Petualang Masa Lalu episode 15

Chapter 15 : Kemenangan (Semu ??)

Aku berjaga untuk menjaga segala kemungkinan yang terjadi. Kewaspadaan ditingkatkan…
Jangan sampai.ada yang mengganggu adu tenaga dalam antara Ki Santiko dan musuhnya.
Mereka sedang dalam keadaan genting, tanpa energi pelindung, karena seluruh kemampuannya sedang dikerahkan ke satu arah…telapak tangan.
Aku sebenarnya bisa saja membantu Ki Santiko dengan menyalurkan tenaga dalamku agar Ki Santiko bisa menang. Tapi itu tindakan curang, yang tak akan kulakukan.
Selama mereka masih bertempur dengan ksatria, aku tak akan ikut campur.
Aku hanya berjaga, untuk menghindari serangan bokongan terhadap Ki Santiko.

Uap putih yang mengepul di kepala mereka semakin tebal… Fase paling kritis terjadi di sini. Siapa menang siapa kalah bakal.ditentukan sebentar lagi.
Atau.bisa juga mereka sampyuh…mati semua.
Jantungku berdegup.makin cepat… Aku menyingkir dari dekat Ki Santiko, karena tekanan adu tenaga dalam mereka sangat besar. Jika seseorang mendekat ke area mereka dan terlalu dekat, maka dia bisa jadi korban.
Aku pernah mendengar tentang hal ini.
Saat sedang pada puncak ketegangan itulah, sekelebat bayangan melesat ke arah mereka yang sedang beradu tenaga dalam itu.
Aku hendak mencegahnya, tetapi.kalah cepat.
Dengan kedua tangannya, bayangan itu menghantam.dua tangan yang beradu tepat di tengahnya.
Lalu dengan kibasan kedua tangannya, bayangan tadi memisahkan 2 tangan yang beradu.
Ki Santiko dan musuhnya sama-sama terjengkang ke belakang.
Keduanya muntah darah, lalu terkapar. Dada Ki Santiko turun naik dengan cepat… Nafasnya tersengal-sengal.

Aku memandang ke depan… Melihat siapa yang sudah memisahkan kedua orang itu. Dalam remang cahaya dini hari, aku melihat sesosok tubuh tegap dan besar berdiri dengan tenang di tengah arena.

“Ki Gede….?” desisku.

Benar, itu adalah ki Gede yang memisahkan pertempuran adu tenaga kedua orang itu.
Tapi apa alasannya? Mengapa harus dipisahkan?

“Nak Aji, bantulah Adi Santiko untuk memulohkan tenaganya. Pertempuran sisi selatan ini sudah selesai. Akan kubawa musuh Adi Santiko ini ke penjara!” kata Ki Gede dengan suara baritonnya yang berwibawa.
“Eh…baik Ki Gede!” jawabku.

Aku mendekati Ki Santiko, memapahnya untuk duduk.bersila, dan aku duduk di belakangnya.
Kutarik nafas, kuhimpun tenaga dalam, dan kutempelkan kedua telapak tanganku di punggung Ki Santiko.

Ki Santiko bersedekap dan membiarkan tenaga dalamku meresap ke tubuhnya. Lalu diolahnya tenaga dalamku, dan diputar berkeliling ke seluruh tubuhnya.

HOAXX……

KI Santiko kembali memuntahkan darah kental hitam berbau amis.
Lalu beliau bernafas lega, dan mulai meditasi untuk memulihkan kekuatannya.
Saat kurasa cukup, aki lepas telapak tanganku dari punggung Ki Santiko. Kubiarkan beliau menyembuhkan luka dalamnya dan mengumpulkan kembali tenaga dalamnya.

Cukup lama Ki Santiko bermeditasi, sampai subuh beliau masih bermeditasi.
Aku hanya berjaga, karena orang yang sedang bermeditasi, dan memulihkan tenaga dalam, ga boleh ada gangguan sedikitpun.

Sambil menjaga Ki Santiko, kuedarkan pandanganku ke sekeliling.
Tampak barisan pasukan tanah perdikan Manyaran sedang sibuk mengobati teman-temannya yang terluka, dan mengurusi yang mati.

Kulihat Ki Gede sedang menyalurkan tenaga dalam kepada musuh Ki Santiko.
Setelah musuh Ki Santiko membaik, Ki Gede menyuruh 4 orang pengawalnya untuk membawa orang itu ke kediaman beliau.

Setelah itu barulah Ki Gede menghampiri kami.
Sambil menunggu Ki Santiko selesai bermeditasi, Ki Gede memberitahukan hasil pertempuran di sisi lain.
Pada intinya, di semua sisi, pasukan tanah perdikan memenangkan pertempuran. Dan ternyata yang menjadi pusat kekuatan musuh adalah di arah Selatan, tempatku dan Ki Santiko berjaga.
Orang yang bertempur dengan ki Santiko tadi adalah pemimpinnya, makanya dibawa ke rumah Ki Gede untuk nanti ditanyai mengapa menyerang tanah perdikan Menyaran ini.
Belum diketahui, penyerang itu dari daerah mana, dan siapa yang ada di balik layar penyerbuan ini.

“Jadi menurut Ki Gede, masih ada orang yang bekerja di balik layar dalam penyerbuan ini?”
“Benar… Dari semua pemimpin pasukan penyerbu, aku tidak mengenal seorangpun dari mereka. Jadi, kurasa sebenarnya mereka tidak punya rasa sakit hati pada tanah perdikan ini!”
“Lalu, kira-kira apa tujuan mereka menyerang tanah perdikan ini?”
“Nanti perlahan akan kita ketahui. Aku mempunyai firasat bahwa ini hanyalah serbuan untuk menguji kekuatan Tanah Perdikan Manyaran ini. Mungkin di belakang hari, akan ada penyerbuan yang lebih besar lagi! Tapi semoga firasatku ini tidak benar!” kata Ki Gede dengan lemah.

“Uhuk….!”

Serentak kami menengok ke arah Ki Santiko. Ternyata beliau sudah selesai bermeditasi. Wajahnya yang tadi pucat, sekarang sudah tampak lebih segar dan kemerahan, pertanda kondisinya sudah membaik.

“Tampaknya kondisimu sudah membaik Adi.” tegur Ki Gede.
“Benar kakang… Sudah lebih baik dari tadi.” sahut Ki Santiko.
“Bisakah kau berjalan hingga ke rumahku?”
“Bisa kakang. Kau tak usah khawatir, aku sudah kuat untuk berlari sekalipun.
” Baiklah kalau begitu, mari kita pulang…!”

Kami bertiga berjalan beriringan, kembali ke rumah Ki Gede Pamungkas.
Pasukan sudah mendahului kami.

Dengan lambat, perjalanan itu kami lakukan, mengingat kondisi Ki Santiko yang masih agak lemah.
Walaupun tadi sesumbar kalau beliau masih dapat berlari.

Setengah jam kemudian, sampailah kami di rumah Ki Gede.
Ki Santiko dan aku dipersilahkan untuk istirahat dulu. Nanti kira-kira tabuh (pukul) 10, kami akan membahas tentang penyerbuan itu.
Setelah membersihkan diri di pakiwan, sekalian wudhu..kami sholat di kamar masing-masing.
Selesai sholat, aku langsung terkapar dan terdampar ke alam mimpi. Mataku terasa sangat berat untuk dibuka.

Aku terbangun oleh sebuah ketukan di pintu kamarku.
Lalu kulihat Menur masuk membawa baki (nampan) berisi minuman hangat dan makanan.

“Kangmas, silahkan ini dirahapi (dinikmati)!” kata Menur sambil meletakkan nampan itu di meja dekat amben (ranjang).

“Terima kasih den ayu Menur…!”
“Kangmas… Mbok jangan manggil den ayu lah. Panggil saja nimas gitu!”
‘Iya den a… Eh…nimas Menur!”
“Nah…begitu donk. Kedsngarannya lebih enak!”
“Ah…biasa saja kok. Lebih enak makanan ini malah…!” sahutku.
“Ahhh… Kangmas ini lho, guyon (bercanda) terus, orang aku serius kok!”
“Haha…jangan ngambek Nimas. Ayo makan sekalian!” ajakku pada Menur.
“Aku sudah tadi kangmas.. Aku permisi dulu kangmas. Mau membantu kanjeng ibu!”
“Silahkan Menur, dan terima kasih sudah diantarkan makanannya!”
“Sama-sama kangmas….!” katanya sambil menutup pintu kamar.

Aku menikmati sarapan pagi itu dengan nikmat. Perut yang lapar memang membuat segalanya jadi enak, walaupun hanya masakan sederhana.

Setelah selesai makan, aku merokok tingwe (nglinting dewe = melinting sendiri).
Walaupun rasanya kalah nikmat dengan rokok di jamanku, tapi lumayan lah… Daripada ga ada asap nikotin…hehe.

Selagi asyik menikmati rokok, masuklah Melati untuk mengambil bekas makanku tadi.

“Kangmas, dipanggil kanjeng romo.dan Ki Santiko di pendopo!”
“Baiklah, aku akan segera kesana den ayu…!”
“Kangmas, boleh aku minta sesuatu padamu?”
“Apa itu den ayu? Kalau aku punya dan sanggup, pasti akan kuberikan!”
“Bolehkah kau tidak usah memanggilku den ayu?”
“Ahh..aku tidak berani den ayu. Takut dianggap tidak sopan!”
“Oh..begitu? Kenapa dengan Menur mau memanggil Nimas?”
“Eh…itu..itu…!” aku gelagapan sendiri. Susah mau neranginnya…!!
“Ah…sudahlah.. Memang kangmas tidak adil!” sahutnya sambil cemberut dan bergegas keluar dari kamar. Untung cewe jaman dulu. Kalau cewe jaman sekarang, udah dibanting tuh pintu…
Aku cuma garuk-garuk kepala ga ngerti dengan tingkah laku putri penguasa Tanah Perdikan ini…

Memang…susah untuk memahami cewe, dari jaman baheula sampai jaman now…
Pusinggg…..

Aku bergegas menuju ke pendopo, masalah Melati, biarkan dulu saja.


Petualang Masa Lalu

Petualang Masa Lalu

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Hai...namaku Bayu Satriaji, biasa dipanggil Aji. Tadinya aku adalah mahaslsww Teknik Sipil di sebuah Universitas Swasta di kota XX. Aku mempunyai kemampuan super...eh...bukan ding.. Kemampuan supranatural, sebut saja begitu. Aku berasal dari kota YY, yang berjarak sekitar 4 jam perjalanan menggunakan motor. Di kota XX, aku tinggal di kost dan punya pacar satu kost bernama Desi.Merupakan seri kedua lanjutan dari cerita Sang Pamomong

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset