Tampak Wina makin menyeramkan, bahkan dia bisa menempel di langit-langit layaknya seekor cicak, dengan kepala terputar ke bawah. Kami semua diam, hanya masing-masing berdoa, tak lama muncul seorang pendeta, karena ini rumah sakit kristen. Beberapa orang mulai menyanyikan lagu sambil bermain gitar, ada sekitar delapan orang.
Dua gitar dan enam lainnya berdoa, sementara orang pintar yang sedang komati kamit itu tampak mengeluarkan darah dari mulutnya. Salah satu saudara Rusdi yang lulusan pesantren dan saat ini tengah mengajar dan memiliki indra keenam. Ia berkali-kali mencengkeram pundakku.
“Mas Andi, jiwa Wina sepertinya diperebutkan banyak orang. Itu Rusdi dan Bayu suaminya sama-sama punya perjanjian dengan iblis.”
Apaa! Bagai disambar petir, ini tepat jumat kliwon. Pernikahan mereka tadi pagi pun tepat jam dua siang, menurut Harun itu adalah jam para iblis berpesta. Astaghfirullah … aku hanya bisa bershalawat, sementara para pemain musik itu makin kencang menyanyikan lagu-lagu, ada yang senarnya sampai putus.
Wina seperti melemah, dan tiba-tiba ia terjatuh. Ada dua suara bersautan di dalam tubuh Wina.
“Aku akan mengambil keturunan kalian,” kata suara yang agak berat.
“Aku akan membuat kalian semua menangis,” sahut yang orang tua dengan suara melengking.
Tiba-tiba semua sepi, lampu mulai menyala, tampak Wina terkulai lemah dan darah mengalir dari pahanya. Suster pun segera bergerak, dia masih bernapas, tapi janin yang ada dalam perut Wina entah. Sepertinya semua tampak baik-baik saja, ternyata tidak, kehebohan berpindah ke ruang jenazah.
Karena sudah malam, dan tidak bisa dikubur malam ini, tapi sudah dimandikan dan hendak dibungkus kain kafan, karena keduanya muslim. Tapi ada yang aneh, wajah keduanya berubah keriput seperti kakek-kakek tua yang dagingnya habis dimakan usia. Pendeta tadi masih sibuk berdoa sambil berjalan ke sana ke mari sambil menyiramkan air. Sementara Pak Ustad yang baru datang tampak tenang.
“Semua sudah terjadi, buat pelajaran kita semua. Jangan sekali-kali bersekutu dengan iblis. Apa pun tujuannya.”
Karena malam itu makin menyeramkan, akhirnya keluarga Rusdi maupun Bayu memutuskan untuk menguburnya malam ini juga, karena masing-masing kuburan sudah digali.
Jam delapan malam, akhirnya mereka pergi, aku pun dengan Ibu memutuskan pulang. Cincin dari Rusdi masih ada di tanganku, tak ada yang tahu. Malamnya sehabis salat isya, sekitar jam duabelas malam. Ada suara berisik di luar rumah.
“Ndi, kembalikan cincinnya, tolong Ndi. Aku sakit, tolong ….” Seperti suara Rusdi. Jangan-jangan, bergegas kuberanikan diri untuk keluar. Tampak ada seorang laki-laki menggunakan topi dan hodie warna hitam berjalan buru-buru saat tahu aku keluar.
“Hei, kamu siapa! Hei … apa yang kamu lakukan!” teriakku. Karena ia sepertinya membuang barang ke arah bunga-bunga di halaman. Tapi pria itu terus berjalan tanpa menoleh, mau mengejar pun nyaliku agak ciut. Ini sudah jam duabelas lebih, suasana sepi. Mana teringat kejadian di rumah sakit tadi, aku pun buru-buru masuk rumah.
Kaget melihat Ibu tersenyum di dapur, katanya lapar, jadi bikin mie. Sejak kapan Ibu suka makan mie? Bergegas aku kembali ke dapur, tapi tidak ada orang. Hanya bekas panci saja berhamburan. Buru-buru aku ke kamar Ibu, tapi Ibu tampak terlelap.
“Heii! Siapapun kamu! Apa mau kamu, ada urusan apa aku dengan kalian!” teriakku memberanikan diri, kepalang basah.
“Ndiii, Andii tolong akuu, kembalikan cincin itu, toloong!”
“Wooi baik kamu! Kenapa mati saja nyusahin yang hidup!”
Suara tawa yang di rumah sakit terdengar lagi, kali ini dari kamar Ibu. Bergegas aku ke sana, tampak Ibu sedang tersenyum ke arahku, tapi kepala dan badannya terbalik depan dan belakangnya.
“Jangan ganggu Ibu, ambil cincin itu, aku tidak butuh ambil sanaa!” teriakku putus asa. Tak bisa kubayangkan andai iblis itu merasuki Ibu.
“Ibu istighfar Buu! Ayoo Bu, istighfaar, ingat Allah, Buuu!”
Senyum Ibu makin lebar, dan makin mengerikan, suara Rusdi yang minta tolong. Aku pun berteriak sekencang-kencangnya. Allahu akbaar! Allahu akbaar! Entah berapa kali aku teriak, sampai aku merasakan lelah. Saat kubuka mata, Ibu masih terlelap tidur, seperti tak terjadi apa-apa. Kulihat sudah jam dua dini hari, suara Rusdi masih jelas kudengar di telinga.
Cepat kuambil air wudhu, salat sunah, banyak minta ampun dan ambil alquran aku mengaji dengan suara keras. Lamat-lamat suara itu menghilang, hatiku pun sudah sedikit tenang. Selesai mengaji aku sepertinya tertidur, karena Ibu membangunku saat adzan subuh terdengar.
“Ndi, kenapa tidur di sini, Ibu mau salat,” katanya lembut, tangannya terasa hangat menyentuh pipiku.
“Ibu tidak apa-apa? Semalam tidak mimpi aneh?”
“Semalam Ibu mimpi Rusdi. Katanya dia minta tolong kamu kembalikan cincin. Ibu kan bingung, dia marah dan seperti mau cekik Ibu. Rasanya mengerikan. Entah apa yang dibuat anak itu, sampai sudah meninggal pun membuat kita susah.”
Aku hanya bisa diam, tidak tahu mau bicara atau tanya ke siapa. Tiba-tiba ada yang datang di jam subuh begini. Menyebut namaku, suara perempuan.