“Kamu lupa taruh, mungkin…” Kimi sambil membuka – buka lemari dapur.
“Enggak, aku ingat betul kemarin aku taruh di sini…” Bintang menunjuk tempat yang dimaksud. “Kamu tidak lihat, Jun?” Bintang pada Juni yang mengangkat karpet, mengintip apa yang ada di bawahnya.
Juni menurunkan karpetnya, beralih ke Bintang, menggeleng.
“Ck!” Bintang berdecak kesal. Dia lalu menuju dapur, mengambil gelas, mengisinya dengan air putih, membawanya ke kursi panjang, duduk. Memandangi Juni yang sedang mengintip apa yang ada di bawah karpet, namun dari sisi lainnya, di dekat kursi panjang.
Byur! Bintang menyiramkan isi gelasnya ke kepala Juni yang sedang berjongkok di dekat kakinya.
“Bintang!” Kimi yang melihat adegan tersebut dari dapur.
“Kamu bisa jawab aku kan, sekarang?” Bintang pada Juni yang hanya menunduk dengan rambut basahnya.
Sedetik kemudian, Juni mengangkat wajah. “Sudah kubilang, aku tidak melihatnya. Setelah kita pulang dari rumah Pak Slamet, aku langsung mandi. Tidak memperhatikan ada gitar atau tidak di sini. Tapi saat aku menonton TV setelahnya, aku pastikan gitar itu tidak ada. Aku tidak melihatnya.” Juni menatap Bintang.
“Kamu sudah mengunci pintu?” Bintang bertanya lagi.
“Tentu saja. Sudah aku kunci sebelum mandi.” Jawab Juni.
Kening Bintang berkerut, berpikir. “Berarti hilangnya sebelum kita datang.” Bintang menyimpulkan.
“Apa Tomo juga ada?” Tanya Pipit.
“Kami sudah meneleponnya. Mungkin sebentar lagi dia datang.” Jawab Kimi.
“Mmm… kalau begitu aku tidak bisa ke markas kali ini.”
“Kenapa?”
“Untuk saat ini aku sedang tidak ingin bertemu Tomo.”
“Ada masalah?”
“Begitulah kira – kira…”
“Baiklah…”
“Tapi, tolong jangan beri tahu yang lain tentang alasanku ini ya… bilang saja aku sedang ada kerjaan di rumah.” Pipit memotong kalimat Kimi.
“Oke, oke. Aku mengerti.”
“Sampaikan aku turut prihatin. Maaf tidak bisa datang. Kalau ada yang bisa aku bantu dari sini, katakana saja.”
“Akan aku sampaikan.”
“Terima kasih, Kimi…”
“Sama – sama.”
Tut. Kimi menutup teleponnya.
“Pipit meminta maaf tidak bisa datang, sedang ada kerjaan di rumah. Dia turut prihatin atas kejadian ini. Katakan saja kalau ada yang bisa dia bantu.” Kimi menyampaikan amanat dari Pipit pada Bintang.
“Tomo akan segera datang.” Juni setelah menutup teleponnya.
Beberapa menit kemudian, Tomo datang.
“Bagaimana kejadiannya?” Tomo dengan mata membola.
Bintang sudah tidak memiliki tenaga untuk menjawab. Pucat, terduduk di kursi panjang. Kimi menyentuh pundaknya, menyemangati.
“Kemungkinan gitarnya hilang sebelum kita pulang, saat markas tidak ada yang jaga.” Juni yang menjawab.
“Apa pintunya rusak? Ada jendela yang pecah, atau petunjuk lain?” Tomo lagi.
Juni menggeleng. “Tidak ada.”
“Pintu, jendela, semua aman. Tidak ada yang rusak. Bahkan laptop Juni pun aman. Hanya gitar Bintang dan casenya yang hilang.” Kimi menambahkan.
“Berarti memang hanya gitar Bintang yang diincar.” Tomo menyimpulkan.
“Tapi kenapa?” Kimi bertanya.
“Apa kamu punya musuh? Mungkin ada yang dendam.” Tomo menjawab Kimi dengan pertanyaan untuk Bintang.
Bintang diam saja, tatapannya kosong.
“Pipit…” Bintang bergumam lirih 2 detik kemudian.
“Apa?? Tidak mungkin!” Kimi yang mendengar gumaman tersebut karena duduk di sebelah Bintang.
“Iya, Pipit! Dia kan, yang bawa kunci duplikatnya? Makanya tidak ada pintu maupun jendela yang rusak. Dia juga tidak ikut meninjau jembatan. Mungkin dia sakit hati karena ucapanku.” Bintang pada Kimi.
“Tapi… tetap saja… Pipit tidak mungkin…” Kimi tidak percaya.
“Bukti yang lain, dia tidak datang hari ini dengan alasan klise.” Bintang menambahkan.
“Itu karena…” Kimi menutup kembali mulutnya.
“Apa? Kamu bahkan tidak tahu alasan pastinya, kan?” Bintang lagi.
Kimi terdiam. Tomo dan Juni juga.
“Permisi…” Kimi mengetuk pintu.
“Iya!” jawaban dari dalam rumah, diikuti pintu yang dibuka. “Kimi??” Pipit yang membuka pintu kaget.
“Boleh kami masuk?” Bintang di belakang Kimi ketus.
Pipit menyingkir, membuka pintu lebar – lebar, membiarkan rombongan tersebut masuk.
“Apa kamu yang mengambil gitarku?” Bintang langsung ke pokok masalah.
Pipit yang baru saja akan duduk kaget, berhenti sejenak, kemudian mengambil duduk. “Kenapa kamu menuduhku?” Pipit tidak terima.
“Karena kamu yang pegang kunci duplikatnya. Gitar itu hilang saat markas tidak ada yang jaga.” Jawab Bintang.
“Dengar, aku memang pegang duplikat kuncinya. Aku memang bisa masuk ke markas kapan pun aku mau. Tapi aku tidak mungkin melakukan hal kekanakan semacam itu…” Pembelaan Pipit.
“Pipit benar, Bin. Dia tidak mungkin melakukan hal itu.” Bela Tomo. Tomo tertawa dalam senyum, “itu kekanakan.” Tambahnya.
Pipit hanya melirik Tomo, enggan berhadapan langsung dengannya.
“Kamu bisa geledah tiap sudut rumah ini jika kamu mau. Aku tidak keberatan.” Pipit menawarkan.
Bintang hanya tertunduk, pasrah. “Kita pulang saja…” ucapnya.
Kimi mengelus pundaknya, simpati.
Malam harinya, Juni menceritakan hilangnya gitar Bintang pada Ibu Linda lewat email, seperti biasa. Email terkirim. Juni lalu beranjak dari tempat tidurnya, menuju dapur sambil mengusap – usap handuk yang ada di kepalanya, berusaha mengeringkan rambut.
Dia membuka kulkas, mengambil apel dan pear. Menaruhnya di atas meja, mencuci tangan, mengupas buah tersebut, memotongnya menjadi dadu kecil, memasukkannya ke dalam mangkuk, membuka kulkas kembali, mengambil yogurt, membuka kemasannya, menuangkan isinya dengan bantuan sendok ke dalam mangkuk berisi buah potongnya tersebut. Mengaduk – aduknya, mengambil segelas air putih lalu membawa mangkuk dan gelas tersebut ke kamar. Handuk kecil masih tersampir di pundaknya.
Di kamar, Juni menengok laptopnya. Ada balasan dari Ibu Linda. Dia lalu meminum seperempat air putihnya, menaruh sisanya di atas meja, menuju kasur sambil mengaduk isi mangkuknya, duduk bersila di depan laptop, memasukkan satu suapan salad buah ala kadarnya itu ke mulutnya, membuka balasan email tersebut sembari mengunyah. Juni membuka tautan yang disertakan dalam email balasan tersebut, membaca beberapa kalimat di dalamnya, dan kunyahannya pun berhenti. Juni mematung dengan handuk kecil tersampir di bahu, rambut yang masih basah, dan mata yang membola.
“Kimi, kamu di mana?” Juni dengan rambut basahnya, menelepon Kimi.
“Aku bersama Bintang. Dia tampak frustasi.” Jawab Kimi.
“Cepat kemari! Aku tahu pelakunya!” Juni yakin.
“Tapi…” Kimi melirik Bintang yang frustasi memandangi handphonenya.
“Cepatlah! Aku tidak bisa menangkapnya tanpa kamu!” perintah Juni.
“O-oke…” Kimi sambil melirik Bintang.
Kimi mendekati Bintang setelah menutup teleponnya, berlutut di hadapannya.
“Bin, yang tabah ya…” Kimi menyentuh pundak Bintang. “Gitarmu pasti ketemu…” lalu memeluknya.
Bintang tak bereaksi. Tatapannya kosong.
Mobil Kimi memasuki halaman markas.
Juni berlari menuju mobil yang belum sempat parkir tersebut. “Ayo kita ke rumah Pipit!” ucapnya saat Kimi membuka kaca jendela mobilnya.
Kimi tampak terkejut, namun sedetik kemudian dia mengangguk.
Juni lalu membuka pintu mobil tersebut, masuk.
“Langsung pergi lagi, Non? Saya belum sempat ngopi ini lho…” Pak Leon tidak sadar situasi.
“JALAN!” Kimi dan Juni bersamaan.
Mooo…!
“Tidak! Kalian pasti salah sangka!” Pipit setelah mendengar penjelasan Juni.
“Yang penting sekarang, tolong tunjukkan tempatnya.” Pinta Kimi.
Pipit menggigit bibir bawahnya, “aku… tidak tahu pasti…” sambil membuang muka.
“Pit!” Kimi mengguncang pundak Pipit.
“Aku benar – benar tidak tahu, Kim… memang, dulu aku dan Tomo sering pulang bersama. Tapi aku selalu sampai rumah lebih dulu… aku tidak pernah ke rumah Tomo, dan Tomo tidak pernah memberi tahu di mana dia tinggal.” Pipit menjelaskan. “Tomo hanya bilang, rumah kami searah. Jadi setelah aku sampai rumah, dia akan melanjutkan jalannya ke sana.” Pipit menunjuk sebuah arah. “Aku tidak tahu seberapa jauh dia berjalan. Tapi aku pernah melihat dia masuk ke gang pertama kanan jalan dari sini.” Tambah Pipit.
“Oke, kalau begitu ayo kita cari!” ajak Kimi.
Juni mengangguk. Pipit ragu.
“Tapi… aku masih tidak percaya…” ucap Pipit.
“Hanya ada satu cara untuk mengetahui kebenarannya.” Juni menanggapi.
“Ayo!” Kimi menarik tangan Pipit.
Pipit menurut.
“Pak Leon, kita berangkat!” Perintah Kimi.
Pak Leon hampir tersedak saat menyeruput kopinya. “Ini bahkan masih ngebul, Non…” sambil menunjukkan segelas kopi yang disuguhkan nenek Pipit.
“Ayo cepat!” Kimi galak.
“Siap Non!” jawab Pak Leon.
Nenek Pipit tersenyum melihat adegan tersebut. “Dasar anak muda…”
“Nah, di gang depan itu aku lihat Tomo berbelok.” Pipit menunjuk ke arah gang yang dimaksud.
“Tidak ada motor Tomo.” Kimi saat mereka sampai di pertigaan, ujung gang.
“Jadi bagaimana, Non? Kanan, kiri, atau balik?” Pak Leon melirik kaca spion.
“Saya tanya ke ibu itu dulu saja, Pak.” Pipit tanpa persetujuan langsung turun dari mobil, menghampiri seorang ibu yang sedang menjaga warung.
Si ibu tampak menunjukkan arah setelah sebelumnya terlibat percakapan dengan Pipit. Pipit terlihat membungkuk dan berterima kasih, lalu kembali menuju mobil.
“Bagaimana, Pit?” Kimi setelah Pipit kembali ke dalam mobil.
“Putar balik. Di belakang rumah yang halamannya luas tadi ternyata ada rumah. Tomo tinggal di sana. Kata ibu tadi, mobilnya diparkir di halaman rumah yang luas saja, tidak apa – apa. “
Pak Leon kemudian membelokkan mobilnya ke kanan, mundur, lalu belok ke kanan lagi, putar balik.
Sampailah mereka di rumah yang dimaksud.
“Pak Leon tunggu di sini saja, ya…” pesan Kimi saat keluar mobil.
“Siap, Non!” jawab Pak Leon.
Kimi, Juni dan Pipit lalu berjalan ke samping rumah tersebut, melewati jalan kecil menuju belakang rumah. Benar saja, ada rumah di sana. Motor Tomo pun terparkir manis di depannya.
Kimi memandang Pipit. Pipit mengangguk. Kimi memandang Juni. Juni menuang habis sebotol kecil air mineral yang dibawanya ke kepalanya, lalu mengangguk.
“Kita masuk.” Komando Kimi.
Mereka pun melangkah menuju rumah tersebut. Juni membuang botol air mineralnya ke tempat sampah yang ada di depan rumah tersebut. Kimi lalu mengetuk pintu rumah saat sampai di depannya.
“Siapa?” Tanya suara dari dalam rumah.
Mereka bertiga diam saja.
Jeglek! Pintu dibuka.
“Wow, kejutan!” Tomo setelah terdiam sedetik.
Trio Kimi, Juni dan Pipit juga terkejut karena yang membukakan pintu adalah Tomo, tanpa kacamata bundarnya.
“Ayo masuk.” Tomo mempersilahkan sambil tersenyum lebar.
Mereka lalu duduk di ruang tamu.
“Tumben sekali. Pasti ada keperluan penting sampai kalian datang kemari.” Tomo membuka percakapan.
Tidak ada yang menjawab. Mereka tidak menemukan prolog yang pas. Tomo menunggu jawaban, melihat mereka satu – satu.
“Kamu…” Pipit tiba – tiba bersuara. “Kacamatamu…” Pipit tidak dapat melanjutkan kata – katanya.
Tomo tersenyum. Aku melepasnya kalau di rumah karena sudah terbiasa. Aku mengenali kalian dari suara dan model rambut kalian. Yang di kuncir kuda ini Pipit, yang digerai dan sedikit bergelombang ini Kimi, dan yang bob cokelat berponi ini Juni.” Tomo menunjuk mereka satu – satu. “Aku harus sedekat ini untuk dapat melihat kalian dengan jelas.” Tomo mendekatkan wajahnya ke wajah Pipit yang duduk paling dekat dengannya.
Pipit mematung. Tomo tersenyum, Pipit semakin merasa terintimidasi.
“Sudah, jangan berpura – pura lagi, Kardio Telu Sugelem.” Juni yang melihat ketakutan di wajah Pipit.
Seketika itu juga senyum menghilang dari wajah Tomo. Dia lalu menoleh, menatap Juni. “Apa maksudmu?”
“Kamu kan, yang mengambil gitar Bintang?” Juni to the point.
Tomo tertawa tertahan. “Atas dasar apa kamu menuduhku?”
“Kamu buru – buru pulang dari rumah Pak Slamet. Sebagai seorang Sugelem, sangat mudah bagimu untuk masuk melalui jendela kecil di atas pintu belakang markas. Kamu lalu mengambil gitar Bintang dan casenya, membawanya keluar lewat pintu belakang, masuk lagi, mengunci pintu belakang, lalu keluar lagi lewat jendela di atas pintu belakang. Jendela tersebut memang tidak pernah aku kunci karena tinggi.” Juni menjelaskan hasil analisanya.
“Haha! Meyakinkan sekali…” tanggapan Tomo. “Aku buru – buru pulang karena Dika memberi tahuku bahwa Pipit ada di warnet. Aku memang bertemu Pipit lalu kami berjalan menuju markas untuk menaruh belanjaan…”
“Bohong! Aku tidak melihat persediaan makanan di dapur bertambah.” Kimi memotong cerita Tomo.
Tomo tersenyum. “Tanyakan pada Pipit. Dia meninggalkanku sendirian di depan markas. Jadi aku tidak bisa masuk karena tidak punya kunci cadangan.”
“Benar begitu, Pit?” Kimi pada Pipit.
