Jenderal Wang Zhu masuk ke tendanya. Dia terduduk lesu menatap sekujur tubuhnya yang basah oleh darah dan air hujan yang menyatu. “Kenapa kalian membuatku menjadi pembunuh seperti ini? Apa aku tidak pantas hidup dengan kalian? Kenapa kalian selalu menyuruhku berperang?” Kedua tangannya mengepal.
Sejak muda, Wang Zhu remaja selalu dijauhkan dari lingkungan istana. Dia tidak pernah merasakan kasih sayang dari sang paman yang merupakan raja terdahulu. Sejak dibawa ayahnya ke istana, dia diperlakukan seperti bukan anggota istana. Bahkan, dia dilarang untuk bergaul dan berteman.
Ayahnya adalah anak tertua dan berhak untuk menjadi putra mahkota, tetapi rasa cintanya pada sang istri yang berasal dari kalangan rakyat biasa, memaksanya untuk meninggalkan kedudukan itu. Ayahnya tidak terobsesi dengan takhta. Dia ingin hidup bebas tanpa aturan dan kekangan dari siapa pun. Karena itu, adiknya yang merupakan raja terdahulu dan juga ayah dari Pangeran Wang Li yang mendapatkan kedudukan itu.
Wang Zhu muda sengaja dijauhkan dari istana karena mereka takut dia akan merebut posisi yang seharusnya menjadi milik ayahnya. Wang Zhu muda sama sekali tidak berpikir sampai sejauh itu, hingga suatu hari seorang mantan perdana menteri menceritakan kisah itu padanya.
“Kalau kamu mau, kamu bisa dengan mudah meraih takhta yang dulu seharusnya menjadi milikmu. Ayahmu adalah putra mahkota dan kamu berhak untuk menjadi raja selanjutnya.” Ucapan mantan perdana menteri itu kembali terngiang di telinganya.
Sudah dari dua tahun yang lalu dia mendengar kata-kata itu, tetapi dia tidak memedulikannya. Baginya, kedudukan hanya akan menjadikannya raja yang haus akan kekuasaan. Dia tidak ingin menjadi orang seperti itu.
Wang Zhu tidak merasakan kasih sayang dari orang tuanya sejak berumur delapan tahun. Dia tumbuh menjadi anak yang pendiam. Dia juga dipaksa untuk menjauhi orang-orang di sekitarnya.
Di depan orang, dia terlihat berwibawa dan tegas. Pembawaannya yang selalu tertutup membuat orang menganggapnya pendiam dan tidak mudah untuk didekati.
Di usianya yang terpaut dua tahun dengan Pangeran Wang Li, sepatutnya dia sudah memiliki seorang istri. Namun, Jenderal Wang Zhu bukanlah sosok yang mudah jatuh cinta. Setiap wanita yang ingin mendekatinya akan mundur perlahan. Sikapnya yang dingin di depan wanita, membuatnya dijauhi wanita-wanita itu.
Sebelum meninggalkan Wilayah Utara, Putri Ling menyiapkan sebuah pesta kecil-kecilan untuk merayakan kemenangan mereka.
Jenderal Wang Zhu keluar dari tendanya dengan penampilan yang berbeda. Biasanya, dia selalu terlihat mengenakan jubah jenderalnya, tetapi kini dia terlihat tampan dengan jubah putih yang dikenakannya. Dia lantas menuju kediaman Putri Ling.
Sesampainya di sana, dia disambut oleh Putri Ling dan beberapa lelaki yang merupakan petinggi di wilayah itu.
“Jenderal Wang, malam ini kami akan menyuguhkan pertunjukan yang menarik sebagai rasa terima kasih kami,” ucap Putri Ling padanya.
Lelaki itu dipersilakan duduk di kursi yang disediakan untuknya. Tak lama kemudian, beberapa wanita masuk ke ruangan itu. Wanita-wanita itu adalah para penari yang sengaja diundang untuk menghibur mereka.
Seorang wanita yang membawa kecapi mulai memainkan alat musik itu. Petikan kecapi terdengar merdu diiringi tarian dari beberapa orang wanita.
Jenderal Wang Zhu menatap wanita-wanita itu. Dia meneguk segelas arak yang dituangkan Putri Ling untuknya. “Apa kalian mengundangku hanya untuk melihat mereka menari?” Jenderal Wang Zhu meletakkan gelas di atas meja.
“Apakah Tuan tidak meyukainya? Kalau Tuan tidak suka, aku akan menyuruh mereka untuk berhenti.”
“Tidak usah. Sepertinya, pejabat-pejabatmu itu sangat menikmatinya.” Matanya menatap ke arah pejabat-pejabat yang rupanya tengah asyik menyaksikan wanita-wanita itu menari.
“Terima kasih karena sudah mengundangku, tapi maaf, aku harus kembali ke pasukanku. Tidak mungkin aku bersenang-senang di sini sementara setengah pasukanku telah tewas.” Jenderal Wang Zhu kemudian bangkit. Pejabat-pejabat itu menatap ke arahnya. Wanita-wanita penari pun sontak menghentikan tariannya.
Jenderal Wang Zhu kemudian meninggalkan tempat itu dan kembali ke tendanya. Putri Ling dan semua orang yang ada di tempat itu hanya bisa menatap kepergiannya tanpa bisa melakukan apa pun.
Keesokkan harinya, semua pasukan sudah bersiap-siap. Mereka akan kembali ke istana. Prajurit yang terluka dibawa dengan beberapa kereta yang disediakan oleh Putri Ling.
“Terima kasih atas semua yang sudah kalian berikan pada pasukanku. Aku sangat menghargai itu,” ucap Jenderal Wang Zhu pada Putri Ling.
“Jangan sungkan untuk datang ke sini. Mulai saat ini, Tuan adalah warga kehormatan Wilayah Utara. Tuan akan disambut jika datang ke sini lagi.”
Jenderal itu tersenyum. “Terima kasih, kami harus segera pergi.” Jenderal Wang Zhu lantas memacu kudanya perlahan dan diikuti pasukannya dari belakang. Putri Ling dan semua warga desa menunduk dan memberi hormat pada mereka.
Setelah melakukan perjalanan beberapa jam, akhirnya mereka sampai di pintu gerbang istana. Melihat Jenderal Wang Zhu datang bersama pasukannya, prajurit yang menjaga gerbang menunduk memberi hormat. Pintu gerbang lantas dibuka
Jenderal Wang Zhu melihat sekeliling istana yang sudah lama tidak dikunjunginya. Semua tampak berbeda. Istana yang diingatnya terlihat sangat jauh berbeda dengan istana yang sekarang dilihatnya.
Jenderal Wang Zhu turun dari atas kuda saat seorang kasim datang mendekatinya. “Tolong obati prajurit-prajuritku yang terluka.”
“Baik, Tuan. Yang Mulia Raja sudah memerintahkan para tabib untuk mengobati mereka. Sekarang, izinkan saya untuk membawa Tuan menemui Yang Mulia.”
Sepanjang jalan, Jenderal Wang Zhu tampak mengedarkan pandangannya. Dia begitu takjub dengan suasana istana yang jauh berbeda. Di sisi jalan, banyak tumbuh aneka bunga yang sedang mekar. Bunga-bunga itu sengaja ditanam untuk mempercantik lingkungan istana. Tampak beberapa pohon sakura yang mulai berbunga, hingga membuat lingkungan istana tampak lebih sejuk.
“Bunga-bunga itu ditanam sendiri oleh Yang Mulia Ratu. Dia sangat menyukai bunga. Karena itu halaman istana penuh dengan tanaman bunga,” jelas kasim saat melihat Jenderal Wang Zhu yang tampak tertegun dengan pemandangan istana.
Jenderal Wang Zhu hanya mengangguk dan masih mengedarkan pandangannya, hingga pandangannya tertuju pada sosok wanita. Wanita itu sedang tersenyum saat melihat beberapa dayang memetik bunga untuknya. Wajah yang terlihat cantik itu seakan menghipnotisnya dan memaksanya untuk menghentikan langkahnya. “Siapa wanita itu?”
“Dia adalah Yang Mulia Ratu,” jawab kasim.
Jenderal Wang Zhu kembali melanjutkan langkahnya. Namun, dia masih sempat melihat ke arah Li Jia.
Di dalam sebuah ruangan, Pangeran Wang Li tampak duduk sambil membaca sebuah
buku. Saat kasim memberitahukan perihal Jenderal Wang Zhu, lelaki itu lantas mempersilakannya untuknmasuk.
“Hormat hamba, Yang Mulia,” ucap Jenderal Wang Zhu sambil menunduk.
“Bangkitlah, tidak perlu seperti itu.” Pangeran Wang Li lantas bangkit dan mendekati Jenderal Wang Zhu. “Jangan bersikap seperti itu. Bagaimanapun kita adalah saudara. Kamu adalah kakak sepupuku karena itu bersikaplah seperti saudara.” Pangeran Wang Li tersenyum dan memeluk lelaki itu.
“Aku sudah mendengar keberhasilan pasukanmu mengalahkan pasukan Kerajaan Wu dan aku berterima kasih untuk itu. Untuk semua pasukanmu akan aku bebas tugaskan setahun ke depan. Bagi yang gugur akan aku berikan tunjangan untuk keluarga mereka. Kalau ada yang kurang, kamu bisa mengutarakannya padaku.”
“Terima kasih, Yang Mulia. Hamba rasa itu sudah lebih dari cukup.”
Melihat pemuda yang kini duduk di depannya membuat Pangeran Wang Li tersenyum. “Boleh aku memanggilmu Kakak Zhu?”
Jenderal Wang Zhu menatapnya heran. “Tapi, Yang Mulia …. ”
“Mulai sekarang aku akan memanggilmu Kakak Zhu karena kamu adalah Kakakku. Aku sudah menyiapkan kamar untuk Kakak dan sebaiknya Kakak beristirahat. Sebentar malam aku akan mengundang Kakak ke paviliun untuk bertemu dengan istri dan juga anakku,” ucap Pangeran Wang Li yang terlihat antusias.
Jenderal Wang Zhu tersenyum dan mengangguk. “Kalau begitu aku akan ke kamar sebentar. Nanti malam aku akan datang ke paviliun.”
Lelaki itu kemudian pamit dan pergi ke kamarnya. Kamar yang begitu mewah membuatnya tertegun. “Kamar yang sangat nyaman,” gumamnya seraya membuka jubah yang sedari tadi dipakainya. Rasanya, dia begitu bebas untuk pertama kalinya.
Dengan langkah gontai, dia mendekati tempat tidur yang terlihat empuk dan nyaman. “Pasti rasanya sangat nyaman jika berbaring di tempat tidur ini,” gumamnya sambil duduk di atas tempat tidur itu. Dia lantas merebahkan tubuhnya.
“Ah, nyaman sekali,” ucapnya sambil memejamkan mata dan menikmati kenyamanan yang sudah lama tidak dirasakannya.
Tiba-tiba, matanya terbuka. Sekelebat wajah seseorang mengganggu hatinya. “Ah, kenapa senyumannya masih terbayang dalam ingatanku? Apa yang terjadi padaku?” batinnya seakan ingin menyangkal kalau senyuman Li Jia telah menggetarkan hatinya.
Untuk pertama kali dalam kehidupannya, hati seorang Wang Zhu yang selalu dingin terasa hangat hanya karena senyuman yang tak sengaja dilihat dari seorang wanita yang telah bersuami.
“Apa yang terjadi padaku?” Lelaki itu mengusap wajahnya kasar. Dia merasa terganggu dengan senyuman itu. Senyuman yang membuatnya nyaman, hingga tenggelam dalam buaian hangat selimut yang menutupi tubuhnya yang kekar.
Setelah beristirahat sebentar, Jenderal Wang Zhu lantas bersiap menuju ke paviliun. Dia tampak gagah dengan balutan jubah berwarna biru.
“Yang Mulia, Jenderal Wang Zhu sudah datang,” ucap kasim sambil mengetuk pintu.
“Masuklah.”
Pintu terbuka. Jenderal Wang Zhu lantas masuk dan mendapati Pangeran Wang Li duduk di sebuah kursi dengan meja bundar di depannya. Di atas meja sudah tersedia kudapan dan beberapa botol arak. “Duduklah.”
“Terima kasih, Yang Mulia.”
“Jangan memanggilku seperti itu. Panggil saja Adik Li. Itu akan terdengar lebih enak di telingaku,” ucap Pangeran Wang Li sambil tersenyum.
“Rasanya sangat beruntung karena memiliki seorang Kakak. Waktu kecil aku sering melihat Kakak berlatih. Sebenarnya aku juga ingin berlatih bersama Kakak, tapi ayah tidak mengizinkanku.”
Mendengar hal itu, Jenderal Wang Zhu hanya tersenyum.
“Kakak Zhu, mulai saat ini aku akan mengangkat Kakak sebagai penasehatku. Kakak tidak keberatan, kan?”
“Aku ini hanya seorang jenderal perang. Kalau ingin menanyakan tak tik perang, aku bisa membantu. Namun, untuk masalah istana, aku tidak yakin bisa membantu,” ucapnya merendah.
“Kakak Zhu harus menerima keputusanku. Bukankan perintah raja harus dipatuhi?”
Kedua lelaki itu tampak akrab. Mereka menikmati hidangan dan bercengkerama membicarakan masalah yang tengah dihadapi istana. Namun, kehadiran Li Jia yang menggandeng sang putra mengalihkan keduanya.
Melihat ayahnya, Pangeran Wang Yi berlari mendekati sang ayah. “Ayah,” panggilnya manja.
Pangeran Wang Li lantas menggendong sang putra seraya tersenyum “Putraku, beri salam pada pamanmu.”
“Salam Paman,” ucapnya seraya menunduk. Jenderal Wang Zhu tersenyum dan mengangguk pelan.
Melihat Li Jia, pemuda itu lantas menundukkan kepala dan memberi hormat. “Hormat hamba, Yang Mulia Ratu.”
“Jangan seperti itu. Panggil saja aku Adik Jia. Suamiku sudah menjelaskan padaku dan aku juga akan memanggilmu Kakak Zhu. Itu adil, kan?” Li Jia tersenyum. Senyuman yang membuat lelaki itu kembali menundukkan pandangannya.
“Kita adalah keluarga. Jadi, bersikaplah seperti layaknya keluarga.”
Pangeran Wang Li mengajak Li Jia untuk duduk bersama mereka. Sementara putra mereka telah dibawa oleh Dayang Lin.
Melihat dirinya diperlakukan dengan baik oleh raja dan ratu membuat Jenderal Wang Zhu merasa canggung. Dia tidak pernah diperlakukan seperti itu sebelumnya. Apalagi dianggap sebagai keluarga.
Jenderal Wang Zhu menikmati kebersamaan mereka. Kedua lelaki itu tertawa sambil menikmati suguhan arak. Pangeran Wang Li tampak mabuk. Dia begitu senang karena telah memiliki seorang saudara sekaligus teman.
“Sepertinya, aku harus kembali. Adik Li sudah terlalu mabuk,” ucap Jenderal Wang Zhu pada Li Jia. Dia lantas bangkit dari berjalan menuju pintu.
“Aku minta maaf, karena suamiku mabuk seperti ini. Sepertinya, dia sangat bahagia dengan kehadiran Kakak Zhu. Selama ini dia hanya sendiri tanpa seorang saudara maupun sahabat. Aku harap, Kakak Zhu tidak kecewa,” ucap Li Jia.
“Jangan khawatirkan itu. Aku juga senang karena masih ada yang menganggapku sebagai saudara. Terima kasih karena kalian sudah menyambutku malam ini.”
“Istriku,” panggil Pangeran Wang Li yang tengah terbaring setengah mabuk.
“Sepertinya aku harus pergi. Kembalilah dan tolong jaga Adik Li.”
“Seringlah berkunjung ke sini. Tempat ini akan selalu terbuka untuk Kakak.”
Jenderal Wang Zhu tersenyum sembari mengangguk. Dia lantas pergi.
“Istriku,” panggil Pangeran Wang Li yang sudah berdiri di belakang Li Jia. Lelaki itu lantas memeluknya dari belakang.
“Suamiku, apa kamu terlalu bahagia hingga mabuk seperti ini?”
“Ayolah, kita ke kamar. Malam ini aku ingin kamu memanjakanku,” ucap Pangeran Wang Li manja.
“Baiklah,” ucap Li Jia sambil memapah suaminya ke kamar.
Jenderal Wang Zhu masih berdiri di luar. Dengan jelas dia bisa mendengar pembicaraan mereka. Entah mengapa dia masih berdiri di tempat itu. Melihat kebahagiaan mereka, ada rasa iri yang tiba-tiba muncul.
Rasa iri karena Pangeran Wang Li mempunyai istri yang cantik dan perhatian. Dia iri karena sepupunya itu telah memiliki seorang putra. Tak hanya itu, kekuasaan dan takhta juga dimiliki oleh lelaki itu. “Apa aku pantas iri padanya? Ah, kenapa kebahagiaannya begitu menggangguku?” batin Jenderal Wang Zhu. Dia lantas pergi.