“Istriku, apa yang baru saja kamu katakan?”
Li jia terperanjat. Ucapan yang tanpa sadar terlontar untuk mendiang suaminya telah membuat Kaesar Wang Zhu menatapnya. “Suamiku, aku mencintaimu.” Li Jia terpaksa mengatakan itu. Kedua tangannya lantas memeluk lelaki yang kini tersenyum.
“Apa itu benar?” tanya Kaisar Wang Zhu yang masih belum percaya.
Li Jia mengangguk. “Apa kamu masih tidak percaya padaku?” Li Jia lantas membelakanginya.
Lelaki itu tersenyum dan mendekatinya. Dia lantas memeluk Li Jia dari belakang dan mengecup pipinya. “Aku percaya, sangat percaya,” bisiknya lembut.
Lelaki itu memeluk Li Jia smbil memejamkan matanya. Dia menyandarkan kepalanya di pundak istrinya itu. “Istriku, aku sangat mencintaimu. Terima kasih karena telah mencintaiku.”
Sejak saat itu, Kaisar Wang Zhu selalu berada di sisinya. Di saat luang, dia selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi Li jia walau hanya sekadar untuk mengecup keningnya.
Hingga, suatu hari lelaki itu menemui Li Jia dan memintanya untuk bersiap. Lelaki itu akan mengajaknya ke suatu tempat. Li Jia pun menyanggupinya.
Li Jia menatap hamparan laut yang terbentang di depannya. Dia memejamkan mata sambil menghirup aroma laut yang begitu khas. Sementara Kaisar Wang Zhu berdiri sambil memeluknya dari belakang. “Apa kamu menyukai tempat ini?”
Li Jia mengangguk dengan mata terpejam. Dia begitu menikmati embusan angin yang menerpa wajahnya. Melihatnya tersenyum, lelaki itu mengeratkan pelukannya.
Suara deburan ombak membuat Li Jia tergoda. Dia lantas mendekati bibir pantai dan berjalan di atas pasir putih. Deburan ombak memukul perlahan dan menyingkirkan butiran pasir di kakinya. Air laut yang terasa menyejukkan mulai menarik hatinya. Dia tersenyum saat kakinya kembali diterpa ombak hingga membuatnya mengangkat hanfunya yang basah.
Dia tertawa sambil berlari pelan saat deburan ombak mengejarnya. Melihatnya tertawa, Kaisar Wang Zhu mendekatinya. Dia lantas mengangkat tubuh istrinya menghindar dari deburan ombak.
Li Jia tertawa sambil melingkarkan kedua tangannya di leher Kaisar Wang Zhu. Untuk sesaat, dia lupa kalau saat ini dia sedang bersandiwara, tetapi nyatanya keindahan pantai telah membuatnya meluapkan rasa senangnya tanpa kepura-puraan.
Di atas batu, Li Jia duduk sambil mengayunkan kakinya yang diterpa deburan air laut yang mulai pasang. Langit yang mulai senja membuat tempat itu terlihat indah. Matahari yang terbenam di balik hamparan laut membuatnya tak jemu memandang, hingga langit mulai gelap memaksanya untuk meninggalkan tempat itu.
“Aku akan sering-sering mengajakmu ke sini,” ucap Kaisar Wang Zhu saat mereka sudah meninggalkan tempat itu.
“Tempat ini sangat indah. Aku sangat menyukainya,” jawab Li Jia sambil menyandarkan tubuhnya di dada Kaisar Wang Zhu. Rasanya dia begitu lelah, hingga membuatnya tidak bisa menegakkan tubuhnya sendiri. Dia memejamkan matanya. Kepalanya terasa berat.
“Istriku, ada apa denganmu?” tanya Kaisar Wang Zhu saat melihat Li Jia yang hanya bersandar. Napasnya memburu dengan peluh yang membasahi wajahnya.
Kaisar Wang Zhu terlihat panik hingga menghentikan kudanya. Tangannya meraba dahi istrinya itu. “Istriku, kamu sedang demam,” ucapnya panik.
Dia lantas memacu kudanya. Tak berapa lama, mereka sampai di istana. Dia lantas membopong Li Jia dan membawanya ke kamar.
Seorang tabib datang dan memeriksa keadaan Li Jia. Setelah memeriksa, tabib itu memberitahukan perihal kondisi Li Jia pada Kaisar Wang Zhu. “Selamat, Yang Mulia. Saat ini, Ratu tengah mengandung,” ucap tabib tersebut. Sontak, Kaisar Wang Zhu terkejut.
“Mengandung? Apa itu berarti aku akan menjadi seorang ayah?” tanya lelaki itu masih tidak percaya.
“Benar, Yang Mulia.”
Lelaki itu menitikkan air mata bahagia. Dia lantas menggenggam tangan Li Jia yang masih terbaring lemah. “Istriku, aku sangat bahagia karena aku akan menjadi seorang ayah. Terima kasih karena sudah memberikan hadiah yang sangat berharga bagiku,” ucapnya sambil mengecup kening istrinya itu.
Kaisar Wang Zhu tak sedetik pun meninggalkan Li Jia. Dia merawat istrinya dengan penuh perhatian. Li Jia perlahan membuka matanya dan melihat lelaki itu duduk di depannya sambil menggenggam tangannya. Dia berniat untuk bangkit, tetapi Kaisar Wang Zhu melarangnya.
“Istriku, beristirahatlah. Mulai sekarang, kamu harus menjaga kesehatanmu karena kamu tengah mengandung anak kita.”
Li Jia terperanjat. Dia tidak percaya kalau saat ini dia tengah mengandung anak dari lelaki yng sangat dibencinya. Dia mengepalkan tangannya seakan tidak terima dengan permainan takdir. Dia kini menangis.
“Kenapa kamu menangis? Apa kamu menyesal karena …. ”
Li Jia menggeleng. Dia tidak menyesal atau membenci bayi yang saat ini bersemayam si rahimnya. Dia hanya menangisi takdir yang selalu menguji hidupnya. Di saat dia membenci, semesta mengujinya dengan menghadirkan sosok penawar kebenciannya. Walau sulit, dia harus bisa menerima. Apa pun keadaannya, bayi itu akan tetap dia pertahankan.
“Mulai sekarang, kamu jangan lakukan apa pun. Jagalah kandunganmu karena aku tidak ingin terjadi apa-apa padamu dan juga bayi kita,” ucap Kaisar Wang Zhu sambil mengelus perut istrinya itu. Li Jia hanya pasrah.
Dayang Lin lantas ditugaskan untuk mengurus segala keperluan Li Jia. Dari makanan dan obat, wanita itu yang akan mengurusnya.
“Nyonya, apa Nyonya yakin dengan kehamilan ini?” tanya Dayang Lin sesaat setelah Kaisar Wang Zhu pergi.
“Apa aku harus membunuh bayi ini? Aku tidak menginginkannya, tapi Dewa telah menitipkannya padaku. Lalu, aku harus bagaimana?” Li Jia menahan air matanya.
“Tapi, Nyonya, dia telah membunuh Yang Mulia dan memisahkan pangeran dengan Nyonya. Nyonya, kenapa Nyonya masih bisa bertahan dengan semua ini?”
Li Jia sadar, jalan yang ditempuhnya sudah terlalu jauh dan tidak mungkin baginya untuk mundur. Dia harus bertahan. Walau apa pun yang terjadi, dia akan tetap bertahan hingga melihat lelaki itu hancur di depan matanya.
“Dayang Lin, apa pun yang terjadi aku mohon tetaplah ada di sampingku. Hanya dirimu yang aku percaya di tempat ini. Berita kehamilan ini cepat atau lambat pasti akan tersebar dan pasti ada yang tidak suka. Karena itu, tolong awasi siapa pun yang masuk ke sini. Walaupun aku tidak menginginkan bayi ini, tapi aku tidak ingin dia mati. Bagaimanapun, dia adalah darah dagingku. Aku harap kamu mengerti.”
“Baik, Nyonya. Jangan khawatir, aku akan awasi siapa pun yang masuk ke sini. Aku juga akan meminta dayang dapur untuk memasak makanan khusus untuk Nyonya,” ucap Dayang Lin yang kemudian meminta undur diri.
Benar saja, kabar kehamilannya tersebar begitu cepat. Mendengar hal itu, Ratu Ling tampak gelisah. Dia tidak menyangka jika wanita yang dibencinya itu kini tengah mengandung anak dari suaminya. “Apa yang harus aku lakukan? Jika dia melahirkan seorang pangeran, aku pasti akan disingkirkan. Itu tidak boleh terjadi,” batinnya.
Dia lantas memanggil Yuan. Kegelisahannya dia tumpahkan pada lelaki itu.
“Ratu Ling, tenanglah.”
“Bagaimana aku bisa tenang kalau posisiku akan dilengserkan oleh wanita itu. Aku sangat membencinya!” ucapnya marah.
“Apa Ratu ingin aku melakukan sesuatu padanya?”
Wanita itu memandanginya. “Apa yang bisa kamu lakukan?”
“Aku akan membunuhnya.”
“Yuan, apa kamu sadar? Kalau sampai ketahuan, kepalamu bisa dipenggal.”
“Jangan khawatir. Aku akan melakukannya secara halus. Tenanglah, biar aku yang akan mengurusnya,” ucap Yuan dengan senyum liciknya. Karena rasa cintanya pada Ratu Ling membuatnya rela melakukan apa saja termasuk membunuh.
Malam itu, dia telah siap melancarkan rencananya. Saat itu, Kaisar Wang Zhu belum keluar dari ruang kerjanya. Sementara Li Jia tengah tertidur. Dayang Lin dan beberapa dayang lainnya sudah beristirahat. Di depan pintu kamar hanya ada empat orang prajurit yang berjaga-jaga.
Dari balik pepohonan, tampak beberapa bayangan hitam berkelebat. Mereka tampak lincah hingga dengan mudah bisa lolos dari pengawasan. Tiba-tiba, mereka melayangkan anak panah hingga menancap di dada keempat penjaga yang berdiri di depan pintu. Sontak, keempat penjaga itu ambruk.
Setelah dirasa aman, mereka lantas bergegas masuk ke dalam kamar. Empat orang dari mereka lantas berjaga di depan pintu. Sementara dua orang lainnya menuju ke arah Li Jia yang masih tertidur.
“Cepat, bunuh dia dan kita selesaikan tugas kita,” ucap salah seorang dari mereka.
Salah seorang lelaki sudah berdiri di dekat Li Jia dengan pedang yang siap dihunuskan. Sementara seorang lagi sudah bersiap untuk membekap mulut Li Jia agar tidak berteriak.
Lelaki yang sudah mengeluarkan pedangnya itu kemudian mengangkat pedangnya dan bersiap menancapkan pedang itu ke perut Li Jia. Namun, pintu kamar terempas. Empat orang temannya telah terkapar. Li Jia tersentak. Tubuhnya lantas ditarik dengan pedang yang sudah mengarah ke lehernya.
“Letakkan pedang kalian dan menyerahlah. Kalau tidak, kalian akan merasakan kemarahanku. Jika kalian menyentuhnya sedikit saja, kalian tidak akan aku ampuni!” seru Kaisar Wang Zhu yang sudah berdiri bersama Dayang Lin.
“Nyonya, maafkan aku,” ucap Dayang Lin dengan rasa bersalah.
Li Jia menitikan air mata. Dia takut jika saat ini akan mati. Dia takut jika tidak dapat membalaskan dendamnya.
Melihat Li Jia menangis ketakutan membuat Kaisar Wang Zhu tidak tahan. “Lepaskan istriku! Aku akan memberikan apa pun untuk kalian asalkan kalian melepaskannya!”
Para prajurit berdatangan dan mengepung tempat itu. Mustahil bagi mereka untuk lolos. Mereka tidak punya kesempatan untuk bisa melarikan diri.
Rupanya, rencana mereka tidak berjalan sesuai rencana karena Dayang Lin tidak sengaja melihat mereka. Melihat prajurit sudah terkapar membuat Dayang Lin berlari dan memberitahukannya kepada Kaisar Wang Zhu yang berada tidak jauh dari tempat itu.
“Apa yang harus kita lakukan? Kita sudah tidak punya pilihan,” bisik salah satu dari mereka.
Sambil menyandera Li Jia, mereka berjalan keluar dari kamar dan menuju halaman. Karena sudah terpojok, mereka gunakan Li Jia sebagai sandera.
“Lepaskan istriku! Kalau tidak kalian akan aku bunuh!” ancam Kaisar Wang Zhu sambil mengambil busur dan anak panah dari salah satu prajuritnya.
“Jika kalian tidak ingin mati, lepaskan istriku!” teriak Kaisar Wang Zhu dengan anak panah yang sudah mengarah kepada lelaki yang kini menyandera istrinya, tetapi lelaki itu bergeming.
“Bunuh saja, tapi setelah dia mati!” seru lelaki itu dengan pedang yang siap menggorok leher Li Jia, tetapi anak panah yang dilesatkan Kaisar Wang Zhu berhasil melumpuhkannya. Pedang terlepas dari tangannya.
Sontak, semua prajurit menyerang kedua orang itu. Kaisar Wang Zhu terlihat marah. Dia mengambil pedang lelaki itu dan mendekatinya. Dengan sekali tebasan, kepala lelaki itu terlepas dari tubuhnya.
“Jangan pernah menyentuh istriku dengan tangan kotor kalian. Kalian pantas mati. Tangkap mereka dan cari tahu siapa yang menyuruh mereka!” perintahnya geram.
Li Jia terkejut saat melihat kepala lelaki itu menggelinding di atas tanah. Seketika wajahnya memucat. Dia terdiam. Kaisar Wang Zhu lantas menghampirinya dan menutup matanya dengan tangannya. “Maafkan aku,” ucapnya sambil memeluk Li Jia yang diam terpaku.
Melihat kepala lelaki yang terlepas dari raganya membuat Li Jia trauma. Tubuhnya tidak mampu untuk berdiri hingga hampir terjatuh andai Kaisar Wang Zhu tidak segera meraih tubuhnya.
Melihat keadaan istrinya seperti itu membuatnya semakin marah. “Pengawal, jangan biarkan mereka lolos! Tangkap mereka hidup-hidup. Aku ingin tahu siapa yang sudah menyuruh mereka!” perintahnya. Dia lantas membawa Li Jia ke dalam kamar.
Salah satu lelaki masih bertahan walau dia telah terkepung. Dia berusaha melawan. Namun, perlawanannya sia-sia. Sebuah anak panah melesat dari balik pepohonan dan menancap di dadanya. Lelaki itu tersungkur.
Melihat anak panah dari balik pepohonan membuat semua prajurit berlari ke tempat itu, tetapi tidak menemukan siapa pun di sana.
“Cari tahu siapa mereka. Aku tidak ingin peristiwa ini terulang lagi. Prajurit, mulai hari ini tempatkan pasukan di setiap sudut tempat ini. Dayang Lin, panggilkan aku tabib, sekarang!”
“Baik, Yang Mulia.”
Dayang Lin berlari meninggalkan tempat itu. Kaisar Wang Zhu lantas membaringkan Li Jia. Dia tampak pucat dan gemetar.
“Istriku, aku mohon jangan membuatku takut.” Kaisar Wang Zhu menggenggam tangan istrinya yang dingin dan gemetar.
Tak lama, Dayang Lin datang dengan seorang tabib.
“Tabib, cepat periksa istriku! Kenapa dia gemetar seperti itu?” tanya Kaisar Wang Zhu khawatir.
Tabib itu kemudian memeriksa Li Jia. Dia terkejut karena denyut nadinya berdetak sangat cepat. “Yang Mulia, saat ini Ratu sedang ketakutan. Mungkin, Ratu melihat sesuatu yang membuatnya takut,” jelas tabib itu.
Kaisar Wang Zhu mengerti. Istrinya ketakutan karena melihatnya memenggal kepala lelaki itu. “Maafkan aku, istriku. Aku begitu marah hingga melakukaannya di depanmu. Maafkan aku,” ucapnya menyesal.
“Tabib, kandungannya tidak apa-apa, kan?”
“Kondisi kandungan Ratu baik-baik saja. Untuk sementara, biarkan Ratu istirahat. Aku akan menyiapkan ramuan obat untuknya” ucap tabib itu sambil berjalan keluar dan diikuti Dayang Lin dibelakangnya.
Kaisar Wang Zhu menatap istrinya yang mulai tenang. Di lehernya tampak memerah karena tangan lelaki yang menyanderanya begitu erat mencengkeramnya. Dia mengelus lembut leher yang memerah itu. Ada rasa bersalah di hatinya karena tidak bersama istrinya saat kejadian itu. “Maafkan aku karena tidak ada di sampingmu. Aku tidak tahu apa jadinya kalau terjadi sesuatu padamu. Terima kasih karena kamu masih hidup dan tidak meninggalkanku,” ucapnya yang kini menitikkan air mata.
Sementara itu, bayangan hitam yang berkelebat di balik pepohonan dengan mudah lolos dari pengawasan penjaga. Di dalam kamarnya, dia terlihat marah sambil memukul meja. “Dasar orang-orang payah! Hampir saja ketahuan jika aku tidak segera bertindak. Aku harus menemui ratu untuk mengingatkannya,” ucap lelaki itu yang tidak lain adalah Yuan. Malam itu juga, dia berniat menemui ratu, tetapi langkahnya terhenti saat melihat Kaisar Wang Zhu datang ke kamar ratu.
Kaisar Wang Zhu mendobrak pintu kamar hingga membuat Ratu Ling terkejut. “Suamiku, ada apa ini?”
Tanpa berkata, Kaisar Wang Zhu mendekati Ratu Ling dan mencekik lehernya hingga tersandar ke dinding. “Apa kamu yang menyuruh mereka untuk membunuh istriku?” tanya Kaisar Wang Zhu dengan tatapan yang tajam.
“Apa maksudmu? Aku tidak melakukan apa pun padanya,” elak Ratu Ling yang ketakutan.
Lelaki itu tidak percaya begitu saja. Tangannya semakin kuat mencekik leher wanita itu hingga membuatnya tidak bisa bernapas. “Apa kamu pikir aku akan percaya? Kamu melakukannya karena kamu cemburu padanya. Iya kan?” bentak Kaisar Wang Zhu yang semakin kuat mencekik lehernya.
Melihat Ratu Ling diperlakukan seperti itu membuat Yuan segera masuk dan berlutut di depan Kaisar Wang Zhu. “Yang Mulia, tolong ampuni Ratu. Sungguh, Ratu tidak mungkin melakukan itu,” ucapnya memohon.
Kaisar Wang Zhu menatapnya. “Jika sampai aku menemukan bukti yang mengarah padamu, maka aku akan menggantung kalian berdua di alun-alun kota,” ucap Kaisar Wang Zhu sambil melepaskan tangannya dari leher Ratu Ling. Seketika, wanita it terduduk dan bersandar di dinding. Dia terbatuk-batuk sambil memegang lehernya. Kaisar Wang Zhu kemudian meninggalkan tempat itu
“Ratu, maafkan aku. Seharusnya aku tidak melakukannya. Hukumlah aku karena sudah membuatmu mengalami masalah,” ucap Yuan sambil berlutut di depannya.
“Apa kamu yang melakukannya?” Yuan menatapnya seraya mengangguk.
“Kalau ingin membunuhnya, lakukanlah yang benar. Apa kamu ingin aku mati di tangan Kaisar Wang Zhu?”
“Maafkan aku. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Maafkan aku,” ucap Yuan sambil menunduk.
“Lakukan saja. Selama kamu bisa menutupi bukti, aku akan menerima perlakuannya padaku. Bunuhlah dia! Aku sudah muak dengannya!”
Melihat kebencian di mata Ratu Ling membuat Yuan terlihat sedih. Untuknya, dia akan melakukan apa pun. Karena rasa cintanya, dia rela walau harus berkorban nyawa.
“Kenapa kamu harus berbuat sejauh ini hanya karena lelaki yang tidak mencintaimu? Tidakkah kamu tahu kalau aku sangat mencintaimu? Kalau aku mampu, aku ingin membawamu pergi dari sini dan hidup bersama di Wilayah Utara, tapi hatimu hanya untuknya walau dirimu harus menanggung luka.” Yuan menitikkan air mata. Dia kemudian bangkit dan meninggalkan Raru Ling yang kini menangis dalam diam.