Senyap hanya sementara, hingga menggema tawa kedua Polisi itu dikepalanya. Alvo merasa kecewa, dan ditipu.
“Aku harus cepat, jika tidak…” batin Alvo.
Dan kemudian, “Dorr…!”
Alvo menembak Polisi di depannya.
Lalu spontan ia berbalik kebelakang. “Dor…!”
Gas putih melayang keluar dari moncong pistol yang ditembakannya. Kedua Polisi itu terkapar.
“Kalian yang bodoh, membiarkan aku menggenggam senjata berisi peluru!” hardik Alvo kepada kedua raga tak bernyawa itu.
Ia mengatur nafasnya. Detik waktu serasa menuntun matanya yang dengan cemas memperhatikan sekitar. Untung sepi, dan gelap. Mungkin karena kabut es yang menangkupi Jerman semakin tebal. Mungkin dua-tiga jam lagi salju akan turun. Mungkin warga mulai bermalas-malasan dan enggan keluar.
Merasakan kecemasan, Alvo menyeret kedua tubuh Polisi itu ke pepohonan yang memagari taman. Agar tak terlalu cepat kematian mereka diendus oleh khalayak umum.
“Kalian akan membeku beberapa hari karena musim dingin, lalu perlahan membusuk!” seru Alvo sambil melempar jasad bertumpuk itu dengan segenggam tanah ber-topping salju. Kemudian ia pergi menjauh, lalu terduduk, bersandar di batang pohon. Merasa lelah.
Dalam heningnya jalan pikiran, ia mendengar suara langkah. Mendadak ia tersentak, seolah ada yang mengawasinya dari balik kegelapan sana. Matanya berputar-putar mencari. Diameter pupilnya melebar, berusaha menembus gelap. Seolah ada sosok yang mengintainya.
“Keluar! Siapa disana!” Alvo menghardik sesuatu yang tak kasat mata.
Nafasnya putus-putus, terpotong gerak tenggorokannya yang menelan liur. Sayup ia mendengar bisikan-bisikan. Rintih menangis. Tawa. Hinaan. Memantul kian seram di dalam bilik otaknya.
“Keluar kalian….! Keluar kalian bedeb*h! Tcuuih… Pengecut!” jerit Alvo lagi yang menyempatkan menyemburkan ludahnya.
Melempar suaranya kebalik semak, ke pucuk-pucuk pohon yang mulai botak, dan ke sudut yang tak tersentuh cahaya lampu. Angin seakan merespon. Meniupkan suhu yang rendah. Alvo semakin bergidik. Kecemasan mulai menghantui. Nafasnya mulai berdegup. Matanya bergerak cepat tak tentu arah. Hingga sebuah sentakan hebat membuatnya berlarian tunggang-langgang.
Suatu hormon yang menjilat rasa takut membuatnya tiada berhenti berlari. Mengarungi deru angin, dan menabrak satu-dua titik pionir butiran es yang akan memimpin pasukan salju nanti. Lajunya di-rem, saat tiba di depan pintu rumahnya. Alvo masuk rumah. Kalap, ia hendak membersihkan diri di kamar mandi, walaupun otak tahu itu tak mampu menyuci dosa.
“Sial… Sial! Aku menjadi pembunuh… Oh Tuhan… Siaaaall!” meracau, Alvo tersudut di kamar mandi, terkapar di lantai yang semakin becek.
Air shower yang sempat digodok heater, mengguyur tubuhnya. Dalam muram pikiran akan tindakan bejatnya tadi, buram dendam kepada Mrs.Sue kian terang.
Berbekal dendam itu ia mempercepat gerakan. Tanpa basa-basi setelah mandi dan berganti pakaian, Alvo menuju rumah Mrs. Sue. Sayup ia mendengar suara ribut. Bersemangat ia di dekat pintu rumah wanita itu, lalu mengetuknya. Tapi tak ada jawaban dan mendadak hening. Rasanya ia ingin mendobrak pintu itu, dan meminta Mrs. Sue mengakui perbuatan yang telah menjadikan ia sebagai kambing hitam. Tapi itu akan terlalu mencolok, pikirnya.
Lebih baik ia berpura-pura tidak tahu apa-apa. Daripada ia kalap lagi dan menambah daftar korban, lebih baik ia bungkam. Lalu pindah dari sini begitu Mida kembali. Betapa rapuh konsistensi buah pikirnya, mempertegas kekacauan jiwa yang terserang wabah tekanan batin. Keputusan cepat yang ia ambil terakhir, menunjuki ia jalan kembali ke rumahnya. Lalu terbaring di kasur, lelap kelelahan….