“Setahun ini kamu nggak pernah coba menghubungi Nida?” tak ada hujan tak ada angin. Adi tiba-tiba menanyakan hal yang paling sensitif buatku. Padahal selama ini dia bersikap baik dengan menghindari percakapan tentang Nida denganku.
“Nggak pernah,” jawabku ketus. Aku bohong, setengah tahun lalu aku pernah mencoba menelpon Nida, itu ketika aku benar-benar merindukannya dan tak tertahankan lagi. Tapi nomornya tidak aktif, kucoba menghubungi dia terus dan aku sadar, ternyata dia ganti nomor.
“Kamu nggak pernah penasaran selama ini dia di Bandung sekolah di mana?” tanya Adi lagi.
“Kenapa pula aku harus penasaran,” sergahku. Aku bohong lagi, berkali-kali aku ingin tahu tapi tak bisa mencari tahu. Aku terlalu malu untuk bertanya kepada guru kemana dia pindah.
“Kamu nggak penasaran dengan alasan kepindahannya?” kejar Adi.
“….” Kali ini aku cuma terdiam. Aku bohong besar kalau aku bilang aku tidak penasaran. Selama ini hal itu pula yang selalu mengganjal di kepalaku. Kenapa dia harus ikut ayahnya pindah ke Bandung, padahal itu terlalu merepotkan kalau mengingat dia hanya tinggal setahun bersekolah disini.
“Kamu masih cinta dia kan?” Adi masih memberondongku dengan pertanyaan.
“Apa maksudmu tanya begitu?” sergahku sebal. Kurasa dia tak perlu menanyakan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya.
“Apa kamu nggak pengen ketemu dia lagi?” pertanyaan ini serasa memukulku dengan palu raksasa.
“Tentu aku mau!!” jawabku cepat tanpa berpikir.
“Ketemu sama Desi sana,” Adi menjawab sambil tersenyum dan menepuk pelan bahuku.
Aku bengong. Desi???