkan pasukanku dan kita akan bersama-sama menjaga Wilayah Utara agar tidak jatuh ke tangan Kerajaan Wu. Aku tidak akan pernah bergabung dengan kerajaan itu.”
“Kenapa kamu menolak menjadi selir dari raja Kerajaan Wu? Seandainya kamu menerimanya, mungkin peperangan ini tidak akan terjadi.”
Mendengar ucapan lelaki itu, Putri Ling tersenyum kecut. “Jika aku menerima permintaannya maka cepat atau lambat negeri ini akan diserang. Raja mereka itu sangat rakus. Apa Tuan ingin negeri ini hancur di tangan Kerajaan Wu?”
“Aku tidak akan pernah membiarkan negeri ini hancur. Dengan tanganku sendiri, aku akan menjaga keutuhan negeri ini. Apa kamu pikir, aku tidak sanggup melakukannya?”
Putri Yuri tersenyum mendengar ucapan lelaki itu. “Ah, andai saja Pangeran Wang Li bersikap seperti Tuan, mungkin kita tidak perlu berperang. Kalau saja dia menerima tawaranku untuk menjadikanku sebagai selir, mungkin Kerajaan Wu akan berpikir ribuan kali untuk menyerang Wilayah Utara.”
“Itu berarti, kamu bukanlah wanita yang bisa menggoyahkan hati sepupuku itu. Yang aku dengar, hanya ratu yang dia cintai dan tidak akan pernah menerima wanita lain. Apa kamu tidak penasaran dengan wanita itu? Mungkin, kamu harus banyak belajar darinya,” ucap Jenderal Wang Zhu yang membuat Putri Ling kesal.
“Aku harus pergi. Segera perintahkan pasukanmu untuk bersiap-siap.” Jenderal Wang Zhu lantas meninggalkan Putri Ling yang memandangnya heran.
Hampir sepuluh ribu pasukan Kerajaan Wu sudah bergerak menuju perbatasan Wilayah Utara. Pasukan itu dipimpin oleh Raja Wu Zia sendiri bersama beberapa panglima perangnya.
Suara deru kuda bergema. Kepulan debu beterbangan di udara. Cuaca yang panas tidak menyurutkan semangat mereka. Sementara di seberang sana, pasukan Jenderal Wang Zhu sudah menunggu kedatangan mereka.
Di tengah lapangan yang luas, kedua pasukan itu saling berhadapan. Pasukan Kerajaan Wu berjumlah sekitar 10.000 orang. Sedangkan pasukan Jenderal Wang Zhu hanya setengahnya saja.
Melihat pasukan yang lebih sedikit dari mereka membuat Raja Wu Zia tersenyum sinis. “Cepat kita selesaikan peperangan ini dan bawa Putri Ling ke hadapanku!” seru Raja Wu Zia pada pasukannya. Lelaki itu terlihat angkuh dan percaya diri karena jumlah mereka lebih banyak.
Melihat pasukan musuh bergerak maju tidak membuat Jenderal Wang Zhu bergeming. Mereka masih berdiri, hingga pasukan musuh semakin mendekat.
“Pasukan panah, bersiaplah!” seru Jenderal Wang Zhu pada pasukan panah yang berada di belakang pasukan penghadang.
Di saat pasukan Kerajaan Wu semakin mendekat, pasukan penghadang kemudian menunduk. Di belakang mereka pasukan panah seketika berdiri dan menghujamkan ratusan anak panah ke arah pasukan Kerajaan Wu. Sontak, mereka terkejut dengan serangan tiba-tiba itu, tetapi sudah terlambat.
Ratusan anak panah melesat dan menacap di tubuh pasukan Kerajaan Wu. Suara erangan terdengar. Satu per satu prajurit Kerajaan Wu jatuh tersungkur dengan anak panah yang tertancap di tubuh mereka.
Melihat teman-teman mereka tumbang membuat pasukan Kerajaan Wu menjadi kocar kacir. Mereka tidak menyangka akan diserang secara tiba-tiba.
“Jangan panik! Ayo, maju!” perintah Raja Wu Zia sambil menerobos ke depan. Lelaki itu ternyata sangat andal. Dari atas kudanya, dia menghantam pasukan lawan tanpa ampun. Matanya merah menyala dengan mulut yang menyeringai. Sesekali dia berseru menyemangati pasukannya. Melihat raja mereka yang terus merangsek maju membuat pasukan yang kocar kacir bersatu kembali.
Sementara Jenderal Wang Zhu terus maju dan menghantam pedangnya ke arah pasukan lawan. Pasukan yang dua kali lebih banyak dari pasukannya itu seakan tak ada habisnya.
“Jenderal, pasukan mereka sangat banyak dan pasukan kita tidak bisa menyeimbangi. Banyak prajurit kita yang tewas. Sebaiknya, apa yang harus kita lakukan?” tanya seorang anak buah Jenderal Wang Zhu yang terlihat panik.
Jenderal Wang Zhu memerhatikan arena pertempuran. Benar saja, banyak prajuritnya telah tewas. Bau anyir darah tercium dan mengganggu indera penciumannya. Mata liarnya kemudian menangkap sosok yang sedari tadi berhasil membunuh pasukannya. Matanya tidak berpaling saat melihat sosok itu yang hanya berjarak beberapa meter dari tempatnya berdiri.
Jenderal Wang Zhu mengambil anak panah dan busur yang sedari tadi tergantung di punggungnya. Suara tali busur yang ditarik paksa terdengar. Bibirnya tersenyum sinis saat anak panah itu ditujukan pada sasaran. “Aku harus pulang,” gumamnya seiring anak panah yang dilepaskan dan menancap tepat di dada yang menjadi targetnya itu. Sontak, targetnya itu terjatuh dari atas kudanya dan tewas seketika.
Melihatnya tewas, pasukan Kerajaan Wu menjadi panik. Bagaimana tidak, sosok yang telah tewas itu adalah raja mereka. Melihat hal itu, mereka lantas meraih tubuhnya dan meninggalkan medan pertempuran. Beberapa prajurit yang terjebak lantas dibunuh. Bahkan, prajurit Kerajaan Wu yang terluka dan masih hidup pun tak luput dari ketajaman pedang mereka. Mereka tidak kenal ampun.
Medan pertempuran terlihat sepi. Yang tersisa hanya suara erangan dari prajurit yang terluka. Cuaca yang semula panas tiba-tiba mendung. Langit seketika menghitam dengan suara petir yang menggelegar. Titik-titik air hujan mulai turun dan membasahi arena pertempuran. Hujan semakin lebat, hingga tempat itu tergenang air yang bercampur darah.
Jenderal Wang Zhu turun dari atas punggung kuda. Mata sang Jenderal menatap dengan tajam ke arah mayat-mayat prajuritnya. Kedua tangannya mengepal melihat setengah pasukannya telah tewas. “Maafkan, aku.” Lelaki itu menunduk memberikan penghormatan terakhir. “Aku tidak akan melupakan jasa kalian,” lanjutnya.