Petualang Masa Lalu episode 29

Chapter 29 : Pertempuran 1

Kami semua terdiam menunggu kata-kata selanjutnya dari Ki Gede.
Suasana hening saat itu, seolah untuk bernafaspun harus pelan-pelan.”Hayoo…nungguin ya…?” seru Ki Gede…
Abaikan. Asli…ini HOAX….

“Begini siasatku… Kita cari penyerang dari 2 arah yang berlawanan, lalu kita lumpuhkan mereka. Jika dua arah sudah berhasil dilumpuhkan, maka ada 2 kemungkinan yang terjadi.
Yang pertama, jika mereka terus menyerang, maka serangan mereka tak akan sehebat sekarang. Jadi beban pagar ghaib akan semakin ringan, dan kita bisa melacak yang masih menyerang itu!” kata Ki Gede.
Kami semua masih diam menunggu…

“Kemungkinan kedua, jika penyerang dari arah lain mendengar kawannya sudah dilumpuhkan, maka mereka akan menjadi was-was bahkan takut. Jika dipaksa terus menyerang oleh dalang semua ini, maka paling tidak psikologis mereka sudah drop. Sehingga serangan tidak lagi fokus. Atau jika mereka ketakutan, maka mereka akan melarikan diri!” sambung Ki Gede.

Kami semua masih terdiam, mencerna siasat yang diutarakan oleh Ki Gede.
Sebuah rencana yang bagus sebenarnya. Namun masih ada kelemahannya…..menurutku.
Kelemahan itu adalah, jika dukun musuh (sebut saja begitu), dilindungi oleh pasukan, maka jelas, dengan tenaga kami tak akan mampu menghadapi pasukan itu.
Maka, kami akan sangat membutuhkan back up dari pasukan tanah perdikan.
Tapi, pergerakan pasukan akan sangat kentara, sehingga dikhawatirkan begitu tahu ada pergerakan iru, maka pihak musuh sudah mempersiapkan diri, atau menyembunyikan diri.

Lah…kok aku jadi pusing sendiri ya?

Ketika aku sedang berpikir seperti itu, Ki Santiko sudah menyatakan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin terjadi, persis seperti apa yang kupikirkan tadi.

“Benar Adi, itu bisa saja terjadi. Maka aku akan mengerahkan pasukan khusus dan mereka akan mengikuti kalian secara sesidheman (tak kasat mata/ menyamar dsb).” sahut Ki Gede menjawab pertanyaan Ki Santiko.
“Begitu juga baik kakang.”

Maka diputuskan untuk menaklukkan dahulu, dukun musuh yang berada di sebelah utara dan selatan tanah perdikan.
Ki Santiko memanggil 4 jin telik sandinya dan menyuruh mereka untuk mencari tahu posisi musuh di sebelah selatan dan utara.

Sementara menunggu laporan dari jin telik sandi, Ki Gede mengutus seorang prajurit untuk memanggil komandsn pasukan khusus.
Setelah sang komandan tiba, Kl Gede segera memberikan tugas untuk mengawal kami semua menuju sasaran, dan Ki Gede menekankan untuk melakukan pengawalan dengan gerak siluman.
Komandan pasukan khusus segera mengiyakan tugas itu dan berpamitan untuk mengumpulkan seluruh pasukan khusus untuk pembagian tugasnya.
Sementara di pendopo, kami masih berdiskusi, siapa saja yang harus ke Selatan, dan siapa yang ke utara.

Akhirnya diputuskan, aku dan Ki Santiko ke selatan, sementara yang lainnya akan ke utara.
Kenapa kelompok kami hanya berdua? Karena Ki Gede sudah tahu kapasitas Ki Santiko yang kuat di olah kanuragan dan kebatinan.
Sedang keempat orang lainnya lebih kuat di olah kebatinan, tapi kanuragannya kurang mumpuni. Sehingga pembagian tersebut adalah yang paling tepat menurut Ki Gede
Kami semua menyetujui apa yang diputuskan oleh Ki Gede.

Menjelang dini hari, keempat jin telik sandi sudah kembali dan memberikan laporan dimana posisi musuh.
Dan tak lama kemudian, komandan pasukan khusus datang dan menyampaikan bahwa seluruh pasukannya sudah bersiap memgawal kami.
Ki Santiko membeberkan tempat yang akan kami tuju. Sehingga semua sudah tahu sasaran masing-masing.
Sementara serangan mulai berkurang, kami segera bergerak cepat. Ki Santiko mengajakku menggunakan ilmu lari cepat agar segera sampai ke tujuan.
Ki Santiko didampingi oleh salah satu jin telik sandi. Sementara Zulaikha melayang di dekatku.
Saat melewati rumahku, Menik bergabung dengan kami.
Sambil melayang di sampingku, Menik bertanya…

“Ini mau kemana Mas Aji? Kayaknya buru-buru banget…?”
“Mau meluruk ke markas musuh…!” jawabku singkat.
“Wah…asyikk… Saatnya berpesta…!” serunya kemudian.
“Kok seneng banget kelihatannya?” tanyaku.
“Iya lah… Daripada bengong, mending bertempur. Sekalian melemaskan otot yang kaku…hehe!” jawabnya.

Busyet ni anak… Diajak perang kok seneng banget. Aku aja berdebar-debar, dianya malah semamgat banget…

Setelah berlari sekitar 20 menit, sampailah kami di sebuah hutan yang lebat. Dengan panduan jin telik sandi, kami terus masuk ke dalam hutan.
Hingga pada suatu tempat, jin telik sandi itu memberi tanda pada kami untuk berhenti.
Kemudian dia menunjuk ke depan, dan di depan sana tampaklah sebuah pondok dari kayu.
Tampak pondok itu masih baru, kelihatan dari kayunya yang belum berubah warnanya.
Pondok itu diselubungi oleh pagar ghaib berwarna merah, serta dikelilingi oleh puluhan jin yang berjaga di sekitarnya.
Tak tampak bayangan manusia seorangpun. Tapi dari cahaya lampu yang menerobos papan kayu, bisa dipastikan bahwa ada orang di pondok itu.
Ki Santiko memberi isyarat pada jin telik sandi. Jin itu segera melesat maju dan menyerang makhluk2 yang mengelilingi pondok itu.
Aku menengok ke arah Zulaikha dan Menik. Tanpa banyak bicara, mereka maju membantu jin telik sandi yang dikeroyok puluhan jin penjaga pondok.
Jin telik sandi itu bergerak dengan amat cepat. Setiap gerakan terasa sangat efektif. Terbukti setiap pukulan selalu disusul jeritan kematian musuhnya.
Zulaikha dan Menik tak mau kalah.
Dengan gerakan gemulai, mereka juga menghabisi musuhnya satu persatu. Tapi masih kalah efektif dari gerakan jin telik sandi itu.
Tak butuh waktu yang lama, jin musuh sudah habis disapu mereka bertiga.
Dan seperti dikomando, mereka segera melancarkan pukulan untuk menghancurkan pagar ghaib itu.

BLARRR….

terdengar ledakan yang amat keras diikuti hancurnya pagar ghaib itu.
Saat pagar ghaib itu hancur, muncul 2 sosok berbemtuk raksasa yang amat besar. Kedua sosok itu lqngsung menyerang jin telik sandi serta Zulaikha dan Menik.
Zulaikha segera berubah menjadi bentuk raksasa juga untuk mengimbangi musuhnya.
Mereka segera terlibat pertarungan yang amat seru dan dahsyat.
Suara angin menderu-deru mengiringi pertempuran mereka.
Ki Santiko menyenggolku, dan saat aku menoleh pada beliau, beliau mengangguk padaku.
Inilah saatnya menyerbu masuk ke dalam pondok itu.
Ki Santiko segera melesat menuju pondok itu, dan aku mengikuti di belakangnya.
Tapi, saat kami mendekati pondok itu, beberapa sosok muncul menghadang kami dengan senjata terhunus.
Prajurit musuh….
Rupanya mereka tadi bersembunyi di dalam kegelapan.
Dengan cepat, mereka membentuk lingkaran untuk mengepung kami.

Kami sudah terkepung sekarang…
Dan di saat bersamaan muncullah dua orang dari dalam pondok itu sambil terbahak-bahak.

“Hahaha… Kalian pikir mudah untuk mengalahkan kami? Kami sudah mengantisipasi apa yang bakal kalian lakukan. Sekarang, bersiaplah menerima kematian kalian…!” seru salah seorang dari mereka.
Aku tak bisa melihat wajah mereka, karena mereka berdiri membelakangi cahaya lampu yang menyorot keluar pintu.

“Bunuh mereka …!” teriak yang satunya lagi.

Para pengepung kami sudah siap bergerak, saat terdengar sorak sorai pasukan khusus di belakang mereka.
Reflek, mereka menoleh ke arah datangnya suara.
Tampaklah, di belakang mereka, pasukan khusus tanah perdikan sudah mengepung mereka.
Sekarang, pengepung menjadi terkepung. Prajurit musuh kalah jumlah dengan pasukan khusus.
Tak berapa lama, segera terjadi pertempuran antar pasukan.
Saat menyadari bahwa posisinya tidak menguntungkan, kedua orang yang di pondok, berusaha untuk kabur.

“Hei…jangan kabur kalian…!” teriak Ki Santiko.
Beliau meraihku dan melompat melewati kepala para prajurit yang bertempur. Langsung menghadang dua orang yang mencoba lari itu.
Merasa terdesak dan tak dapat lari, kedua orang itu segera menyerbu kami.
Aku dan Ki Santiko masing-masing mendapat 1 lawan.
Ternyata, mereka adalah 2 laki-laki berusia di atas 50 tahunan.
Kami segera terlibat dalam pertempuran.
Aku sudah tak bisa memperhatikan jalannya pertempuran.
Konsentrasiku terpusat kepada musuh yang ada di depanku.
Kusalurkan tenaga dalamku, sebagian sebagai pelindung, sebagian sebagai amunisi penyerangan.
Dengan sebat, musuhku menyerangku. Gerakannya cepat dan mantap. Berarti dia ahli olah kanuragan juga.
Aku beehasil menghindari dan menangkis serangannya. Saat lengan kami beradu, lengannya terpental, sementara aku merasakan lenganku sedikit kesemutan.
Ternyata tenaga dalam.kami tak terpaut jauh, walaupun aku masih menang sedikit.
Yang menjadi penentu kemenangan sekarang adalah keuletan dan konsentrasi.
Kami saling jual beli serangan, walaupun masih dapat saling menghindar dan menangkis.
Seluruh konsentrasi aku arahkan ke musuhku.
Sebuah tendangan berputar meluncur deras ke arahku. Dengan sedikit pengerahan tenaga, aku terima tendangan itu dengan kedua tanganku sambil aku melontarkan diriku searah tendangan. Gunanya untuk meredam efek tendangan itu.
Aku seolah terseret oleh tenaga tendangan itu. Tapi begitu tenaga tendangan itu habis, kutangkap pergelangan kaki musuhku dan menariknya ke depan. Otomatis musuhku itu seperti ditarik ke depan sehingga kakinya mengangkang lebar.
Secepat mungkin, aku gerakkan kakiku untuk mengait kaki yang satunya hingga musuhku terjatuh.
Tapi dia segera bangkit lagi dan bersiap bertempur lagi.
Kami kembali berkutat dalam serangan demi serangan.
Saat sedang seru-serunya pertempuran kami….

“Awas mas Aji……!” teriakan Zulaikha terdengar.


Petualang Masa Lalu

Petualang Masa Lalu

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Hai...namaku Bayu Satriaji, biasa dipanggil Aji. Tadinya aku adalah mahaslsww Teknik Sipil di sebuah Universitas Swasta di kota XX. Aku mempunyai kemampuan super...eh...bukan ding.. Kemampuan supranatural, sebut saja begitu. Aku berasal dari kota YY, yang berjarak sekitar 4 jam perjalanan menggunakan motor. Di kota XX, aku tinggal di kost dan punya pacar satu kost bernama Desi.Merupakan seri kedua lanjutan dari cerita Sang Pamomong

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset