Di pendopo kami duduk saling berhadapan. Kulihat ada pagar ghaib yang dibuat Ki Santiko mengelilingi rumah Ki Gede.
“Maaf Ki Gede, Ki Santiko, saya permisi dahulu untuk menambah pagar ghaib yang dibuat Ki Santiko.
Jika ada dua pagar ghaib, tentunya akan lebih kuat!” ujarku.
“Memang tenagamu sudah pulih nak Aji?” tanya Ki Gede.
“Alhamdulillah, sebagian besar sudah pulih Ki Gede!”
“Hematlah energimu. Jangan terlalu dipaksakan…!” kata Ki Santiko.
“Iya Ki. Tapi dukun ini sangat kuat.
Saya pikir, pagar ghaibnya harus dibuat berlapis agar tak mudah ditembus!”
“Benar itu. Tapi apa kamu sudah mampu mengeluarkan energi sebesar itu untuk membuat pagar ghaib?” tanya Ki Santiko lagi.
“Kalau tidak dicoba, tidak akan tahu Ki. Tapi insya Allah bisa Ki!” sahutku.
Lalu aku menuju halaman pendopo. Berjongkok, menyentuh tanah, lalu tanganku yang sudah berlapis eneegi batin plus tenaga dalam, kugerakkan dalam bentuk setengah lingkaran, membentuk pagar ghaib di dalam pagar ghaib buatan Ki Santiko. Sehingga sekarang ada dua lapis pagar ghaib.
Paling tidak, jadi lebih susah untuk ditembus
Aku kembali ke pendopo dan duduk berhadapan dengan mereka berdua.
“Nak Aji, aku secara pribadi mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas bantuanmu, sehingga anakku Menur bisa kembali sehat…!”
“Alhamdulillah Ki Gede, berkat pertolongan dan perlindungan-NYA, semua bisa diatasi dengab baik! Saya hanya berusaha semampu saya Ki Gede! Hanya saja saya heran Ki Gede, siapa yang tega menyakiti Nimas Menur yang baik hati itu?”
“Tadi aku sudah berbincang dengan Adi Santiko, bahwa kemungkinannya akulah yang diincar, namun karena sulit menembus pertahananku, akhirnya malah nyasar ke Menur!” kata Ki Gede.
Aku melihat pada Ki Santiko.
“Benar nak Aji. Berkaca dari peristiwa akhir-akhir ini, musuh dari tanah perdikan ini yang sudah 2 kali gagal, kemungkinan sekarang menempuh jalan ghaib untuk menghancurkan Tanah Perdikan ini!” jelas Ki Santiko.
Aku mengangguk-angguk. Masuk akal.juga. Dengan jalan kekerasan gagal, lalu ditempuh jalur alternatif dengan santet dan teluh.
“Maaf Ki Gede dan Ki Santiko, saya masih agak bingung tentang masalah ini. Kalau Ki Gede yang dijadikan sasaran utama, kita mungkin masih lebih mudah untuk mengawasi dan berjaga dsri serangan itu. Tapi jika sasarannya adalah menghancurkan Tanah Perdikan Manyaran ini secara keseluruhan, maka akan sangat sulit untuk melindungi sedemikian banyak penduduk di sini!” ungkapku.
“Benar Nak Aji, kalau hanya Kakang Samodra yang dituju,.kita hanya perlu fokus pada beliau dan rumah beliau. Dan jika sasaran utamanya adalah tanah perdikan, maka sebagai tindakan pencegahan, aku akan mengajak semua kawan yang mempunyai kemampuan khusus untuk bersama melindungi Tanah Perdikan ini!”
“Jelaskan rencanamu Adi!” kata Ki Gede.
“Begini kakang, aku akan mengajak kawan-kawan pada saat yang sama membuat pagar ghaib untuk melindungi tanah perdikan ini dari empat penjuru. Serentak mengerahkan tenaga ghaib untuk membuat pagar ghaib.”
“Apakah mungkin dilakukan Adi? Sementara tanah perdikan ini begitu luas!”
“Seharusnya bisa kakang. Tapi itu harus dicoba dahulu, karena semua tergantung pada tingkat kekuatan energi batin masing-masing orang.”
“Hmm…aku punya pemikiran yang kurasa bisa dilaksanakan. Tapi kita harus punya satu orang sebagai pusat kekuatan di tengah-tengah.” kata Ki Gede.
“Silahkan diteruskan kakang.” sahut Ki Santiko.
“Begini Adi, kita gunakan warisan leluhur kita yang berbunyi…Kiblat Papat Limo Pancer.
( artinya kira-kira: 4 arah dengan pusat di tengah)
Jadi, dari 4 arah. 4 orang mengerahkan energi batinnya, ditujukan ke titik pancer. Nah tugas orang yang berfungsi sebagai pancer adalah penghimpun semua energi itu dan melontarkan ke atas, lalu disebar ke 4 arah sehingga membentuk sebuah kubah pagar ghaib berukuran sangat besar.
Apakah kira-kira dapat dilaksanakan Adi?”
“Entahlah kakang. Lebih baik dicoba dulu. Tapi sebagai pancer, orang itu harus mempunyai kemampuan yang paling tinggi karena harus menampung seluruh energi batin dan menyelaraskannya, lalu melepasnya dan menyebarkan ke 4 arah!” kata Ki Santiko.
“Adakah yang mampu Adi?”
“Belum tahu kakang.. Kemampuan kami semua hampir merata kakang. Kecuali Nak Aji ini, dengan energi dari Naga Wiru, dia di posisi teratas. Tapi saat ini, energinya belum pulih. Dan apakah dia akan mampu menampung seluruh energi itu, masih belum jelas kakang!”
“Maaf Ki Santiko, jika di posisi pancer diisi 2 orang apakah bisa?”tanyaku.
” Bisa, asal kemampuan seimbang dan bisa saling bekerja sama. 1 orang menampung energi dari 2 arah, lalu bergabung dengan orang satunya lagi dan bersama menyelaraskan energi yang terkumpul itu!”
“Ternyata susah juga ya?” desis Ki Gede.
“Memang kakang.. Mencari pancernya yang susah. Tapi…ah…aku ingat sebuah cerita dari guruku dulu. Bahwa ada cara yang lebih mudah kakang!”
“Cara apakah itu?” tanya Ki Gede.
Aku memasang telinga untuk.ikut mendengarkan penjelasan Ki Santiko. Pengetahuan baru nih…
“Begini kakang… Kita kumpulkan 5 orang dengan kemampuan khusus.
Kita siapkan 5 buah benda untuk diisi dengan energi gabungan dari 5 orang itu. Lalu, kita kubur benda itu di 4 penjuru, sedangkan yang sebuah kita kubur di tengah sebagai pancernya. Setelah itu, 5 orang itu berkumpul dengan posisi papat kiblat limo pancer, dan menggabungkan energi mereka, dan melontarkannya ke atas. Maka secara langsung, benda yang ditanam itu akan menarik energi gabungan itu ke 4 arah, sehingga membentuk kubah pagar ghaib.” Ki Santiko menjelaskan.
“Wah…cara itu tampaknya lebih mudah dan tidak merepotkan. Lalu, benda yang ditanam di tengah sebagai pancer itu fingsinya untuk apa?”
“Benda itu berfungsi sebagai pusat pagar ghaib. Menjaga kestabilan pagar ghaib itu kakang. Benda itu akan menghubungkan semua benda yang ditanam di empat penjuru. Boleh dibilang, pancernya itu sebagai pengikat antar benda yang sudah terisi energi gabungan itu!”
Oh..ternyata ada juga cara seperti itu, untuk membuat pagar ghaib skala besar.
Sebuah cara yang cukup praktis menurutku.
‘Baiklah Adi, kita pakai saja cara itu. Kapan akan kau laksanakan?”
“Secepatnya kakang. Akan kuhubungi dahulu teman-teman yang lain. Lalu kami akan berkumpul di sini dan melaksanakannya dari halaman pendopo sebagai pancernya kakang!”
“Baiklah. Aku serahkan semuanya padamu Adi.”
“Baik Kakang… Sekarang aku mohon pamit untuk menghubungi teman-teman yang lain.”
“Silahkan Adi….!”
Ki Santiko beranjak pergi dari pendopo.
Setelah Ki Santiko pergi, tinggallah aku dan Ki Gede berdua saja.
“Maafkan tingkah Menur yang kekanakan tadi Nak Aji…!” kata Ki Gede tiba-tiba.
“Ah… Tidak jadi apa Ki Gede. Saya tahu, Nimas Menur begitu senang sudah sembuh dan dia menganggap saya sebagai kakaknya. Karena katanya dia sangat ingin mempunyai kakak laki-laki!”
“Dan kamu sendiri, apakah kamu.juga menganggap Menur sebagai adikmu?”
“Benar Ki Gede. Saya juga mempunyai adik perempuan yang berumur hampir sebaya dengan Nimas Melati! Jadi, saya menganggap Menur sebagai adik saya sendiri!”
“Bagaimana kalau kau kujodohkan dengan Melati agar benar-benar menjadi kakak bagi Menur?” tanya Ki Gede.
Sebuah pertanyaan yang tak pernah kuduga akan keluar dari mulut Ki Gede.
“Ah. .ini…ini… Maaf Ki Gede… Saya…saya…tidak bisa …tidak bisa …!”
‘Tidak bisa apa??? Apakah Melati tidak pantas menjadi istrimu? Kau mau meremehkan aku?” kata Ki Gede marah-marah.
Nyaliku langsung menciut… Serem melihat Ki Gede marah-marah begitu…
“Maaf…maaf Ki Gede… Bukan..bukan itu…!” sahutku gagap.
“Lalu apa….,?” tanya Ki Gede dengan suara menggelegar….
Waduh…gimana mau jelasin.ya? Mau ngomong aja gagap.gini…
Haddeeehhhh….
Puyeng dah kepalaku dibuatnya….