Setiap detil cerita aku coba untuk menperhatikan agar bisa mencari sesuatu yang bisa kujadikan dasar untuk menyelamatkan Melati.
Sayang, cerita Menik ga terlalu detil. Mungkin Ki Santiko akan mendapatkan detil yang lebih dari jin telik sandi.
Akhirnya selesai juga pembicaraan Ki Santiko dengan 2 jin itu. Setelah 2 jin itu mengundurkan diri, Ki Santiko mengajakku ke rumah Ki Gede.
Walah…udah larut banget lho ini. Mataku aja udah kayak pelita kehabisan minyak.
Tapi kata Ki Santiko, laporan ini tidak boleh ditunda. Setiap detik sangatlah berharga.
Yah…betul juga sih…
Pada akhirnya aku ngikut aja ke rumah Ki Gede.
Srsampainya di sana, Ki Gede sudah siap menyambut kami, lengkap dengan minuman hangat dan makanan pendampingnya di meja pendopo.
Tampak penjagaan di sekitar rumah Ki Gede diperketat.
Aku juga merasakan ada pengintai yang mengawasi kami di atas pohon atau di balik kegelapan.
Benar-benar penjagaan yang ketat.
Kok aku bisa tahu… Ya iya lah…wong dikasih tahu sama Zulaikha.
Setelah mengucap salam, kami masuk dan dipeesilahkan duduk berhadapan dengan Ki Gede.
“Sudah aku tunggu dari tadi kedatangan kalian. Ada berita apa?” tanya Ki Gede yang seolah tahu bahwa kami akan datang.
“Ada berita yang mengejutkan dari para telik sandi ghaib yang kami kirimkan Kakang!” jawab Ki Santiko.
“Aku siap mendengarkan. Tapi silahkan diminum dulu…untuk menghilangkan haus!” kata Ki Gede.
Aku tanpa ragu menuang minuman ke cangkir yang terbuat dari tanah liat itu. Kutuang 3 cangkir, untuk kami bertiga.
Setelah minum seteguk, Ki Santiko memberi tanda padaku untuk mulai bercerita.
Akupun menceritakan apa yang kudengar dari Menik. Jika ada yang kurang, Menik dan Zulaikha membisiki aku. Sehingga ceritaku bisa lengkap tanpa ada yang dikurangi.
“Hmm…ternyata dugaan kita selama ini benar. Pagar halimun seluas itu digunakan untuk menyembunyikan pasukan besar. Dan putriku disekap di sana juga ternyata!” gumam Ki Gede.
“Benar Ki Gede, itu yang berhasil kami dapatkan. Mungkin Ki Santiko mempunyai informasi yang bisa melengkapi. Karena, telik sandi Ki Santiko masuk dari arah yang berbeda!” sahutku.
“Bagaimana hasil telik sandimu Adi?”
“Baik Kakang, telik sandiku masuk dari arah yang berlawanan dengan telik sandi Nak Aji. Mereka mendapati bahwa bagian tinur pagar halimun itu adalah dapur, dan juga ada bangunan untuk kandang kuda.
Menurut perhitungan telik sandi yang kukirim, ada sekitar 260 ekor kuda di kandang itu.
Dan dari banyaknya makanan yang dimasak, diperhitungkan jumlah orang yang ada di situ sekitar 500-600 orang.” jelas Ki Santiko.
Wuah…hebat bener telik sandi Ki Santiko. Ga heran juga sih… Udah terbiasa sih mereka.
“Dan dari pengamatan telik sandiku, pasukan yang ada di situ adalah perampok-perampok yang biasa merampok di luar perbatasan Tanah Perdikan ini, serta berandal-berandal dari kotaraja.
Mereka hebat dalam pertempuran perseorangan, tapi aku kurang yakin jika mereka bertempur dalam gelar perang. Maka, untuk persiapan kita, sebaiknya kita memutuskan gelar perang apa yang cocok untuk menghadapi mereka.
Kemudian, telik sandiku juga menemukan gubug besar sekali sebagai pusat komando mereka. Dan apa yang disampaikan Nak Aji tadi, sama dengan yang dilaporkan oleh telik sandiku. Selebihnya, laporan berikutnya sama dengan laporan nak Aji, Kakang!” ki Santiko mengakhiri laporannya.
“Begitu… Perkiraab jumlah mereka 500-an orang. Prajurit kita ada sekitar 600 orang. Jika kita berperang menggunakan gelar perang, mungkin kita masih bisa menghadapi mereka. Menghindarkan pertempuran satu lawan satu akan lebih menguntungkan kita.”
