Prasangka Dalam Canda episode 6

Chapter 6

19 Desember 2011, Pagi hari.

Gelap. Tiada cukup cahaya di sebuah ruang sempit yang hanya seukuran dengan luasan standar lift barangnya Gedung Pusat Perbelanjaan. Hanya diterangi oleh cahaya yang dilepaskan dari senter sebesar ibu jari. Juga pengap. Cuma sepetak kecil ventilasi yang direkati debu itu sebagai penyokong ketersediaan oksigen. Aliran udara juga sampai berdesakan keluar dan masuk melalui celah pintu yang tertutup.

Seorang wanita yang berada di ruang itu benar-benar tersiksa. Ia memaksakan tubuhnya untuk duduk di atas sebuah kardus bekas berdebu, bersama dengan tumpukan kardus lainnya, dan juga beberapa perkakas usang. Aroma lembab karena terbekap khas sebuah basement pun harus ia tanggung dengan penuh kerelaan.

Senyap. Derap langkah koloni kecoa sudah berkawan dengan telinganya. Bahkan dengungan aliran listik dari balik dinding dapat diterima dengan jelas. Sesekali ia menghirup udara dengan mendekatkan hidung pada ventilasi. Rasanya tidak sanggup walau baru sepuluh menit ia berada di situ. Tapi demi menuntaskan aksinya, tak jadi masalah.

Getaran dari sebuah suara yang familiar, menerjang melalui segala ombak partikel, yang lalu berlabuh di lubang telinganya. Suara alarm gajah sudah berbunyi, ia bersiap-siap. Suara sumbang itu menjadi sinyal pertama untuk menggencarkan aksinya nanti. Ia menunggu aba-aba selanjutnya, walau satu detik dapat bermetamorfosa menjadi satu menit.

“Dugh… Dugh… Dugh…” terdengar derap langkah dari atap ruang tempat di mana ia bersembunyi. Tak lama terdengar pintu yang digeser, disusul suara percikan air di luar sana. Untuk beberapa menit Wanita itu masih harus bersabar.

“Midaa… Oh istriku sayang. Tolong handuk!” terdengar suara pekikan seorang pria.

Suara Alvo yang bahkan berulang kali berteriak seperti itu. Kemudian terdengar Alvo mengeluh, pintu di geser, dan kembali menginjak lapisan di atas ruangan tempat wanita itu berada.

“Belum waktunya….” batin wanita itu sambil terus menganalisa keadaan di luar sana tanpa bantuan visual. Beberapa menit kembali berlalu. Tepat ketika mesin kopi menuntaskan tugasnya, wanita itu menghidupkan layar handphone, dan menekan tombol. Terdengar alunan nada panggil.

“Halo…” Alvo menyambut panggilan. Derap langkah si pria melambat. Untuk beberapa detik wanita itu menjahit mulutnya dengan segala urat bibir, lalu segera mematikan pangggilannya. Secepat mungkin ia mengganti kartu selular, lalu membuka draft dalam menu pesan singkat.

“Tut…!” ia menekan tombol yang memerintahkan draft berpindah ke handphone Alvo. Kemudian mereka saling melempar pesan singkat.

Terdengar suara telapak kaki yang memukul lantai, terburu-buru. Lalu semua senyap setelah waktu belum genap sepuluh menit. Wanita itu perlahan membuka pintu. “Hey, dia sudah pergi.” seru wanita itu, berbicara dengan seseorang dari balik teleponnya.

Wanita itu segera menuju ruang depan, tempat menyambut tamu. Ia mengeluarkan sebuah amplop merah muda. Dikoyaknya sisi amplop, lalu mengeluarkan secarik kertas yang terlipat rapi. Dibukanya kertas tersebut, dan diletakkannya dibawah meja, dengan mengatur posisinya sedemikian rupa. Kini kertas itu tampak mengintip keluar dari lantai di bawah meja, pada area yang sedikit gelap. Itu karena cahaya lampu terhalau mumi kayu pinus yang sudah diserut halus, dan diolesi minyak pengawet dan pencerah warna.

Senyum tersungging dari wajah yang menatap keluar sana, dari balik jendela. Senyum yang manis. Semanis rencana pembalasannya kepada pria yang sedang memulai hari teraneh. Handphone yang disunat suaranya, kini bergetar. “Ya…” sahut wanita itu.

“Kamu lupa merubah jarum jam ya? Alvo sepertinya merasa ragu dengan pesan kita. Aku dengar dia menggerutu.” sahut lawan bicara wanita itu. Seorang pria.

“Oh tidaak…! Aku lupa…!”

“Tapi tak apalah. Sepertinya dia tetap kebingungan.”

“Benarkah….? Aku harap begitu. Sayang kalau rencana ini gagal.” balas wanita itu.

“Apapun untukmu. Kamu Ratu-nya hari ini…. Baiklah, kamu bersiaplah disana, ia sedang dijalan kembali.” sahut suara itu lagi.

“Thanks ya…” wanita itu mengakhiri percakapan. Ia semakin fokus menatap keluar rumah dari jendela. Beberapa meter di sana, tampak Alvo berjalan dengan tangan di dalam saku. Wanita itu segera berlarian ke arah belakang rumah, menuruni tiga buah anak tangga menuju dapur. Tepat di sisi anak tangga yang sudah berkostum beton, wanita itu membuka pintu yang hanya setinggi 1,5 meter. Kembali masuk ke dalam gua kecil yang suram, tepat di bawah tangga. Ia menunggu. Waktu kembali melempar dadu, agar game dapat menuntunnya untuk bergerak maju. Sampai handphone wanita itu kembali bergetar. Sebuah panggilan masuk lagi.

“Hey… You’re not dying at there, right?” seru lawan bicaranya yang kali ini adalah wanita, dengan nada bercanda. Memastikan jika ia tidak mati sesak di dalam gudang itu, dengan nada bercanda.

Sementara wanita yang bersembunyi itu berbisik  dengan sangat halus. “Text me…!”

“Don’t worry, he’s going out from there already. And now… He’s heading to the park as you predicted.” balas dari seberang telepon. Merasa jika sang wanita yang bersembunyi tak perlu takut untuk bersuara. Sebab, Alvo sudah pergi keluar rumah.

“Good… Did you guys ready to work? Do as we plan! Please?” tegas wanita di dalam gudang itu mengarahkan mereka untuk bersiap melaksanakan rencana mereka, lalu mematikan telepon setelahnya.

Wanita penelepon segera bercakap singkat dengan 2 orang pria di dekatnya, yang sudah berseragam lengkap ala Polisi Patroli. Setelah selesai membahas sesuatu, mereka lalu bergegas menuju taman dengan berlarian.

Sementara, wanita yang masih berada di rumah Alvo, segera beralih keluar. Ia menuju sebuah rumah yang masih satu barisan dengan rumah kontrakannya. Ia mengetuk pintu, lalu seorang pria gendut menyambutnya.

“Mereka sedang menggila ya?” tanya pria gendut itu.

“Hahahah… Ya, tak lama lagi Alvo akan mati lemas.”

“Hey, mengumpat suami seperti itu bisa jadi sebuah dosa…” balas si gendut lagi, sambil mengambil dua tumpuk roti dan menyematkan telur dadar dengan cacahan daging kedalamnya.

Suasana di dalam rumah itu memang seperti sedang mengadakan pesta kecil. Minuman berbagai warna bertahta di dalam rombongan gelas dan botol bening. Piring-piring sudah molek berisi sayuran, daging dan roti. Kulit kacang berserakan keluar dari bungkus penampungan, serta beberapa tak selamat karena terjatuh dari tebing meja, dan terhempas ke jurang yang didasari karpet biru.

“Tuhan yang tahu aku berdosa atau tidak untuk rencana gila kita ini…” balas wanita itu.

Sang Wanita kemudian pamit permisi. Saat melangkah, ia menatap teduh cahaya lampu di seberang jendela, yang merundukkan silau cahayanya ke arah jalan. Begitu antusias ia membayangkan pembalasannya akan segera terwujud. Menjebak Alvo dalam sebuah rencana tipuan yang mereka diskusikan lebih detail sejak kemarin, 18 Desember 2011.


Prasangka Dalam Canda

Prasangka Dalam Canda

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2019 Native Language: Indonesia
Seorang wanita tua dengan kulit kepala yang terlihat dari celah tipisnya helai rambut, sedang duduk di sisi ranjang. Kedua tangannya sibuk menimang bayi-bayi yang baru lahir pada 22 Agustus 2012. Ia tersenyum haru nan tentram, berlinang air mata. Tangis bayi itu merobek nestapa.Tak jauh dalam ruang yang sama, terbaring tanpa tenaga wanita yang baru melahirkan mereka. Duka dalam yang dialami menambah lemah kondisi dirinya. Lemah fisik, dan batin. Lengkap sudah penderitaan. Betapa lelahnya ia melahirkan bayi kembar. Betapa letih hatinya menangis menghadapi kenyataan. Ia hanya sanggup mencurahkan kasih tak terperi, melalui tatapan tanpa fokus ke arah sosok bayi-bayinya yang sedang digendong oleh Nenek mereka. Hanya menatap, karena tersenyum pun ia sudah tak mampu.Pria itu tega meninggalkannya. Entah apa yang ada dipikiran seorang pria yang rela pergi tanpa mengingat-ingat lagi. Tanpa mampu berpikir jernih. Tak menyangka pria yang menikahinya itu gila! Membiarkan ia bernaung bersama lumut yang tumbuh di tembok. Menatap sinar mentari hanya dari jendela kecil berlapis jeruji. Ia meratap nasib selama 9 bulan, dengan perut yang digelayuti dua buah cinta. Sampai ia berperang bersama maut hari ini. Gundah tumpah dalam laku kejangnya, mengerang mengeluarkan bayi kembar itu dari rahim. Ia takut akan nasib buruk yang akan dialami kedua bayinya kelak. Sungguh tega pria itu..."Kenapa kamu bisa tega seperti itu... Alvo."Ia memejamkan mata, lelah. Sementara Sang Nenek bermanja bersama Cucu-Cucunya. Membantu Bidan mengerikan darah dari tubuh kedua bayi itu. Entah, apa tangis suci mereka itu telah mengoyak nestapa, atau malah menelurkan luka.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset