Prasangka Dalam Canda episode 5

Chapter 5

Taman publik, 2 jam sebelum Alvo terlelap…

Dan begitulah kini, ia beringsut kembali ke kamar dan terbaring. Pikirannya kacau-balau. Sesenggukan ia menangis. Rambutnya diremas-remas kuat. Mengutuk diri sendiri. Seandainya ia mampu memutar waktu, ia ingin bangun lebih awal dan mengambil surat itu sebelum dibaca oleh istrinya. Sehingga ia tak perlu merasa tertekan, dan pergi ke taman malam-malam. Pasti juga bukan pula dirinya yang menjadi korban jebakan Mrs. Sue.
Bisa jadi tetangganya itu tadinya sedang dikejar Polisi. Itulah alasan mengapa Mrs. Sue berlari saat hari gelap. Demi meloloskan diri, Mrs. Sue harus melempar barang tersebut dan sembunyi tangan. Sampai akhirnya ia yang terjebak dalam situasi rumit, dan menembak kedua Polisi itu. Lalu vonis PHK harus diterimanya karena terlambat. Benar-benar menyakitkan kenyataan ini.

Dalam tekanan yang sedemikian hebat, ia menuliskan sebuah surat. Percaya jika Mida akan kembali dan membaca surat itu. Di biarkan surat tergeletak di atas meja rias istrinya. Ia menuju sisi jendela dan dibukanya, merelakan angin yang dingin masuk ke kamar itu. Air matanya yang bening perlahan-lahan memutih, hendak mengkristal di lereng tulang hidungnya. Ia mematung bermenit-menit menghadapi angin. Menatap Salju. Menggali kuburan asa yang sempat mati suri.

Dalam hati ia menutur pesan untuk Mida… Pesan yang ia titipkan pada Tuhan, dengan cara meniup pelan dari celah bibirnya dan berkata, “Tuhan, berikan angin dingin ini kekuatan untuk menyampaikan pesanku kepada Mida, tepat pada waktunya.”

Lalu ia berbaring, dan memejamkan mata. Ia lelah. Dalam senyap dari rasa suka, terpikir makna kesuraman yang hakiki… Alvo memutuskan untuk pergi.


Prasangka Dalam Canda

Prasangka Dalam Canda

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2019 Native Language: Indonesia
Seorang wanita tua dengan kulit kepala yang terlihat dari celah tipisnya helai rambut, sedang duduk di sisi ranjang. Kedua tangannya sibuk menimang bayi-bayi yang baru lahir pada 22 Agustus 2012. Ia tersenyum haru nan tentram, berlinang air mata. Tangis bayi itu merobek nestapa. Tak jauh dalam ruang yang sama, terbaring tanpa tenaga wanita yang baru melahirkan mereka. Duka dalam yang dialami menambah lemah kondisi dirinya. Lemah fisik, dan batin. Lengkap sudah penderitaan. Betapa lelahnya ia melahirkan bayi kembar. Betapa letih hatinya menangis menghadapi kenyataan. Ia hanya sanggup mencurahkan kasih tak terperi, melalui tatapan tanpa fokus ke arah sosok bayi-bayinya yang sedang digendong oleh Nenek mereka. Hanya menatap, karena tersenyum pun ia sudah tak mampu. Pria itu tega meninggalkannya. Entah apa yang ada dipikiran seorang pria yang rela pergi tanpa mengingat-ingat lagi. Tanpa mampu berpikir jernih. Tak menyangka pria yang menikahinya itu gila! Membiarkan ia bernaung bersama lumut yang tumbuh di tembok. Menatap sinar mentari hanya dari jendela kecil berlapis jeruji. Ia meratap nasib selama 9 bulan, dengan perut yang digelayuti dua buah cinta. Sampai ia berperang bersama maut hari ini. Gundah tumpah dalam laku kejangnya, mengerang mengeluarkan bayi kembar itu dari rahim. Ia takut akan nasib buruk yang akan dialami kedua bayinya kelak. Sungguh tega pria itu... "Kenapa kamu bisa tega seperti itu... Alvo." Ia memejamkan mata, lelah. Sementara Sang Nenek bermanja bersama Cucu-Cucunya. Membantu Bidan mengerikan darah dari tubuh kedua bayi itu. Entah, apa tangis suci mereka itu telah mengoyak nestapa, atau malah menelurkan luka.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset