Hari ini genap satu minggu aku tidak salat. Aku tahu ini salah, tapi kekuatan ini seperti terlalu kuat membelengguku. Berkali-kali kulihat Ibu menangis, tapi rasanya aku tidak bisa melawan pikiranku. Sampai akhirnya aku menyerah dan lelah.
Sepertinya aku tertidur, atau ini nyata aku tidak tahu. Ega datang dengan Wina, tapi ini Wina yang lain yang aku kenal. Tampak kurus dan wajahnya menghitam.
“Ndi, jangan ikuti jejak Rusdi dan Mas Bayu, kembalikan cincin itu.”
“Tapi bagaimana caranya? Aku tidak tau.”
Antara sadar dan tidak, Ega mendorong tubuhku keras. Wina sudah berubah. Wajahnya sekarang penuh senyuman, tapi mengerikan. Dia memutar-mutar lehernya, seperti tidak ada urat-urat di lehernya.
“Serahkan cincin itu sekarang. Ini kesempatan terakhirmu!” teriak Ega.
“Allahu akbar … Allahu akbar, Allahuuuu Akbaaaar!” teriakku sekencang mungkin. Seperti ada kekuatan yang terlepas dari tubuhku. Dan seperti tulang-tulang ini terlepas, aku pun jatuh. Sempat kulihat Ega mengambil cincin itu, diikuti Wina dan Nenek tembakau.
“Ndi … Andi bangun, Nak,” bisik Ibu pelan.
“Ini jam berapa?”
“Sudah subuh, kamu tertidur dari kemarin sore,” kata Ibu.
Hatiku rasanya lega, tapi badanku rasanya mati rasa. Berkali-kali kucoba gerakkan tapi tidak bisa.
“Ibu, apa yang terjadi? Kenapa aku tidak bisa menggerakkan tubuhku? Aku sadar, Bu. Ini kucubit sakit, tapi kakiku mati rasa.”
Ibu pun panik, aku hanya bisa berkali-kali istighfar. Entah ada urusan apa, Pak Ustadz datang dengan seorang lelaki agak tua. Sepagi ini sehabis jamaah subuh, katanya ada seorang gadis bernama Ega datang ke mimpi Pak Tua minta tolong. Pak Tua yang hanya diberi tahu suruh datang ke mushola dekat rumah pun pergi dan bertanya pada pak ustadz.
“Kata Ega, di mana kamu lihat ada laki-laki membuang barang pas subuh?”
“Di halaman depan, dekat pohon kaktus,” jawabku.
Kedua pria itu pun tampak berdoa sebentar dan jalan ke teras. Tak lama aku mendengar teriakan Ibu.
“Siapa majikanmu!” teriak Pak ustadz. Aku hanya melihat Ibu mengeram seperti singa. Kerudung yang selalu dia pakai sudah terlepas. Rambutnya yang panjang terlihat makin menyeramkan. Aku benar-benar takut melihat Ibu. Matanya merah sekali.
“Kenapa kalian ganggu kami? Apa salah kami!” teriak suara dalam tubuh Ibu. Sepertinya ada banyak orang di dalam sana.
“Kamu tinggal di tempat yang salah!”
“Bukan salah kami, mereka yang mengundang kami datang!” Kali ini suara itu semakin keras. Kakiku terasa makin berat, napasku juga sesak. Ibu tampak tertawa, eh tunggu, itu air mata. Ibu menangis, oh, siapa orang jahat yang tega membuat Ibu seperti ini.
“Tempatmu bukan di sini!” Secepat kilat lelaki itu memegang kepala Ibu, sementara Pak Ustadz menyiram ibu dengan air sambil membaca doa.
“Ibu, ingat Allah, dan minum air ini. Ibu, ayo Allah maha berkuasa, jangan mau dikalahkan oleh iblis, Ibu bangun!” Suara lelaki tua itu dari lembut hingga membentak Ibu. Tapi tubuhnya memberontak meronta-ronta seperti ingin lepas. Sementara lelaki tua itu hanya memegang kepala Ibu. Sepertinya sudah menempel.
“Andi baca Ayat Kursi, berdoa sebisamu!” teriak Pak Tua. Entah kekuatan dari mana, aku membaca ayat kursi dengan pelan tapi jelas. Aku terus membaca entah berapa kali, dan aku yakin itu semua karena Allah. Aku yang sepertinya tidak hafal surat itu bisa membaca berulang-ulang.
Matahari mulai keluar, keadaan Ibu semakin lemah, sementara aku makin kuat. Kakiku mulai bisa digerakkan. Pak tua membaringkan Ibu di sofa ruang tengah. Pelan sedikit tertatih, aku pun bisa duduk di samping Ibu.
“Pak Ustadz tadi itu apa, siapa?”
“Kami juga belum tahu, tapi kalau menurut Ega, darah kamu cocok dengan penguasa mereka. Dan kamu akan jadi pengganti tuan mereka yang makin lemah.”
“A-apaa! Ta-tapi itu karena apa? Berdasarkan apa? Bukankah Rusdi yang mencuri cincin itu?”
“Rusdi dan Bayu hanya kebetulan ada di antara kamu dan Wina. Kalian berdua sedang diperebutkan oleh kekuatan gelap.” Pak tua itu menjelaskan sambil mengisap rokok dan mengembuskannya kuat-kuat.
“Aku sudah tua, rasanya tidak bisa hadapi ini sendirian. Andai saudara-saudaraku yang paham mau membantu. Ada kekuatan besar yang ada dibalik semua ini. Kekuatan dajjal,” katanya lirih.
“Mak-maksud Bapak?”
“Tubuhmu, sangat pas dengan dajjal yang sedang mencari rumah atau tubuh baru. Dajjal berujud manusia, yang menyesatkan banyak manusia.”
“Apa yang harus saya lakukan?”
“Jangan sampai lalai salat. Perbanyak dzikir. Kalau bisa puasa, kurangi makanan jasmani, berbanyak makanan rohanimu.”
Aku hanya bisa termangu, apa salahku, siapa aku? Sampai iblis mengincarku? Setelah Ibu sadar, Pak Tua itu menanyai Ibu, siapa ayahku sebenarnya.
Hari itu aku baru tahu, kenapa Ibu selalu bilang tak punya saudara dan sebatang kara. Aku adalah anak dari Kakek dan pakdeku, yah, ibuku korban perkosaan yang dilakukan oleh ayah dan kakaknya sendiri. Ibu menangis sambil memelukku.
“Kapan usia Andi genap dua puluh lima?” tanya Pak Tua itu ke Ibu.
“Nanti dua hari lagi, pas dengan wetonnya Kamis paing.”
Pak tua langsung mengambil teleponnya, dan menghubungi beberapa orang dengan menggunakan beberapa bahasa daerah. Selesai menelpon, wajahnya terlihat lega. Katanya beberapa temannya akan tiba di sini paling lambat besok hari Rabu.
Pak ustadz pamit sebentar, untuk menyerahkan urusan ke bapak yang lainm ia berpesan agar aku dan Ibu tidak keluar rumah. Nanti ia dan Pak tua yang akan bergantian jaga. Tak lama Ega pun datang dengan dua wanita berjubah besar. Membawa beberapa makanan, mereka pun langsung berkeliling rumah, menyiram air. Aku dan Ibu hanya bisa melihat semuanya.
“Pernikahan itu harus terjadi di hari Kamis, dan keadaan Wina saat ini kuat sekali, tapi raganya terlalu lemah. Dia sudah mulai memakan beberapa hati pengantin.” jelas Ega. Yang membuatku makin bertanya-tanya. Pernikahan apa? Pernikahan siapa?