Sejak menari di istana, nama Li Jia mulai terkenal seantero negeri. Dia dikenal karena telah berhasil membuat Raja dan selirnya kagum atas tariannya. Sejak saat itu, dia sering diundang untuk menari di rumah pejabat ataupun bangsawan.
Li Jia dikenal sebagai penari yang menutupi wajahnya. Karena itulah, banyak yang sangat penasaran dengan rupa wajahnya. Ada yang beranggapan kalau Li Jia menutupi wajah karena memiliki cacat di wajahnya itu. Ada juga yang beranggapan kalau dia menutupi wajah karena parasnya yang jauh dari kata cantik. Walau begitu, dia selalu saja diundang untuk menari.
“Apa kamu sudah menemukan orang yang kamu cari?” tanya Yi Wei saat Li Jia baru saja kembali dari menari. Gadis itu menggeleng karena sekuat apa pun dia mencari tetap saja dia tidak bisa menemukan orang yang dicarinya itu.
“Apa mungkin selama ini aku salah mengenali orang? Aku juga tidak yakin kalau aku akan mengenalinya,” ucapnya sedih.
Sudah sepuluh tahun berlalu dan Li Jia tidak menemukan wajah orang-orang yang telah menghancurkan desanya. Setiap orang yang datang ke Rumah Pelangi tak luput dari perhatiannya, tetapi tak satu pun yang dikenalinya. Dia telah berputus asa dan tidak berharap untuk menemukan pembunuh keluarganya lagi.
“Kamu harus bersabar, mungkin sebaiknya kamu mengikhlaskan semuanya. Dendam tidak akan membuatmu hidup dengan nyaman karena dendam akan terus menyiksamu. Li Jia, belajarlah untuk ikhlas, aku yakin kamu pasti bisa menerimanya.” Yi Wei mencoba menasihatinya. Bagaimanapun, hidup tetap harus berjalan.
Li Jia memikirkan nasihat Yi Wei untuk mengikhlaskan kematian kedua orang tua dan penduduk desanya. Walau berat, dia berusaha untuk menuruti nasihat wanita itu. Dia akan melupakan dendamnya dan menjalani hidup dengan baik.
“Li Jia, aku tidak akan menahanmu untuk tetap tinggal di sini. Aku tak peduli walau mereka menganggap aku menganakemaskan dirimu, karena aku sudah menganggapmu seperti adikku sendiri,” ucap Yi Wei saat mereka sedang duduk bercengkerama di dalam ruangan miliknya.
“Kalau ada lelaki baik yang mencintaimu dan kamu pun mencintainya, maka pergilah dengannya. Bahagialah dengannya dan jalani hidupmu tanpa dendam. Aku sudah memikirkannya untuk membiarkanmu pergi,” lanjutnya sambil meneguk segelas teh melati.
Li Jia hanya terdiam. Dia merasa sedih saat mendengar ucapan wanita itu. Walau tinggal di Rumah Pelangi yang identik dengan wanita penghibur, tetapi Yi Wei tidak pernah membiarkan dirinya menjadi wanita penghibur.
Semua keterampilan yang diketahui Yi Wei sudah diajarkan pada Li Jia. Namun, tak sekali pun dia meminta gadis itu untuk menemani tamu di tempat tidur.
Dulu, Yi Wei adalah gadis muda yang kurang beruntung. Orang tuanya tewas karena konflik perang. Dia bertahan hidup sejak usianya menginjak 15 tahun. Hidup sebatang kara dan tidak punya tempat tinggal membuat Yi Wei harus berkeliling untuk mencari sesuap nasi, hingga takdir menuntunnya pada sebuah bangunan yang menjadi pusat para wanita-wanita cantik di negeri itu. Dirinya menjadi salah satu wanita yang paling cantik dan menjadi primadona karena kecantikan dan kelihaiannya dalam menari. Karena itulah, dia dipercaya oleh pemilik lama dari Rumah Pelangi untuk mengelola tempat itu.
Perjalanan hidupnya yang mirip dengan Li Jia membuat Yi Wei begitu perhatian pada gadis itu. Dia tidak ingin Li Jia menjadi seperti dirinya yang hidup bergelimang dosa. Karena itu, dia tidak mengizinkan Li Jia melayani tamu di dalam kamar.
Tak hanya kisah hidupnya yang kelam. Akan tetapi kisah cintanya pun tak kalah pelik. Dulu, Yi Wei pernah mencintai seorang pemuda dan pemuda itu pun mencintainya. Walau pemuda itu tahu Yi Wei adalah wanita pegnghibur, tetapi dia tetap mencintai wanita itu.
Kisah cinta mereka berakhir tragis karena pemuda itu akhirnya tak mampu mengelak dari tuntutan orang tuanya yang memaksa mereka untuk berpisah. Dia rela melepaskan Yi Wei dan menikah dengan gadis pilihan orang tuanya. Namun, pemuda itu mengakhiri hidupnya karena kekecewaan pada Yi Wei yang memutuskan hubungan mereka. Dia bunuh diri dengan cara meminum racun tepat di malam pernikahannya.
Sejak saat itu, Yi Wei menutupi hatinya untuk cinta. Dia merasa bersalah karena dirinya, sang kekasih nekat menghabisi nyawanya sendiri. Karena itu, dia sangat berhati-hati saat melihat Li Jia didekati oleh beberapa pemuda. Yi Wei selalu memperingatkan gadis itu untuk lebih berhati-hati dengan lelaki mana pun.
“Li Jia, ada utusan dari Nona Liu Yen yang memintamu untuk menari di kediamannya,” ucap Yi Wei.
“Nona Liu Yen? Memangnya, siapa gadis itu?” tanya Li Jia penasaran.
“Dia adalah putri dari Perdana Menteri Liu. Ada rumor yang beredar kalau gadis itu akan menjadi permaisuri. Dia sangat berambisi untuk menikah dengan pangeran,” jelas Yi Wei.
Li Jia coba mengingat pangeran itu. Dan dia cukup kagum karena sang pangeran memiliki wajah yang sangat tampan.
“Kenapa? Apa menurutmu pangeran itu sangat tampan?” Li Jia tersenyum kecut. Walau tak bisa dipungkiri kalau pemuda itu memang memiliki ketampanan yang sempurna.
“Sebaiknya kamu bersiap-siap. Ah, sejak menari di istana waktu itu, kamu sering diundang untuk menari. Apa tidak sebaiknya aku mencarikanmu seorang pengawal pribadi?” tanya Yi Wei yang mulai khawatir dengan keadaan Li Jia.
“Ah, itu tidak perlu.” Li Jia menolak, tetapi Yi Wei sudah mencari pengawal pribadi yang bisa menjaga dan melindungi gadis itu.
Yi Wei meminta salah satu pengunjung di Rumah Pelangi yang memiliki informasi tentang pengawal yang bisa dipercaya. Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya dia menemukan seorang pengawal yang sudah diakui memiliki keterampilan bertarung yang cukup mumpuni dan kesetiaan yang tidak diragukan lagi.
Pagi itu, pengawal yang dimaksud sudah datang ke Rumah Pelangi. Dia datang setelah sebelumnya Yi Wei bertemu dengannya. “Apa kamu sudah siap untuk bekerja?” tanya Yi Wei pada pemuda itu.
“Aku siap, Nyonya!” jawabnya tegas. Yi Wei cukup puas karena pemuda itu memberi kesan yang sangat baik.
“Baiklah. Hari ini kamu mengawal Nona Li Jia ke rumah Perdana Menteri Liu. Dia akan menari di sana. Kamu tahu ‘kan tugas apa saja yang harus kamu kerjakan?”
“Aku tahu, Nyonya. Aku akan menjaga dan melindunginya dengan nyawaku sendiri,” jawab pemuda itu.
“Kalau begitu kamu tunggu di sini. Aku akan melihat persiapannya sebentar.”
Pemuda itu lantas menunduk dan berdiri di depan pintu. Li Jia yang baru selesai berdandan lantas keluar dari kamar bersama Yi Wei. Pemuda itu lantas menunduk memberi hormat pada kedua wanita itu.
“Mulai sekarang, dia yang akan menjadi pengawal pribadimu.”
Li Jia menatap pemuda itu dari balik penutup wajahnya. Dia cukup kagum karena pemuda itu memiliki postur tubuh yang sempurna. Tubuhnya kekar dengan gurat tegas yang terlukis di tulang rahangnya.
“Siapa namamu? tanya Li Jia.
“Namaku Lian, Nona.”
“Baiklah, Lian. Ayo, kita berangkat!” Li Jia lantas berjalan meninggalkan tempat itu. Lian lantas mengikutinya dari belakang.
Pintu kereta dibuka oleh Lian. Li Jia lantas masuk dan duduk di dekat jendela. Sementara pemuda itu hanya berdiri di samping kereta. Saat kereta berjalan, Lian kemudian mengikutinya.
“Kenapa dia berjalan kaki? Perjalanan ini cukup jauh, apa dia mampu berjalan kaki sejauh itu?” batin Li Jia saat melihat Lian berjalan di samping kereta.
“Tunggu sebentar! Hentikan keretanya!” perintah Li Jia.
Lian lantas mendekat ke arahnya. “Ada apa, Nona? Apa ada yang ketinggalan?” tanya pemuda itu.
“Carikan kuda untukku!”
Lian heran dengan permintaan gadis itu. Tak membantah, dia lantas mencari kuda dan membawanya di depan Li Jia.
“Kalau aku boleh tahu, untuk apa kuda ini, Nona?”
“Kuda itu untukmu,” jawab Li Jia singkat.
“Itu tidak perlu, Nona. Aku …. ”
“Kalau kamu menolak, aku akan memerintahkan mereka untuk kembali dan kamu akan bertanggung jawab pada Nyonya. Apa kamu mau aku melakukan hal itu?”
“Tidak, Nona. Baiklah, aku akan menunggangi kuda itu.”
“Baguslah! Sekarang kita pergi.”
Lian lantas naik ke atas punggung kuda dan berjalan di samping kereta yang membawa Li Jia. Sepanjang perjalanan, pemuda itu menatap lurus ke depan. Tatapan matanya begitu tajam seakan sedang mengawasi setiap orang yang mereka lewati.
Dari jendela kereta, Li Jia memerhatikannya dan dia yakin kalau pemuda itu adalah orang yang baik.
Saat kereta melintasi padang bunga, Li Jia memerintahkan untuk berhenti. Dari jendela, dia memerhatikan padang bunga yang saat itu tengah mekar. Karena penasaran, dia memutuskan untuk turun dari kereta. Di sisi jalan, dia melihat hamparan bunga yang merekah dan bergoyang saat diterpa semilir angin yang meniup syahdu.
Di balik penutup wajahnya, Li Jia menarik napas seakan ingin menghirup harumnya semerbak serbuk sari yang terbawa tiupan angin. Dia begitu kagum dengan kecantikan pemandangan yang membuatnya terpesona.
“Tempat ini sangat indah, kan?” tanya Li Jia pada Lian yang berdiri tak jauh darinya.
“Iya, Nona. Tempat ini sangat indah,” jawab Lian mengiakan.
Memang benar kalau tempat itu sangat indah. Bunga yang berwarna putih terlihat bak gumpalan awan yang mengambang di atas tanah. Bunga-bunga itu bergerak seirama dengan tiupan angin yang menerpa lembut. Li Jia menatap takjub dan enggan meninggalkan tempat itu.
“Nona, sebaiknya kita melanjutkan perjalanan,” ucap Lian yang membuyarkan lamunan Li Jia. Gadis itu lantas kembali ke kereta dan medeka pun melanjutkan perjalanan.
Tak lama kemudian, mereka tiba di depan sebuah rumah yang sangat megah. Halaman rumah itu tampak luas dengan pengawalan yang cukup ketat.
Lian membuka pintu kereta dan mempersilakan Li Jia untuk turun. Dari balik penutup wajah, dia melihat keramaian karena satu per satu para tamu mulai berdatangan.
“Ayo, Nona, kita masuk,” ujar Lian sambil nenunjukkan arah jalan. Melihat pemuda itu, Li Jia cukup kagum karena tanpa menunggu perintah darinya, pemuda itu sudah tahu apa yang seharusnya dilakukan olehnya.
Benar saja, pelayan rumah itu sudah menyiapkan ruangan khusus untuk mereka. Di ruangan itu, Li Jia tengah mempersiapkan diri untuk penampilannya. Sementara Lian, menunggu di depan pintu ruangan itu.
Li Jia rupanya tak datang sendiri. Yi Wei turut memerintahkan lima orang penari untuk mendampingi gadis itu.
Acara yang digelar rupanya mengundang tamu yang tidak sedikit. Sebuah panggung sudah dipersiapkan untuk acara tarian nanti.
Li Jia membuka pintu ruangan dan keluar bersama lima orang penari lainnya. Mereka tampak mengenakan hanfu yang sama, tetapi hanfu yang dikenakan Li Jia berbeda dari kelima penari tersebut.
“Ayo, sekarang waktunya kita tampil,” ucap Li Jia sambil berjalan menuju sisi panggung. Kelima penari dan Lian lantas berjalan mengikutinya dari belakang.
Seorang penyanyi baru saja selesai tampil. Suara tepuk tangan mengiringi wanita itu saat turun dari atas panggung. Li Jia lantas memberikan isyarat pada kelima penari lainnya untuk bersiap-siap.
Suara musik pengiring tarian mengalun perlahan. Kelima penari lantas naik ke atas panggung dengan membentuk formasi yang cukup apik. Setelah menari beberapa gerakan, Li Jia lantas naik ke atas panggung saat kelima penari itu membentuk formasi untuk menutupi dirinya.
Kelima penari itu mengelilingi Li Ji yang sudah berada di tengah-tengah mereka. Di saat formasi dipecah, Li Jia muncul dari tengah dengan tariannya yang sangat memukau. Kini, Li Jia berada di atas panggung seorang diri. Dia menari dengan gemulai bak seekor angsa di atas danau. Tariannya cukup memukau, hingga semua tamu undangan menatap takjub ke arahnya.
Di depannya, dia bisa melihat pangeran duduk di samping seorang gadis cantik. Gadis itu tampak memandangi Li Jia dengan seksama.
Dari balik penutup wajah, dia melihat pangeran yang terus melihat padanya. Tak peduli dengan tatapan pemuda itu, Li Jia terus menyuguhkan tariannya, hingga tarian itu berakhir.
Li Jia menunduk memberi hormat di depan pangeran dan gadis itu. Walau baru pertama kali melihat gadis itu, tetapi dia yakin kalau gadis tersebut adalah Nona Liu Yen, putri dari Perdana Menteri Liu.
Li Jia lantas berjalan menuju salah satu pelayan dan mengambil gelas yang sudah terisi minuman. Li Jia kemudian berdiri di depan pangeran dan Nona Liu Yen. “Izinkan aku untuk bersulang buat Nona Liu. Aku ucapkan selamat dan panjang umur.” Li Jia lantas meneguk minumannya saat pangeran dan gadis itu mengangkat gelas dan meminum minuman mereka. Semua tamu yang ada di tempat itu ikut melakukan hal yang sama.
“Ah, tidak di sangka kita bisa bertemu lagi,” ucap pangeran sambil melayangkan senyumnya pada Li Jia. “Liu Yen, aku tidak tahu kalau kamu mengundang penari yang sangat berbakat ini. Aku sungguh beruntung karena bisa melihat penampilannya lagi,” ucap pangeran pada gadis itu.
“Hamba ikut senang kalau Pangeran juga senang.” Gadis itu lantas tersenyum.
Setelah pertunjukkannya selesai, Li Jia kemudian kembali ke ruangannya dengan ditemani oleh Lian. Tarian yang dibawakannya rupanya cukup menguras tenaga, hingga dia bermaksud untuk beristirahat di ruangan itu. Namun, saat mereka hampir sampai di ruangan itu, langkah mereka terhenti karena dihadang oleh tiga orang pemuda.
Melihat ketiga pemuda itu, Lian lantas melindungi Li Jia. Gadis itu diminta untuk berdiri di belakangnya. Tanpa membantah, Li Jia menuruti perintah pemuda itu.
“Maaf, biarkan kami lewat,” pinta Lian sesopan mungkin pada ketiga pemuda itu.
Ketiga pemuda itu lantas tertawa. Mereka melihat ke arah Li Jia yang bersembunyi di belakang Lian.
“Sebaiknya kamu pergi saja. Kami tidak punya urusan denganmu. Kami hanya ingin melihat bagaimana wajah wanita yang sudah membuat semua orang terpesona dengan tariannya. Kami penasaran seperti apa wajahnya. Ah, sana pergi!” Salah satu pemuda mencoba mengusir Lian, tetapi pemuda itu bergeming.
Ketiga pemuda itu lantas mengelilingi mereka. Li Jia memegang lengan Lian dengan erat. Merasa terancam, Lian lantas mengeluarkan pedangnya dan bersiap untuk melawan.
“Apa yang kalian lakukan?” Suara seorang pemuda mengagetkan ketiga pemuda itu. Melihatnya, ketiga pemuda itu terlihat ketakutan.
“Liang Yi, cepat tangkap mereka!”