“Benar kakang… Aku punya pemikiran yang sama dengan kakang. Tapi saat ini, kita harus memecah konsentrasi kita untuk menyelamatkan den Ayu Melati!” kata Ki Santiko.
“Benar Adi… Tapi itu tampaknya agak sulit, apalagi mereka dilindungi pagar halimun. Kalau kita menghancurkan pagar itu, tentunya mereka akan segera menggunakan Melati sebagai sandera untuk menekanku. Apalagi, tempat melati disembunyikan juga dilapisi pagar ghaib. Begitu kita hancurkan, akan segera ketahuan . Dan tentunya, setelah penyusupan tadi, penjagaan tempat dikurungnya Melati akan diperketat, atau mungkin tempat penahanannya akan dipindahkan. Bagaimana sebaiknya Adi?” ungkap Ki Gede.
Mendapat pertanyaan itu, Ki Santiko tampak berpikir keras.
Mencari cara yang paling menguntungkan dan tidak mencelakakan Melati.
Karena jika gegabah, tentunya hasilnya tidak akan seperti yang diharapkan.
Aku pura-pura ikut berpikir, padahal ga tahu strategi perang.
Yah buat persiapan saja kalau nanti dimintai usulan…haha.
Biar ga kelihatan bodo banget lah…
Sampai beberapa lama, suasana hening. Kami larut dalam pikiran masing-maslng.
Aku malah mikirin, mau ngambil makanan kok ga enak. Yang lain mikir kok.aku malah makan..
“Masalah ini sangat pelik, dan hari sudah sangat larut. Lebih baik kita beristirahat dulu!” kata Ki Gede
Nah…ini yang aku tunggu-tunggu, secara mata dah 5 watt lho…
“Baik kakang. Aku permisi pulang dulu!”
“Silahkan Adi… Hati-hati di jalan. Besok pagi akan kuadakan pertemuan terbatas antara kita dan pemimpin pasukan tanah perdikan.”
“Baik Kakang… Assalamu’alaikum..!”
“Wa’alaikum salam…!”
Setelah Ki Santiko pergi, aku hendak beranjak mengundurkan diri juga. Tapi pertanyaan Ki Gede menghentikan maksudku.
“Nak Aji, bagaimana pendapatmu untuk mrnghadapi masalah ini?”
Aku yang hendak bangkit kembali duduk di hadapan Ki Gede.
“Maaf Ki Gede, saya sebenarnya punya pendapat, namun mohon dimaafkan jika pendapat saya ini nantinya terdengar tidak pas dengan kondisi saat ini. Karena sesungguhnya saya tidak tahu sama sekali tentang strategi perang!” jawabku.
“Silahkan utarakan nak Aji. Kadang, orang yang tidak mengerti tentang strategi, usulnya malah sangat menarik dan masuk akal. Sedangkan ahli strategi kadang malah terlalu banyak memikirkan akibatnya sehingga malah bingung dalam menentukan langkah!” kata Ki Gede.
“Pendapat saya begini Ki Gede, tapi ini cuma garis besarnya saja. Sedangkan pelaksanaannya nanti terserah pada Ki Gede yang lebih paham.”
Aku mengutarakan apa yang tadi kufikirkan tentang penyelamatan Melati dan cara menghadapi setiap masalah yang tadi diutarakan Ki Gede dan Ki Santiko.
Gambaran kasar sebetulnya, tapi biarlah nanti kalau usilku ini dipakai, bisa disempurnakan oleh Ki Gede dan Ki Santiko.
Kalaupun tak dipakai juga ga papa, khan sekedar usul.
Ki Gede tampak memperhatikan dengan seksama apa yang kuuraikan.
Begitulah Ki Gede, walaupun pendapat dari seorang yang ga tahu siasat perang seperti aku inipun, tetap didengarkan dengan seksama, dan tanpa memotong.
Kecuali jika ada yang kurang jelas, maka beliau akan menanyakannya langsung.
“Ide yang bagus nak Aji. Secara garis besar, aku setuju dengan idemu itu. Semua kemungkinan yang timbul bisa diantisipasi dengan baik. Tapi sekali lagi, semua harus dimusyawarahkan dulu. Semoga semua bisa setuju dengan caramu itu. Bagiku, caramu itu sangatlah masuk di akal!” kata Ki Gede.
Entah itu hanya untuk menyenangkan hatiku, atau ideku yang memang bagus menurut beliau.
“Ah, itu sekedar usulan dari orang yang tidak mengerti tentang siasat perang kok Ki Gede.” sahutku sok merendah, padahal kepala dah mau meledak saking senangnya dipuji…
“Itulah, seperti yang kukatakan tadi, ide seorang yang tidak paham siasat perang, kadangkala malah sangat bagus. Terima kasih nak Aji, sudah memberi sumbangsih pada tanah perdikan ini!”
“Hanya itu yang saya bisa Ki Gede. Saya bukan apa-apa dibandingkan dengan Ki Gede ataupun Ki Santiko!”
“Hahaha…inilah yang aku suka darimu. Kau selalu rendah hati dan tidak jumawa! Tetaplah seperti itu!
Sekarang marilah kita beristirahat, tampaknya kau sudah sangat lelah!” kata Ki Gede sambil menepuk bahuku dan bernjak menuju ruang dalam untuk beristirahat.
Haha…tahu aja Ki Gede kalau aku dah hampir tepar.
Akupun ikut beranjak masuk untuk beristirahat.
Capek sekali rasanya…
Setelah cuci muka, akupun segera ridur.
Esok paginyandiadakan pertemuan terbatas di pendopo. Sementara aku hanya duduk di belakang rumah Ki Gede, sambil melihat burung-burung peliharaan beliau.
Menur menghampiriku sambil membawa minuman dan makanan kecil.
“Kangmas, gimana keadaan mbakyu Melati ya?”
“Nimas, tenangkan hatimu. Mbakyumu baik-baik saja. Insya Allah besok dia akan kembali dengan selamat!” kataku menenangkan hatinya.
“Benarkah kangmas?”
“Insya Allah…!”
“Nanti kalau mbakyu sudsh pulang, aku mau menjodohkan mbakyu sama kangmas!” celetuk Menur.
‘Uhuk…!” aku hampir tersedak mendengar kata-katanya.
Kutelan dulu makanan yang aku makan tadi.
“Kok menjodohkan dengan aku? Kenapa?”
“Karena kangmas orangnya baik, dan kulihat cocok dengan mbakyu!”
‘Ah..cocok darimana? Aku ini cuma orang yang kesasar lho Nimas!”
“Pokoknya aku mau menjodohkan Kangmas dengan mbakyu Melati.” katanya ngeyel.
Kupegang kedua bahunya dan kutatap kedua matanya yang tampak bening seperti telaga itu.
“Nimas, terima kasih atas niat baikmu itu. Tapi aku ga berjodoh dengan mbakyumu. Suatu saat nanti aku harus pulang kembali ke tempat asalku. Jadi aku tidak bisa berjodoh dengan mbakyumu!” kataku mencoba menjelaskan padanya.
“Apa kangmas nggak suka sama mbakyu? Atau mbakyu kurang cantik?” desaknya.
“Mbakyumu itu cantik sekali. Tapi aku nggak pantas untuk mbakyumu. Dan aku harus pulang ke rumahku nantinya.”
“Ya tinggal.mbakyu dibawa ke tempat tinggal kangmas. Aku juga ikut!”
“Tidak bisa Nimas… Tempatku sangaattt jauh… !”
Menur memegang lenganku dengan erat.
“Aku nggak mau kalau kangmas pulang ke rumah kangmas. Aku mau kangmas tetap.di sini. Aku nggak punya kakak laki-laki. Jadi kangmas berjanjilah, bahwa kangnas tidak akan pergi dari sini!” katanya sambil kedua matanya berkaca-kaca.
“Nimas, setiap.pertemuan pasti akan diikuti perpisahan. Aku bahagia di tempat ini. Apalagi bisa mengenalmu dan mbakyumu. Tapi, orang-orang yang kutinggalkan pasti juga sedih karena aku belum pulang. Maka dari itu, aku akan pulang suatu hari nanti. Tapi aku berjanji, akan selalu mengingatmu dan mbakyumu di sini!” kataku sambil menunjuk dadaku.
Menur menatapku dengan air mata berlinang, lalu dia melepaskan diri dari peganganku dan berlari masuk.
Masih kudengar isak tangisnya…
Tapi mau bagaimana lagi.
Bagiku lebih baik jujur walaupun pahit, daripada aku berbohong dan akhirnya akan menyakiti hatinya.
Maafkan aku Menur….