Ketiga pemuda itu terkejut saat Liang Yi menghunuskan pedang ke arah mereka. Ketiganya lantas berlutut ketakutan saat Liang Yi diperintahkan untuk membawa mereka ke penjara. “Pangeran, maafkan kami!” seru ketiga pemuda itu hampir bersamaan. Ketiganya menunduk dengan tubuh yang gemetar.
Li Jia menatap ke arah pangeran yang datang bersama Nona Liu Yen. Pemuda yang tampak bijaksana itu terlihat marah saat melihat ketiga pemuda itu merendahkan dirinya.
“Apa kalian tidak malu dengan tindakan kalian? Kalian memang layak mendapatkan hukuman yang setimpal!”
“Ampun, Pangeran! Tolong ampuni kami!” Ketiga pemuda itu berusaha memohon saat akan digiring ke penjara. Karena tidak tega, Li Jia lantas berdiri di depan pangeran.
“Pangeran, tolong ampuni mereka!” Li Jia lantas memohon di depan pemuda itu.
Melihat sikap Li Jia, pangeran menatapnya heran. “Kenapa kamu memohon ampunan untuk mereka? Apa kamu tidak marah dengan sikap mereka yang lancang itu?” tanya pangeran.
Li Jia hanya tersenyum. “Aku akan memaafkan mereka. Lagipula, aku tidak marah dengan sikap mereka. Mereka hanya penasaran dengan wajahku dan aku rasa itu sangat wajar. Karena itu, Hamba mohon lepaskan mereka.” Li Jia kembali menunduk seraya memohon.
“Apa itu balasan terima kasih pada Pangeran yang sudah membelamu?” Nona Liu Yen terlihat geram dengan sikap Li Jia. Gadis itu merasa kalau Li Jia tidak tahu berterima kasih.
“Sudahlah. Liang Yi, lepaskan mereka!” perintah pangeran yang pada Liang Yi.
“Terima kasih, Pangeran!” Ketiga pemuda menunduk di depan pemuda itu.
“Ucaplah terima kasih padanya, bukan padaku!” Pangeran menujuk pada Li Jia. Ketiga pemuda itu saling menatap seakan enggan untuk berterima kasih pada gadis itu.
“Tidak usah berterima kasih padaku. Pergilah dan sebaiknya jaga sikap kalian. Jangan merendahkan orang lain karena belum tentu kalian lebih baik dari orang yang kalian rendahkan itu.”
Ketiga pemuda itu lantas pergi. Sementara Li Jia dan Lian juga akan bergegas meninggalkan tempat itu. “Maaf, Pangeran, kami harus pergi,” ucap Li Jia menunduk di depan pemuda itu.
“Tidak! Aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja!” Li Jia seketika mengangkat wajahnya dan menatap pangeran yang menatap tajam ke arahnya.
“Liang Yi, siapakan tandu untuknya dan perintahkan mereka membawanya ke istana sekarang juga!” perintah pangeran yang sontak membuat Li Jia terkejut. Tak hanya dirinya, tetapi Nona Liu Yen juga tak kalah terkejut.
“Pangeran, apa maksudnya?” tanya Nona Liu Yen yang tampak tidak suka saat Li Jia akan dibawa ke istana.
“Maaf, aku harus pergi. Oh, iya, terima kasih karena sudah mengundangku di acaramu ini. Aku pasti akan membalas undanganmu.”
Pangeran lantas pergi diikuti oleh Liang Yi. Pangeran yang terlihat muda dan gagah itu kemudian menaiki kuda putih miliknya. Sementara Li Jia sudah naik di atas tandu. Lian lantas berjalan di samping tandu saat beberapa orang mulai mengangkat dan membawa tandu meninggalkan tempat itu.
Melihat mereka pergi, Nona Liu Yen tampak kesal. Dia begitu marah saat pangeran memerintahkan untuk membawa Li Jia ke istana. Dia merasa kalau pangeran menginginkan penari itu. “Ini tidak bisa dibiarkan! Bagaimanapun, pangeran tidak bisa memiliki wanita lain selain aku!” serunya sambil meninggalkan tempat itu
Sementara itu, Li Jia dibawa ke sebuah paviliun. Sebuah bangunan yang tampak asri dengan dikelilingi taman bunga yang mulai mekar. Paviliun itu berada tak jauh dari bangunan utama. Li Jia lantas turun dari tandu saat tiba di depan halaman paviliun. Sesaat, dia takjub dengan sekeliling tempat itu.
“Nona, silakan masuk.” Liang Yi memintanya untuk masuk ke dalam paviliun. Walau tampak ragu, Li Jia akhirnya menuruti permintaan pemuda itu.
Di dalam paviliun, terdapat dua ruangan yang bersekat. Pangeran tampak duduk di ruangan terbuka. Sementara di belakangnya ada sebuah ruangan yang tertutup.
“Duduklah,” ucap pangeran mempersilakan Li Jia untuk duduk. Gadis itu kemudian duduk tak jauh darinya.
Dua orang pelayan datang membawa aneka kudapan dan minuman teh dari bunga melati di dalam sebuah teko. Teh yang masih hangat itu lantas dituangkan di dalam cangkir. Setelah selesai melakukan tugas mereka, kedua pelayan itu kemudian pergi.
“Silakan diminum,” ucap pangeran mempersilakan Li Jia untuk minum.
“Terima kasih, tetapi apa aku boleh tahu kenapa Pangeran mengajakku ke sini?” tanya Li Jia yang menatap lurus ke pemuda itu.
Mendengar pertanyaannya, pangeran lantas tersenyum. Dia menatap penutup wajah Li Jia seakan penasaran dengan wajah gadis itu. “Ah, maafkan aku. Apa kamu terganggu kalau aku memintamu untuk menemaniku sejenak?”
“Pangeran, maafkan aku. Akan tetapi, aku ini hanya seorang wanita penghibur yang tidak pantas untuk menemani Pangeran. Lagipula, Nona Liu Yen lebih pantas untuk melakukannya daripada aku. Maafkan aku Pangeran, tetapi wanita sepertiku tidak pantas untuk ada di sini.”
Sebagai seorang wanita penghibur, Li Jia sadar dengan posisinya. Mana mungkin dia berada di dalam satu ruangan dengan calon raja yang akan memimpin istana kelak.
“Hei, apa kamu akan membantah perintah Pangeran? Apa kamu tahu hukuman bagi orang yang menolak perintah Pangeran?” Liang Yi tampak marah saat melihat Li Jia menolak apa yang diperintahkan oleh tuannya itu.
“Liang Yi, sudahlah.” Pangeran mengangkat tangannya seakan meminta pengawal setianya itu untuk tidak ikut campur. Liang Yi lantas diam. Dia menatap Li Jia dengan kesal.
“Baiklah, kalau kamu menolak, aku tidak akan memaksa. Hanya saja, aku sedikit kecewa karena peringatan kematian ibuku kali ini akan sama seperti sebelumnya. Aku selalu memperingatinya seorang diri.” Wajah pemuda itu tampak sedih. Dia meneguk teh melati dan meletakkan cangkir yang telah kosong di atas meja. “Kamu boleh pergi sekarang,” ucapnya pada Li Jia. Pemuda itu menuangkan kembali teh melati ke dalam cangkirnya dan menenguknya hingga tak bersisa.
Di balik penutup wajahnya, Li Jia bisa melihat kesedihan di raut wajah pemuda itu. Dia lantas menunduk memberi hormat dan beranjak dari tempat duduknya. Namun, langkahnya terhenti. Dia kemudian berbalik dan melihat ke arah pemuda itu. Li Jia mengembuskan napas saat dia memutuskan untuk kembali duduk di depannya.
“Maaf, Pangeran. Memangnya, apa yang harus aku lakukan? Dan kapan peringatan kematian permaisuri akan dilaksanakan?” tanya Li Jia yang membuat pangeran menatapnya.
“Kenapa kamu berubah pikiran? Ah, apa karena kamu takut aku akan menghukummu?”
“Aku tidak takut, tetapi aku tahu bagaimana rasanya jika memperingati kematian orang tua kita seorang diri. Aku tahu rasa sedih itu. Jadi, aku akan menerima permintaan Pangeran,” ucap Li Jia yakin. “Katakan saja apa yang harus aku lakukan,” lanjutnya.
“Aku tidak memintamu untuk melakukan apa pun. Aku hanya ingin kamu menari di depan lukisan ibuku. Itu saja.”
“Baiklah, aku akan melakukannya.”
Permaisuri yang merupakan ibunda pangeran wafat saat dirinya berusia 15 tahun. Saat itu, ibunya menderita sakit yang cukup parah. Semua bermula saat ayahnya mulai tertarik dengan selir yang lebih muda. Karena perluasan wilayah, lelaki itu harus menikahi wanita dari daerah yang akan direbutnya. Semua itu sudah menjadi kebiasaan dari raja-raja sebelumnya. Karena tersiksa batin, permaisuri akhirnya jatuh sakit.
Walau memiliki selir yang lumayan banyak, tetapi mereka tidak bisa melahirkan anak laki-laki. Karena itu, pangeran menjadi kandidat utama untuk menggantikan posisi ayahnya kelak.
Li Jia diantar pulang ke Rumah Pelangi dengan menggunakan tandu yang sama. Tiga hari lagi, tandu itu akan datang untuk menjemputnya kembali ke istana.
Dari Yi Wei, Li Jia akhirnya tahu tentang pangeran muda itu. Pangeran Wang Li adalah anak kedua dari raja dan permaisuri setelah anak pertama mereka wafat saat berusia dua tahun. Permaisuri sangat menyayangi putra keduanya itu. Akan tetapi, kebersamaan mereka terjadi begitu singkat karena wanita itu meninggal saat Pangeran Wang Li beranjak remaja.
Mendengar penjelasan Yi Wei, Li Jia akhirnya luluh. Dia memahami apa yang dirasakan pangeran muda itu. Kesedihan dan juga kesepian yang dirasakan sama seperti dirinya yang begitu merindukan kasih sayang dan perhatian kedua orang tuanya.
“Li Jia, pangeran Wang Li itu sangat baik. Dulu, aku sering diundang oleh permaisuri untuk menari di sana. Permaisuri sangat menyukai tarian,” jelas Yi Wei. “Karena itulah, pangeran Wang Li memintamu untuk menari di peringatan kematian ibunya,” lanjut wanita itu.
Li Jia merasa bersalah karena sempat menolak permintaan pangeran Wang Li. Karena itu, dia sudah bertekad untuk menampilkan tarian terbaiknya saat peringatan kematian nanti.
Di paviliun, Pangeran Wang Li dan Liang Yi sudah bersiap. Di dalam ruangan, sebuah meja sudah tertata dengan aneka hidangan dan dupa yang dibakar. Di atas meja itu pula dipajang sebuah lukisan seorang wanita yang tampak tersenyum.
Pangeran Wang Li duduk berlutut di depan meja. Dia menatap lurus pada lukisan wanita itu. “Ibu, kali ini aku akan memberikan hadiah pada ibu,” ucapnya sembari tersenyum. Liang Yi lantas mempersilakan Li Jia untuk masuk.
Li Jia kemudian masuk dan duduk di depan meja itu. Ditatapnya wajah di lukisan dan dia mengagumi kecantikan wanita itu. Itu adalah lukisan permaisuri yang dilukis sebelum kematiannya.
“Permaisuri, istirahatlah dengan tenang,” batin Li Jia saat dia memberi hormat di depan lukisan itu. Li Jia lantas bangkit dan menatap lukisan itu sesaat. Tanpa diiringi musik, Li Jia kemudian menari.
Walau tanpa diiringi musik, tetapi tarian yang dibawakan Li Jia membuat Pangeran Wang Li tersentuh. Sebuah tarian yang menggambarkan kesedihan, hingga membuat siapa pun akan larut dalam kesedihan yang tersirat dari tarian itu. Tak terkecuali Li Jia yang kini menari dengan air mata. Tarian itu juga dipersembahkan untuk kedua orang tuanya dan seluruh penduduk desanya yang talah mati. Dia masih menangis, hingga tariannya berakhir.
Li Jia menahan isak tangis saat tariannya berhenti. Namun, ketiga pemuda yang ada di tempat itu masih bisa mendengar suara tangisnya. Walau berusaha menyembunyikan tangisnya, tetapi kesedihannya itu tidak bisa disembunyikan.
“Maafkan Hamba, Pangeran. Hamba tidak bermaksud untuk …. ”
“Kalau ingin menangis, maka menangilsah. Aku sendiri tidak tahu dengan masalahmu, tetapi aku yakin kamu juga merasakan kesedihan karena kehilangan orang yang kamu sayangi. Iya, kan?”
Li Jia terdiam. Memang benar, saat ini dia sedang bersedih karena mengingat kedua orang tuanya. Namun, Li Jia berusaha menahan kesedihannya itu di depan mereka.
“Maaf, aku hanya terharu karena baru kali ini aku menari untuk orang yang telah meninggal.” Li Jia berusaha mengelak.
“Jangan sungkan untuk membagi kesedihanmu. Anggap saja kami ini adalah temanmu. Bukankah umur kita tidak terpaut jauh?” Pangeran Wang Li menatapnya. “Umur kita hanya terpaut lima tahun. Begitu pun dengan Liang Yi. Kami berdua adalah sahabat.”
Li Jia melihat ke arah Liang Yi yang berdiri tak jauh dari mereka. Pemuda itu tampak sigap seakan menjadi pelindung bagi pangeran.
“Kamu tidak perlu khawatir karena Liang Yi. Dia adalah pengawal pribadi sekaligus sahabatku. Kami sudah berteman sejak masih kecil dan aku tidak keberatan kalau kamu juga ingin berteman dengan kami,” ucap Pangeran Wang Li dengan senyum yang terukir sempurna.
Di balik penutup wajah, Li Jia tersenyum kecut. Bagaimana bisa wanita rendahan seperti dirinya menjadi sahabat dari seorang pangeran. “Pangeran, apa itu tidak keterlaluan? Ah, apa pantas bagi wanita penghibur sepertiku menjadi teman dari seorang pangeran?”
Kembali, Pangeran Wang Li tertawa, hingga memperlihatkan deretan giginya yang tersusun rapi nan putih. Senyumnya begitu lembut dengan tulang pipi yang terlihat kokoh. “Ah, baru kali ini aku menawarkan diri untuk menjadi teman. Apa kamu tahu berapa teman yang aku miliki?” Pemuda itu menatap lekat ke arah Li Jia. “Hanya Liang Yi satu-satunya temanku karena aku tidak percaya pada siapa pun. Hanya dialah teman sekaligus saudara bagiku. Namun, jika kamu enggan menerimaku sebagai teman, aku takkan marah,” ucapnya sambil mengambil teko yang berisikan teh melati, tetapi Li Jia segera mengambil teko itu terlebih dulu.
“Izinkan aku yang menuangkan tehnya,” ucap Li Jia sambil menuangkan teh ke dalam cangkir yang sudah dipegang Pangeran Wang Li. Li Jia kemudian meletakkan teko saat Pangeran Wang Li meneguk teh itu.
“Apa Pangeran tidak keberatan berteman dengan wanita sepertiku? Aku hanyalah wanita penghibur yang tidak pantas untuk menjadi teman bagi siapa pun. Namun, jika Pangeran mengizinkan, aku akan menjadi teman yang baik buat Pangeran.” Li Jia mengucapkan tanpa keraguan. Melihat pangeran, entah mengapa dia berkeyakinan kalau pemuda itu adalah sosok yang baik. Karena itu, dia mau menerima pertemanan mereka.
Semua itu tak semata-mata karena permintaan pangeran. Akan tetapi, dia ingin mencari tahu tentang pembantaian keluarga dan desanya. Dengan berteman dengan pangeran, setidaknya bisa membuatnya mencari tahu tentang alasan dan siapa dibalik pembantaian itu.
Saat itu juga, dia mulai berteman dengan Pangeran Wang Li. Namun, pertemanan mereka tidak serta merta membuat Li Jia dekat dengan Liang Yi. Dia merasa kalau Liang Yi tidak pantas untuk dijadikan sebagai teman karena pemuda itu memiliki ayah yang sangat dibenci olehnya.
Saat akan pulang, Pangeran Wang Li meminta Liang Yi untuk mengantar Li Jia hingga tiba di Rumah Pelangi. Walau Li Jia menolak dengan alasan telah memiliki pengawal pribadi, tetapi Pangeran Wang Li bersikeras dan tetap memerintahkan Liang Yi untuk mengantarnya.
Tanpa bisa mengelak, Li Jia akhirnya membiarkan Liang Yi mengantarnya pulang. Liang Yi dan Lian mengiring tandu yang dinaiki olehnya. Kedua pemuda itu terlihat waspada saat tandu meninggalkan halaman istana.
Hari menjelang senja saat tandu sudah melewati setengah perjalanan. Jalan menuju ke Rumah Pelangi harus melewati beberapa jalan yang tampak sunyi. Karena hampir malam, Liang Yi memerintahkan agar para pembawa tandu mempercepat langkah mereka. Namun, langkah mereka terhenti saat dihadang oleh segerombolan pemuda yang kini berdiri di depan mereka.
Liang Yi dan Lian sontak berjaga-jaga. Gerombolan pemuda yang menutupi setengah wajah mereka itu sudah menghadang dengan pedang di tangan mereka. Walau begitu, Liang Yi dan Lian bergeming. Kedua pemuda itu lantas turun dari punggung kuda. Karena ketakutan, para pembawa tandu telah lari meninggalkan mereka.
“Nona, diamlah di dalam dan jangan keluar!” perintah Lian yang berdiri di depan pintu tandu.
“Lian, ada apa?” tanya Li Jia yang terlihat cemas. Belum lagi pemuda itu menjawab, Li Jia dibuat terkejut saat mendengar suara denting pedang tiba-tiba beradu.