Karena memiliki nilai tertinggi selama mengikuti ujian, Pangeran Wang Yi dan Liang Yuwen diundang oleh Kaisar Wang Zhu. Keduanya tampak gagah saat berdiri di depan Kaisar dan istrinya.
Kedua pemuda itu menunduk seraya memberi hormat. Pangeran Wang Yi mencoba menahan perasaannya yang kini tak menentu. Perasaan bahagia yang juga bercampur haru.
“Ayo, silakan duduk!” titah Kaisar Wang Zhu pada kedua pemuda itu.
Mereka lantas duduk berhadapan dengan Kaisar Wang Zhu dan Li Jia. Wanita itu tersenyum saat melihat kedua pemuda itu. Pandangannya tertuju pada Pangeran Wang Yi. Tatapan pemuda itu membuatnya merasakan sesuatu. “Tatapan matanya mengingatkanku pada Wang Li. Wajahnya tidak asing bagiku. Apa mungkin dia …?”
Li Jia terkejut. Dia menatap Pangeran Wang Yi lekat, hingga dia menundukkan wajah saat Kaisar Wang Zhu menatapnya. Dia sengaja menyembunyikan air mata yang hampir terjatuh.
“Istriku, ada apa?”
Li Jia mengangkat wajahnya seraya tersenyum. “Maaf, sepertinya ada sesuatu yang masuk ke mataku,” elaknya sambil menyeka air mata yang sudah terlanjur jatuh.
Melihat ibunya menitikkan air mata, Pangeran Wang Yi menahan perasaannya. Rasanya, dia ingin mendekat dan memeluk ibunya yang kini berada tepat di depannya. Dia ingin memanggilnya dengan sebutan ibu. Namun, perasaan itu terpaksa harus ditahan.
“Siapa nama kalian?” tanya Li Jia yang menatap mereka lekat.
“Namaku Liang Yuwen dan ini kakakku, Lian,” jawab Liang Yuwen.
Mendengar nama yang disebutkan, Li Jia terkejut. Nama yang tidak asing baginya. “Apa kalian bersaudara?”
“Maaf, Yang Mulia Ratu. Adik Liang Yuwen adalah anak dari bibiku. Walau kami tidak seibu, tapi hubungan kami sudah layaknya saudara kandung. Karena itu, kami sangat dekat,” jelas Pangeran Wang Yi.
“Lalu, apa aku bisa bertemu dengan orang tua kalian?” Li Jia begitu penasaran. Dia terus bertanya, hingga Kaisar Wang Zhu tersenyum melihat tingkahnya itu.
“Istriku, apa kamu begitu penasaran dengan keluarga mereka? Bagaimana kalau kita mengundang orang tua mereka saja?” tanya Kaisar Wang Zhu.
Li Jia tersenyum seraya mengangguk. Dia begitu penasaran dengan asal-usul kedua pemuda itu. Wajah Pangeran Wang Yi membuatnya ingin mengetahui identitasnya.
Setelah berbincang sebentar, Li Jia memutuskan untuk meninggalkan mereka karena ada sesuatu hal yang ingin disampaikan Kaisar Wang Zhu pada kedua pemuda itu.
“Apa kalian sudah mengetahui tentang beberapa kejadian pemberontakan yang akhir-akhir ini terjadi?” tanya Kaisar Wang Zhu pada kedua pemuda itu.
“Kami sudah mengetahuinya. Bahkan, kami sudah mencari tahu secara diam-diam apa yang sebenarnya terjadi. Para pemberontak itu rupanya tidak bergerak sendiri,” jelas Pangeran Wang Yi.
Kaisar Wang Zhu cukup takjub dengan kepedulian mereka terhadap keamanan istana dan seluruh negeri. Dia tidak menyangka, ada pemuda yang dengan berani menyelidiki aktivitas para pemberontak tanpa disuruh oleh siapa pun.
“Ah, rupanya benar kata istriku. Aku juga ingin bertemu dengan orang tua kalian yang telah berhasil mendidik kalian menjadi pemuda yang tangguh dan peduli pada negeri. Apa kalian keberatan?”
“Maaf, Yang Mulia. Kami sudah tidak memiliki orang tua. Kami hanya memiliki seorang paman,” jawab Liang Yuwen.
“Oh, begitu, ya. Baiklah, setelah tugas yang kalian emban selesai, maka bawalah paman kalian ke istana. Aku ingin bertemu dengannya,” ucap Kaisar Wang Zhu.
“Baik, Yang Mulia.”
Sementara di kamar, Li Jia tampak risau. Dia masih membayangkan kedua pemuda itu dan berharap kalau salah satu dari mereka adalah putranya. “Putraku, ibu harap kamu segera datang dan menemui ibu. Ibu sudah sangat merindukanmu dan ingin memelukmu,” batinnya dengan air mata yang perlahan jatuh.
Karena tidak tenang, Li Jia lantas keluar dari kamar dan menuju ke taman. Dia ingin melihat kedua pemuda itu sekali lagi. Dia merasa kalau nalurinya sebagai seorang ibu tidak mungkin salah.
Saat kedua pemuda itu keluar, dia ingin mendekati mereka. Namun, Wang Jia tiba-tiba datang. Seketika, Li Jia menghentikan langkahnya.
“Ibu, siapa mereka?” tanya gadis itu sambil melihat ayahnya sedang bersama dua orang pemuda. Li Jia hanya diam.
Melihat istri dan putrinya, Kaisar Wang Zhu mengajak kedua pemuda itu untuk menemui mereka. “Ini putriku,” ucap Kaisar Wang Zhu memperkenalkan putrinya.
Kedua pemuda itu seketika menunduk memberi hormat. Gadis itu tersenyum. Dia tampak ramah. Namun, berbeda dengan sikap Pangeran Wang Yi. Dia begitu terpukul saat tahu kalau dirinya memiliki seorang adik. Li Jia bahkan bisa melihat sesuatu yang aneh dari sikapnya itu.
“Apa mungkin dia putraku?” batinnya yang kini semakin meyakini kalau pemuda yang berdiri di depannya adalah putranya sendiri. Namun, dia tidak bisa mendekat sekadar untuk memastikan hal itu. Li Jia begitu tertekan, hingga membuat tubuhnya hampir limbung.
“Istriku, kamu baik-baik saja?” Kaisar Wang Zhu lantas merangkulnya.
“Aku baik-baik saja.” Li Jia menatap Pangeran Wang Yi yang tampak khawatir. Dia bisa melihat kekhawatiran di wajah pemuda itu. Melihat sorot matanya, Li Jia tersenyum. Dia seakan mendapatkan kembali kehidupannya. Kehidupan yang selama ini dijalani dengan satu harapan. Harapan untuk bisa bertemu kembali dengan putranya.
“Yang Mulia Ratu, istirahatlah,” ucap Pangeran Wang Yi dengan tatapan yang lembut. Li Jia mengangguk.
“Kami berdua harus pergi. Terima kasih karena Yang Mulia sudi menerima kami,” lanjut Pangeran Wang Yi sambil memberi hormat. Kedua pemuda itu kemudian pergi.
Kaisar Wang Zhu lantas membawa Li Jia ke kamar. Dia tampak khawatir saat melihat istrinya kelelahan.
Sementara Pangeran Wang Yi mengepalkan tangannya saat melihat perlakuan Kaisar Wang Zhu pada ibunya. Perlakuan yang seharusnya diberikan oleh ayahnya, bukan lelaki itu.
“Kakak, aku mengerti perasaanmu. Akan tetapi, Kakak harus menahannya. Aku yakin, bibi juga merasakannya. Bibi pasti tahu kalau Kakak adalah putranya,” ucap Liang Yuwen yang berusaha meyakinkan Pangeran Wang Yi.
“Kakak, apa Kaisar sengaja mengirimkan kita mengusut pemberontakan karena dia sudah tahu tentangmu? Ah, aku harap dia tidak tahu tentangmu.”
“Kita akan melakukannya. Pemberontakan apa pun akan aku basmi karena ayahku sudah menitipkan istana dan negeri ini untukku. Aku akan menjaga negeri ini dan juga orang-orang yang aku cintai,” jawab Pangeran Wang Yi yakin.
Kini, kedua pemuda itu telah menjadi pemimpin pasukan istana. Bahkah, semua prajurit dan pasukan elite tunduk pada perintah mereka.
Pemberontakan yang dilakukan oleh sekelompok orang berhasil digagalkan. Bahkan, para perampok yang selama ini meresahkan penduduk tak luput dari perhatian kedua pemuda itu. Mereka memerintahkan untuk menjaga stabilitas negeri dengan cara menerima keluhan dan laporan dari penduduk.
Tak hanya itu, Pangeran Wang Yi secara perlahan mampu menarik simpati dari para prajurit. Perhatian, kewibawaan, dan kepeduliannya pada prajurit membuatnya disegani. Begitu pun dengan Liang Yuwen. Kolaborasi keduanya mampu menciptakan rasa loyalitas dan kerjasama antar sesama prajurit. Itulah langkah awal yang telah mereka capai. Langkah untuk meraih hati prajurit yang tentu saja akan menjadi pembela mereka kelak.
Mendengar keberhasilan kedua pemuda itu dalam membasmi pemberontakan, Kaisar Wang Zhu lantas mengundang mereka ke kediamannya. Tak hanya itu, dia juga meminta agar paman mereka turut diundang.
Siang itu, Pangeran Wang Yi dan Liang Yuwen mendatangi Liang Yi di desa.
“Jadi, dia ingin mengundangku ke istana. Apa kalian sudah siap?”
Kedua pemuda itu mengangguk. Mau tak mau, Liang Yi harus datang dan tentu saja identitasnya akan terkuak. Semuanya sudah direncanakan. Liang Yi akan kembali ke istana. Bagaimanapun caranya.
Menjelang sore, mereka kembali ke istana, tetapi tidak sendiri. Liang Yi ikut bersama mereka. Lelaki itu terlihat gagah dan tampan. Wajahnya sama sekali tidak berubah. Hanya dirinya terlihat lebih dewasa dan berkharisma.
Saat memasuki pintu gerbang istana, Liang Yi teringat akan kebersamaannya dengan sang sahabat. Sahabat yang tidak pernah hilang dari hatinya.
Di depan kediaman Li Jia, ketiga lelaki itu berdiri. “Apa kalian siap?” tanya Liang Yi.
“Kami siap, Paman!” seru keduanya kompak.
Ketiga lelaki itu lantas bergegas menuju ke salah satu ruangan di mana mereka sudah ditunggu. Salah seorang dayang mempersilakan mereka masuk. Ketiga lelaki itu kemudian masuk. Sontak, Li Jia terperanjat saat melihat sosok yang sangat dikenalnya. Dia mencoba menahan air mata yang memaksa jatuh.
Ketiga lelaki itu memberi hormat dan dipersilakan untuk duduk. Liang Yi menatap Li Jia yang duduk tak jauh darinya. Dia menahan air mata dan kerinduan yang selama ini menghantuinya. Kerinduan akan cinta pertama yang masih tersimpan di dasar hatinya.
“Jadi, Anda adalah paman mereka?” tanya Kaisar Wang Zhu pada Liang Yi.
“Benar, Yang Mulia. Aku adalah paman mereka. Namaku Liang Yi,” jawab Liang Yi tanpa ragu sedikit pun.
“Liang Yi? Namamu sepertinya tidak asing bagiku. Apa kamu …. ”
“Aku adalah kakak angkat Ratu Li Jia,” ucap Liang Yi yang membuat Kaisar Wang Zhu terkejut.
“Benarkah? Istriku, apa dia itu kakak angkatmu yang waktu itu menolongmu? Apa dia putra dari Jenderal Liang Zhou?”
Li Jia mengangguk. “Benar, dia adalah kakak angkatku sekaligus sahabat dari mendiang suamiku,” jawab Li Jia.
Mendengar hal itu membuat Kaisar Wang Zhu tertawa. “Aku ingat sekarang. Kamu adalah anak lelaki yang sering bersama dengan adikku dulu. Bahkan, kamu sempat menjadi pengawal pribadinya. Aku tahu sedikit tentangmu. Ah, ternyata dunia ini terlalu sempit.” Lelaki itu kembali tertawa. “Kita harus merayakan pertemuan ini. Istriku, kamu pasti merindukan kakak angkatmu karena sudah lama kalian tidak bertemu. Baiklah, aku akan meninggalkan kalian. Bicaralah dengannya.” Lelaki itu lantas bangkit dan mengajak Pangeran Wang Yi serta Liang Yuwen ke taman. Kedua pemuda itu lantas mengikutinya.
Setelah mereka pergi, Li Jia berdiri terpaku. Dia tidak mampu menahan tubuhnya yang kini goyah. Rasanya seperti mimpi saat melihat sosok yang membuatnya kembali hidup setelah selama ini hidup dengan hati yang telah lama mati.
Liang Yi mendekatinya. Dia memegang bahu Li Jia dan merangkulnya. “Li Jia, aku datang padamu,” ucap Liang Yi lembut. Dia menitikkan air mata saat Li Jia tiba-tiba memeluknya.
“Terima kasih. Aku berterima kasih karena kalian datang menemuiku. Aku bahagia karena putraku telah menjadi pemuda yang tangguh. Liang Yi, terima kasih,” ucap Li Jia dengan isak tangis yang tertahan. Dia memeluk Liang Yi erat.
“Bersabarlah, aku dan putramu tidak akan meninggalkanmu lagi. Kami akan selalu ada di sampingmu. Karena itu, bersabarlah.”
Liang Yi membelai lembut puncak kepala Li Jia. Rasa rindu yang selama ini tersimpan akhirnya tercurah. Rindu yang masih diiringi dengan rasa cinta yang tak pernah goyah dan tergantikan.
Liang Yi menghapus air mata Li Jia seraya tersenyum. Senyum yang masih sama seperti dulu. “Apa kamu baik-baik saja?”
Li Jia menunduk. Walau raganya baik-baik saja, tetapi hatinya begitu tertekan. Selama ini, dia hidup dalam kerinduan yang begitu menyiksa. Dia hidup dalam kenangan yang selalu hadir di hati dan pikirannya.
“Apa kamu merindukannya?”
Li Jia mengangguk seraya menangis. Dia begitu merindukan sosok mendiang suaminya. Dia rindu dengan pelukannya yang hangat. Liang Yi lantas memeluknya.
“Aku tahu, Wang Li tidak akan tergantikan di hatimu. Begitu pun dengan dirimu, karena di sini aku selalu menyimpanmu,” ucap Liang Yi sambil menyentuh dadanya. Li Jia terkejut. “Aku akan membawamu pergi dan tinggal di padang bunga sesuai dengan impian kita dulu. Aku berjanji akan membuatmu bahagia dan melupakan semua kesedihanmu. Karena aku masih mencintaimu.”
Li Jia melepaskan diri dari pelukan Liang Yi. Dia berbalik sembari menyembunyikan wajahnya. “Apa kamu pantas mengatakan hal itu padaku? Liang Yi, aku bukan Li Jia yang dulu. Aku …. ”
“Bagiku, kamu masih sama seperti dulu. Aku tidak peduli dengan kehidupanmu saat ini karena aku tahu kamu tidak mungkin mencintainya. Dia tidak pantas mendapatkan cintamu!” Liang Yi mengepalkan tangannya. Dia marah saat mengingat Kaisar Wang Zhu yang telah menghancurkan kehidupan kekasih hatinya itu.
“Aku akan membuatnya membayar atas apa yang dia lakukan padamu dan Wang Li. Aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri!”
Liang Yi lantas mendekati Li Jia dan memeluknya. “Demi Wang Li, aku rela mengalah, tapi kali ini tidak lagi. Aku akan membawamu dan hidup selamanya denganku.”
Li Jia menangis saat mendengar hal itu. Entah apa yang kini dirasakannya. Perasaan yang telah lama mati, kini mulai hadir bak setitik embun yang membasahi tanah kering. Sejuk dan menghidupkan.
“Pergilah temui mereka. Aku masih ingin tetap di sini. Katakan pada putraku kalau aku sangat menyayanginya dan bangga padanya. Aku akan menunggu hingga kamu membawaku ke padang bunga. Lakukanlah apa yang ingin kamu lakukan, tapi jagalah dirimu dan mereka berdua. Tanpa kalian, aku lebih baik mati.”
“Baiklah, aku akan menjaga diri dan juga mereka berdua. Tersenyumlah karena senyumanmu sangat aku rindukan. Li Jia, aku mencintaimu.”
Liang Yi lantas pergi. Seketika, Li Jia terduduk. Semua ungkapan cinta Liang Yi bagaikan sebongkah es yang jatuh di atas tanah gersang. Hatinya yang sudah tertutup cinta, kini dipaksa terbuka dengan ungkapan cinta dari lelaki yang dulu sangat dicintainya. Lelaki yang rela mengalah demi kebahagiaan sahabatnya.
“Liang Yi, apa aku masih pantas untukmu? Apa kamu masih menyimpan cinta pada wanita sepertiku?” batinnya sedih.
Sementara Liang Yi, telah mantap dengan keputusannya. Dia akan membawa Li Jia suatu saat nanti dan tinggal bersama dengannya di padang bunga. Dia akan membahagiakan wanita yang selama ini tidak bisa hilang dari hatinya. Kebahagiaan yang dulu sempat tertunda akan segera diwujudkannya. Bagaimanapun caranya.