Pipit mengangguk lalu tertunduk.
“See? Kalian tidak seharusnya menuduh tanpa bukti.” Tomo merasa menang. “Lagipula, untuk apa aku mengambil gitar Bintang?” tambahnya.
“Sakit hati.” Jawab Juni. “Kamu tidak terima Pipit lebih memilih Bintang yang cuma bisa main gitar daripada kamu.” Juni memberi tekanan lebih pada kata ‘cuma’. “Kamu cemburu. Makanya kamu ambil gitar Bintang.”
Tomo kaget mendengar penjelasan Juni, berusaha menahan emosi karena teringat dengan Bintang yang juga memberi tekanan berbeda pada kata cuma.
Tomo tersenyum sinis.
“Kenapa? Apa semua yang aku katakan itu benar?” Juni mengejar pengakuan Tomo.
“Iya, memang benar aku cemburu pada Bintang. Tapi teorimu tentang aku yang mengambil gitar Bintang lewat jendela pintu belakang itu tidak masuk akal.” Tomo membela diri.
“Masuk akal. karena kamu adalah Sugelem.” Jawab Juni yakin.
“Siapa itu Sugelem? Kenapa kamu begitu yakin bahwa aku adalah Sugelem?” Tanya Tomo.
“Kamu yakin menanyakan hal itu?” Juni balik bertanya pada Tomo dengan melirik Kimi dan Pipit yang bingung.
Tomo mengerti maksud Juni. Dia tersenyum. “Jadi bagaimana kamu bisa begitu yakin?” Tomo melempar lagi pertanyaan pada Juni.
“Mudah saja, aku cukup membawamu ke kantor polisi.” Giliran Juni tersenyum, membuat senyum Tomo sirna.
“Baiklah, kalau begitu. Aku ambil kacamata dulu.” Jawab Tomo.
“Tahan dia!” Perintah Juni pada Kimi saat Tomo hendak bangkit dari duduknya.
Kimi menurut, segera menangkap lengan Tomo. Tomo reflek menangkis tangan Kimi dengan kasar.
Wek! Jahitan lengan baju Kimi sobek.
“Kamu… beraninya merusak baju buatanku!!” Kimi yang sangar terbangun dari tidurnya.
Terjadilah perkelahian antara Tomo dan Kimi. Beberapa kali Kimi terkena pukulan Tomo. Dia balas menendang namun tidak mempan. Tomo berhasil menangkisnya.
“Jadi selama ini kamu bohong, Tom?” Pipit tiba – tiba.
Perhatian Tomo beralih ke Pipit yang memandangnya dengan sekuat tenaga menahan air matanya.
Bugh! Tendangan Kimi mendarat di pipi kiri Tomo. Tomo terjatuh, Kimi lalu membangunkannya dalam kunciannya.
Tomo yang berada dalam kuncian Kimi terdiam menatap Pipit yang memandangnya, menanti jawaban atas pertanyaannya.
“Dia bukan Tomo.” Juni buka suara. “Dia seorang Sugelem. Tomo hanya samarannya saja.” Kalimat Juni ini merebut perhatian Pipit. Kimi juga, namun kunciannya pada Tomo tidak melemah sedikit pun.
Tomo memandang Pipit sambil berusaha melepaskan diri.
“Sugelem… merupakan keluarga yang berprofesi sebagai pembunuh bayaran secara turun temurun. Selain dibunuh, organ – organ korbannya juga akan diambil untuk dijual di pasar gelap.” Lanjut Juni.
Pipit memandang Tomo dengan mulut ternganga.
“Sangat keji.” Juni menambahkan.
Tomo lemas, Kimi tetap waspada.
“Sepuluh tahun yang lalu, polisi berhasil menangkap Sibos, pimpinan Sugelem, dan mengamankan kedua anaknya. Namun anak bungsunya berhasil meloloskan diri bersama tangan kanan Sibos, dan mengganti namanya dari Kardio Telu menjadi Tomo Diotria.” Juni bercerita.
Tomo terduduk. Kimi sempat kewalahan dengan reaksi Tomo tersebut, namun dia kembali bersiaga di belakang Tomo, menahan tangan Tomo.
“Kalian lihat sendiri tadi. Dia tidak kesulitan sedikit pun melawan Kimi.” Juni tersenyum sinis. “Tak heran, karena dia sudah disiapkan untuk melanjutkan bisnis keluarganya tersebut sejak kecil.” Lanjutnya.
“Benarkah itu Tom?” Pipit pada Tomo.
Tomo menunduk makin dalam, tanpa bersuara.
“Ak- aku… tidak menyangka…” Pipit menutup mulutnya, tak sanggup melanjutkan kata – katanya.
“H… ha… hahaha!” Tomo tertawa getir. Kimi menguatkan cengkeramannya. “Iya! Aku memang dilatih sejak kecil. Tapi apakah aku tahu untuk apa segala latihan itu?? Aku hanya ingin membuat ayahku terkesan! Itu saja!” Tomo membela diri. “Aku bisa saja mencari ayah dan kedua kakakku lagi, tapi tak kulakukan. Karena apa?? Karena aku tahu perbuatan ayah tidak baik. Aku ingin memulai hidup baru sebagai Tomo!” lanjutnya berteriak.
“Pit…” Tomo menurunkan suaranya. “Aku memang telah banyak berbohong. Tapi perasaanku padamu itu benar, Pit… aku tidak sanggup kehilangan kamu…” Tomo menatap Pipit.
“Jadi benar, kamu yang mengambil gitar Bintang?” Pipit bertanya datar.
Tomo membuang muka. “Iya. Untuk mengajarinya betapa sakitnya kehilangan.” Jawabnya kemudian.
Pipit mengepalkan kedua tangannya, berjalan perlahan menghampiri Tomo, berlutut di depannya, lalu plak! Menampar pipi Tomo dengan tangan kanannya.
“Tidak seharusnya, Tom…” Pipit menggigit bibir bawahnya. “Tidak seharusnya…” air mata Pipit meluncur.
“Pit…” mata Tomo membola melihat Pipit menangis di hadapannya. Dia melepaskan tangannya dari cengkeraman Kimi, tidak sulit.
Tomo lalu menghapus air mata tersebut dari wajah Pipit. “Maafkan aku Pit, maafkan aku…”
Dua detik kemudian…
“Lalu… apa yang akan kamu lakukan dengan uangnya?” Kimi menarik kembali Pipit dan Tomo ke dunia nyata.
“Uang? Uang apa maksudmu?” Tomo heran.
“Uang tebusan untuk gitarnya.” Jawab Kimi.
“Aku tidak pernah meminta tebusan untuk gitarnya, aku hanya meminta Bintang untuk kembali ke Dubai.” Jawab Tomo. “Aku mengirim gitarnya ke Dubai. Mungkin besok gitar tersebut sudah sampai ke rumah Bintang di Dubai.” Lanjutnya.
“Tapi Bintang mendapat email yang meminta tebusan untuk gitarnya…” Kimi sedikit panik. “Dia bahkan menjual bumblebee untuk menebusnya.” Lanjut Kimi.
“Tidak mungkin!” Tomo tidak percaya.
“Aku bersamanya tadi. Aku bahkan membaca emailnya. Sejak pagi dia gelisah menanti telepon dari calon pembeli bumblebeenya.” Jawab Kimi.
“Bukan aku yang meminta tebusan itu…” Sanggah Tomo. Dia mulai panik. “Aku… punya bukti.” Lanjutnya setelah terlihat berpikir.
Tomo kemudian bergegas menuju kamarnya, mengambil laptop. Menyalakannya dan langsung membuka email dengan akun palsu.
“Aku sengaja membuat akun ini untuk mengirim email pada Bintang tentang gitarnya saja.” Jelasnya.
Tomo membuka folder email terkirim. Ada satu email di sana. Membuka email tersebut, dan benar saja. Meminta tebusan 8 milyar untuk gitarnya. Email tersebut juga berisi tempat, waktu dan arahan transaksi yang harus dilakukan Bintang agar gitarnya kembali.
“Bukan aku! Bukan aku yang mengirimkan email ini!” Tomo kukuh mengklaim bukan dia pengirim email tersebut.