Project Rangers episode 12

Eps. 12 “Ternyata”

“Huaah!!” Juni terbangun dari tidurnya, terengah. Mimpi, hanya mimpi.
Dia menyeka keringat di dahinya lalu menyingkirkan selimut, turun dari ranjang, menuju kamar mandi.
Di tempat lain, Tomo menunjukkan rekaman hasil temuannya semalam dan menceritakan keterangan penjaga TK Ceria pada Pipit.
“Tidak mungkin. Juni seharian bersama kami kemarin. Tidak mungkin dia menyelinap ke TK Ceria.” Komentar Pipit setelah mendengar cerita Tomo.
“Tapi rekaman ini jelas – jelas menunjukkan sosok Juni.” Tomo melihat layar laptopnya yang menampilkan Juni saat meninggalkan bilik nomor 18 dalam mode pause.
Pipit tidak menjawab, masih tidak percaya Juni pelakunya.
“Masih ada satu tempat lagi yang harus kita datangi untuk mendapatkan bukti.” Tomo kemudian.
Pipit mengangguk, seolah tahu tempat yang dimaksud Tomo.

Kediaman keluarga Bintang, di Dubai…
“Apa itu?” ayah Bintang bertanya.
“Paket untuk Bintang.” Jawab Bulan, kakak Bintang yang menerima paket tersebut. “Aneh, paket ini dikirim dari Indonesia. Apa pengirimnya tidak tahu kalau Bintang ada di Indonesia?” sambil meletakkan paket tersebut di atas meja, lalu membukanya. “Bukankah ini gitar kesayangan Bintang?” lalu mengeluarkan gitar tersebut dari dalam casenya. “Oh?!” dia menemukan selembar kertas di dalam case tersebut.
Ayah Bintang mengambilnya, lalu membacanya. “Kehilangan itu menyakitkan, bukan?”
“Apa maksudnya? Apa dia mengancam kita?” Tanya Bulan.
“Mengancam? Siapa? Ada apa ini?” Ibu Bintang ikut bergabung.
Tidak ada yang menjawab.
“Ah!” Ibu Bintang tercekat setelah membaca pesan dalam selembar kertas yang diambilnya dari tangan ayah Bintang. “Apa terjadi sesuatu dengan Bintang??” Ibu Bintang panik.
Ayah Bintang teringat telepon terakhir Bintang yang meminta uang jajannya dikirim sekalian sebanyak 1 milyar, namun ditolaknya permintaan Bintang tersebut. “Siapa pengirimnya?” Tanya ayah Bintang pada Bulan.
“Mmm…” Kakak Bintang mengecek paket ulang di depannya. “Tomo. Ada alamatnya juga.” Jawabnya kemudian.
“Kita pulang ke Indonesia, sekarang.” Ayah Bintang memutuskan.

“Memang ada kiriman atas nama Musikonline, tapi kami tidak ingat ciri – ciri pengirimnya…” Jawab petugas di kantor ekspedisi yang didatangi Tomo dan Pipit.
“CCTV! Apa kami bisa melihat rekaman CCTVnya?” Tomo memotong.
“Maaf, ini hanya kantor cabang kecil. Kami tidak memiliki CCTV…” jawaban petugas tersebut membuat Tomo lemas.
Pipit menepuk pundak Tomo. “Kalau begitu kami permisi. Terima kasih…” Pipit pada petugas ekspedisi lalu menuntun Tomo keluar.
“Sama – sama…” Petugas ekspedisi saat Pipit dan Tomo berbalik.
“Sudahlah Tom, aku rasa bukan Juni pelakunya. Kita kembali saja, minta penjelasan Juni secara langsung.” Pipit di luar kantor ekspedisi.
“Yea, kamu benar.” Tomo pasrah.

Di markas, Juni yang selesai dengan mandinya mematikan shower. Dia mengerutkan kening, menajamkan pendengarannya. Sayup – sayup didengarnya suara TV. Apa Pipit datang? Pikirnya. Dia lalu segera mengeringkan diri dan berpakaian. Keluar dari kamar mandi dengan mengusap – usapkan handuk ke kepalanya dan menoleh ke kursi panjang.
“Halo, Jean!” Sapa seseorang yang duduk di kursi panjang sambil menikmati sebungkus keripik kentang. “Apa kabar?” tanyanya setelah menjilati sisa bumbu di tangannya.
Juni mematung. Dia teringat saat memutuskan untuk masuk SMA berasrama dan berpisah dengan seseorang yang dipanggilnya ibu.
“Jadi benar apa yang dikatakan orang – orang? Aku anak pungut?” Juni bertanya sambil menunduk.
“Juni, maaf. Seharusnya Ibu memberi tahumu lebih awal, tapi Ibu takut kehilangan kamu jika kamu tahu yang sebenarnya…” perempuan itu memeluk Juni. “Ibu sayang padamu, Juni. Sangat. Apapun yang terjadi, dari manapun kamu berasal, kamu adalah anak Ibu.” Lalu mencium kepala Juni yang ada dalam dekapannya.
Juni mendongak, mengangkat kepalanya menatap perempuan yang memeluknya. “Katakan padaku, siapa orang tuaku yang sebenarnya.” Pintanya.
Perempuan itu melepaskan pelukannya. “Maaf, Juni. Ibu tidak tahu. Seseorang yang menjualmu pada Ibu tidak memberikan informasi apapun kecuali…”
“Kecuali apa?”
“Kecuali bahwa kamu adalah Jean, dan kembaranmu adalah Jane.”
Juni terdiam.
“Maaf, Juni… Ibu terlalu sayang padamu sejak saat pertama kali melihatmu. Ibu tidak berpikir untuk mencari tahu asal usulmu. Ibu hanya ingin merawatmu, membesarkanmu sebagai anak Ibu. Ibu bahkan mengganti namamu. Maafkan Ibu, Juni…” Perempuan itu menggenggam kedua tangan Juni, memohon.
Juni perlahan menurunkan tangannya, lalu tersenyum. “Terima kasih. Terima kasih banyak atas kasih sayangmu selama ini. Tapi aku tidak ingin merepotkanmu lebih jauh.”
“Juni…” Perempuan itu tidak mampu berkata – kata.
“Aku punya satu permintaan.” Juni tiba – tiba.
“Katakan saja.” perempuan itu berharap.
“Tolong masukkan aku ke SMA Princess. Aku ingin hidup mandiri. Sampai suatu saat nanti aku akan datang kembali padamu, untuk membalas segala kebaikanmu.” Juni bersungguh – sungguh.
Perempuan itu tersenyum. “Baiklah kalau begitu. Tapi… jangan lupa kirim kabar, ya…” perempuan itu memberi syarat.
“Baik, Ibu… Linda.” Juni menyanggupi syarat tersebut dengan sedikit kikuk saat menambahkan nama Linda di belakang sapaan Ibu yang biasa digunakannya.
Juni susah payah menggerakkan bibirnya meskipun rambutnya basah. “Jane…” ucapnya lirih.
“Well, sepertinya aku tidak perlu memperkenalkan diri.” Gadis yang mirip sekali dengan Juni itu mengedikkan bahu.
Juni masih terdiam di depan kamar mandi.
“Tidakkah kamu ingin memeluk saudaramu ini?” Jane merentangkan tangannya.
“K-k-ka-kamu…” Juni terbata.
“Tidak? Baiklah kalau begitu.” Jane menurunkan kembali tangannya. “Aku hanya ingin berterima kasih. Berkatmu, kini aku bisa hidup enak, kakak…” sambil menepuk – nepuk trash bag di sebelahnya.
Juni terbelalak, tersadar. “Kamu yang menipu Bintang?” Juni dengan mata melotot.
“Iya, dan kamu yang membantuku.” Jane santai. “Aku membajak email Ibu Linda. Aku tidak bisa melakukan semua ini tanpa informasi darimu.” Jane tersenyum menyeringai, Juni kaget mendengarnya. “Jadi, terima kasih.” Jane bangkit tanpa membawa trash bagnya kemudian berlalu.
“Tunggu!” Juni menahan tangan Jane. “Kenapa? Kenapa kamu lakukan semua ini??”
Jane mengibaskan tangannya, melepaskan diri. “Kenapa? Kamu akan tahu kalau kamu ada di posisiku! Seharusnya waktu itu aku yang dijual!”
PLAK! Juni menampar Jane. “Apa kamu tahu rasanya merindukan ayah dan ibu yang kamu sendiri tidak tahu nama dan rupanya??”
“Cih! Coba katakan itu setelah hidup bersama mereka.” Jane tertawa meremehkan. “Dengar Jean, beruntunglah kamu dijual. Kamu bisa hidup enak bersama Ibu Linda. Tidak perlu sengsara bersama ayah dan ibu!” Jane mengatakan hal tersebut tepat di depan muka Juni. “Kamu begitu ingin bertemu dengan ayah dan ibu?? Baiklah kalau begitu. Untuk membayar segala kebaikan yang telah kamu berikan padaku,” Jane member tekanan lebih pada kata ‘kebaikan’. “Akan ku beri tahu. Mereka tinggal di Desa Mana. Carilah rumah paling bau.” Lalu berjalan pergi.
Cekrek! Juni mendengar kunci pintu diputar. Jeglek, blam! Pintu dibuka lalu ditutup. Juni merosot, terduduk di karpet.

Mooo…! Sapi menyambut kedatangan Tomo dan Pipit yang terburu – buru masuk markas setelah turun dari motor.
Mereka menemukan Juni terduduk menunduk dengan rambutnya yang sudah kering dan TV yang menyala, entah berapa lama.
“Juni!” Pipit dan Tomo hampir bersamaan karena tahu bahwa karpet bukan tempat favorit Juni. Mereka pun menghampirinya.
“Jun,” Pipit memegang pundak Juni.
Tomo yang juga berlutut bersama Pipit di dekat Juni menoleh ke arah kursi panjang. Sebuah trash bag menarik perhatiannya. Dia lalu menghampiri trash bag tersebut dan membukanya.
Kecewa. Diambilnya isi trash bag tersebut lalu dilemparkannya ke tempat dia berasal, di atas kursi panjang, membuat sesamanya, tumpukan bantal kecil berantakan. Ya. Jane telah mengganti isi trash bag tersebut dengan bantal kecil pelengkap kursi panjang. “Ceritakan yang sebenarnya, Jun!” Tomo pada Juni.
Pipit mengelus pundak Juni. Juni sedikit mengangkat wajahnya.
“Jane…” Ucapnya lirih. “Pelakunya Jane, kembaranku.” Tambahnya membuat mata Pipit dan Tomo membola.
Pipit dan Tomo tak bisa berkata – kata.
“Maaf, maafkan aku…” Juni menangis dalam tunduknya.

“Lalu, apa yang akan kamu lakukan sekarang, Jun?” Pipit setelah Juni lebih tenang selepas menceritakan pertemuannya dengan kembarannya.
“Aku akan menemui Bintang dan meminta maaf. Untuk saat ini aku belum mampu mengembalikan semua uangnya. Tapi aku akan berusaha.” Juni dengan menunduk.
“Hhh…” Tomo menghela napas. “Apa tidak sebaiknya kita cari dulu kembaranmu itu di Desa Mana?” saran Tomo.
Juni menggeleng. “Aku pikir itu sia – sia. Untuk apa dia memberi petunjuk di mana rumahnya kalau dia akan kembali ke sana? Aku rasa dia sudah pergi melarikan diri.” Juni tetap menunduk.
Pipit mengelus pundak Juni. Tak lama kemudian handphonenya berbunyi.
“Pit, apa kamu bersama Tomo?” Kimi yang menelepon dari RSJ langsung menyambar setelah Pipit mengangkat teleponnya.
“Ya?” Jawab Pipit bingung.
“Orang tua Bintang melaporkan Tomo dengan dugaan pemerasan.”
“Apa??!” Pipit kaget. Dia melirik Tomo. “Tapi kamu tahu, kan… bukan Tomo pelakunya…”
Mendengar namanya disebut, Tomo pun menoleh pada Pipit.
“Iya, aku sudah memberi keterangan tadi. Tapi penyidik bilang pencarian bukti akan tetap dilakukan selama gugatan belum dicabut. Dan semua pencarian fokus ke Tomo… mungkin saat ini mereka sedang menggeledah kontrakan Tomo.”
“Dengar, kami tahu siapa pelakunya. Jane, kembaran Juni. Kami juga punya buktinya. Tolong minta penyidikan terhadap Tomo dihentikan. Hubungi orang tua Bintang untuk mencabut gugatannya.” Pipit terlihat panik. Tomo mengerutkan keningnya.
“Tidak bisa Pit, orang tua Bintang tidak bisa dihubungi. Mereka sedang dalam perjalanan ke Indonesia…”
“Mmm… baiklah kalau begitu. Terima kasih infonya, Kim. Biar aku dan Juni nanti ke kantor polisi memberi keterangan.”
Pipit menutup teleponnya.
“Gawat, Tom! Kamu dilaporkan oleh orang tua Bintang dengan dugaan pemerasan. Mungkin saat ini penyidik sedang menggeledah rumah kontrakanmu.” Pipit bercerita tanpa diminta. “Apaa… mungkin… di sana ada petunjuk mengenai masa lalumu?” Tanya Pipit hati – hati.
Tomo tersentak. Sedetik kemudian dia tersenyum. “Mudah – mudahan tidak.” Jawabnya agar Pipit tidak semakin cemas. “Kalau begitu aku pulang dulu. Siapa tahu rumahku masih baik – baik saja.” Tomo nyengir.
Pipit mengangguk, Tomo pun pergi.
“Juni, kita harus ke kantor polisi untuk memberikan keterangan.” Pipit memegang kedua pundak Juni.
Juni mengangguk setuju.
Tomo sampai di depan rumah berhalaman luas. Ada dua mobil polisi di sana. “Sial!” umpatnya sambil memukul motornya. Lalu berbalik pergi, memacu motornya sekencang mungkin.

Pipit dan Juni turun dari taksi yang membawanya ke kantor polisi.
“Ada yang bisa dibantu?” bu polwan bertanya dengan ramah.
“Kami ingin memberi keterangan untuk kasus pemerasan Bintang. Kami membawa bukti.” Pipit menunjukkan kepingan CD dalam wadah transparan.
“Tunggu sebentar, silahkan duduk dulu.” Bu polwan menunjuk tempat duduk untuk mereka berdua lalu pergi ke sebuah ruangan.
Pipit menunggu dengan gelisah. Juni diam saja, menunduk.
Akhirnya bu polwan menemui mereka kembali, lalu mengarahkan ke sebuah ruangan.
“Silahkan.” Bu polwan membukakan pintu.
“Terima kasih.” Jawab Pipit lalu masuk bersama Juni.
“Silahkan duduk.” Tawar seseorang yang ada di seberang meja pada Pipit dan Juni.
Pipit dan Juni pun duduk.
“Saya Ferdi, kepala penyidik untuk kasus ini.” sambil menyodorkan tangannya.
“Pipit.” Pipit menjabat tangan tersebut.
“Juni.” Juni melakukan hal yang sama.
“Jadi, apa yang kalian punya?” Ferdi tanpa basa – basi.
Mereka lalu memutar CD rekaman CCTV warnet, menceritakan kronologi kejadiannya termasuk keterangan penjaga TK Ceria dan motif Jane melakukan penipuan tersebut. Pipit bahkan membuka akun email palsu yang dibuat Tomo untuk menunjukkan kecocokan waktu email terkirim dengan waktu keberadaan Jane di dalam bilik nomor 18.
“Jadi bukan Tomo yang menipu Bintang, Mas eh, Pak. Tapi Jane.” Pipit memberi kesimpulan.
“Hahaha! Panggil mas saja, pak terlalu tua. Saya masih 25 tahun!” Ferdi tertawa lebar.
Pipit nyengir salah tingkah sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Yaahh…dengan ini Tomo memang terbukti tidak melakukan pemerasan terhadap Bintang. Tetapi tetap saja dia yang mencuri gitarnya, kan?” Ferdi tersenyum. Senyumnya miring, sudut kanan bibirnya lebih tinggi dari yang kiri. Membuat lawan bicaranya terintimidasi.
“Tapi Tomo mengembalikannya! Berarti dia bukan mencuri, kan? Mmm… lebih tepat disebut memindahkan! Dia memindahkan gitar Bintang dari Indonesia ke Dubai.” Pipit berusaha membela Tomo.
Ferdi tersenyum menahan tawa. “Tanpa sepengetahuan dan seizin Bintang?”
“Mmm… mmm… anggap saja Tomo sedang bercanda. Seperti main mencari harta karun!” Pipit nyengir maksa, tidak yakin dengan apa yang dikatakannya.
Ferdi menyangga mulut dengan punggung tangannya, menahan tawa.
“Ngg… lagipula, Tomo juga yang mendapatkan bukti – bukti ini. Dia berusaha keras untuk mencari siapa pelakunya.” Pipit yang merasa terintimidasi menambahkan.
Raut muka Ferdi berubah serius. “Lalu, di mana dia sekarang?” sambil menatap tepat di mata Pipit.
Mata Pipit bergerak menghindari mata Ferdi. “Mmm… aku tidak tahu…” jawabnya.
Ferdi masih dengan posisi semula, menanti keterangan lebih lanjut dari Pipit.
“Aku… memang bersamanya tadi, tapi Tomo pergi lebih dulu sebelum kami berangkat ke sini.” Pipit menjawab dengan membalas tatapan Ferdi.
Ferdi masih dalam posisi semula seolah mencari kebenaran dari kata – kata Pipit. Sesaat kemudian dia menyandarkan punggungnya di kursi sambil tetap menatap Pipit. “Baiklah kalau begitu.” Jawabnya. “Kalian tahu, orang tua Bintang mungkin akan mencabut gugatannya karena pelaku yang sebenarnya sudah diketahui dan menganggap perbuatan Tomo adalah iseng semata. Jadi untuk kasus ini, Tomo bisa bebas.” Ferdi memberikan analisanya.
Ada sedikit senyuman di wajah Pipit.
“Tetapi…” lanjut Ferdi membuat sedikit senyuman itu lenyap, tidak berkembang. “Tidak untuk kasus pewaris Sugelem. Saat menggeledah rumahnya, kami menemukan bukti bahwa dia adalah Dio, anak bungsu Sibos yang sudah lama kami cari. Sebagai informasi, Sugelem adalah keluarga pembunuh bayaran yang sadis. Jadi, mohon kerja samanya. Beri tahu kami jika kalian punya informasi tentang Tomo. Apapun itu.”
Pipit membuka mulutnya, tak dapat berkata – kata. Juni tetap menunduk diam.
Sejak saat itu, tak ada kabar apapun dari dan tentang Tomo. Rangers melanjutkan hidupnya masing – masing.
Juni yang merasa bersalah selalu menemani Kimi menjenguk Bintang di RSJ. Diapun akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang perawat.
Kimi memutuskan untuk berkonsentrasi pada passionnya di bidang fashion. Menjadi desainer adalah impiannya, dengan Juni sebagai model tetapnya.
Kondisi Bintang semakin membaik sejak kedatangan keluarga beserta gitarnya. Tidak ada yang berubah, hanya berat badannya saja yang turun drastis akibat depresi yang dialaminya. Bintang pun semakin yakin berkarir sebagai musisi.
Pipit menjalani harinya seperti biasa. Kuliah, kumpul bersama para ranger dan bekerja. Hingga suatu hari setelah dua tahun berselang dari menghilangnya Tomo…
Pipit keluar dari perpustakaan kampusnya yang sepi sambil mendekap dua buah buku yang baru dipinjamnya. Baru beberapa langkah berjalan, dia berhenti. Dihadapannya berdiri sesosok makhluk gondrong mengombak dengan brewok dan kumis di wajahnya.
“Apa kabar?” Sapa makhluk tersebut.
“Tomo?” Pipit menjawab dengan balik bertanya.
“Bukan.” Jawab makhluk gondrong tersebut.
“Lalu… kamu… Dio?” Pipit hati – hati mengucapkan nama Dio.
“Hhk!” makhluk gondrong tersebut tertawa tertahan. “Kardi.” Jawabnya kemudian.
“Kardi?” Pipit bingung.
“Hahaha! Bercanda.” Makhluk itu lalu menghampiri Pipit. “Sudah lama, ya!” sambil mengetuk pelan kepala Pipit.
“Kamu… kemana saja?” Pipit mendongak.
“Berkelana.” Jawabnya. “Sesekali kuliah.” Tambahnya sambil nyengir. Jawabannya itu membuat Pipit bertanya ‘serius?’ dengan ekspresi mukanya. “Jadi… apa kabar?” makhluk itu mengulangi pertanyaan pertamanya, mengabaikan pertanyaan dalam tatapan Pipit.
“Bintang sudah sembuh dan saat ini sedang mempersiapkan album perdananya. Kimi sibuk dengan butiknya, dan Juni berjuang keras untuk menjadi seorang perawat.” Jawab Pipit.
“Dan kamu?”
Pipit tersenyum. “Seperti yang kamu lihat, aku belajar. Seperti biasanya, tak ada yang istimewa.” Pipit menunjukkan buku dalam dekapannya.
Makhluk gondrong itu mengangguk.
“Haha! Aku merasa tertinggal dari mereka. Mereka mengejar impian mereka dengan semangat. Sedangkan aku? Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan nanti. Aku bahkan tidak memiliki bayangan masa depanku sendiri. Aku lambat, bukan?” Pipit tersenyum miris.
“Mau jadi bagian dalam masa depanku?”
Pipit sempat kaget mendengarnya. Kemudian dia tersenyum dan berkata, “Mampirlah kapan – kapan. Kamu tahu di mana bisa menemuiku, kan?”
Makhluk itu dibuat tertegun dengan kalimat Pipit barusan. Dia tidak menyangka mendapat jawaban seperti itu. Dilepasnya bando angry bird dari kepala Pipit. “Bintang benar, kamu terlihat aneh! Angry bird tidak cocok untukmu. Kamu sekarang lebih lembut, lebih banyak tersenyum.” Dengan senyum di akhir kalimatnya, membuat wajah Pipit merona.
Sedetik kemudian, “Kembalikan!” Pipit berusaha merebut kembali bandonya.
Makhluk gondrong mengangkat bandonya tinggi – tinggi sambil berlari kecil dan tertawa.
“Kembalikan!” Pipit mengejar dan melompat – lompat berusaha mengambil bandonya. Rambut panjangnya yang digerai bergoyang.
“Hahaha!” makhluk gondrong itu tertawa. “Ngomong – ngomong, namaku Indra.”
“Masa bodoh! Yang penting kembalikan!”
Dan bunga matahari yang meliuk mengikuti arah matahari terbenam menjadi saksi.

-Selesai-


Project Rangers

Project Rangers

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2016 Native Language: Indonesia
Sebuah cerita bernuasa dorama ala Jepang.Serangkai sahabat yang membentuk sebuah kelompok bernama "Project Ranger"  yang bertujuan untuk membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset