Setelah melewati ujian akhir semester yang melelahkan, liburan akhirnya tiba. Bagi Ayudia, liburan selalu dianggap sebagai waktu untuk bermalas-malasan secara berlebihan, sebagai bentuk pemulihan dari kelelahan akibat belajar dan ujian, terutama setelah semester yang begitu berat baginya. Namun, kali ini, liburan terasa seperti neraka baginya.
Ya, sungguh seperti neraka.
Pikirannya dipenuhi dengan kebisingan yang tiada henti, mirip dengan suara klakson yang terus-menerus berbunyi. Tidak hanya itu, Ayudia sering kali melewatkan waktu makan siang dan makan malam, lebih memilih untuk mengurung diri di dalam kamar sambil menatap langit-langit. Ibunya menyadari hal itu karena Ayudia tidak mengunci pintu kamarnya, namun, baru-baru ini, Ayudia mulai mengunci pintu kamarnya. Dia hanya keluar untuk sarapan.
“Ayu… Ayu… mari makan nak… Ibu sudah memasak ikan kesukaanmu…” “Kamu sudah dua hari tidak makan… dan hanya menghabiskan waktu di dalam kamar, apa yang sedang kamu lakukan? Tolong buka pintunya, nak…”
Mendengar suara lembut ibunya, Ayudia membuka pintu kamarnya. Ibunya sedih melihat anak semata wayangnya pucat dan tatapan matanya kosong. Sebelumnya, Ayu keluar dari kamar dengan mata bengkak, tanpa alasan yang jelas.
“Ayo, kita makan bersama…”
Ayudia menuruti perintah ibunya dan mereka berjalan menuju ruang makan. Aroma harum dari masakan kesukaannya yang dibuat ibunya menyelimuti ruangan. Sudah lama baginya tidak merasakan masakan kesukaan itu, mungkin sudah dua tahun yang lalu. Ayudia makan dengan lahap agar ibunya tidak semakin sedih, bahkan menambah porsi makanannya. Sementara itu, ibu Ayudia sibuk memasak masakan lain dan bertanya kepada Ayudia apa sebabnya dia mengurung diri akhir-akhir ini, apakah masalahnya terkait dengan keluarga, pertemanan, kecemasan akan nilai ujian, atau hal lainnya.
“Bukan, bukan di antara semuanya itu,” jawab Ayudia. “Lalu, kalau bukan itu, apa penyebabnya? Jangan pendam sendiri, mari kita berbagi,” balas ibu Ayudia.
Ayudia hanya diam. Dia bingung bagaimana harus menjelaskannya. Hanya dia yang tahu perasaannya sepenuhnya. Ibunya memandangnya dengan heran.
“Bagaimana kalau Ayudia ikut sebagai relawan bersama Altha, Bu? Pasti seru kan, dan mereka akan pergi ke desa yang memiliki pemandangan indah. Mungkin itu bisa mengembalikan semangat Ayudia. Selain itu, dia juga bisa mendapat pengalaman baru,” ujar Devi.
Devi adalah teman baik ibu Ayudia sejak sekolah menengah atas, mereka sudah bersahabat selama lebih dari 30 tahun. Astuti, ibu Ayudia, bercerita tentang keadaan putrinya kepada Devi, dan Devi mengusulkan Ayudia untuk ikut sebagai relawan. Devi memiliki sebuah komunitas relawan yang terkenal di kalangan anak muda dan sudah berdiri sejak lama. Mereka mendirikannya bersama suaminya dengan tujuan membantu pendidikan dan hal-hal lain di desa-desa yang jauh dari kota.
“Apakah tidak masalah Ayudia ikut tanpa melalui seleksi?” tanya Astuti. “Tidak masalah. Mungkin dengan ikut kegiatan ini, semangatnya akan kembali,” kata Devi. “Baiklah, Dev. Terima kasih atas sarannya. Aku akan membujuk Ayudia,” balas Astuti. “Oh ya, Bu, mereka akan berangkat pada hari Senin minggu depan, jadi tolong pastikan Ayudia setuju, dan kegiatan ini berlangsung selama seminggu di desa Teja,” ungkap Devi. “Baiklah, aku akan memberi tahu,” jawab Astuti.
Astuti menutup teleponnya dengan Devi dan kemudian menuju kamar Ayudia. Kali ini, Ayudia tidak mengunci pintu kamarnya, jadi Astuti melihat putrinya sedang membaca buku karya Henry Manampiring.
“Nak, bagaimana kalau kamu ikut sebagai relawan ke desa Teja? Tante Devi menawarkan, mereka akan berangkat hari Senin minggu depan. Kamu bisa pergi bersama Altha, anaknya Tante Devi, hanya untuk seminggu kok,” ajak Astuti. “Tapi kan aku tidak melalui seleksi. Apakah boleh aku ikut?” tanya Ayudia. “Tante Devi bilang tidak masalah. Dia merasa kamu akan suka dengan pemandangan di desa itu. Jadi, kamu mau ikut?” tanya Astuti lagi. “Hm…” “Hm… Hm… Kamu mau atau tidak? Lagipula kamu memiliki liburan selama dua bulan.” “Hm… baiklah, aku akan ikut… toh hanya seminggu, kan?” “Iya, hanya seminggu, Sayang. Baiklah, ibu akan segera memberi tahu Tante Devi.”
“Rasanya kegiatan di desa Teja pasti akan seru,” ujar Ayudia.
Altha, sebagai ketua koordinator, mengatur segala persiapan mereka dan mengabsen semua anggota relawan. Bus mereka akan berangkat jam 8 pagi dan perjalanan menuju pusat desa Teja memakan waktu tiga jam. Desa Teja berada di sebuah pulau, jadi mereka harus melanjutkan perjalanan menggunakan kapal selama tiga jam lagi.
Setelah enam jam perjalanan yang melelahkan, mereka tiba di desa dan makan siang terlebih dahulu. Setelah itu, mereka menuju rumah-rumah yang telah disewa untuk tempat tinggal mereka. Meskipun mereka menyewa dua rumah terpisah untuk laki-laki dan perempuan, rumah-rumah itu cukup dekat satu sama lain. Setelah itu, mereka mengunjungi kepala desa untuk memberi tahu bahwa mereka sudah sampai. Di sana, Ayudia bertemu dengan salah satu relawan lain, bernama Dea. Terkejutnya, Dea masih remaja, berusia 17 tahun, baru lulus SMA, dan bergabung karena penasaran dengan pengalaman menjadi relawan. Mendengar alasan Dea, Ayudia merasa kagum karena pada usia yang masih muda, Dea memiliki tekad untuk mencoba hal-hal baru.
Keesokan harinya, Altha, Ayudia, Dea, dan tiga relawan lainnya mendapat tugas untuk mengajar bahasa Inggris di sebuah sekolah dasar, karena di desa itu belum ada pelajaran bahasa Inggris. Altha memulai kelas dengan mengajarkan dasar-dasar bahasa Inggris dengan lagu-lagu dan cara pengucapan alfabet. Kemudian, relawan lain memberikan kosakata dasar yang sering digunakan sehari-hari. Sementara itu, Ayudia menggunakan permainan untuk mengajarkan kosakata bahasa Inggris. Altha melihat Ayudia yang sangat bersemangat, seolah-olah dia adalah seorang guru yang sudah lama tidak bertemu dengan murid-muridnya. Selain bermain sambil belajar, Ayudia juga menyiapkan hadiah cemilan bagi siswa yang berhasil menjawab pertanyaannya dengan benar.
Pada sore hari, mereka bermain bersama anak-anak desa di lapangan. Mereka bermain petak umpet, lompat tali, dan tarik tambang. Ayudia dan relawan lainnya juga bergabung dengan antusiasme, tidak ingin kalah dari anak-anak desa. Selain itu, ada juga yang bermain bulutangkis dan sepak bola bersama anak-anak desa lainnya.
Kegiatan mereka berlanjut seperti itu hingga hari keempat, ketika mereka mengunjungi panti asuhan di desa tersebut. Ayudia terkejut mengetahui bahwa ada sebuah panti asuhan di desa itu. Mereka mengajar bahasa Inggris dan membacakan kisah-kisah Nabi kepada anak-anak di sana. Setelah kegiatan belajar selesai, mereka bermain bersama anak-anak, memberikan buku, makanan, dan pakaian kepada mereka. Ayudia duduk di pondok kayu di pinggir lapangan, melihat anak-anak dan relawan lainnya bermain sepak bola. Altha mendekati Ayudia dan bertanya mengapa dia mengurung diri di kamar dan tidak berbicara kepada ibunya.
“Ah, itu… sepertinya ibu telah bercerita kepada Tante Devi,” kata Ayudia. “Ya, dan ibu serta aku yang memberikan saran untuk mengajakmu ikut kegiatan ini… jadi, apa kamu sudah merasa lebih baik?” tanya Altha. “Jika ditanya apakah sudah lebih baik atau belum, mungkin setengah, karena pikiranku masih dipenuhi oleh beberapa hal,” kata Ayudia. “Maaf, jika aku terlalu tajam, tapi apakah kamu memiliki masalah dengan keluarga?” tanya Altha. “Tidak, Kak,” jawab Ayudia sambil tersenyum, kemudian melanjutkan, “Aku hanya mendengar pembicaraan yang membuatku berpikir aneh. Tante Devi menceritakan bahwa temannya menikah dengan ayahku, namun dia tidak pernah menemuiku. Aku bertanya-tanya, apakah dia lupa atau ada alasan lain?” ungkap Ayudia, sambil menangis.
Memang sulit membicarakan masalah keluarga. Altha merasa iba melihat Ayudia menangis dan memeluknya. Dia tidak tahu harus berkata apa, karena dia tidak pernah mengalami situasi seperti Ayudia. Yang bisa dia lakukan hanyalah memeluk Ayudia dengan harapan dia akan merasa lebih baik. Altha menyadari bahwa masalah seperti itu tidaklah mudah untuk dibicarakan, terutama kepada ibu Ayudia. Ayudia sepertinya sudah memendam perasaannya begitu lama hingga menangis seperti itu.
“Tapi setelah melihat mereka, aku merasa lega karena masih memiliki ibu dan keluarga. Walaupun begitu, aku senang bisa melihat mereka tersenyum dan tertawa bersama, mereka sudah seperti saudara bagi saya,” kata Ayudia sambil tersenyum melihat anak-anak panti bermain sepak bola di depannya.
Sebelum mereka pulang, mereka mengunjungi air terjun di desa itu dan beberapa di antara mereka berenang. Keesokan harinya, mereka berpamitan kepada warga desa dan anak-anak, yang menunggu sampai mereka benar-benar pergi.
Setelah lima bulan sejak kegiatan relawan itu, Ayudia rutin memberi sedekah ke panti asuhan setiap dua minggu sekali. Setiap kali dia merasa buruk dan tidak bahagia dengan keadaan, dia selalu mengingat bahwa kunci dari semuanya adalah bersyukur.