Prasangka Dalam Canda episode 1

Chapter 1

“Tooeeett…!”
Alarm dari sebuah jam berbentuk boneka gajah mengamuk dengan hebohnya. Benda itu menghentak-hentakkan kakinya ke meja kecil yang terhimpit ranjang dan dinding. Belum lagi tembang paraunya itu, merusuh pagi.

Alvo meregangkan tubuh. Tak pernah ia mempedulikan loyalitas jam gajah yang saban petang-gelap membangunkan dirinya itu. Lagipula jam itu akan tersedak, lalu bungkam dengan sendirinya. Berhenti setelah lima menit meraung tak jelas. Alvo bingung, mengapa bisa, sebuah suara yang mengganggu istirahat orang itu bisa laris. Bahkan mungkin sama larisnya dengan deretan lagu dari suara merdunya mendiang Michael Jackson, dalam album “Thriller” yang terjual sekitar 100 juta salinan. Beruntung tak pernah ada video yang diunggah ke sosial media dengan tajuk “Comparing Vocals : Michael Jackson VS Alarm”.

Tahun 2011, bulan Desember di tanggal 19, pada hari itu. Alvo meninggalkan jam gajah malang untuk bernyanyi sendirian, seperti biasa. Berlalu ke kamar mandi, lalu membuka seluruh pakaiannya di dalam situ. Ia langsung mandi, tanpa ada konser menyanyi untuk pribadi. Sudah jadi jadwal rutinnya bangun jam 7 malam, lalu membersihkan diri.

“Midaa! Oh istriku sayang! Tolong handuk!” teriak Alvo.

Lagi-lagi, itu juga kebiasaannya. Ke kamar mandi tanpa membawa handuk. Biasanya sang istri akan segera mengetuk pintu kamar mandi, dan memberikan handuk, celana dalam, serta sepotong celana pendek untuknya.

Hening. Tak ada sahutan dari istrinya. Bahkan suara tukang gossip dari saluran streaming yang biasa mewarnai rumah minimalisnya, juga tiada terdengar. Berkali-kali ia berteriak. Namun tak ada suara apapun.

“Akhh… Kemana Mida?” keluh Alvo.

Terpaksa, tanpa mengeringkan tubuh dengan handuk, atau memakai satu set pakaian bersih, ia keluar. Hanya berbekal celana pendek kotor yang sudah dipakainya seharian. Juga tubuh yang masih dilinangi air.

Ia menggeledah seisi rumah dengan matanya. Tak ada sosok sang istri. Tak ada pesan singkat selular. Tak ada catatan apapun. Parahnya, juga tak ada hidangan yang seharusnya sudah tersaji di meja. Ia mengganti pakaiannya seraya berpikir kemana isterinya pergi. Selesai berpakaian, ia beranjak ke ruang tamu, bersandar di sofa sambil mengetik pesan selular untuk istrinya itu. Gugus pikiran bercakap; lebih baik memasak kopi, dan mencari makanan dalam emari es yang non-stop bertugas sebagai pendingin pangan itu di ruang makan.

Segera ia ke dapur, di mana setelahnya adalah ruang makan yang mungil. Setelah mendapati sekerat daging yang sudah dipeluk erat oleh roti yang terkapar di atas piring, dari lemari es. Kopi pun sudah matang berkat bantuan si coffee maker, siap diadu bersama roti dalam lambungnya. Tiba-tiba ada nada panggil dari handphone-nya, sesaat setelah ia beranjak menjauh dari dapur.

“Hello…” sapa Alvo.

Namun hanya suara seperti hela napas dari ruang tempat orang yang menghubunginya itu. Telepon diputus, hanya di detik ke-17. Nomor penelepon juga tak dikenal. Alvo coba menghubungi kembali, namun sudah tak aktif.

Sesaat berlalu, muncul notifikasi bahwa pesan singkat ke istrinya gagal terkirim. Ia coba menghubungi istrinya. Namun nomor itu juga tak aktif.

“Kemana kamu Mida?” kata Alvo mengeluh lagi.

Alvo menatap keluar menembus kaca jendela kesuatu arah. Terpikir olehnya jika mungkin istrinya berada di sana. Di arah sana itu adalah rumah dari satu-satunya teman akrab sang isteri, seorang perempuan single parent yang tinggal di ujung blok sana. Ia menelepon perempuan itu, berharap mendapatkan jawaban. Namun, nada sambung pun enggan bersuara.

“Apa sinyal lagi gangguan?” ia membatin.

Alvo menengok ke arah jendela untuk memastikan. Namun tiada lentik ranting yang menari disapu angin dengan latar bubung awan berwarna gelap. Pertanda cuaca tak begitu buruk. Berarti tiada iba operator selular akan perut laparnya.

“Aku cuma butuh isteriku!” gerutu Alvo.

Menggaduh sendirian sambil terus berjalan menjauh dari area ruang belakang. Tapi, baru saja ia berada di koridor penghubung ruang belakang dan ruang tengah, sebuah pesan singkat masuk. Tertulis nama Pak Stefan di layar digital itu.

“Kamu kemana? Kenapa terlambat?”

Alvo bergumam bingung. “Bukannya ini belum jam 8 malam?” Penasaran, Alvo memastikan penunjuk waktu di jam handphone-nya itu sama dengan jam gajah, dan jam dinding di ruang tengah. Ternyata mereka semua seiya sekata. Alvo mengirim pesan balasan untuk Pak Stefan.

“Maaf Pak Stefan, sekarang masih jam 7.30.” balas Alvo.

“Ini sudah jam 9 malam, Alvo. Kamu mabuk ya?” balas Pak Stefan.

“Serius Pak? Jangan bercanda Pak, semua jam di rumah saya masih normal.”

“Saya lagi tidak mood untuk bercanda. Karena saya harus kesana-kemari cari pengganti kamu. Saya sudah capek kasih kamu keringanan. Kali ini urus sendiri dengan Pak Pras ya.” balas Pak Stefan lagi.

Alvo terdiam. Sepertinya Pak Stefan memang benar-benar tak bercanda. Bahkan mungkin Supervisor-nya itu sudah gusar. Sebab terakhir kali bermasalah soal absensi, Pak Stefan rela berdebat dengan Pak Pras, Sang Manager bagian produksi di perusahaan tempatnya bekerja. Itu gara-gara Alvo mangkir dua hari setelah cuti pernikahannya. Beruntung saat itu Pak Pras bisa terima.

Satu tim yang terdiri dari 7 orang yang sudah senior, di kirim ke Jerman untuk pelatihan cara menggunakan mesin packing terbaru. Perusahaan yang memproduksi air minum kemasan kotak tempat Alvo bekerja, memang berasal dari Negara empat musim itu. Alvo sendiri sudah 9 tahun bekerja di Perusahaan itu semenjak tamat sekolah. Ia diberikan biaya tambahan, ketika manajemen perusahaan tahu ia kerja sambil kuliah. Kenyataannya, Alvo bisa mempertahankan prestasi sebagai karyawan teladan di tingkat Operator Mesin. Karena itulah perusahaan berharap besar mampu menelurkan seorang karyawan hebat di masa depan.

Itulah alasan Pak Stefan merekomendasikan dirinya masuk dalam tim. Walaupun syarat mutlaknya, adalah karyawan yang sudah mengabdi selama 15 tahun. Tapi Pak Stefan dengan percaya diri mempromosikan bawahan tersayangnya itu. Berangkat ke Jerman. Mengemban misi pembelajaran selama 2 tahun di sini, untuk jadi trainer bagi karyawan lainnya saat kembali ke Indonesia nanti.
Jenjang karir yang bagus menantinya. Paling tidak, sepulang nanti di Indonesia, ia akan diangkat sebagai Supervisor, atau bahkan Wakil Kepala Bagian. Karena Pak Stefan juga akan naik jabatan. Isu yang mengabarkan bahwa Pak Stefan akan diangkat jadi Kepala Bagian. Sedangkan Pak Pras akan didaulatkan menjadi Manager – Wet & Dry Process, yang berarti berkuasa baik di proses produksi, maupun proses packaging.

Dengan bisikan masa depan cerah yang sedang menanti dirinya, Alvo nekat menikahi Mida sekitar 2 bulan yang lalu. Ia diberi izin 12 hari untuk melaksanakan pernikahan dan bulan madu. Cukup singkat memang. Belum lagi jika dihitung perjalanan pulang, dan membawa Mida kemari yang sudah memotong waktu liburnya sekitar 4 hari. Karena itulah, pesta pernikahan baru akan dilaksanakan begitu tenggat tugasnya di negara ini sudah usai. Namun, sayangnya Alvo sampai mangkir 2 hari saat libur pernikahan. Terlena dengan manisnya bulan madu.
Beruntung Pak Stefan membela mati-matian. Hingga Pak Pras pada akhirnya memahami kondisi anak muda yang baru menikah. Walaupun Alvo tak sadar tekanan seperti apa yang dialami Pak Pras, saat ada bawahannya yang tak hadir tanpa ada kejelasan. Sudah pasti Pak Pras akan ditegur oleh pihak manajemen. Apalagi mereka didaulat sebagai tim khusus.

Kini Alvo terburu-buru berlarian. Ia meletakkan kembali roti berisi daging ke dalam lemari es. Roti yang sudah dikoyaknya beberapa gigitan. Lalu, ia membuang separuh air kopi, dan meletakkan cangkir itu di beranda jendela yang terbuka. Agar lebih cepat dingin, begitu pikirnya. Karena memang sudah dua kali salju tipis turun beberapa hari yang lalu, tapi beringsut mencair di siang hari.
Menurut ramalan, salju tebal akan turun tanggal 20 Desember, yang berarti besok. Salju yang dinanti-nanti Mida. Bukan hanya suka karena ingin berpongah-pongah, berfoto di bawah salju. Tapi juga karena tanggal 20 Desember itu hari ulang tahun Alvo. Momen yang patut untuk dirindukan kelak.

Setelah berpakaian, ia menyeruput air kopi itu berkali-kali. Ampuh, tak sampai sepuluh menit, kopi sudah bisa dinikmati dengan terburu-buru. Alvo tak punya pilihan. Ia butuh kafein sebagai penunjang hari-harinya. Syaraf yang sakaw akan meremas-remas otaknya, agar segera memerintah tubuh untuk menambah supply kafein.

Alvo keluar dengan pakaian biasa, walau beberapa orang yang sedang lalu-lalang sudah siap dengan sepaket pakaian tebal. Sebelum musim dingin benar-benar tiba, maka tak terlalu berpengaruh untuk Alvo sebagai mantan pendaki gunung di zaman bersekolah dulu. Dataran super tinggi menjadi tempat di mana ia menemukan kemampuan luar biasa dari tubuhnya. Pada suhu 10 derajat celcius saja, ia sanggup tidur tanpa selimut dan baju.

Alvo juga tak terlalu histeris menyambut salju. Entah mengapa baginya salju itu tak ubahnya seperti hujan. Butiran es itu akan menyelinap ke dalam sepatu, atau menempel di bulu kain. Kemudian mencair karena hangatnya suhu tubuh. Menjadikan lembab atau bahkan membasahi baju, terutama kaos kaki. Sungguh berbeda dengan Mida yang rela merogoh tabungan mereka untuk tinggal bersamanya selama 3 bulan. Alasannya, ingin bulan madu bersama salju.

Sesampai di lokasi yang ingin ia tuju, Alvo sedikit bingung. Bangunan yang dipakai untuk tempat berkumpulnya karyawan transfer itu tampak kosong. Sebuah bangunan di sepanjang jalan yang berisi beberapa toko. Letaknya di pinggir jalan utama daerah itu, yang disewa perusahaan sebagai titik tempat berkumpulnya karyawan kiriman. Total ada 37 karyawan, yang dikirim dari berbagai Negara tempat perusahan menancapkan akar lisensi industrinya.

Alvo memeriksa pintu. Terkunci. Ia bingung. Jangan-jangan pak Stefan sedang bercanda dengan dirinya. Ia mendatangi salah satu warga yang sedang memasukkan kantung garam ke mobilnya. Persiapan untuk meleburkan titik beku butiran es, kala Salju akan menutup jalan di pekarangan rumah nanti.

“Excuse me, wie spaet ist es?” tanya Alvo pada perempuan yang baru saja hendak masuk kedalam ruang setir.

“Viertel vor acht.” ujar perempuan itu mengambil kata tersingkat : “tujuh empat puluh lima”, agar mudah dicerna Alvo yang sudah menampilkan profil imigran karena berwajah Asia.

Perempuan berambut coklat kemerahan itu tersenyum, pertanda pamit, dan masuk ke mobilnya. Alvo berjalan kembali ke rumah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sial, apa maksud Pak Stefan ya? Jam 8 saja belum, sudah bilang aku terlambat.” Sangking bingungnya, ia terlupa untuk membalas senyum wanita tadi. Ia hanya berlalu kembali ke rumah secepatnya.

Ia membuka kembali handphone-nya, setelah gunung daging di bawah pinggang bagian belakang tubuhnya menindih busa sofa. Berkali-kali ia mencoba menelepon Mida. Masih tidak aktif. Menyandarkan tubuh sehatnya dengan perut yang mulai terasa lapar. Kakinya yang meregang menyentuh sesuatu dilantai. Seperti kertas. Mengerang malas, ia mengambil benda itu. Kenyataannya, pria berumur 28 tahun ini memang lebih cerewet daripada istrinya perihal kerapian rumah.

Sebuah kertas berlekuk mengikuti garis lipatan, dengan warna kuning kemerahan. Di dekatnya sebuah amplop berwarna merah muda. Ada tulisan di amplop, ditujukan kepada :

“Der Vater Meines Sohnes”.

Lalu Alvo memperhatikan tulisan di kertas. Hanya beberapa bait kata-kata puitis. Alvo membacanya dengan seksama.

Awalnya, dia bingung untuk mencerna isi kertas itu. Ia berkonsentrasi dan membaca berulang kali, untuk menghayati kesan yang hendak disampaikan si penulis yang sepertinya seorang kaum hawa.

Intinya, hanya puisi cinta yang mengungkapkan kepedihan bahwa penulis surat itu adalah wanita yang sedang hamil, dan merindukan pembuah cintanya. Alvo melemparkan kertas itu ke meja. Berpikir sejenak.

“Ayah dari anakku?” batin Alvo mengingat kemana arah surat ini ditujukan.

Lalu sebuah praduga singgah dan memberikannya pemahaman.

“Oh, No…! Jangan bilang kalau Mida…”


Prasangka Dalam Canda

Prasangka Dalam Canda

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2019 Native Language: Indonesia
Seorang wanita tua dengan kulit kepala yang terlihat dari celah tipisnya helai rambut, sedang duduk di sisi ranjang. Kedua tangannya sibuk menimang bayi-bayi yang baru lahir pada 22 Agustus 2012. Ia tersenyum haru nan tentram, berlinang air mata. Tangis bayi itu merobek nestapa.Tak jauh dalam ruang yang sama, terbaring tanpa tenaga wanita yang baru melahirkan mereka. Duka dalam yang dialami menambah lemah kondisi dirinya. Lemah fisik, dan batin. Lengkap sudah penderitaan. Betapa lelahnya ia melahirkan bayi kembar. Betapa letih hatinya menangis menghadapi kenyataan. Ia hanya sanggup mencurahkan kasih tak terperi, melalui tatapan tanpa fokus ke arah sosok bayi-bayinya yang sedang digendong oleh Nenek mereka. Hanya menatap, karena tersenyum pun ia sudah tak mampu.Pria itu tega meninggalkannya. Entah apa yang ada dipikiran seorang pria yang rela pergi tanpa mengingat-ingat lagi. Tanpa mampu berpikir jernih. Tak menyangka pria yang menikahinya itu gila! Membiarkan ia bernaung bersama lumut yang tumbuh di tembok. Menatap sinar mentari hanya dari jendela kecil berlapis jeruji. Ia meratap nasib selama 9 bulan, dengan perut yang digelayuti dua buah cinta. Sampai ia berperang bersama maut hari ini. Gundah tumpah dalam laku kejangnya, mengerang mengeluarkan bayi kembar itu dari rahim. Ia takut akan nasib buruk yang akan dialami kedua bayinya kelak. Sungguh tega pria itu..."Kenapa kamu bisa tega seperti itu... Alvo."Ia memejamkan mata, lelah. Sementara Sang Nenek bermanja bersama Cucu-Cucunya. Membantu Bidan mengerikan darah dari tubuh kedua bayi itu. Entah, apa tangis suci mereka itu telah mengoyak nestapa, atau malah menelurkan luka.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset