Alvo duduk di sebuah taman. Memutuskan untuk menenangkan prasangka, sebelum ia masuk kerja nanti. Cahaya lampu yang memberi sensasi temaram, menyinarinya yang sedang sendu. Karena pikirannya sedang menyoal tentang surat, ia pun terkenang momen indah yang lalu…
“Aku tak menyangka kau akan melamar aku secepat ini.” ujar Mida dari seberang Benua, saat berkomunikasi via suara. Mida memandang bayang Alvo penuh kasih. Dipeluknya sebuah kertas cinta dengan tangkup telapak tangan ke rengkuhan dada. Air matanya mencurah, tetes demi tetes. Nafasnya bersenandung tentang melodi haru bahagia. Tak disangka, pria yang telah menganyam cinta bersamanya sejak di bangku sekolah, akan sangat dekat untuk menjadi jodohnya. Surat yang menjadi kejutan dari Alvo itu pasalnya.
“Kali ini, aku takkan memintamu untuk berhenti menangis. Pergilah kepangkuan orang tuamu. Mengadulah jika ada pria yang lancang melamar permata jeli mereka. Jangan hapus air mata itu. Biarlah keluargamu tahu jika kali ini, kau sampai terharu dalam bahagia. Aku mencintaimu Mida. Ya, aku Igun Gelalvo siap menjadi teman hidupmu, Saumida Nova.”
Paragraf terakhir dalam surat lamaran Alvo, yang mengepak sayap dari Jerman ke Indonesia. Sebuah paragraf yang seakan memprediksi jika Mida akan menangis membaca kandungan paragraf sebelumnya. Kala itu Alvo sudah tidak tahan dengan kondisi Mida yang terus-menerus disodorkan berbagai macam pria untuk mendampingi hidupnya. Ulah Paman dan Bibinya.
Menurut keluarga mereka, tak mungkin Alvo dapat setia di Eropa. Mereka berpikir sudah pasti Alvo akan terpikat dengan seorang wanita berwajah oriental, berambut cokelat, dengan mata bening biru. Seperti biasanya, Alvo akan tertantang untuk mengarungi pikiran negatif orang. Dan surat yang mengemban niatan sucinya itu, benar-benar membuat keluarga Mida bersorak-sorai. Akhirnya penantian gadis perawan mereka itu tak sia-sia.
Alvo memutuskan untuk menikah sesuai dengan jadwal libur yang dapat diberikan manajemen perusahaan. Beruntung ia dapat menikah di tanggal yang pas. Tepat di saat ulang tahun mendiang Ibunya tercinta.
Tapi…. Hari ini, menjadi hari yang aneh bagi dirinya. Pernikahannya seolah berkarat cepat, hidupnya terasa membosankan. Padahal hanya puluhan menit berlalu. Surat yang tergeletak di lantai tadi pun menjadi kambing hitam. Sebuah surat yang mengarahkan pikirannya untuk menduga jika itu dari Mida, namun untuk seorang pria. Apakah bukan dia yang menghamili Mida dalam ikatan suci pernikahan?
Dalam kesenduan sunyi, tiba-tiba sesosok bayangan berlarian mendekat. Tak begitu jelas pada awalnya, hanya siluet hitam yang berkelebat. Begitu semakin dekat, jelaslah itu adalah seorang perempuan yang ia kenal. Sang tetangga di Blok Rumah Kontrakan mereka. Orang Asia juga, namun perempuan itu berasal dari Singapore. Ia akrab dengan Mida. Seringkali Mida berkonsultasi tentang cara menghadapi kehamilan, kepada perempuan bermata sipit yang sudah memiliki anak berusia 4 tahun itu. Wanita itu menghampirinya dengan nafas tersendat berat.
“Mrs. Sue, what happened?” tanya Alvo dengan bahasa inggris. Sebab mereka berdua memang tak terlalu cakap dengan bahasa jerman. Walaupun Alvo sudah menamatkan kursus formal sampai tingkat B1, tetap saja lidahnya tak sanggup menari dengan gemulai melafalkan bahasa jerman.
“Oh nothing, i’m just trying to…. Uhhmm, warming up before the snow falling apart.” jawab Mrs. Sue, sambil mengatur nafasnya. Ia mengatakan sebuah pernyataan aneh, jika dirinya sedang mencoba untuk menghangatkan diri sebelum salju berhamburan.
“That’s funny… How could you feel warm at time like this? It’s eight o five, come on!” Alvo tetawa kecil. Ia benar-benar geli dengan alasan Mrs. Sue. Bagaimana bisa perempuan itu merasa hangat dengan ber-jogging pada pukul 8.05 malam.
“I dunno…? It’s just feels right to running around for… Ah, nevermind… I don’t wanna stop, even if you’re trying to.” ujar Mrs. Sue tersenyum lebar, dan alis tinggi terangkat, bercanda.
Ia berpikir tak ada salahnya melakukan apa yang sedang dilakukannya. Dan ia tak berniat menghentikan kegiatan yang tak tepat dilaksanakan pada malam hari itu, sekalipun Alvo sudah menertawakannya. Lalu ia kembali berlari sambil melambaikan tangan. Alvo membalas lambaian itu dengan gelengan kepala dan tawa tanpa terdengar.
Alvo kembali duduk di bangku taman. Nafasnya mulai memperlihatkan diri, semburat putih tipis karena diselimuti dinginnya hari. Kemudian ia mencoba kembali menghubungi Mida yang diduga telah kabur. Selular pribadi Mida masih tak kunjung aktif. Alvo menunduk sambil menggaruk-garuk kepalanya. Ia mulai merasa hilang minat untuk menjalani hari. Padahal lebih kurang 45 menit lagi ia masuk kerja. Memang Shift kerja malam sudah dijatah untuknya pada minggu ini.
Sebuah paper bag tebal berwarna coklat, bergoyang diterpa angin. Alvo tertegun sesaat, penampakan itu menarik perhatiannya. Sepertinya bungkusan kertas itu memuat sesuatu. Alvo mendekat untuk menggapai benda itu, yang berada sekitar 3 meter dari tempat duduknya. Ia langsung menduga itu barang Mrs. Sue. Sebab, ia paham kebersihan taman itu. Jarang sekali ada sampah di taman itu lebih dari 1 jam.
Ia tahu sebab sering kemari, bersantai bersama Mida sambil menikmati roti berisi kochwurst* yang dibaluri oleh moster meaux*. Sedangkan Mida, memakan roti dengan selai wortel buatan sendiri. Memang beruntungnya Mida adalah seorang perempuan muda yang peduli dengan kondisi kehamilannya sejak 5 minggu lalu. Ia berubah menjadi manusia anti makanan yang dijual untuk umum. Dan walau begitu, sebelum ada Mida datang untuk bulan madu ke Jerman ini, Alvo sudah berlangganan mampir kemari hanya untuk memberi makan merpati kala musim semi.
Berkali-kali Alvo memperhatikan sekitarnya dengan khawatir. Hanya remang nan sepi karena gelap malam yang sedang dijamah lampu jalan. Ia menjambak rambutnya, kesal. Harusnya ia tak mengambil benda itu. Berharap ada CCTV yang merekam semua, maka ada penguat alasan jika benda ini bukan miliknya.
“Sialan Mrs. Sue!” Alvo menghardik sendiri. Segera ia melemparkan benda itu kembali ke tanah. Dengan gugup ia mengeluarkan handphone-nya, hendak menelepon petugas berwajib. Namun…
“Hey…!” Dua pria berseragam dinas menegurnya dari jarak 5 meter jauhnya. Mereka seolah muncul begitu saja, seperti iblis yang siap menjadi momok bagi Alvo. Alvo panik bukan main. Wajar saja ia ketakutan. Sebab mereka itu Polisi Patroli, dan hendak segera menghampiri Alvo!