Pipit membuang muka saat akan sampai ke halaman yang dituju. Dia membuka tanpa meliat isi dalam halaman tersebut.
“Fuuh…” Pipit menghela napasnya lagi, lalu beralih ke isi dalam halaman koran di depannya. Matanya bergerak menyusuri tulisan yang tercetak di sana. Tak lama kemudian, “IYES!” Pipit mengepalkan kedua tangannya dan tersenyum lebar.
“Kenapa Pit?” Tomo dari arah kantor sambil membawa secangkir kopi.
“Aku lolos seleksi beasiswa, Tom!” Pipit dengan senyum di wajahnya.
“Oh ya?! Selamat!” Tomo turut bahagia. Ia lalu menunduk, meletakkan cangkir kopinya di meja, menggeser posisinya agar bisa ikut membaca isi koran tersebut.
Kening Tomo berkerut. “Akademi Seni?” sambil menoleh pada Pipit di sebelahnya.
“Hem.” Jawab Pipit masih dengan senyum bahagia.
“Aku baru tahu kamu tertarik dengan hal semacam itu.”
Pipit nyengir. “Aku tertarik dengan tawaran beasiswanya, Tom. Full gratis, dapat uang saku, makan, transport, buat biaya kost, uang pulsa, dan dapat laptop juga.” Pipit semakin bahagia setelah menyebutkan semua keuntungan yang akan didapatkannya.
“Aaah… aku mengerti.” Tomo paham. Ia lalu meneruskan kembali bacaanya. “Karya Pipit ini menggetarkan hati saya. Ada pesan yang kuat di sana. Dia menggambarkan kebakaran hutan yang hebat dengan begitu indahnya. Ada luapan emosi di sana. Saya rasa ini merupakan bentuk protesnya teradap isu yang berkembang saat ini. Ditambah dengan judulnya; Fall, membuat karya ini semakin dramatis.” Tomo membaca komentar Profesor Sukasukadia di sebelah lukisan yang dibuat Pipit.
“Hahahaha!” Pipit tertawa. “Padahal aku buat lukisan suasana musim gugur, Tom. Jelas – jelas aku beri judul Fall. Tapi malah dikira lukisan kebakaran hutan. Hahaha!” Pipit terpingkal setelah Tomo menyelesaikan komentar Profesor Sukasukadia. “Yasudahlah, yang penting aku dapat beasiswanya.” Pipit sambil menghapus setitik air mata tawa di sudut mata kanannya.
“He?” bibir Tomo berkedut, tak habis pikir. Ia lalu meminum kopinya.
Jeglek! Pintu rumah terbuka.
“Wuuh… panasnya…” Kimi masuk diikuti Bintang.
“Dari mana memangnya?” Tanya Tomo.
“Nih, pasang poster.” Kimi meletakkan setumpuk poster mengenai Project Rangers. Lalu duduk di kursi kosong sebelah Pipit.
“Masih sebanyak ini?” Pipit sambil menunjuk tumpukan poster tersebut.
Tak ada yang menjawab.
“Kenapa tak pasang iklan lewat internet saja?” Pipit kemudian.
“Jangan, nanti identitas kita bisa dilacak.” Bintang kemudian.
“Terus kalau nomor telepon gak bisa?” Pipit menunjuk nomor telepon yang dicantumkan di sebuah poster yang dipegangnya.
“Well… itu…” Bintang garuk – garuk kepala, salah tingkah.
Please deh… ekspresi yang tergambar di wajah Pipit sambil mengembalikan poster ke tumpukannya.
“Modus.” Sahut Tomo. “Bilang saja itu alasan kamu untuk mengajak Kimi pergi berdua.” Lanjutnya.
“Hehehe…” kini Bintang menggaruk kepala sambil nyengir.
Pipit memilih menekuni kembali isi koran di hadapannya, mengalihkan pikirannya dari percakapan Tomo dan Bintang barusan.
“He?” Pipit kemudian.
“Kenapa, Pit?” Tanya Kimi.
“Ini…” Pipit menunjuk pararaf terakhir artikel tentang beasiswanya.”
Kimi mendekat untuk membacanya. “Ada satu karya lagi yang menggetarkan hati saya. Dream, milik Mahardika Jaya. Dia sangat berbakat. Hanya saja nilai ujian tulisnya lebih rendah dari Pipit. Jadi Pipitlah yang berhak menempati posisi ketiga. Ini bisa dijadikan evaluasi. Mungkin tahun depan kami akan menambah kuota beasiswa yang semula 3 menjadi 5 orang. Pungkas Profesor Sukasukadia.”
“TIDAAAAAAKK…!!!” seseorang yang bernama Mahardika Jaya memegangi kepala dengan kedua tangannya sambil menengadah setelah membaca artikel tersebut di lain tempat.
“Mahardika Jaya.” Pipit setelah Kimi selesai membaca. “Nama itu sepertinya familiar.” Dia mengingat – ingat.
“Bukankah itu Dika? Koordinator pensi kita…” Kimi kemudian.
“Ah, iya. Kamu benar. Sedang apa ya dia sekarang?” Pipit mengangguk – angguk sambil tersenyum karena euforia beasiswanya, lalu membalik halaman korannya, membaca berita.
Kimi tak sengaja melihat tanggal yang tercetak di koran tersebut. “Tunggu sebentar.” Dia menahan tangan Pipit yang bersiap membalik halaman koran.
“Kenapa?” Pipit menoleh ke Kimi.
“Ini koran hari ini, kan?” Kimi balik bertanya.
“Iya…” Jawab Pipit dengan bingung.
Kimi celingak – celinguk, meliat sekitar. Ia menjulurkan lehernya untuk melihat ke luar pintu markas yang tadi tidak ditutupnya kembali. “Juni masih di luar, kan? Mengurus sapi?” Kimi berbisik.
Kening Pipit berkerut. Ia lalu bertanya ke Tomo dengan isyarat mata. Tomo mengedikkan bahu, melempar pertanyaan tersebut ke Bintang. Merasa semua tatapan mata tertuju padanya, Bintang yang masih berdiri di dekat pintu melongok untuk melihat kandang sapi.
“Masih.” Jawab Bintang setelah memastikan.
“Lusa adalah ulang tahun Juni…” Kimi sambil berbisik lalu menyuruh selainnya mendekat dengan isyarat tangan.
Yang lain menurut.
Tomo memasuki halaman markas, memarkirkan motornya di tempat biasa. Kali ini dia melepas helm dan menaruhnya di atas motor, tidak tergesa. Moo…! Sapi menyambut kedatangannya. “Yo!” jawabnya sambil memindah telunjuk dan jari tengahnya dari kening jadi menunjuk sapi sambil tersenyum.
Tomo membuka pintu dan… kejutan! Ruang tamu dalam kondisi berantakan.
“Jun?” Dia langsung berjalan masuk, buru – buru.
“Ada apa, Pit?” Tomo saat menemukan Pipit berdiri dengan cemas di kantor yang juga berantakan itu.
“Juni…” jawab Pipit dengan cemas.
“Juni kenapa?” Tomo jadi ikut cemas.
Pipit menjawab dengan muka cemas dan telunjuk yang perlahan mengarah ke kamar berstiker figur pria dengan pintu yang sudah terbuka.
Tanpa kata – kata, Tomo langsung menuju tempat yang ditunjuk Pipit tersebut.
Tomo kaget melihat Juni dalam kamar yang berantakan itu. “Juni!” dia berlari menghampiri Juni, mencegahnya membuka laci lemari baju dalam kamar tersebut.
“Apa yang kamu lakukan, Jun?” Tomo masih menahan Juni.
Juni hanya menyembunyikan muka dalam kuncian Tomo. Tomo melirik laci tadi, sedikit terbuka. Ia terkejut karena dapat mengintip isi di dalamnya, lalu segera menutupnya dengan kakinya. Hanya dia dan Bintang yang boleh membukanya. Laci itu berisi celana dalam mereka berdua yang memang sengaja disiapkan kalau – kalau mereka menginap di markas.
Tomo lalu menuntun Juni ke kantor, mendudukkannya ke kursi panjang. Pipit mengambil segelas air putih di dapur. Tomo perlahan melepas kunciannya. Pipit menawarkan air tersebut pada Juni. Juni menggeleng. Pipit menaruh gelas tersebut di atas meja kecil samping kursi panjang, lalu duduk di sebelah Juni.
“Kamu kenapa, Jun? ada apa?” Tanya Pipit dengan lembut.
“Laptop…” Juni menjawab lirih dalam tunduknya.
“Kamu tidak bisa menemukan laptopmu?” Pipit masih dengan lembut.
Juni terisak lalu mengangguk. Pipit mengelus pundaknya.
“Itu pasti sangat penting buatmu.” Pipit lagi.
“Hiks… hiks… Hwaaa…” Juni menutupi matanya dengan kedua tangannya. Tangisnya pecah.
Pipit mengelus pundak Juni, Tomo diam.
“Happy birthday to you… happy birthday to you…” Kimi dan Bintang muncul dari arah ruang tamu. Kimi membawa kue dengan angka 18 di atasnya, Bintang memetik gitar kesayangannya sambil bernyanyi bersama Kimi.
“Selamat ulang tahun, Juni!” Pipit memeluk Juni yang masih dalam posisi semula, tanpa menangis, hanya terisak.
“Selamat ulang tahun, Jun!” Tomo yang juga duduk di sebelah Juni menepuk pundak Juni sambil tersenyum meskipun Juni tidak melihatnya.
“Sudah, berhenti menangis. Ayo tiup lilinnya.” Kimi tersenyum dan berlutut di hadapan Juni.
Juni mengangkat wajahnya. Matanya yang tertutup poni bertemu mata Kimi. “Laptopku…” katanya lirih.
“Oh, hahaha! Tenang saja, laptopmu aman di mobil Bintang. Ayo, tiup lilinnya.” Kimi dengan ceria.
Juni terbelalak. “Ini sama sekali tidak lucu, Kim!” Juni dengan penekanan di akhir lalu berdiri dan berjalan tergesa sambil menunduk, meninggalkan keempat temannya. Gerakan Juni membuat lilin di atas kue yang dipegang Kimi mati. Mereka berempat shock, terutama Kimi.
Wiu wiu wiu wiu!!! Alarm mobil Bintang mengembalikan mereka pada kesadaran masing – masing. Mereka bergegas menuju sumber suara. Rupanya Juni berusaha membuka paksa pintu mobil tersebut. Bintang mematikan alarm dan membuka kunci mobilnya dari dalam ruang tamu, tempatnya berdiri bersama ketiga temannya yan lain.
Juni membuka pintu mobil Bintang, mengambil laptopnya, lalu berlari pergi tanpa menutup pintu mobil tersebut.
“Juni!” Kimi berusaha mengejar Juni namun terhenti karena Bintang menahannya.
“Juni butuh waktu untuk sendiri.” Bintang pada Kimi. Dia lalu menuntun Kimi kembali ke dalam markas. Dalam perjalanannya, dia sempatkan untuk menutup pintu mobil dan menguncinya.
Bintang dan Kimi lewat diantara Tomo dan Pipit. Pipit mengelus lengan Kimi saat melewatinya. Dia dan Tomo kemudian mengikuti Bintang dan Kimi dari belakang, menuju kantor.
“Oh, baiklah… tolong beri tahu aku kalau ada kabar tentang Juni. Iya. Terima kasih…” Kimi menutup handphonenya.
Bintang mengelus lengan Kimi yang duduk di sebelahnya. Pipit yang baru saja selesai membereskan kamar berstiker figur wanita datang bergabung duduk lesehan bersama Tomo di karpet.
“Nihil. Juni meninggalkan handphonenya dan teman – temannya yang lain tidak ada yang tahu di mana dia berada. Tidak ada yang dihubungi.” Cerita Kimi.
Di tempat lain, Juni menceritakan kejadian yang dialaminya lewat email. Terkirim, pada alamat seperti biasanya.
“Coba cek daftar panggilnya. Siapa tahu ada orang yang sering di hubungi Juni.” Saran Tomo.
“Sudah Tom, kosong. Sepertinya Juni tidak pernah menghubungi orang. Di panggilan masuknya juga cuma ada panggilan dari aku, itu pun 3 tahun yang lalu. Juni memang lebih suka berkomunikasi lewat tulisan…” Kimi dengan handphone Juni di tangan kiri, dan handphone miliknya sendiri di tangan kanan.
“Kalau begitu cek sms!” Pipit menyela.
“Sama saja. Sms terakir adalah sms broadcast undangan syukuranku. Selainnya ada percakapan smsku 3 bulan yang lalu, dan sms 4 temannya yang tadi aku hubungi. Itupun kurang lebih setahun yang lalu.” Jawab Kimi.
Mereka berempat bingung, kecemasan terlihat jelas di wajah Kimi.
Ada email masuk saat Juni hendak keluar dari akun emailnya. Tumben balasnya cepat, pikir Juni.
“Apa jangan – jangan Juni kembali ke panti asuhan? Dia bilang kan selama ini dia tinggal di panti asuhan…” Pipit teringat cerita Juni.
“Coba cek daftar kontaknya. Siapa tahu ada nomor kontak panti asuhannya.” Bintang menyarankan. Kimi mengangguk dan mulai menekuni kontak di handphone Juni satu – satu.
“Sebelumnya, selamat ulang tahun Juni! Semoga kesehatan dan kebaikan selalu menyertaimu. Menyakitkan memang kehilangan hal yang sangat penting dan selalu kita jaga. Tapi coba kamu hilangkan emosimu. Teman – temanmu hanya ingin memberimu kejutan dan sedikit mengerjaimu. Mereka hanya menyembunyikan laptopmu tanpa membuka dan mencari tahu isi di dalamnya. Privasimu masih terjaga, bukan? Laptopmu juga tidak rusak. Jadi rasanya hal ini tidak masalah.” Juni membaca paragraf pertama balasan email yang tadi dikirimnya.
“Tidak ada nomor kontak panti asuhan.” Kimi setelah melihat daftar kontak Juni.
Ketiga temannya menghela napas.
“Kontak Juni berisi nama teman – teman Juni yang juga aku kenal dan guru – guru di SMA kami dulu.” Kimi menjelaskan. “Tapi… ada satu kontak yang tidak kukenal.” Tambahnya.
“Kembalilah pada teman – temanmu. Di mana lagi kamu bisa menemukan teman – teman sebaik mereka? Bersama mereka, hidupmu jadi lebih mudah, bukan? Jika kamu setuju, segera hubungi mereka. Perbaikilah hubungan kalian.” Juni membaca paragraf kedua yang sekaligus menjadi akhir email balasan tersebut.
Bintang, Tomo dan Pipit menunggu penjelasan Kimi lebih lanjut.
Layar handphone Juni yang dipegang Kimi menunjukkan kontak yang dimaksud. “Ibu Linda.” Kimi membaca kontak tersebut. “Guru SMA kami tidak ada yang bernama Linda. Juni juga tidak pernah menyebutkan nama ini sebelumnya.” Kimi mengakhiri kalimatnya dengan melihat Bintang, mencari jawaban. Bintang mengangguk.
Kimi berali ke Tomo. Tomo pun mengangguk. Kimi lanjut ke Pipit, dan Pipit pun memberikan reaksi yang sama, mengangguk.
Kimi kembali menatap nama dalam layar handphone Juni tersebut.
“Anda benar, Ibu Linda. Akan kuhubungi mereka.” Seseorang tersenyum membaca email balasan Juni tersebut. Senyum yang ditunjukkannya lebih mirip seringai.
Kimi hampir memencet tombol dial dari handphone Juni namun urung karena handphone yang tergeletak di sebelahnya berbunyi.
“Nomor baru, Kim.” Pipit menyodorkan handphone tersebut pada pemiliknya.
“Halo?” Kimi dengan binggung.
“Kimi!”
“Juni?! Kamu di mana?”
“Tidak jauh dari markas. Sebentar lagi aku pulang.” Juni lalu menutup teleponnya.
“Juni! Jun…!”
Tut… tut… tut…
“Ditutup.” Kimi pada ketiga temannya yang menunggu. “Juni bilang dia ada di dekat markas. Sebentar lagi dia pulang.” Lanjutnya.
“Ini untuk jaminan.” Juni meletakkan sebuah anting di atas meja, dekat dengan telepon yang baru saja digunakannya. “Nanti pasti aku bayar.” Lalu pergi dengan anting tinggal sebelah, rambut basah dan laptop dalam dekapannya.
Juni pergi meninggalkan setengah botol air mineral di atas lemari pendingin, ceceran air di sekitar lemari pendingin, dan seorang penjaga warnet yang dibuatnya melongo.
“Dari mana saja, kamu Jun?” Kimi saat melihat Juni datang.
“Warnet. Hee…” Juni nyengir.
“Aku minta maaf, Jun…” Kimi merasa bersalah.
“Tak apa. Reaksiku yang terlalu berlebihan. Aku juga minta maaf.” Juni dengan senyum. Kimi membalas senyumnya disertai sebuah pelukan.
Yang lain menyusul, saling bermaafan.
“GYAAA!!!” Penjaga warnet yang melihat ceceran air setelah sadar dari shocknya.
Dia lalu mengambil alat pel dan segera membersihkan ceceran air tersebut agar tidak meluber kemana – mana.
“Kenapa ini terjadi bahkan di hari pertamaku bekerja?? KENAPAAA…??!!” penjaga warnet dengan kedua tangan memegani kepalanya yang menengadah setelah selesai membersihkan ceceran air, mirip gaya Mahardika Jaya setelah membaca pengumuman beasiswa, karena penjaga warnet tersebut memang Mahardika Jaya.