Prasangka Dalam Canda episode 4

Chapter 4

Pukul 12.00 malam hari, 20 Desember 2011. Jerman memejamkan mata malam itu. Pasrah dalam lelap, kala Tuhan membedaki wajahnya dengan taburan butir es. Jerman benar-benar menikmati acara bersoleknya walau terlalu menor, hingga salju bergunduk-gunduk yang seakan menghapus tatanan pemukiman. Kaca jendela sesekali gemeretak, kala angin di luar meniupkan suhu yang bertengger di podium minus 3° Celcius.

Sebuah alat digital berbentuk persegi panjang sedang sibuk mengkalkulasi suhu di dalam ruangan. Alat yang nyaris terdapat pada masing-masing rumah penghuni Jerman. Untuk sementara waktu, rumus-rumus yang dipadukan alat tersebut menghasilkan angka minus 0,7° Celcius untuk suhu dalam ruangan.

Syaraf merespon ketika suhu yang sekian itu, menyayat kulit putih dari tubuh yang terbujur di atas kasur. Pedih juga beku rasanya. Ia menggigil. Giginya ikut bergendang bersama jendela. Mungkin judul lagu mereka “Gemeretak Syahdu”. Pohon diluar berderak kian suram. Semakin menyadarkan sang pemilik tubuh jika ia sedang kedinginan.

Tubuh yang gemetaran itu segera bangkit, meraih sebuah mantel bulu serigala tiruan, dengan lapisan dari kain wol di bagian dalamnya. Lalu beranjak keluar, arah ruang tengah rumahnya. Ia menunduk di samping lemari tua, yang berdiri hanya sebagai hiasan interior. Sasaran gerak pemilik tubuh itu adalah pipa lengkap dengan kepala keran, yang menyembul dari balik dinding. Ia memutar keran tersebut sampai garis penunjuk menuding ke angka tiga dan lebih lima garis. Bunyi dengung halus bermunculan dari balik dinding-dinding, di mana pipa itu meliukkan badannya.

Tubuh yang berbalut mantel abu-abu itu bergerak perlahan menuju ruang makan, mengambil roti yang beberapa jam lalu belum sempat dihabiskannya. Ia menuruni 3 anak tangga menuju dapur, dan melempar roti itu kedalam kotak pemanggang. Otaknya memuat data, melaksanakan multi-tasking, matanya awas memperhatikan perubahan warna dari kulit roti, sementara tangannya gesit mengoperasikan mesin mixing kopi. Gesit, ia membunuh api pemanggang menggunakan sebuah tombol, saat roti sudah kecoklatan. Ia sedang berminat dengan makanan hangat saat ini, berbeda dengan beberapa jam lalu, ketika ia sangat terburu-buru.

Ia sudah duduk di sofa ruang tamu. Bersemangat mengunyah roti. Begitu lapar. Sangat lapar, sampai terasa turun tensi dayanya. Merasa tak nyaman karena dudukannya diganjal, ia mengeluarkan dompet yang tertuduh sebagai pengurang empuknya busa sofa. Dompet itu berputar pelan di udara, dan terhempas di permukaan daun meja. Sebuah kartu pengenal merosot keluar dari dompet itu. Lebih tepatnya terlempar keluar akibat tuburukan maut kulit oscar si dompet, dan jasad kayu pinus yang dikremasi dengan cantiknya. Nampak terbaca tulisan nama suatu perusahaan pada kartu itu. Oh, ada satu nama lagi yang tertera, Igun Gelalvo.

Ya, Alvo tertidur pulas selama 2 jam karena kelelahan, dan terbangun karena dinginnya suhu. Bukan terbangun karena jam gajah bersuara sumbang yang tak tahu malu itu. Penghangat ruangan yang tadi ia hidupkan dari keran di samping lemari itu bekerja dengan baik. Hawa salju yang meringsek masuk, sudah melakukan gencatan senjata dan pergi menjauh. Membiarkan suhu 22 derajat Celcius kembali berkuasa di rumah kontrakan tersebut.

Alvo menghabiskan potongan roti terakhir secepatnya. Ia tertarik kembali untuk membaca surat puitis di atas meja, yang tertindih ID Card-nya. Namun berkali-kali pun ia membaca surat itu, tetap tak mengubah pandangan skeptisnya kepada istrinya itu . Dagu yang bertopang pada tangan, mengarahkan tatapannya hingga jauh keluar jendela. Salju malah seperti angkara.Menggerogoti otaknya untuk terus berprasangka.

“Kau tega, Mida… Mengapa kau tuduh aku begitu saja? Aku tak tahu wanita yang menulis surat ini. Aku bersumpah demi seluruh Anugerah Tuhan yang diberikan kepadaku. Aku tak berselingkuh. Aku tak pernah menjamah wanita manapun. Perjaka diriku sudah luluh untuk bersanding bersama perawan sucimu.
Tapi mengapa kau begini? Haruskah kau pergi dan membiarkan aku menunggu tanpa kejelasan? Lihat, Mida! Kehilanganmu membuatku merana. Aku mengalami hal gila hanya dalam beberapa jam setelah kepergianmu. Aku tak berdaya kini. Kau adalah Hadiah Tuhan yang paling indah dalam hidupku. Bahkan Tuhan memberikan aku bonus jabang bayi yang kini kau kandung, Mida. Seharusnya kau tanyakan dulu padaku. Kalau perlu kita cari bersama alamat pengirim surat ini.
Demi membuktikan jika wanita yang menulis puisi kepedihan itu sudah salah mengirim suratnya. Atau bisa jadi yang tinggal di rumah kontrakan ini sebelum kita adalah orang yang dituju si pengirim surat. Kau ingat kan, pria gemuk bernama Prang yang membantu kita mengemasi barang saat pindah kemari? Mida, kini aku sudah dipecat perusahaan. Di jebak tetangga kita, dan dipermainkan oleh Polisi. Aku juga… Membunuh kedua Polisi itu…. Kumohon Mida, temani aku. Aku sekarat di sini….”

Air mata keluar bersama curahan batinnya. Mungkin akan membeku dalam kepedihan. Alvo merasakan jelas kemerosotan mentalnya. Teraduk-aduk bersama rasa kehilangan, kesialan dan dosanya yang telah membunuh kedua Polisi itu.

Alvo tak kuasa, tubuhnya gemetaran lagi. Bukan karena kedinginan, tapi karena ketakutan yang teramat sangat. Ia dihantui perasaan bersalah. Teringat kembali kejadian itu. Terputar reka ulang di mana ternyata ia berhasil terhasut oleh naluri bertahan hidup. Maka terbunuhlah kedua Polisi itu…


Prasangka Dalam Canda

Prasangka Dalam Canda

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2019 Native Language: Indonesia
Seorang wanita tua dengan kulit kepala yang terlihat dari celah tipisnya helai rambut, sedang duduk di sisi ranjang. Kedua tangannya sibuk menimang bayi-bayi yang baru lahir pada 22 Agustus 2012. Ia tersenyum haru nan tentram, berlinang air mata. Tangis bayi itu merobek nestapa.Tak jauh dalam ruang yang sama, terbaring tanpa tenaga wanita yang baru melahirkan mereka. Duka dalam yang dialami menambah lemah kondisi dirinya. Lemah fisik, dan batin. Lengkap sudah penderitaan. Betapa lelahnya ia melahirkan bayi kembar. Betapa letih hatinya menangis menghadapi kenyataan. Ia hanya sanggup mencurahkan kasih tak terperi, melalui tatapan tanpa fokus ke arah sosok bayi-bayinya yang sedang digendong oleh Nenek mereka. Hanya menatap, karena tersenyum pun ia sudah tak mampu.Pria itu tega meninggalkannya. Entah apa yang ada dipikiran seorang pria yang rela pergi tanpa mengingat-ingat lagi. Tanpa mampu berpikir jernih. Tak menyangka pria yang menikahinya itu gila! Membiarkan ia bernaung bersama lumut yang tumbuh di tembok. Menatap sinar mentari hanya dari jendela kecil berlapis jeruji. Ia meratap nasib selama 9 bulan, dengan perut yang digelayuti dua buah cinta. Sampai ia berperang bersama maut hari ini. Gundah tumpah dalam laku kejangnya, mengerang mengeluarkan bayi kembar itu dari rahim. Ia takut akan nasib buruk yang akan dialami kedua bayinya kelak. Sungguh tega pria itu..."Kenapa kamu bisa tega seperti itu... Alvo."Ia memejamkan mata, lelah. Sementara Sang Nenek bermanja bersama Cucu-Cucunya. Membantu Bidan mengerikan darah dari tubuh kedua bayi itu. Entah, apa tangis suci mereka itu telah mengoyak nestapa, atau malah menelurkan luka.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset