Prasangka Dalam Canda episode 3

Chapter 3

Genderang seakan ditabuh dari balik dada Alvo. Panik, seketika ia salah tingkah. Ingin lari tapi tak bersalah, jika diam berujung masalah.

“Sieht aus, als er ist Einwanderer.” ujar Polisi yang bertubuh lebih padat kepada rekannya. Ia mengindikasikan jika Alvo adalah seorang Imigran setelah melihat fisik Alvo.

“Excuse me, Sir. Can you speak in english?” tegur Polisi yang berkulit kemerahan dan bertubuh lebih kecil dari rekannya tadi. Ia bertanya apakah Alvo yang Imigran itu bisa diajak berbincang dalam bahasa inggris.

“Yeah… Ain’t good enough but, better than Germany.” sahut Alvo, menegaskan betapa kaku lidahnya untuk berbicara dengan berbahasa Jerman.

“Good. So, can i ask you to show your Ausweis, please?” tanya Polisi itu lagi, meminta Alvo menunjukkan tanda pengenalnya.

Alvo segera mengeluarkan ID Card dari tempat perusahaannya berkerja. Biasanya itu cukup menenangkan sikap waspada Petugas Berwajib, sebelum memeriksa tanda pengenal Imigran yang sah. “Here.”

Petugas yang bertubuh padat membolak-balik ID Card itu. Lalu ia mengangguk kepada rekannya. Rekannya segera mengambil ID Card, dan membaca nama Alvo disana.

“So, Mr. Gelalvo, what are you doing to be here, at time like this?” Polisi itu menanyakan alasan Alvo di tempat itu malam-malam. Alisnya terangkat sebelah pertanda curiga.

“Ich sah ihn objekt werfen in diese richtung.” ujar Polisi bertubuh padat, yang mengarah ke tempat bungkusan berisi pistol dan serbuk ajaib yang Alvo temukan.

Sepertinya Polisi itu sempat melihat Alvo melempar sesuatu. Kini, Sang Polisi sudah mengambil bungkusan. Ia mengintip isinya. Tersentak kaget, ia langsung menggunakan tangan kanannya untuk meraih pistol dan menodongkannya kearah Alvo.

“Bewegen sie sich nich! Hand Heben!” Polisi itu sigap. Meminta Alvo untuk tidak macam-macam, dan segera untuk mengangkat tangan tanda menyerah. Sedangkan Polisi yang bercakap dengannya menggunakan bahasa inggris segera mundur menjaga jarak dari Alvo. Tentu saja dengan asumsi bahwa Alvo berbahaya, dan ia juga masuk dalam lingkar tembak rekannya itu. Ia perlahan mendekati posisi rekannya, dan melihat isi bungkusan.

“Hey, that’s not mine!” teriak Alvo, panik. Perlahan ia melangkah mendekati, berusaha menyanggah bahwa benda itu bukan miliknya.

”Don’t move, Sir. Don’t move…! Please shut up, and don’t move. Put off your jacket now!” ujar Polisi itu mengingatkan Alvo untuk tenang, dan segera melepas jaketnya.

“That’s not mine! Oh God… Come on!” Alvo melepas jaketnya dan melempar ke arah Polisi itu.

Polisi yang bertubuh padat dengan hati-hati mengambil Jaket Alvo, memeriksa sakunya. Tiada hal yang membahayakan. Kemudian Sang Polisi perlahan mendekati Alvo. Namun setelah dekat, secepat kilat ia menjatuhkan serta mengunci tangan dengan menindih tubuh Alvo dalam keadaan tertelungkup. Alvo hanya diam membiarkan Polisi itu puas menggeledahnya. Karena merasa dirinya tidak berbahaya.

Lima belas menit berlalu, Alvo sudah dalam posisi berlutut di tanah. Tubuhnya sedikit gemetar. Kabut es mulai turun, paling tidak suhu sudah mencapai prestasi pada 7° celcius. Merupakan pertanda hujan salju akan bertabur ke seisi Jerman. Apalagi ia hanya mengenakan celana pendek. Semua pakaiannya dilucuti.

“Hey… Aren’t you finished? You can take me! I don’t carry any weapon. Please, i’m freezing right now! And i need to tell the my Boss, because i’m late for night shift, please?” Alvo memohon untuk segera dibawa saja. Agar ia tidak kedinginan, dan dapat segera memberi kabar pada Perusahaan tempatnya bekerja. Jika ia terlambat karena musibah tak jelas yang sedang menimpanya.

Alvo yang diizinkan segera berpakaian, tapi di bawah tekanan dari lubang peluncur peluru dari kedua Polisi itu. Setelah itu Polisi yang berbahasa inggris mencari nama kontak Pak Stefan di handphone Alvo. Beruntung kontak Pak Stefan sudah aktif. Berbicara dengan Pak Stefan, dan menjelaskan kasus yang menimpa Alvo. Tak lama Pak Stefan meminta izin untuk berbicara dengan Alvo.

“Halo Pak stefan, maaf saya terlambat. Pak Stefan sudah mendengar beritanya dari Polisi tadi kan?” tanya Alvo, berbicara dengan handphone yang dipegangi oleh Polisi itu. Sebab tangannya terikat ketat oleh gelang besi.

“Maaf Alvo. Saya sudah berusaha membantumu. Tapi sayang Big Boss sedang hadir. Dia mengamuk begitu tahu ada karyawan dari tim khusus berhalangan hadir. Apalagi ini sudah masuk musim dingin. Produksi harus ditingkatkan, sebelum beberapa karyawan cuti liburan musim dingin. Muncul delay produksi karena posisi mesin filling kosong malam ini.
Megy baru bisa masuk besok pagi. Kamu mengerti kan kondisi ini? Intinya Big Boss minta kamu cuti, dan menunggu saja dirumah. Sampai urusan kepulanganmu ke Indonesia selesai. Itupun kalau urusanmu dengan Polisi tadi juga bisa selesai. Yang jelas seperti itu keputusan Perusahaan.” jelas Pak Stefan dengan nada prihatin. Alvo meminta Polisi untuk mematikan telepon begitu saja.

Pikiran Alvo berputar. Muncul daftar tanya yang dibebankan sebagai tanggungan kepada kepalanya.
Kenapa sebelumnya Pak Stefan berkata di pesan singkat bahwa ia terlambat? Padahal masih jam 7.30 saat itu.

Lalu siapa wanita hamil yang menulis surat dengan bahasa puitis itu?

Apakah Mida kabur? Kenapa? Apa karena Mida menduga surat itu dari kekasih gelap Alvo yang hamil?

Lalu sekarang, ia terancam hukum pidana di negeri orang! Parahnya lagi, ia mengartikan bahwa penjelasan halus dari Pak Stefan tadi itu adalah kabar bahwa ia telah dipecat.

“Lalu apa lagi setelah ini?” keluh Alvo yang mulai dirasuki emosi duka dan amarah.

Alvo diam. Matanya melotot, pupilnya seakan menggembung keluar. Rasa geram, kecewa, dan putus asa semakin mengalir bersama darah, lalu meresap ke daging, serta menembus ke sumsum tulang.

“I’m finished… lirih, lalu Alvo membanting tubuhnya ke tanah. Melipat lututnya ke perut, lalu menangis sepuasnya. “Aaaaaaaarrgghhhhh…!” Ia meraung bak dirajam butir besi panas…

Kedua Polisi itu saling menatap. Mereka bingung melihat Alvo yang mengggila. Polisi yang bisa berbahasa Inggris, segera menggunakan handphone untuk menghubungi seseorang. Ia bercakap beberapa saat di telepon itu. Sampai ketika sambungan dimatikan, ia menjelaskan sesuatu kepada rekannya. Kemudian mereka melepaskan borgol Alvo. Si pria yang baru mengalami kesialan beruntun itu sempat bingung, walau dalam batinnya tetap kalut.

“Please calm down, Sir. Listen to me! You can show us…” ujar Polisi itu, meminta Alvo tenang sambil menyodorkan bungkusan berisi pistol dan serbuk ajaib tadi kepada Alvo. Sedangkan rekannya yang bertubuh padat membantu Alvo berdiri dan melepas borgol. Alvo tak mengerti maksud Polisi itu.

“Just take it! Show us the way you holding the gun. When you look so proficient, we will arrest you.” Polisi itu memberikan perintah yang mengejutkan. Alvo memejamkan matanya sambil menghela nafas, dan tersenyum. Betapa bodohnya jika ia harus menunjukkan cara memegang pistol. Apalagi jika ia terlihat seperti sudah biasa memegang pistol itu, ia akan ditahan.

“How foolish… Do you think i’m out of my mind? Don’t trying to set me up with a silly trick. My prints will set on the gun, then you can arrested me, right? Then of course, i wouldn’t… i wouldn’t do that!” Alvo mengeleng sambil tertawa merendahkan permintaan Polisi itu. Ia berpikir Polisi itu berusaha menjebaknya. Agar sidik jarinya dapat tertinggal dipistol itu.

“Come on, Sir. Finggerprints is bullshit. It just exist on movies. Okay, then we will arrest you by now.” seru Polisi itu. Ia menyatakan Alvo akan ditahan bila menolak.

Alvo malah semakin kalut sambil terus berpikir. Apa benar pernyataan Polisi itu, jika sidik jari hanya ada di film-film? Bagaimana jika ia memang dijebak? Tapi, apa untungnya buat mereka? Di sisi lain ia mulai mengutuk Mrs. Sue. Ia yakin yang membuat ia terjebak dalam situasi rumit ini, sebenarnya adalah perempuan tetangganya itu. Dan itu memuakkan. Ia akan mengamuk pada perempuan itu nanti. Dengan ragu-ragu, Alvo berpikir jika tidak ada salahnya ia menuruti Pak Polisi itu. Lagipula ia tak pernah menggenggam pistol. Pastinya Polisi dapat mengenali jika ia memang tak pernah bersentuhan dengan senjata api.

“Like this? Look! I never get my hand with this thing in my whole life!” Alvo dengan percaya diri menunjukkan bahwa dirinya tak pernah memegang pistol seumur hidupnya.

“Click…!” Sayangnya, pertunjukan Alvo tersebut tak disambut dengan tepuk tangan. Malah disambut dengan bunyi pegas yang mendorong peluru ke ruang pelepasan. Tepat membokongi pelatuk. Siap ditendang, dan meluncur menembus tengkorak kepalanya.

“You bastard….!” hardik Alvo. Tangannya terangkat keatas, menyerah. Berharap kedua Polisi itu tidak menembaknya.

“Do you know, Mr. Gelalvo. We… The Police Officers are always want to use the weapons. You know, it wouldn’t be in vain if they are not get fired to the real target!” ujar Sang Polisi sambil menodongkan kepalanya.

Baik ia dan pistolnya sama-sama menyeringai kejam. Bangga mengungkapkan opininya bahwa, mereka para Polisi selalu ingin menembakkan senjata. Karena benda itu akan sia-sia apabila tidak ditujukan pada target yang sebenarnya. Alasan kejam dan aneh macam apa itu?

“Hey, no… I surrender!” Alvo mengangkat tangannya lebih tinggi. Berusaha meyakinkan Polisi itu jika ia tak berbahaya. Jika ia sudah menyerah.

“We will not waste this opportunity, you idiot! How long you think for us in waiting to get the real target.” balas Polisi itu lagi. Menegaskan bahwa mereka takkan menyia-nyiakan kesempatan menembak Alvo.

“Hahahaha…. Dumm…!” Polisi bertubuh padat, yang sedari tadi menodongkan pistolnya di kepala Alvo dari belakang, menertawakan kebodohan Alvo.

Alvo memejamkan mata. Mengutuk keadaan di dalam hatinya….

“Dor…. Dor…!” Senjata api bersorak riang, meludahkan bulir besi panas. Menembus tubuh tak berdosa….


Prasangka Dalam Canda

Prasangka Dalam Canda

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2019 Native Language: Indonesia
Seorang wanita tua dengan kulit kepala yang terlihat dari celah tipisnya helai rambut, sedang duduk di sisi ranjang. Kedua tangannya sibuk menimang bayi-bayi yang baru lahir pada 22 Agustus 2012. Ia tersenyum haru nan tentram, berlinang air mata. Tangis bayi itu merobek nestapa.Tak jauh dalam ruang yang sama, terbaring tanpa tenaga wanita yang baru melahirkan mereka. Duka dalam yang dialami menambah lemah kondisi dirinya. Lemah fisik, dan batin. Lengkap sudah penderitaan. Betapa lelahnya ia melahirkan bayi kembar. Betapa letih hatinya menangis menghadapi kenyataan. Ia hanya sanggup mencurahkan kasih tak terperi, melalui tatapan tanpa fokus ke arah sosok bayi-bayinya yang sedang digendong oleh Nenek mereka. Hanya menatap, karena tersenyum pun ia sudah tak mampu.Pria itu tega meninggalkannya. Entah apa yang ada dipikiran seorang pria yang rela pergi tanpa mengingat-ingat lagi. Tanpa mampu berpikir jernih. Tak menyangka pria yang menikahinya itu gila! Membiarkan ia bernaung bersama lumut yang tumbuh di tembok. Menatap sinar mentari hanya dari jendela kecil berlapis jeruji. Ia meratap nasib selama 9 bulan, dengan perut yang digelayuti dua buah cinta. Sampai ia berperang bersama maut hari ini. Gundah tumpah dalam laku kejangnya, mengerang mengeluarkan bayi kembar itu dari rahim. Ia takut akan nasib buruk yang akan dialami kedua bayinya kelak. Sungguh tega pria itu..."Kenapa kamu bisa tega seperti itu... Alvo."Ia memejamkan mata, lelah. Sementara Sang Nenek bermanja bersama Cucu-Cucunya. Membantu Bidan mengerikan darah dari tubuh kedua bayi itu. Entah, apa tangis suci mereka itu telah mengoyak nestapa, atau malah menelurkan luka.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset