Jam dua belas, Pak tua yang tidak mau menyebutkan namanya itu minta dipanggil Mbah Mong, dia pamit ke mushola.
“Aku punya firasat tidak baik tentang pak ustadz. Ega, dan kamu Bu kembar, jaga Andi baik-baik jangan lengah. Jam dua siang kekuatan Wina di titik tertingginya.”
Ketiga wanita itu mengangguk, Ega pun menyuruhku untuk salat dan mengaji, sementara Ibu, karena masih lemah salatnya di atas sofa. Jam setengah satu, ada orang datang, tapi Ega tidak mau membuka pintu. Takut itu adalah suruhan Nenek tembakau. Sementara kami pun mulai diserang rasa lapar, seolah kami tidak makan berhari-hari.
“Ndi, Ibu lapar, Ndi. Sakit,” tangis Ibu, membuat konsentrasi Ega pecah. Antara fokus ke tamu yang datang, atau ke Ibu yang mulai tertawa aneh.
Sementara Bu kembar berjubah besar itu berdiri di balik pintu, seperti tengah menahan serangan. Ega kewalahan, dia memintaku keluar.
“Tapi, Non. Itu beresiko,” kata salah satu dari Bu kembar.
“Dia tak akan mencelakai Andi. Kalau Andi tetap di dalam, kita semua akan mati, bisa jadi Andi tidak bisa diselamatkan,” jawab Ega dengan nada khawatir.
“Jangan keluar, Ndi, Ibu mohon, lihat Ibu,” kata Ibu dengan suara yang kukenal. Tapi tak lama senyum mengerikan itu kembali muncul. Seolah-olah Ibu memakai topeng, wajahnya bisa tiba-tiba berubah.
“Jangan keluar, Ndi. Diam di situ!” teriak suara dari luar.
Ega makin bingung, katanya ada tiga orang di luar. Sudah jam satu, Ibu mulai bicara tidak karuan, suaranya pun berubah-ubah.
“Bu kembar, saya tidak bisa menahan ibunya Andi terlalu lama. Saya sudah kesakitan,” kata Ega dengan terengah-engah.
Jujur, aku sedikit bingung, aku lihat Ega hanya duduk, Bu kembar pun berdiri. Tampaknya tidak melakukan apa pun, tapi keringat mereka bercucuran dan napas terengah-engah.
“Pakai cincin ini! Aku yang bertanggung jawab!” teriak Ega sambil melempar cincin yang kemarin ia minta.
Begitu kupakai, spontan aku melompat, astaghfirullah, laillahailallah, Allahu akbar. Makhluk-makhluk menyeramkan itu mengelilingi Ibu. Mereka menarik Ega dan Bu kembar. Rasanya aku ingin lari, takut, pasti. Tiba-tiba entah dari mana datangnya, dua lelaki itu sudah ada dalam rumah. Yang satu seorang ustadz yang sering kulihat di televisi. Satu lagi seorang artis ternama. Mereka langsung duduk bersila, dan merapal doa, atau membaca ayat-ayat alquran tepatnya, dengan suara kencang dan angin seperti memporak porandakan seisi rumah.
Makhluk-makhluk itu mental dan menjauh dari Ega juga Bu kembar. Menjadi satu, hingga muncul makhluk yang besar sekali dan ia mengangkat Ibu. Kedua pria itu matu-matian merebut Ibu. Aku hanya bisa melihat tubuh Ibu dilempar ke sana kemari. Tak lama Mbah Mong pun datang, dan sekarang kekuatan makhluk itu melemah. Ia membanting Ibu dan ada bunyi krak, seperti tulang yang patah.
Terlambat, aku tidak bisa menangkap Ibu, sepertinya, tangan dan kaki Ibu, patah.
Jam setengah dua, makhluk itu pergi, dia bilang, tunggu tuannya akan datang. Dan di katakan kami akan jadi santapan.
“Andi, kami tidak sabar mengikuti perintahmu!” kata makhluk itu. Dan ia pun menghilang. Tapi kata Mbah Mong, ia tidak benar-benar pergi jauh. Jam dua … jam tiga, kami menunggu, tidak ada serangan dari Wina. Akhirnya kami istirahat.
Jam empat, kata Mbah Mong, kami bisa istirahat. Ia memperkenalkan ustadz Muntaz dan aktor laga Benzo, yang punya nama asli Afnan. Tak lama muncul dua teman lagi Pak Hafiz dan Om Dahlan. Mereka berlima dulu, konon katanya sering membongkar tempat-tempat pemujaan.
Mereka berlima saat muda dikaruniai Allah seperti penglihatan, dan mereka suka sedih kalau ada pemujaan-pemujaan. Apalagi buat mereka yang mengaku muslim, tapi lebih percaya pada hal-hal selain Allah dan bersekutu dengan iblis.
Hingga berjalan waktu, mereka berumah tangga, punya kesibukan masing-masing dan berpencar. Hanya satu hal yang akan membuat mereka bersatu, yaitu ketika dajjal muncul, mencari tubuh baru. Dan itu akan terjadi saat ada lelaki yang cocok. Lahir dari perawan yang mengandung dari ayahnya atau saudara lelakinya. Dan aku? Ibuku digauli oleh kakek dan pakdeku selama dua tahun. Dan tepat kamis nanti di umurku ke-25, tubuhku akan menjadi sempurna jadi rumah barunya.
Saat dia memasukki tubuhku, maka kekuatannya akan berkali lipat. Dan kenapa harus Wina yang jadi pengantinnya? Karena dia hidup di atas dua perjanjian dan dua kematian.
Rusdi dan Bayu, mereka bersekutu dengan iblis, mengadakan perjanjian. Bayu mengorbankan anak-anak Wina kelak. Sementara Rusdi mempersembahkan Wina sebagai perjanjian.
Aku hanya tak habis pikir dengan penjelasan Mbah Mong. Kenapa semuanya seperti kebetulan.
“Tidak ada yang kebetulan, Ndi. Allah sebaik-baik pengatur. Hanya kamu kuat apa nggak, kamu pilih Allah apa nerakanya.”
“Apa saya masih punya pilihan, Mbah?”
“Asal imanmu kuat, keyakinanmu pada Allah kuat, Mbah rasa, para malaikat pun tidak akan membiarkan kamu membusuk di neraka jahanam.”
Tiba waktunya maghrib. Kami semua salat berjamaah, kecuali Ega. Rupanya dia seorang nasrani. Dia pun berjaga, seolah akan ada serangan besar. Bau kemenyan kuat sekali. Ibu sudah mulai tertawa, kali ini tawa ibu seperti anak kecil.
Selesai kami salat, Ega sudah terkapar, dan Ibu menempel di langit-langit rumah. Seperti kecoak yang hingga kesana kemari, dan seperti cicak yang merayap di tembok. Wajah Ibu makin menyeramkan.