Pipit hanya memandangi tamu undangan yang pamit satu – satu menyalami Kimi dan kedua orang tuanya.
“Hayo, melamun apa?” Pipit disenggol Tomo.
“Waktu sekolah dulu, kamu tahu tidak kalo ternyata Kimi tinggal di rumah yang mirip kastil ini?” Pipit masih tetap menatap barisan yang pamit.
Tomo melirik Pipit yang ada di sebelahnya, “Enggak.” Sambil menggeleng meskipun Pipit tidak melihatnya.
“Menurutmu, apa dulu Kimi menyembunyikan semua ini dari kita?” Pipit masih dengan posisi semula.
“Enggak.” Tomo tanpa menggeleng dan menoleh.
Giliran Pipit yang menoleh ke arah Tomo. Tomo yang menyadari hal itu ikut menoleh ke arah Pipit. “Tapi kenapa kita tidak pernah tahu, Tom? Yaa.. bisa dibilang kita cukup dekatlah dengan Kimi. Tapi…” Pipit tidak melanjutkan kata – katanya.
Tomo tersenyum lalu menjawab, “Karena kita keponya setengah – setengah.” Senyum lagi, Pipit masih terdiam. “Atau mungkin kitanya yang kurang perhatian.” Giliran Tomo menatap barisan yang mau pamit. “Coba kamu ingat – ingat. Kenapa kamu bisa dekat dengan Kimi.”
Kurang – lebih 5 tahun yang lalu, kelas 2 SMP. Di tengah pelajaran matematika, Pipit izin ke kamar mandi. Letak kelas Pipit yang ada di ujung mengharuskan dia melewati ruang kelas lain untuk mencapai kamar mandi yang ada di ujung sisi lainnya. Pipit lewat kelas 2B. Tak lama kemudian, seseorang dari kelas 2B juga izin ke kamar mandi. Kelas 2C, kelas 2D, kelas 2E. Tomo yang menguap sambil memandang ke arah pintu kaget saat tiba – tiba Pipit melintas. Terlebih lagi saat seseorang dari kelas 2B ikut melintas setelah Pipit. “Ramon…” gumam Tomo. Lalu bangkit dari kursinya.
“Ada apa Tom?” Tanya Pak Mahmud yang sedang mengajar sejarah.
“Ngg… anu Pak, saya… kebelet pipis.” Langsung berlari keluar kelas diikuti tawa dari teman – temannya.
Pipit masuk ke kamar mandi perempuan. Melirik ke kaca, lalu masuk ke salah satu bilik yang ada. Tiba – tiba lampu mati. Kamar mandi tersebut jadi sangat gelap karena tertutup dan letaknya di ujung. Pipit yang memang tidak suka gelap buru – buru menyelesaikan urusannya, lalu keluar bilik. Tapi sayangnya pintu kamar mandi terkunci. Pipit menggedor – gedor pintu tersebut sambil meminta tolong.
Ramon terkekeh dibalik pintu. Dia yang mematikan lampu dan mengunci pintu dari luar. Teriakan dan gedoran Pipit hanya terdengar sampai kelas 2G. Sayangnya penghuni kelas tersebut sedang mengikuti pelajaran olahraga di lapangan. Maka tidak ada yang mendengarnya kecuali Ramon.
“Ramon!” tawa Ramon terhenti. Saat Tomo memanggilnya.
“Mau jadi jagoan kamu? Berani lawan aku?” Ramon tidak bergeming dari depan pintu.
Pipit yang mengenali suara Tomo langsung minta tolong. “Tom? Tomooo… tolong nyalakan lampunya Tom…” pinta Pipit sambil terisak.
“Tunggu sebentar Pit!” Tomo menjawab sambil mengincar saklar lampu di sebelah Ramon.
“Hehehe… tidak semudah itu…” Ramon menghalangi Tomo.
Berkali – kali Tomo mencoba menerobos pertahanan Ramon, berkali – kali pula Tomo tersungkur akibat dorongan Ramon yang badannya memang lebih tinggi dan lebih besar dari Tomo itu.
Seseorang murid yang datang terlambat muncul dari tangga samping kamar mandi laki – laki bingung melihat adegan Tomo yang tersungkur dan Ramon yang berdiri menjaga pintu kamar mandi perempuan.
Oke, cut! Penjelasan set dahulu. Jadi, bangunan yang dipakai dalam adegan ini terdiri dari tiga lantai. Lantai 1 untuk kelas 1, lantai 2 untuk kelas 2, lantai 3 untuk kelas 3. Masing – masing lantai memiliki tangga, ruang kelas A sampai G, kemudian kamar mandi perempuan, kamar mandi laki – laki, dan tangga lagi. Laboratorium, perpus, kantor guru, TU, dan lain – lain ada di gedung lainnya. Terima kasih.
Action!
“Kalian sedang apa di depan kamar mandi perempuan?” Tanya murid yang terlambat tadi. Tidak ada respon. Tetapi, mendengar teriakan dan isakan Pipit, murid terlambat tadi mengerti.
“Minggir, aku mau pakai kamar mandinya.” Murid terlambat di depan wajah Ramon. Ternyata tinggi mereka sama.
“Pakai saja kamar mandi yang di bawah, di atas juga ada.” Balas Ramon.
“Aku bilang minggir.”
“Enggak!”
“Minggir!” Murid terlambat tadi menarik tangan Ramon. Ramon terpelanting.
“Kurang ajar!” Ramon langsung menyerang murid tadi dan… “Eh? Barusan aku terbang?” Pikir Ramon sambil menatap langit – langit, lalu tak sadarkan diri.
Tomo yang menyaksikan adegan tadi melongo. Ramon dibanting perempuan? Pikirnya.
Murid terlambat tadi membuka kunci pintu kamar mandi. Seketika itu pula Pipit menghambur keluar. Hampir saja si murid terlambat kejedot pintu. Untungnya dia sigap.
“Terima kasih… terima kasih banyak” Pipit sesenggukan, memeluk murid terlambat tadi.
Beberapa saat kemudian… “Ah, iya! Aku terlambat!” Murid terlambat menepuk keningnya lalu melepaskan pelukan Pipit, dan berlari.
Pipit dan Tomo saling pandang. Tak lama kemudian Tomo menggeleng sambil tetap melongo.
Murid terlambat mengetuk pintu kelas 2A, “Permisi Pak, saya boleh masuk?”
“Siapa kamu?” Pak Dudi menurunkan kacamatanya.
“Saya Kimi Pak, murid baru. Hehe…” sambil nyengir.
“Jam berapa ini?”
“Hehe… maaf Pak, tadi saya terlambat. Jadi saya menunggu gerbangnya dibuka dulu baru masuk. Jadinya makin terlambat Pak. Hee…”
“Ya sudah, duduk sana.” Sambil menunjuk bangku kosong.
“Terima kasih Pak…” Kimi berjalan membungkuk.
Di ujung yang lain, Tomo berbicara menghadap kamar mandi perempuan. “Yakin mau masuk kelas?”
“Iya.” Pipit keluar setelah membasuh mukanya untuk kesekian kalinya.
“Nih.” Tomo memunggungi Pipit.
Pipit menyeka wajahnya dengan seragam Tomo. “Bau asem, Tom.” Pipit menahan tawa.
“Diihh… makasih kek…” Tomo langsung merapikan bajunya sambil jalan ke kelas.
“Hahaha! Iya, iya… terima kasih Tomo…” Pipit tersenyum.
Tomo mengangguk.
“Aku tidak terlihat habis nangis kan, Tom?”
Tomo berhenti berjalan, menoleh ke arah Pipit sambil mengamati mukanya. “Mmm… enggak,” kalimat Tomo menggantung. “Kalo ketawa…” lanjutnya sambil tersenyum lebar lalu berjalan lagi.
Pipit mengikuti dari belakang, sambil tersenyum lebar juga.
Sampai di kelas, Pipit diinterogasi oleh Pak Dudi.
“Lama benar kamu di kamar mandi?”
“Maaf Pak, saya sakit perut…” Pipit berjalan menunduk ke bangkunya.
“Untung kamu pintar.” Pak Dudi diikuti tawa teman – temannya.
Pipit masih menunduk saat sampai di bangkunya hingga dia menoleh ke asal suara “Pst!” dari sebelah kanannya.
“Hai…” sapa asal suara tadi sambil berbisik melambai.
Pipit kaget melihat murid terlambat yang tadi dipeluknya sudah duduk sendirian di pojok kelas.
10 menit sebelum jam pelajaran kedua selesai, terjadi keriuhan dari luar kelas. Anak kelas 2G yang baru saja kembali dari lapangan heboh menemukan Ramon tergeletak di depan kamar mandi. Berbagai spekulasi menyebar hingga Ramon sadar menjelang akhir jam pelajaran ketujuh. Dia lalu bercerita pada dokter UKS bahwa dia dibanting oleh murid yang datang terlambat karena dia menghalangi jalan murid tersebut. Ketika ditanya siapa pelakunya, Ramon hanya menyebutkan ciri – cirinya karena dia memang belum pernah melihat murid itu sebelumnya. Ramon tidak menceritakan bagian dia mengunci Pipit di dalam kamar mandi dan yang membantingnya adalah seorang perempuan.
Hasilnya, Kimi membawa surat skors selama seminggu di hari pertamanya sekolah. Namun justru itulah yang membuat Pipit dan Kimi menjadi dekat. Pipit si juara paralel diminta Bu Maya untuk mengajari Kimi yang banyak ketinggalan pelajaran karena diskors. Mereka selalu berdua, kadang bertiga dengan Tomo. Tak jarang Kimi menginap di rumah Pipit.
“Kamu ingat tidak, kalau Kimi yang selalu menginap di rumahmu?” Tomo menoleh pada Pipit, membuyarkan lamunannya.
Pipit mengangguk.
“Dan saat dia meminta kamu menginap di rumahnya, kamu selalu menolak dengan alasan…”
“Jauh. Jadinya aku malas.” Pipit memotong kalimat Tomo.
“Hem. Padahal normalnya orang akan sebal atau sakit hati bila mendengar jawabanmu itu. Tapi Kimi tahu alasanmu yang sebenarnya Pit.”
Pipit menoleh ke arah Tomo.
“Kamu tak tega meninggalkan adik – adik dan nenekmu sendirian. Kamu merasa bertanggungjawab atas mereka. Karena kamu yang tertua.” Sedetik kemudian Tomo menambahkan, “yea, selain nenekmu tentunya…”
Pipit membuang muka.
“Kok pada berdiri saja sih? Ayo pada duduk!” Kimi setelah tamu – tamunya pulang.
Tomo dan Pipit menurut. Ternyata sudah ada seorang lagi disana.
“Ah, iya! Kenalkan, ini Juni. Temanku di SMA.” Kimi menunjuk gadis berambut bob cokelat yang mengenakan gaun berenda dan menyembunyikan wajahnya.
“Juni, ini Pipit dan Tomo temanku di SMP.”
“Halo.” Mereka bersalaman.
“Aku sama Juni ini teman sekamar, dia yang selalu jadi model untuk baju – baju buatanku. Aku cerita banyak ke dia, cerita juga tentang kalian berdua, termasuk yang waktu Pipit dikunci di kamar mandi…” Kimi membuka cerita. “Waktu pertama ketemu Juni aku langsung ingat kamu, Tom.”
“Hah? Aku?” Tomo menunjuk dirinya sendiri.
“He’em. Habis tampangnya bullyable. Hahaha!” Kimi tertawa, Pipit juga. Tomo manyun, Juni malu – malu.
“Waktu itu cuma Juni yang mau jadi temanku. Yang lain pada takut denganku…”
“Jangan – jangan kamu berteman dengan Kimi juga awalnya karena takut, Jun?” Pipit memotong cerita Kimi. Semua menoleh ke Juni. Juni menoleh satu – satu ke arah yang lain, lalu mengangguk takut.
“Aaahh… Juni… masa kamu juga takut sih, memang aku semenakutkan itu ya?” Kimi protes.
“Hahahaha!” Pipit dan Tomo tertawa. Juni senyam – senyum malu sambil menunduk.
Di tengah tawa itu kepala pelayan datang menghampiri Kimi.
“Permisi Nona, di luar ada tamu undangan Non Kimi yang baru datang. Apakah masih boleh masuk?”
“Siapa namanya?” Tanya Kimi.
“Bintang.” Jawab kepala pelayan.
Pipit kaget, jantungnya berpacu. Tomo melirik Pipit.
“Suruh masuk, Pak.” Kimi kemudian.
“Baik, Non.” Kepala pelayan lalu undur diri sambil berbicara ke dalam setelannya.
Pipit masih mematung, sibuk dengan dirinya sendiri. Mana yang harus ditangani lebih dulu? Jantungnya yang mau meledak atau pikirannya yang kemana – mana? Karena tidak dapat memilih, dia pasrah. Dia membiarkan jantungnya berpacu dan pikirannya melayang.
Sebentar lagi, sebentar lagi aku akan bertemu Bintang! Bintang yang jadi idola sekolah itu! Bintang yang dewa gitar itu! Bintang yang ganteng itu! Bintang yang namanya diteriakan paling kencang waktu pensi dulu itu! Bintang yang terlalu terang sampai aku hanya bisa mengaguminya dari jauh, karena disaat dia bersinar paling terang, saat itulah aku sadar kalau dia terlalu jauh, begitu jauh…
Sekitar 3 tahun yan lalu, pensi SMP…
“Terima kasih semua!” laki – laki yang tak henti diteriakan namanya itu menyapa kerumunan di depannya, setelah menyelesaikan sebuah lagu.
“WAAAAAA!!!” kerumunan heboh, termasuk Pipit di dalamnya.
“Ya, ya. Terima kasih banyak atas dukungannya selama ini. Aku senang bisa mengenal kalian, bisa bersama kalian selama 3 tahun ini.”
“WAAAAAA!!!” teriakan semakin kencang.
“Tetapi, setiap perjumpaan pasti ada perpisahan. Sebentar lagi, kita yang kelas 3 ini akan lanjut ke SMA. Mungkin yang jodoh akan bertemu lagi di SMA yang sama…”
“WAAAAA!!!!”
“Tapi, untuk aku hal itu akan sulit.”
“WAAAaaa??” suara teriakan tak seriuh sebelumnya, berubah menjadi kasak – kusuk.
“Kerena…” kalimatnya menggantung, kasak – kusuk makin riuh. “Karena aku akan pindah ke Dubai minggu depan.”
“Waaa…” wa untuk kecewa.
“Bukan berarti kita tidak akan bertemu lagi, kan? Ayo semangat! Atau… ada yang mau ikut ke Dubai bersamaku?” Bintang mengeluarkan jurus flirting mautnya.
“WAAAAA!!!” teriakan kembali membahana.
“Oke, lagu terakhir ya!” Bintang mulai memainkan gitarnya.
“WAAAA!!!!” teriakan makin riuh. Pipit yang sudah hampir menangis terombang – ambing tersenggol kerumunan yang berjingkrak mengikuti irama yang dimainkan Bintang dan bandnya.
Ayah Bintang mendapat proyek gorong – gorong di Dubai. Lalu karena merasa bahwa Dubai adalah masa depannya, Ayah Bintang memutuskan untuk tinggal dan berjuang di sana.
“Kamu jauh Bintang, jauh…” pikir Pipit saat terombang – ambing dalam kerumunan.
Terdengar suara mobil diparkir di depan pintu. Pipit tersadar dari lamunannya. Jantungnya berdegup kencang saat melihat mobil yang terparkir itu adalah mobil yang sama seperti mobil yang fotonya diunggah oleh Bintang sore tadi. Pipit dapat mendengar Bintang menyanyikan lagu terakhir pensi di kepalanya.
Suara mesin sudah tak terdengar lagi. Suara degup jantung Pipit makin kencang. Bintang masih bernyanyi di kepala Pipit. “Duh, napas Pit, napas…” Pipit memerintahkan dirinya sendiri untuk tidak berhenti bernapas.
Pintu mobil dibuka, jantung Pipit makin berdegup kencang. Nyanyian Bintang makin kencang. Sebentar lagi, sebentar lagi akan ketemu Bintang… jantung Pipit berasa dipompa. Bintang bernyanyi dengan semangat. Kaki kanan yang pertama terlihat keluar mobil. Jantung Pipit hampir meledak. Bintang bernyanyi diiringi teriakan penggemarnya. Itu Bintang! Bintang yang… jantung Pipit berhenti berdetak. Nyanyian Bintang bagai kaset yang pitanya kusut.
“Hah?” sedetik kemudian Pipit sadar. “Bintang?” Pipit kompak dengan Tomo dan Kimi. Juni hanya bingung melihat mereka sambil tetap malu – malu.
“Halo!” sapanya setelah menutup pintu mobil lalu merentangkan tangan dengan ceria.
Kimi bangkit dari duduknya, menemui Bintang yang berjalan memasuki rumah Kimi. “Kamu terlihat…” Kimi memperhatikan Bintang dari atas ke bawah, ke atas lagi.
“Subur?” Bintang memotong dengan tersenyum.
Kimi tak berkata – kata, hanya mengangguk. Pipit masih shock, mematung. Tomo melirik Pipit. Juni yang pemalu tetap menundukkan wajahnya.
“Duduk, Bin.” Tawar Kimi kemudian.
“Iya, terima kasih.” Bintang menerima tawaran Kimi. “Hahaha! Pada kaget ya mesti… aku bisa berubah drastis.” Bintang setelah duduk. “Akibat terlalu dimanja nih, kurang gerak…” Bintang melanjutkan.
“Keluarga kamu apa kabar Bin? Pada balik ke Indonesia juga?” Topik random dari Tomo secara tiba – tiba.
“Hahaha! Baik, terlalu baik malah. Karena itu aku jadi subur begini…” Bintang meminum teh yang tersaji di atas meja.
Kimi dan Tomo tidak terlalu memperhatikan, mereka fokus pada isi cerita Bintang. Pipit masih mematung. Hanya Juni yang terbelalak karena teh yang diminum Bintang adalah kepunyaannya. Tapi dia terlalu malu untuk memperingatkan. “Punyaku…” Juni sambil menyembunyikan wajahnya.
“Awalnya sih aku sama kakakku yang ke sini. Tapi setelah 2 minggu dia balik, lebih enak di sana katanya. Aku yang betah. Yang penting uang jajan mengalir lancar. Hahaha!”
“Selama ini kamu tinggal dimana?” Tomo kemudian.
“1 bulan pertama aku tinggal di hotel, terus 3 bulan ini aku tinggal di rumah yang dulu.” Jawab Bintang santai.
“Bukannya sudah di jual?” Kimi heran.
“Aku beli lagi. Hehe…” Bintang nyengir.
“Sendirian kamu? Keluaramu tidak ada yang menyusul?” Tomo kemudian.
“Haah… Mereka terlalu bahagia di sana. Setelah proyek gorong – gorong itu, ayah dapat proyek instalasi listrik apartemen, ledeng hotel, pulau, akuarium raksasa, sama yang baru saja jalan ini ada proyek gondola.”
“Terus kamu kenapa balik ke Indonesia? Kan jadi jauh sama keluargamu.” Kimi penasaran.
“Hehehe… untuk menyapa penggemar. Pasti udah pada kangen sama aku. Iya gak, Nona Angry bird?” jurus flirting maut Bintang keluar lagi, kali ini sasarannya Pipit.
Tomo melirik Pipit.
Pipit masih mematung. Sedetik kemudian… “He? Apa?” Pipit menatap Bintang dengan kaget.
“Hahahaha!” Bintang tertawa. Kimi juga. Muka Pipit memerah. Tomo tersenyum memamerkan giginya, menunduk. Juni celingukan melihat mereka satu – satu lalu menyembunyikan mukanya lagi.