Pangeran Wang Li duduk di samping pembaringan sambil menatap istrinya yang masih tertidur. “Istriku, maafkan aku karena tidak bisa melindungimu. Maafkan, aku,” ucapnya sambil mengelus lembut wajah istrinya itu.
Tiba-tiba, Li Jia membuka matanya. Tatapannya kosong dengan raut penuh kecemasan. “Suamiku! Suamiku!” panggil Li Jia panik. Tampak air mata jatuh di sudut matanya.
“Istriku, tenanglah. Jangan takut, kita sudah aman. Kita baik-baik saja,” ucap Pangeran Wang Li sambil memeluknya.
“Suamiku, kamu tidak apa-apa, kan?” tanya Li Jia sambil memeriksa sekujur tubuh suaminya itu.
“Tenanglah, aku baik-baik saja. Kita selamat karena Kakak Zhu dan Pengawal Yue datang menolong kita. Jadi, kamu jangan takut lagi.” Pangeran Wang Li memeluk istrinya erat. Li Jia kini menangis di dalam pelukannya. Dia takut jika harus kembali kehilangan orang yang dicintainya.
“Suamiku, maafkan aku. Seharusnya kita tidak pergi ke sana. Aku tidak ingin kehilangan lagi,” ucap Li Jia yang memeluk erat Pangeran Wang Li.
“Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Kalaupun aku harus mati, aku ingin mati denganmu dan berada di sampingmu. Jadi, jangan pernah takut selama kita bersama karena aku akan selalu menjagamu.”
Li Jia mengangguk dan mengeratkan pelukannya. Air matanya jatuh mendengar penuturan suaminya itu.
“Sekarang istirahatlah dan jangan pernah takut lagi. Aku akan selalu menemanimu. Ayo, sekarang kita tidur.”
Lelaki itu lantas berbaring di samping sang istri. Kedua tangannya mendekap erat tubuh istrinya itu. “Istriku, jangan pernah takut karena rasa takut hanya akan membuatmu lemah. Lupakankah kejadian buruk yang pernah kamu alami dan ingatlah kebahagiaan yang sudah kita lewati bersama. Ingatlah tentang kita,” ucap Pangeran Wang Li. Dia menitikkan air mata karena tersentuh dengan sikap Li Jia yang begitu takut kehilangan dirinya.
“Baiklah, aku akan berusaha menghilangkan ketakutanku dan kenangan buruk di masa laluku. Aku hanya akan mengingat masa-masa bahagia kita. Aku akan lakukan itu, aku berjanji padamu.”
Li Jia menghapus air mata suaminya dan tersenyum padanya. “Aku mencintaimu dan akan selalu mencintaimu.”
Pangeran Wang Li tersenyum seraya mengecup bibir sang istri. Dia kembali tenang.
Li Jia telah berjanji untuk memberikan yang terbaik untuk suami dan putranya. Dia akan membuat mereka bahagia. Dia akan selalu mendampingi Pangeran Wang Li, hingga takdir memisahkan mereka dengan kematian.
Li Jia sangat bersyukur karena telah dipertemukan dengan seorang lelaki yang begitu mencintainya. Kehangatan pelukan Pangeran Wang Li membuatnya melupakan rasa takutnya. Wanita itu kini terbuai lelap dalam dekapan yang enggan untuk dilepaskan.
Sementara di halaman paviliun, Jenderal Wang Zhu menatap ke ruangan di mana Li Jia berada. Rasa cemas pada Li Jia begitu mengganggunya, hingga memaksa kakinya melangkah menuju ke paviliun. Namun, setibanya di sana, langkahnya terhenti. Walaupun perasaan cemas begitu mengganggunya, tetapi tidak mungkin baginya untuk memperlihatkan rasa cemas yang sudah terlalu berlebihan itu di depan mereka.
Melihat lampu di dalam ruangan itu telah padam membuat Jenderal Wang Zhu akhirnya pergi. Terselip rasa cemburu yang tiba-tiba menyeruak, hingga membuatnya mengepalkan kedua tangannya.
Walaupun perasaan iri dan cemburu ingin ditepisnya, tetapi rasanya begitu sulit karena rasa cinta yang sudah terlanjur hadir tidak bisa membuatnya untuk mundur.
Jenderal Wang Zhu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur seraya membayangkan senyuman Li Jia. “Aku akan menunggu. Aku akan menyimpan perasaan ini hingga saat itu tiba. Aku tidak menginginkan apa pun kecuali kasih sayangmu. Yang aku butuhkan hanya kasih sayang dan perhatianmu, sama seperti yang kamu berikan untuknya. Apa aku salah jika mencintai dan mengharapkan kasih sayangmu itu?” Jenderal Wang Zhu tampak menitikan air mata. Air mata karena kerinduannya akan kasih sayang yang sama sekali tak pernah dia rasakan sebelumnya.
Keesoakn harinya, Li Jia terbangun. Dia terkejut karwna tidak melihat suaminya di sampingnya. Dia lantas bangkit dan menemui Dayang Lin.
“Dayang Lin, di mana suamiku?”
“Yang Mulia sedang keluar sebentar. Sebaiknya, Yang Mulia Ratu beristirahat.”
Li Jia masih berdiri dan samar-samar dia mendengar tawa putranya dari arah halaman.
“Pangeran sedang bermain dengan Jenderal Wang Zhu. Dia tadi ingin menjenguk Yang Mulia Ratu, tapi karena Yang Mulia Ratu belum bangun, makanya di masih menunggu di halaman dan bermain bersama pangeran,” jelas Dayang Lin.
“Oh, begitu, ya. Kalau begitu, aku harus bersiap dan menyambutnya.”
Dayang Lin lantas menyiapkan keperluan Li Jia dan membantunya mengenakan pakaian. Setelah itu, Li Jia menemui Jenderal Wang Zhu dan putranya di halaman.
Melihat Li Jia, Jenderal Wang Zhu lantas mendekatinya. “Adik Jia, kamu tidak apa-apa, kan?”
Li Jia tersenyum sembari mengangguk. “Aku baik-baik saja, Kak. Ini semua karena Kakak yang sudah menolongku dan juga suamiku. Terima kasih, Kakak Zhu.” Li Jia menundukkan kepalanya di depan lelaki itu sebagai tanda terima kasih.
“Ah, jangan menunduk padaku. Bukankah, itu sudah kewajibanku? Ayo, lebih baik Adik Jia duduk saja. Biar aku yang bermain bersama pangeran.”
Jenderal Wang Zhu lantas mendudukan Li Jia di salah satu kursi taman. Melihat ibunya, Pangeran Wang Yi mendekatinya. “Ibu, apa Ibu sedang sakit?” tanya bocah itu.
“Sebaiknya Pangeran jangan mengganggu ibu. Pangeran main saja dengan Paman. Ayo!”
Jenderal Wang Zhu lantas mengajaknya bermain. Wajah polosnya selalu tertawa lepas, hingga membuat Li Jia ikut tersenyum.
Melihat putranya tertawa riang , Li Jia merasa bahagia. Dia lantas mendekati putranya itu dan memeluknya. “Ibu sangat menyayangimu, Nak.” Li Jia lantas menggendongnya dan menari bersamanya. Rasa takut seketika menghilang saat bersama dengan putranya itu.
Melihat senyuman dan tawa bahagia Li Jia membuat Jenderal Wang Zhu terpaku. Di depannya, dia melihat wanita yang begitu dikaguminya hingga membuatnya larut dalam hayalan. Andaikan saat ini, wanita itu adalah istrinya dan bocah itu adalah putranya, alangkah dia sangat bahagia. Hidupnya pasti tidak akan sia-sia dan bahagia bersama mereka. Rasa cinta dan kasih sayang yang sudah terlanjur dirasakan pada Li Jia membuatnya ingin menumpahkan rasa cinta dan sayangnya pada mereka.
Dia lantas mendekati mereka. Tangan kokohnya tiba-tiba meraih tubuh Pangeran Wang Yi dan meletakkannya di atas pundaknya. Bocah itu tampak tertawa riang saat Jenderal Wang Zhu berlari mengelilingi taman. Melihat mereka, Li Jia tersenyum.
“Biarkan aku menikmati saat-saat indah ini bersama kalian. Bagiku kalian adalah keluargaku dan aku ingin memiliki kalian hanya untukku. Li Jia, maafkan aku karena telah mencintaimu. Biarkan aku menikmati saat indah ini bersama kalian dan tetaplah tersenyum seperti ini untukku,” batin Jenderal Wang Zhu sambil sesekali memandangi wajah Li Jia yang tersenyum.
“Ayah!” panggil Pangeran Wang Yi saat melihat ayahnya yang baru saja datang. “Paman, cepat turunkan aku!”
Jenderal Wang Zhu lantas menurunkannya. Bocah itu kemudian berlari ke arah ayahnya dan memeluknya. Pangeran Wang Li lantas menggendong putranya sembari mendekati sang istri. Dengan mesranya, dia mengecup kening istrinya itu. “Maafkan aku karena pergi tanpa pamit. Kamu tidak marah, kan?”
“Aku tidak marah. Lagipula kami tidak kesepian karena ada Kakak Zhu yang menemani kami di sini.”
“Kakak, terima kasih karena sudah menemani istri dan anakku,” ucap Pangeran Wang Li pada lelaki itu.
“Sudahlah. Aku juga tidak keberatan untuk menemani mereka. Aku bahkan sangat berterima kasih karena bisa bermain dengan keponakanku. Ah, sebaiknya aku pergi. Aku tidak ingin mengganggu kebersamaan kalian.”
“Kenapa Kakak buru-buru pergi? Ayo, temani aku sebentar! Ada hal yang ingin aku bicarakan dengan Kakak,” ucap Pangeran Wang Li sambil mengajaknya duduk.
“Kakak, apakah Kakak mempunyai seseorang yang spesial di hati Kakak? Maksudku, apakah Kakak tidak ingin menikah?” tanya Pangeran Wang Li membuka pembicaraan.
“Kenapa bertanya seperti itu? Apa dengan menikah kamu pikir aku akan bahagia? Sudahlah, aku belum ingin menikah,” elaknya sambil meneguk secangkir teh.
“Kakak, bagaimana kalau aku mencarikan calon istri buat Kakak. Kakak sudah sepantasnya untuk menikah dan menetap di istana dengan keluarga Kakak karena aku tidak akan membiarkan Kakak kembali ke arena peperangan,” jelas Pangeran Wang Li tulus.
“Apa kamu bisa mencarikanku wanita seperti Adik Jia? Ah, itu tidak mungkin.”
Pangeran Wang Li tersenyum seraya melihat Li Jia yang tengah bermain bersama putranya. Ya, dia merasa sangat beruntung karena memiliki wanita itu. Wanita yang sangat dicintainya, hingga membuatnya takut kehilangan.
“Ah, istriku adalah wanita yang sudah membuatku jatuh hati sejak pertama kali bertemu. Aku tidak yakin apa masih ada wanita di luar sana yang bisa menyamainya.”
Jenderal Wang Zhu tampak menahan cemburu saat melihat tatapan Pangeran Wang Li yang tertuju pada Li Jia. Tatapan yang penuh rasa cinta. Tanpa sadar, kedua lelaki itu kini mengarahkan pandangan ke arah Li Jia. Di mata keduanya, Li Jia mempunyai tempat yang istimewa di hati mereka karena wanita itu memiliki sesuatu yang begitu mereka dambakan, yaitu kasih sayang, cinta dan kesempurnaan sebagai seorang wanita.
Walau sudah ditawarkan untuk menikah, tetapi Jenderal Wang Zhu tetap menolak. Dia tidak ingin menikah dengan wanita mana pun. Hati dan cintanya telah terpaut pada Li Jia, hingga dia tidak ingin menikahi wanita mana pun.
Jenderal Wang Zhu akhirnya kembali tanpa ada keputusan darinya. Pangeran Wang Li merasa bersalah karena sudah memaksanya untuk menikah.
“Suamiku, jangan pikirkan hal itu. Kita tidak bisa memaksakan Kakak Zhu untuk menikah karena bisa saja dia sudah mempunyai calon istri. Tenanglah, aku akan mencoba membujuknya.”
“Baiklah. Aku percayakan semuanya padamu.”
Benar saja, Li Jia lantas mengundang Putri Ling. Entah mengapa, dia ingin wanita itu dekat dengan Jenderal Wang Zhu.
“Terima kasih karena sudah bersedia memenuhi undanganku. Kalau tidak keberatan, aku ingin kita berdua menemani kedua lelaki itu berburu di hutan,” jelas Li Jia sambil melirik suaminya dan Jenderal Wang Zhu yang sedang berbincang tak jauh dari mereka..
“Baiklah, aku akan ikut,” ucap Putri Ling menyanggupi.
Kedua wanita itu kemudian bersiap-siap. Setelah semua persiapan telah rampung, mereka akhirnya memutuskan untuk pergi.
“Yang Mulia, apa tidak sebaiknya beberapa orang prajurit ikut dan mengawal Yang Mulia? Bagaimana jika Yang Mulia …. ”
“Jangan khawatir karena ada Jenderal Wang Zhu bersamaku. Lagipula, hutan itu masih dalam kawasan istana dan tidak mungkin ada orang lain di sana,” jelas Pangeran Wang Li.
Melihat Li Jia duduk berdua di atas kuda bersama Pangeran Wang Li membuat Putri Ling menolak untuk menaiki tandu. “Tuan, maafkan aku, tapi apa bisa aku pergi denganmu? Aku tidak mungkin naik tandu sementara Yang Mulia Ratu naik kuda. Lagipula, aku tidak bisa menunggangi kuda sendirian,” ucap Putri Ling pada Jenderal Wang Zhu.
“Baiklah.” Jendral Wang Zhu kemudian mendudukan Putri Ling di atas kudanya.
Kedua kuda itu pun dipacu menuju sebuah hutan yang tidak terlalu jauh dari istana. Tak berapa lama kemudian, mereka berhenti di suatu lahan kosong yang biasa dijadikan tempat untuk mendirikan tenda.
“Sebaiknya, kalian menunggu kami di sini. Istriku, jangan meninggalkan tempat ini dan tunggu kami.”
“Baiklah, aku dan Putri Ling akan menunggu di sini. Kalian berhati-hatilah.”
Kedua lelaki itu kemudian mengikat kuda mereka di sebatang pohon. Mereka lantas masuk ke dalam hutan.
Pangeran Wang Li berjalan mengendap sembari memegang busurnya. Tak jauh darinya, Jenderal Wang Zhu melakukan hal yang sama.
Tiba-tiba, seekor kelinci berlari di depan mereka. Sontak, keduanya melepaskan anak panah.Tubuh kelinci itu terpental dengan dua anak panah yang tertancap di perutnya.
Melihat kelihaian Pangeran Wang Li membuat Jenderal Wang Zhu tertegun. “Kemampuannya ternyata boleh juga,” batinnya.
Pangeran Wang Li kembali berjalan mengendap-endap karena melihat seekor rusa yang sedang makan rumput. Anak panah yang sedari tadi bertengger di busurnya kemudian dia lepaskan dan mengenai perut rusa itu, tetapi tepat di leher rusa itu juga tertancap sebuah anak panah yang dilesatkan oleh Jenderal Wang Zhu yang berada tidak jauh darinya. Pangeran Wang Li lantas tersenyum.
Kedua lelaki itu terus masuk ke dalam hutan dan masih mencari hewan buruan mereka. Namun, langkah mereka terhenti karena seekor serigala tiba-tiba menyerang Pangeran Wang Li.
Serigala itu mengamuk dan menggigit lengannya. Untung saja Pangeran Wang Li mengenakan jubah khusus untuk berburu, hingga gigitan itu tidak melukainya. Dengan gesitnya, Pangeran Wang Li membanting tubuh serigala itu ke tanah. Dia lantas mengambil sebilah pisau yang disematkan di sela-sela sepatunya dan menusuknya ke bagian perut serigala itu.
Serigala itu mengerang dan berontak saat pisau itu menusuk perutnya, hingga tubuhnya benar-benar diam tak bergerak saat Pangeran Wang Li kembali menancapkan pisau itu untuk kedua kalinya.
“Adik Li, menunduklah!” seru Jenderal Wang Zhu sambil mengarahkan anak panah ke arahnya. Seketika, Pangeran Wang Li menuduk seiring anak panah yang melesat ke arahnya.
Pangeran Wang Li menoleh ke belakang dan menemukan seekor serigala sudah terkapar tak bernyawa dengan sebuah anak panah yang tertancap tepat di jantungnya.
Jenderal Wang Zhu lantas berlari dan mendekati Pangeran Wang Li. “Adik Li, kamu tidak apa-apa, kan?”
“Aku tidak apa-apa. Terima kasih karena Kakak sudah menyelamatkanku dari terkaman serigala itu.”
“Sudahlah, lebih baik kita pergi. Sepertinya, semakin kita ke dalam hutan kita akan menemukan banyak serigala. Aku rasa, kita harus menyisakan mereka untuk perburuan kita selanjutnya. Cepatlah, kita harus kembali karena sebentar lagi akan turun hujan.”
Kedua lelaki itu kemudian kembali dan menemui dua orang wanita yang sudah menunggu mereka.
“Di mana istriku?” tanya Pangeran Wang Li saat tidak menemukan istrinya di tempat itu..
“Maaf, Yang Mulia. Yang Mulia Ratu sedang mencari ranting kering. Katanya untuk membuat api unggun, tapi sudah dari tadi Yang Mulia Ratu belum juga kembali.”
Mendengar penuturan Putri Ling membuat Pangeran Wang Li begitu khawatir. Dia kemudian kembali masuk ke dalam hutan untuk mencari istrinya itu.
Sementara Jenderal Wang Zhu juga merasakan hal yang sama. Dia begitu cemas saat tahu kalau wanita yang menjadi alasannya untuk ikut perburuan belum kembali sajak tadi. “Tunggulah di sini. Aku akan membantu mencari Adik Jia.”
Lelaki itu kemudian masuk ke dalam hutan, tetapi dengan arah yang berbeda dengan Pangeran Wang Li.
Sementara di dalam hutan, Li Jia tergeletak di atas semak dengan bibir yang mulai membiru. Tubuhnya tidak bisa bergerak karena pengaruh bisa ular yang perlahan menjalar di pembuluh darahnya. Matanya menatap nanar dengan pandangan yang mulai samar. Mulutnya meracau takaruan.
Seekor ular dengan ukuran yang tidak terlalu besar bergerak cepat dari balik semak saat Li Jia menarik sebatang ranting kering. Ular itu lantas menggigit kakinya. Sontak, Li Jia terperanjat sambil memegang kakinya yang terluka.
Seketika, tubuhnya melemah. Dia tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Dia terbaring tak berdaya. Samar-samar, dia mendengar seseorang memanggilnya, tetapi dia sama sekali tidak bisa menyahut panggilan itu.
“Suamiku, maafkan aku,” batinnya seiring air mata yang jatuh.
Hujan tiba-tiba turun dengan deras dan membasahi sekujur tubuhnya. Kini, dia terbaring pasrah karena kematian akan datang menjemputnya.
Bayangan wajah suami dan putranya bermain di pelupuk matanya, hingga membuatnya menitikkan air mata. “Apa aku harus mati dengan cara seperti ini?”
Tiba-tiba, dia merasakan tubuhnya dipeluk seseorang. Samar-samar dia mendengar suara tangisan. Matanya nanar, hingga tidak bisa melihat jelas orang yang kini tengah memeluknya. “Suamiku, apa itu dirimu?” batin Li Jia yang kemudian tidak sadarkan diri dan terkulai lemah di dalam pelukan orang itu.