Pendekar Cinta dan Dendam episode 48

Chapter 48

Jauh di desa, Pangeran Wang Yi dan Liang Yuwen tumbuh menjadi pemuda dengan kemampuan bertarung yang cukup hebat. Tak hanya itu, keduanya juga memiliki wajah yang tampan. Saat ini, keduanya sedang berhadapan dengan segerombolan pencuri.

“Kakak, aku akan hadapi yang sebelah kiri dan Kakak hadapi yang sebelah kanan, bagaimana?” tanya Liang Yuwen saat mereka sudah dikepung oleh delapan orang lelaki yang tidak terima dituduh sebagai pencuri.

“Baiklah, jika kamu bisa dengan cepat mengalahkan mereka, maka ubi rebusku akan menjadi milkmu, tapi jika aku yang …. ”

“Iya, iya. Ubi rebusku akan menjadi milik Kakak,” sergah Liang Yuwen yang sudah paham dengan perkataan kakaknya itu.

“Bersiaplah, sekarang kita serang mereka!” seru Pangeran Wang Yi yang bergegas menyerang empat orang lelaki di sebelah kanannya. Dengan lincahnya, dia menyerang dengan tangan kosong. Serangannya begitu terarah, hingga keempat orang itu kewalahan.

Sementara Liang Yuwen tak kalah hebat. Dengan gesitnya, dia menyerang keempat orang itu. Rupanya, kehebatan mereka berdua tidak bisa dianggap enteng. Walau mereka diserang dengan pedang, keduanya bisa mengelak hanya dengan sebatang kayu.

“Adik Yuwen, berhati-hatilah!” seru Pangeran Wang Yi saat mereka diserang dengan pedang. Dia melemparkan sebatang kayu ke arah Liang Yuwen dan mendarat dengan mudah di tangan pemuda itu. Liang Yuwen lantas menghantamkan kayu itu di punggung salah satu pencuri yang hampair saja melukainya.

“Sialan, hampir saja aku tewas. Kakak, terima kasih,” ucap Liang Yuwen yang masih sempat memanggil Pangeran Wang Yi sambil mengangkat kayu yang dilemparkannya tadi. Pangeran Wang Yi tersenyum sambil mendaratkan sebuah pukulan di dada salah satu pencuri, hingga membuat lelaki itu terjerembab ke tanah dengan darah segar yang mengucur dari mulutnya.

Melihat teman mereka yang sudah tidak berdaya membuat beberapa di antara mereka mencoba melarikan diri, tetapi sudah terlambat karena Pangeran Wang Yi sudah berdiri di depan mereka dan Liang Yuwen berdiri di belakang mereka.

“Kakak, ubi rebusku akan tetap menjadi milikku. Ah, cepat kita habisi mereka dan kembali ke desa. Paman pasti akan sangat marah jika kita terlambat,” ucap Liang Yuwen yang maju tanpa menunggu aba-aba dari Pangeran Wang Yi. Al hasil, para pencuri itu berlutut meminta pengampunan.

“Tuan, maafkan kami. Ini, aku kembalikan uang yang kami curi tadi,” ucap salah satu lelaki sambil menyerahkan sekantung uang yang telah mereka curi.

“Apa hanya ini? Kalian tidak berbohong padaku, kan?” tanya Liang Yuwen sambil menggoyangkan kantung uang itu.

Para pencuri itu saling memandang. Wajah mereka yang sudah babak belur membuat mereka tidak ingin lagi berbohong. Mereka lantas mengeluarkan beberapa kantung uang dari balik jubah mereka.

Liang Yuwen tersenyum kecut. “Ini pertama dan terakhir kami bertemu dengan kalian. Jika kalian masih mencuri lagi, maka kami tidak akan mengampuni kalian. Mengerti!” seru Liang Yuwen. Para pencuri itu mengangguk ketakutan. “Sekarang, pergilah sebelum kami berubah pikiran!”

Para pencuri itu lantas pergi dengan kocar kacir.

“Sekarang, bagaimana caranya kita tahu pemilik kantung-kantung uang ini?” tanya Liang Yuwen bingung.

“Kita tunggu saja, mereka pasti akan datang mengambilnya,” jawab Pangeran Wang Yi.

Benar saja, dua orang pedagang telah datang dan mengatakan kalau kantung uang mereka telah dicuri. Setelah mereka menjelaskan ciri-ciri dan jumlah uang dalam kantung itu, akhirnya Liang Yuwen mengembalikan kantung uang pada mereka. Yang tersisa hanya satu kantung berwarna merah muda dengan bordiran bunga sakura.

Karena menunggu terlalu lama, mereka memutuskan untuk meninggalkan tempat itu, tetapi seorang gadis tiba-tiba mendekati mereka. “Maaf, apa kalian yang telah menangkap pencuri-pencuri tadi?” tanya gadis itu.

Liang Yuwen menatap gadis itu. “Apa kamu kehilangan kantung uangmu? Apa ini milikmu?” Gadis itu mengangguk. “Aku tidak percaya. Apa buktinya kalau kantung ini milikmu?”

Gadis itu terlihat kesal. “Ada namaku di kantung itu. Kalau tidak percaya, lihat saja!” ujar gadis itu.

Liang Yuwen melihat kantung itu dan menemukan sebuah nama yang disulam dengan benang emas.

“Namamu …. ”

“Putri Yuri! Kembalilah!” Gadis itu menoleh ke arah suara. Dia terlihat kesal.

“Besok aku akan mengambilnya. Tunggu aku di sini besok siang. Jangan lupa!” ucapnya pada Liang Yuwen dan Pangeran Wang Yi. Dia lantas berlari dari kejaran tiga orang wanita. Kedua pemuda itu menatapnya heran.

“Gadis itu sangat gesit. Apa menurut Kakak dia bisa lari dari kejaran tiga wanita itu?”

“Ah, sudahlah. Sebaiknya kita kembali ke desa. Paman pasti khawatir karena kita belum pulang.”

“Lalu, bagaimana dengan kantung uang ini? Apa Kakak akan kembali besok dan memberikan kantong ini pada gadis itu?”

“Lihat saja nanti. Ayo, kita pergi!”

Keduanya lantas meninggalkan tempat itu dan kembali ke desa. Melihat mereka baru datang, Liang Yi terlihat kesal. “Kenapa kalian baru datang? Apa kalian sudah membuat masalah?”

“Maaf, Paman. Kami baru saja menghajar para pencuri di pasar. Mereka telah mencuri beberapa kantung uang milik para pedagang,” jelas Liang Yuwen.

“Wang Yi, apa itu benar?”

Pemuda itu mengangguk membenarkan ucapan Liang Yuwen. “Benar, Paman.”

“Ingat pesan Paman. Kalian berdua jangan membuat keributan. Ilmu beladiri jangan kalian pergunakan untuk hal yang sia-sia. Gunakanlah untuk membela orang yang lemah dan untuk membela kebenaran. Mengerti?”

“Mengerti, Paman,” ucap mereka kompak.

“Ya sudah, sebaiknya kalian beristirahat. Sebentar lagi kalian harus mengajari anak-anak beladiri.”

“Baik, Paman.”

Sementara Putri Yuri berhasil melarikan diri dari kejaran tiga orang dayang. Gadis itu sama sekali tidak tertarik dengan kehidupan istana yang membuatnya terkungkung. Dia lebih suka menghabiskan waktunya di luar istana.

Tanpa merasa bersalah, Putri Yuri kembali ke istana saat matahari mulai senja. Wajahnya tampak lusuh. Hanfu yang dikenakannya sudah kotor.

“Apa kamu dari luar lagi? Bukankah Paman sudah bilang untuk tidak keluar dari istana?” Yuan tampak memarahi gadis itu. Namun, gadis itu hanya diam dan tidak memedulikan ocehannya.

“Putri Yuri, sampai kapan kamu akan seperti ini?”

“Sudahlah, Paman! Apa aku harus menjadi putri yang penurut agar ayah dan ibuku mau melihatku? Sebaik apa pun yang aku lakukan, mereka sama sekali tidak peduli padaku. Kalau aku membangkang, mungkin saja mereka mau melihatku.” Gadis berusia 17 tahun itu menitikkan air mata. Dia begitu sedih karena selama ini tidak mendapat perhatian dari kedua orang tuanya.

Yuan menatapnya dan bisa melihat kesedihan di wajah gadis itu. Selama ini, Ratu Ling tidak pernah mencurahkan kasih sayangnya pada putrinya sendiri. Begitu pun dengan Kaisar Wang Zhu yang hanya mencurahkan kasih sayangnya pada putrinya bersama Li Jia. Dia sama sekali tidak tertarik untuk melihat putrinya yang lain.

Diam-diam, Putri Yuri mengintip dari balik pepohonan ke arah paviliun. Dia begitu iri saat melihat ayahnya bersama dengan seorang wanita dan seorang gadis sebayanya. Mereka tampak bahagia. “Apa aku anak yang tidak dianggap? Mengapa ayah dan ibuku tidak peduli padaku?” Gadis itu menyeka air matanya dan pergi meninggalkan tempat di mana ayahnya sedang melihat seorang wanita menari di depannya.

“Tarian Ibu sangat indah. Benarkan, Ayah?” tanya seorang gadis yang terlihat cantik.

“Benar, Putriku. Ibumu telah membuat ayahmu jatuh cinta dengan tariannya. Dan kini, semua yang ada pada ibumu ada padamu. Wajahmu cantik sama seperti ibumu. Tarianmu juga tak kalah indah dengan tarian ibumu. Benarkan, Istriku?” tanya Kaisar Wang Zhu. Li Jia mengangguk.

“Benar, kamu adalah putri Ibu yang paling Ibu sayangi. Kami sangat menyayangimu,” ucap Li Jia sambil mengelus lembut kepala putrinya itu.

Gadis itu tersenyum dan memeluk kedua orang tuanya. “Aku juga menyayangi kalian.”

Melihat putrinya, Li Jia teringat pada putranya. Akhir-akhir ini, dia sering memikirkannya dan membayangkan wajah putranya yang kini telah menjadi seorang pemuda yang tampan. “Putraku, ibu sangat merindukanmu. Ibu ingin bertemu denganmu. Cepatlah datang, biar ibu bisa memelukmu,” batinnya dengan air mata.

“Ibu, apa aku sudah membuat Ibu sedih?”

Li Jia menggeleng seraya memeluknya. “Putriku, andai kamu tahu tentang kehidupan ibumu, apakah kamu masih bisa menganggapku sebagai ibu setelah aku menipu ayahmu selama ini?” batin Li Jia gusar.

Sementara di desa, Liang Yuwen dan Pangeran Wang Yi sudah bersiap untuk berburu di hutan. Keduanya sudah bersiap dengan busur dan anak panah yang tergantung di punggung mereka.

Pangeran Wang Yi berjalan mengendap dan menargetkan sasaran ke arah seekor kelinci yang bersembunyi di balik semak. Di hutan dekat desa, mereka biasanya berlatih berburu untuk mengasah kemampuan dalam hal memanah.

Pangeran Wang Yi mengarahkan anak panahnya ke arah kelinci itu, hingga anak panahnya melesat dan mengenai kelinci tersebut. Melihat keberhasilan kakaknya, Liang Yuwen tersenyum. Pemuda itu rupanya tak kalah gesit. Dia lantas masuk ke dalam hutan mengikuti Pangeran Wang Yi yang sudah pergi terlebih dulu. Tiba-tiba pandangan mereka tertuju pada seekor babi hutan yang sangat besar.

“Kakak, sepertinya babi hutan itu yang sudah menghancurkan kebun kita. Lihat saja, kakinya yang terluka karena terkena jebakan kita,” ucap Liang Yuwen sambil mengangkat busurnya dan siap mengarahkannya ke babi hutan itu.

Pangeran Wang Yi juga melakukan hal yang sama. Dia mengangkat busurnya dan siap memanah. “Kamu arahkan pada perutnya dan aku akan arahkan ke kepalanya. Dengan begitu babi itu pasti akan mati,” ucap Pangeran Wang Yi.

“Baiklah.”

Liang Yuwen mengarahkan anak panahnya dan menunggu waktu yang tepat untuk memanah. Ketika babi itu sudah terlihat tanpa penghalang, kedua pemuda itu lantas melepaskan anak panah secara bersamaan sesuai dengan posisi yang sudah mereka sepakati bersama.

Suara erangan babi hutan memecah kesunyian di dalam hutan. Babi dengan ukuran tubuh yang lumayan besar itu seketika terjerembab dan mati.

Liang Yuwen berlari mendekati babi hutan itu dan melihat anak panah yang tertancap di kepala dan juga di perut babi hutan tersebut. Dia lantas mengangkat tangannya ke arah Pangeran Wang Yi sebagai isyarat kalau mereka telah berhasil menumbangkan babi hutan itu.

Kehebatan kedua pemuda itu tidak bisa diragukan lagi. Mereka tidak hanya asal memanah. Anak panah yang diarahkan Liang Yuwen tepat mengenai jantung. Sedangkan anak panah yang diarahkan Pangeran Wang Yi tepat mengenai otak, hingga babi hutan itu mati seketika.

Mereka kemudian meninggalkan hutan dengan membawa hasil buruannya. Setibanya di desa, mereka disambut anak-anak kecil yang mengikuti mereka sambil bernyanyi. Babi hutan dan hasil buruan lainnya lantas diserahkan untuk diolah dan dibagi ke semua warga.

Selesai berburu, kedua pemuda itu masih harus belajar. Liang Yi membekali mereka dengan ilmu ketangkasan dan pengetahuan yang sangat baik.

Keesokan harinya, Pangeran Wang Yi membawa kantung uang milik Putri Yuri. Gadis itu sudah berjanji akan datang mengambilnya. Terpaksa Pangeran Wang Yi yang harus membawanya karena Laing Yuwen sedang melalukan tugas yang lain.

Pangeran Wang Yi menunggu gadis itu yang belum juga muncul. Padahal, waktu yang dijanjikan telah lewat. Karena gadis itu tidak datang, dia memutuskan untuk kembali.

“Hei, tunggu!”

Pangeran Wang Yi menoleh ke arah suara dan melihat seorang gadis berlari ke arahnya. “Maaf,” ucap gadis itu dengan napas terengah.

Pangeran Wang Yi menatapnya. Wajah gadis itu memerah karena baru saja berlari. “Kenapa kamu selalu berlari seperti itu? Apa kamu dikejar lagi?”

Gadis itu mengangguk sembari melihat ke belakang. Sontak, matanya membulat saat melihat tiga wanita yang mengejarnya. “Ah, kenapa mereka tidak bisa membiarkanku pergi sendiri?” keluhnya kesal. Tanpa bertanya, gadis itu lantas meraih tangan Pangeran Wang Yi dan berlari meninggalkan tempat itu.

“Hei, apa yang kamu lakukan?” tanya Pangeran Wang Yi yang menolak untuk lari.

“Aku mohon, tolong bantu aku,” ucapnya memohon. Pangeran Wang Yi menatapnya. Dia akhirnya luluh dan membawa gadis itu pergi dengan kudanya. Gadis itu tersenyum dan terdiam dalam rangkulan Pangeran Wang Yi yang membawanya ke suatu tempat.

Pangeran Wang Yi menghentikan kudanya saat melintas di depan sebuah festival. Orang-orang berdesakan karena ingin melihat pertunjukan yang begitu menarik perhatian. Kini, dia menatap para penari yang sedang menyuguhkan tarian. Seketika, ingatannya tertuju pada ibunya.

“Hei! Apa penari-penari itu sudah membuatmu tergoda?”

Pangeran Wang Yi terkejut. Dia lantas memalingkan wajahnya seraya menyeka air mata yang sempat membendung.

“Kalian para lelaki ternyata sama saja. Mata kalian tidak akan berpindah jika sudah melihat wanita cantik,” keluhnya kesal, “Berikan kantung uangku dan terima kasih karena sudah membantuku untuk mendapatkannya kembali,” lanjut gadis itu sambil menengadahkan tangannya di depan Pangeran Wang Yi. Pemuda itu lantas memberikan kantung uang tersebut di atas telapak tangannya. Gadis itu lantas turun dari atas kuda.

“Sekali lagi terima kasih dan sebaiknya jaga pandanganmu itu. Ah, semua lelaki sama saja.”

Gadis itu lantas masuk ke dalam kerumunan. Dia sangat ingin melihat pertunjukan yang jarang dilihatnya. Dia tersenyum saat melihat pertunjukan beladiri yang diperagakan tak jauh darinya. Sementara Pangeran Wang Yi masih memerhatikannya.

Tiba-tiba, kerumunan itu saling dorong, hingga Putri Yuri menabrak seorang pemuda yang berdiri di depannya. Tidak terima, pemuda itu mendekati Putri Yuri dan menatapnya tajam. “Gadis bodoh! Apa kamu tidak bisa melihatku, hah! Apa matamu buta?” Pemuda itu mendorong Putri Yuri, hingga hampir terjatuh.

“Apa maksudmu mengataiku buta? Apa matamu yang telah buta? Lihat, mataku tidak buta,” balas gadis itu tidak mau kalah sambil membelalakkan matanya pada pemuda itu.

Melihat Putri Yuri yang membantah ucapannya membuat pemuda itu tersenyum sinis. “Mulutmu ternyata sangat tajam. Untung saja wajahmu cantik. Jika tidak …. ”

“Jika tidak memangnya kenapa? Apa kamu akan membunuhku?”

Pemuda itu tersenyum kecut sambil mendekati Putri Yuri. “Apa kamu mau menjadi kekasihku?” tanya pemuda itu.

Sontak, Putri Yuri menamparnya. “Apa kamu pikir lelaki sepertimu pantas menjadi kekasihku?”

“Dasar gadis sialan! Wanita sepertimu tidak pantas untukku dan hanya layak menjadi wanita simpanan!” seru pemuda itu marah. Dia lantas mengangkat tangannya dan bersiap menampar Putri Yuri. Namun, tangannya terhenti karena Pangeran Wang Yi sudah berdiri di depannya dan menahan tangannya. Seketika pemuda itu menjerit kesakitan saat Pangeran Wang Yi menarik tangannya ke belakang dan mendorongnya hingga jatuh.

“Lelaki sepertimu tidak layak disebut lelaki karena lelaki yang berani menampar wanita adalah lelaki pengecut!” seru Pangeran Wang Yi yang membuat gadis itu menatapnya dalam. Untuk sesaat, dia terpaku menatap pemuda itu. Pemuda yang telah membuat jantungnya berdegup kencang.


Pendekar Cinta dan Dendam

Pendekar Cinta dan Dendam

Status: Ongoing Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Kepulan asap hitam tampak mengepul di atas sebuah bukit. Bukit yang ditinggali beberapa kepala keluarga itu tampak diselimuti kepulan asap dengan kobaran api yang mulai membakar satu per satu rumah penduduk yang terbuat dari bambu. Warga desa tampak berlarian untuk berlindung, tapi rupanya penyebab dari kekacauan itu enggan membiarkan mereka meninggalkan tempat itu."Cepat bunuh mereka! Jangan biarkan satu pun yang lolos!" perintah salah satu lelaki. Lelaki yang menutupi setengah wajahnya itu menatap beringas siapa pun yang ada di depannya. Tanpa belas kasih, dia membantai setiap warga yang dijumpainya. Tak peduli anak-anak ataupun orang dewasa, dengan tega dia membantai tanpa ampun.penasaran dengan kelanjutannya? yuk segera simak cerita dibawah ini

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset