“Halo, selamat siang.” Kimi mengangkat telepon yang berbunyi di sebelah komputer. “Iya benar, dengan markas Project Rangers. Ada yang bisa dibantu?” Kimi kemudian serius mendengarkan orang di seberang telepon. Tak lama kemudian keningnya berkerut lalu menanggapi, “memang benar kami akan membantu orang – orang yang membutuhkan bantuan. Tapi untuk masalah yang Ibu hadapi saat ini kami tidak dapat membantu.”
Ibu di seberang telepon mengomel, Kimi mendengarkan dengan kesal.
“Iya, tapi mohon maaf sebelumnya ya Bu, bukankah itu terjadi karena kesalahan Ibu sendiri? Ibu mengambil kredit mobil yang ternyata tak sanggup Ibu lunasi. Dan sekarang Ibu meminta bantuan kami untuk melunasi kredit tersebut karena tidak rela mobilnya akan disita? Maaf Bu, bukan bantuan seperti itu yang kami berikan.” Kimi emosi.
Si Ibu mengomel lagi. Kimi makin kesal. “Daripada buang waktu, lebih baik Ibu minta bantuan yang lain saja!” Kimi langsung menutup teleponnya lalu manyun.
“Kasus yang tidak seharusnya?” Pipit yang menyimak dari kursi panjang. Ada Bintang juga di sana, sedang asyik menikmati mi goreng porsi jumbo.
“Yea…” Jawab Kimi sambil manyun di balik komputer.
Tililililiiiit… telepon berbunyi kembali.
“Hal…” Kimi berhenti karena Ibu yang di seberang telepon langsung menyambar dengan omelannya. Kimi memutar matanya lalu menutup telepon tersebut.
Tililililiiiit… Kimi tak menggubris panggilan tersebut. Dia lebih memilih melihat model – model baju yang sedang tren di internet.
Tililililiiiiiit…
Tililililiiiiiiit…
Tililililiiiiiiiit… Pipit mulai terusik dengan suara telepon tersebut. Mi goreng Bintang sebentar lagi habis.
Tililililiiiiiiit… telepon itu tak juga berhenti.
Tililililiiiiit… “Gggrrr…” Kimi yang berusaha cuek akhirnya mengalihkan matanya dari layar komputer ke telepon, untuk mengangkatnya.
Tilililii… “Halo.” Ternyata Bintang yang lebih dulu mengangkat telepon tersebut.
Sesuai dugaan, si Ibu langsung mengomel di telepon.
“Bu, dengarkan saya.” Bintang di tengah omelan Ibu tersebut. “Dengarkan saya dulu!” Bintang lagi karena ucapannya tadi tidak digubris. Si Ibu menghentikan omelannya, diam.
“Ibu sekarang di mana? Di rumah? Boleh saya tahu alamat rumah Ibu?”
Si Ibu mengelak, mengaku sedang ke luar kota, tidak mau menyebutkan alamat.
“Oh, jadi Ibu sedang sembunyi menghindari debt collector? Kalau begitu saya sarankan untuk segera menutup telepon Ibu dan tidak menghubungi kami lagi karena saat ini lokasi Ibu sedang kami lacak.”
Tut… tut… tut… si Ibu langsung menutup teleponnya.
“Beres.” Bintang dengan ceria pada Kimi setelah mengembalikan gagang telepon pada tempatnya.
Kimi tersenyum senang. Pipit menyalakan TV, memilih menonton gosip daripada menonton adegan live yang ada di hadapannya.
Pipit menaikkan volume suara TVnya. Kimi dan Bintang masih saja tersenyum dan berpandangan, tidak terganggu.
“Hhhsss…” Pipit sebal. Dia sendiri yang akhirnya terganggu dengan suara TV yang terlalu keras. Dia pun menurunkan kembali volume suara TV tersebut.
Bintang dan Kimi masih dalam posisi semula.
Pipit gemas, lalu menggigit bantal kecil yang ada di dekatnya. 3 detik kemudian, Pipit mendapat ide. Dia lalu melepaskan gigitan bantalnya.
“Bin, piring kotormu nih! Taruh dapur sana!” Pipit sedikit berteriak.
Berhasil! Bintang dan Kimi tersadar, keduanya salah tingkah.
“Iya, Pit!” Bintang bergegas kembali ke kursi panjang untuk mengambil piring yang ditinggalkannya lalu membawanya ke dapur, sekalian dicuci.
Kimi langsung kembali pada layar komputernya.
Pipit senyam – senyum penuh kemenangan.
“Haah… sudah dua minggu setelah poster disebar, belum ada satu proyek pun yang kita tangani. Yang ada hanya kasus aneh – aneh macam minta dibuatkan ijazah palsu, dilunasi hutang kreditnya, dicarikan istri baru, sampai minta diuruskan SIM sama pasport. Memangnya kita calo, apa?” Pipit duduk menyela di kursi panjang, diantara Bintang dan Kimi.
Tidak ada yang menanggapi.
“Kamu sih Bin, pakai acara nyebar poster segala. Makanya kasus yang masuk pada aneh – aneh. Kamu tempel di mana sih posternya? Mending beriklan di internet saja.” Pipit lagi.
“Lho, kok aku?” Bintang tidak terima.
“Pasang iklan di internet juga tidak menjamin kasus yang masuk sesuai dengan apa yang kita inginkan.” Kimi ikut menanggapi.
“Oh, jadi kamu sekarang membela Bintang, Kim?” Pipit tidak terima.
“Bukan begitu, Pit… bukan masalah siapa membela siapa…” Kimi berusaha menjelaskan.
“Jadi apa masalahnya?” sela Pipit.
“Kamu.” Tomo yang baru datang dari arah ruang tamu.
Yang lain diam. Tomo bergabung bersama Juni, lesehan di karpet.
“Kamu akhir –akhir ini emosian.” Tomo setelah duduk sambil melihat tepat di mata Pipit. Pipit melengos.
Tomo mengambil kacang atom yang disuguhkan. “Tidak ada yang salah. Kita memang belum dapat kasus yang sesuai, itu saja.” Lalu memakan kacang atomnya.
Hening, hanya suara kriuk dari kacang atom yang dikunyah Tomo.
“Ada proyek…” Juni dengan lirih, sambil memeluk bantal dan menyembunyikan wajahnya.
“Apa, Jun?” Kimi yang mendengar dengan samar.
“Sapi…” Jawab Juni serupa tadi.
“Sapi?” Bintang memastikan dirinya tidak salah dengar.
Juni mengangguk, “kontes sapi…” lanjutnya kemudian.
“Maksudmu, membuat si sapi juara adalah proyek kita?” Bintang lagi.
Juni mengangguk.
“Ini masuk akal. Kita ubah mindset kita yang semula ingin menjadikan sapi juara agar dapat tinggal gratis di sini, menjadi kita jadikan sapi juara untuk mewujudkan impian si pemilik sapi!” Kimi bersemangat.
“Baiklah kalau begitu. Proyek pertama kita adalah; wujudkan mimpi pemilik sapi!” Bintang memberi judul proyek mereka.
Mooo…!
“Ini, aku baru dapat dari pemilik sapi.” Tomo menunjukkan brosur kontes sapi yang akan diadakan seminggu lagi.
“Selain ukuran tubuh, ada penilaian kesehatannya juga. Berarti kita bawa sapinya 2 hari sebelum lomba saja, biar sapinya adaptasi di tempat baru dan tidak stres.” Usul Pipit.
“Boleh, yang penting cari truknya dulu untuk mengangkut si sapi.” Kimi menanggapi.
“Serahkan saja padaku.” Tomo berjiwa perkap.
“Lalu, siapa yang akan menjaga si sapi di sana nantinya?” Bintang kemudian menoleh ke Tomo. Yang lain pun begitu.
“Wow wow wow… aku tidak bisa.” Tomo langsung menolak, rambut jamurnya bergoyang mengikuti gelengan kepala dan tangannya. “Aku harus mengurus verifikasi dan daftar ulang di kampus. Aku menyusul saja.” Lanjutnya.
“Hhmm… baiklah, aku saja kalau begitu. Tapi aku tidak mau berangkat sendiri. Kimi, kamu temani aku ya!” Bintang tanpa basa – basi.
“Kok aku?” Kimi sedikit keberatan.
“Untuk teman ngobrol di jalan, lagipula kamu kan yang paling fleksibel waktunya?” Bintang beralasan.
“Iya, sih… tapi aku tak mau menginap lho ya…” Kimi memberi syarat.
“Iya, aku antar kamu pulang setelah Tomo datang menyusul.” Bintang menyanggupi.
“Baiklah kalau begitu.” Kimi setuju, Bintang tersenyum.
Tomo melirik Pipit yang tertunduk.
Mooo…!
Sapi super besar itu akhirnya berhasil dinaikkan ke atas truk, berkat kerjasama antara Tomo, abang sopir dan kenek truk.
“Ini alamatnya, Bang.” Tomo memberikan secarik kertas pada sopir truk. Keneknya masih di atas truk mengelus sambil memberi makan sapi agar si sapi tenang.
“Ooh… Lapangan Rumputsegar yang di desa sebelah itu?” abang sopir setelah membaca tulisan dalam kertas yang diberikan Tomo.
“Iya. Tahu kan, Bang?” Tomo mengiyakan.
“Tahu, tahu.” Abang sopir mengangguk – angguk.
“Ya sudah, bawa truknya hati – hati ya Bang! Nanti ada teman saya yang mengikuti dari belakang.” Tomo berpesan.
“Siaaapp…” Jawab abang sopir bersamaan dengan Bintang yang keluar dari markas dengan tas ransel di punggungnya, disusul Kimi dan Juni tanpa tas ataupun tentengan apapun.
“Nah, itu mereka.” Tomo memberi tahu abang sopir.
“Berangkat sekarang?” Bintang setelah tiba di dekat Tomo dan abang sopir.
“Ayok.” Abang sopir menjawab diikuti anggukan Bintang.
Bintang lalu berjalan menuju jeep yang disewanya untuk menuju lokasi kontes sapi.
“Berangkat!” Abang sopir mengetuk bak truknya, memberi tanda pada keneknya.
Si kenek turun, menyusul abang sopir yang sudah duduk di balik kemudi.
“Berangkat dulu ya…” Kimi pamit cipika – cipiki pada Juni lalu menyusul Bintang yang sudah menunggunya di dalam jeep.
Truk berjalan, abang sopir membunyikan klakson sambil mengangguk pada Tomo. Tomo membalasnya dengan melambai.
Bintang menjalankan jeepnya pelan, menurunkan kaca jendelanya saat tiba di dekat Tomo. “Berangkat dulu, Tom!” Bintang dari dalam mobil. Kimi di sebelahnya melongok untuk melihat Tomo sambil berkata, “Salam untuk Pipit!”
“Oke.” Jawab Tomo untuk keduanya sambil melambai.
Kemudian jeep melaju menyusul truk yang sudah berangkat lebih dulu.
Sesampainya di tempat kontes, ternyata bukan para ranger saja yang berpikir untuk datang lebih awal. Sudah ada 4 kontestan lain di sana. Setelah didaftarkan, si sapi langsung diberi kalung dengan tulisan ‘5. Ranger’ dan dibawa ke sebuah bangunan terbuka di pinggir lapangan. Ternyata Lapangan Rumputsegar sering digunakan sebagai lokasi kontes hewan ternak. Maka dibuatlah bangunan terbuka di pinggir lapangan tersebut dengan ukuran 30 x 4 meter yang berfungsi sebagai kandang.
Dalam kandang tersebut, sapi ‘5. Ranger’ ditempatkan di sebelah sapi ‘4. Jumbo’ yang memiliki tubuh lebih panjang namun tidak lebih besar dari ‘5. Ranger’.
“Ramai juga, ya…” Kimi yang melihat banyak orang terutama anak – anak yang berkerumun di dekat kandang. Mereka kagum dengan ukuran sapi – sapi super besar tersebut.
Bintang tak menjawab karena Kimi memang tidak membutuhkan jawaban.
“Makan, yuk!” ajak Bintang.
“Yuk.” Jawab Kimi.
Mereka lalu berjalan menuju tenda temporer tempat penjual makanan berada.
Pukul 18.30, setelah Kimi pulang…
“Kamu pilih tidur di mobil atau di rumah warga? Tadi pas kamu mengantar Kimi pulang, ada bapak – bapak yang menawarkan kamar kosong di rumahnya untuk disewa.” Tawar Tomo pada Bintang.
“Kalau kamu bagaimana?” Bintang balik tanya.
“Aku sendiri kurang tertarik. Aku lebih memilih ikut bapak – bapak yang ronda jaga sapi. Tapi, aku juga butuh tempat untuk mengamankan motor…”
“Hanya saja kamu tak enak hati menitipkan motormu tanpa menyewa kamar?” Potong Bintang, seolah tahu kegalauan Tomo.
Tomo mengangguk.
“Baiklah kalau begitu. Kita sewa kamar saja. Kita gantian berjaga. Kamu ronda malam ini, aku ronda malam besok. Bagaimana?” Bintang memberi solusi.
“Deal.” Tomo menjabat tangan Bintang.
“Silahkan… silahkan…” Pak Slamet sambil membuka pintu kamar dengan gembira.
“Permisi…” Tomo dan Bintang masuk, mengikuti Pak Slamet.
“Yaah… begini ini, seadanya.” Pak Slamet menunjukkan kamar tersebut. “Tapi tenang saja, masakan istri saya top!” Tambah Pak Slamet sambil mengacungkan kedua jempolnya.
“Wah, kita dapat makan juga Pak?” Bintang semangat.
“Iya, buat bonus!” Pak Slamet masih dengan bahagia. “Jadi kalian tidak perlu beli makan di luar…”
“Waah… kita jadi merepotkan.” Tomo merasa tak enak.
“Tidak, tidak. Kami malah senang.” Pak Slamet masih dengan wajah bahagia. “Silahkan istirahat dulu, nanti saya panggil kalau makan malam sudah siap.” Pak Slamet kemudian undur diri.
Tomo dan Bintang lalu meletakkan ranselnya di atas meja setelah berterima kasih pada Pak Slamet.
“Haaahh…” Bintang hendak merebahkan badannya di atas kasur ukuran dobel berseprei usang namun terlihat nyaman itu.
“Eh, eh, mau apa kamu?” Cegah Tomo.
“Tiduranlah…” Bintang cuek.
“O, tidak bisa…” Tomo menarik lengan Bintang. “Aku yang tidur lebih dulu. Kamu nanti saja pas aku ronda.” Lalu bergegas ambil posisi memenuhi kasur.
“Aturan macam apa itu?” Bintang menyusul, menggusur Tomo dengan badan tambunnya.
“Hei! Masa kita tidur seranjang? Gantian, dong…” Protes Tomo sambil menepuk badan Bintang.
“Masa bodoh… kalau kamu bermasalah dengan hal ini, tidur saja di bawah.” Bintang cuek.
“Huu… Dasar! Geser sedikit.” Tomo akhirnya rela berbagi ranjang dengan Bintang.
Dua menit kemudian, pukul 19.20…
Kruyuk…
“Haha! Sudah lapar lagi, Bin?” Tomo mengejek Bintang yang telah menghabiskan dua mangkuk soto sebelum datang ke rumah Pak Slamet.
Kruyuuuukk…
“Lapar, Tom?” Bintang balik badan mengejek Tomo dengan penuh kemenangan.
“Sialan!” Umpat Tomo.
“Hahaha!” Bintang tertawa.
Keduanya lalu kompak keluar kamar.
“Wah, pas sekali. Baru saja akan saya panggil.” Pak Slamet yang sedang membantu istrinya menata makanan di meja makan saat melihat Tomo dan Bintang.
Tomo dan Bintang cengar – cengir salah tingkah. Keduanya lalu menuju meja makan. Aroma masakan istri Pak Slamet membuat musisi keroncong dalam perut mereka semakin bersemangat.
Kruyuuuukk… keduanya memegangi perutnya, malu.
“Hahaha! Mari, mari. Kalian pasti lapar.” Pak Slamet mempersilahkan.
Keduanya menurut dengan malu – malu. Bu Slamet datang dari dapur sambil membawa sepiring tempe goreng yang masih hangat, meletakkannya di atas meja makan, lalu mengetuk pintu kamar yang berhadapan dengan kamar yang disewa Tomo dan Bintang, menyuruh penghuni di dalamnya keluar untuk makan malam, kemudian Bu Slamet duduk di sebelah Pak Slamet, bergabung di meja makan.
Tak lama kemudian, seorang anak kecil keluar dari kamar yang pintunya diketuk Bu Slamet tadi, bergabung di meja makan, duduk di kursi kosong yang tersisa.
Kelimanya makan malam dengan hangat. Tomo dan Bintang tak henti memuji masakan Bu Slamet. Mereka tak malu untuk tambah. Bambang beserta kedua orang tuanya tertawa melihat tingkah tamunya tersebut.
Tiba – tiba hujan turun di tengah makan malam mereka.
“Wah, sepertinya akan semakin deras dan lama hujannya.” Komentar Bu Slamet.
“Motormu dimasukkan ke ruang tamu saja, Tom…” Saran Pak Slamet.
“Tidak usah Pak, tidak apa – apa. Tadi saya parkirkan di bawah pohon rindang yang ada di depan situ. Nanti biar saya tambah tutupi pakai mantol saja.” Tomo masih menikmati makan malamnya.
“Kamu tidak usah ikut ronda, nanti kamu sakit. Biar bapak saja…” Bu Slamet pada Tomo.
“Iya, kamu di rumah saja. Biar saya yang jaga sapinya.” Pak Slamet membenarkan ucapan Bu Slamet.
“Tapi…” Tomo tidak enak hati.
“Tenang saja… itu sudah menjadi tugas kami, panitia kontes untuk menjaga sapi. Kalau kamu ingin ikut ronda, besok saja kalau tidak hujan.” Pak Slamet menambahkan.
“Baiklah kalau begitu…” Tomo semakin tidak enak hati.
Pukul 20.00, Pak Slamet menerjang hujan menuju tempat kontes setelah berpamitan dengan istri, anak dan kedua tamunya. Sepeninggal suaminya, Bu Slamet dengan sigap membereskan meja makan dan mencuci segala macam peralatan dapur dan makan bekas makan malam tadi.
“Tidak usah, kalian istirahat saja sana…” Tolak Bu Slamet ketika Tomo dan Bintang ingin membantu.
Daripada makin salah tingkah, Tomo dan Bintang akhirnya memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Bambang mengekor di belakang mereka.
“Bambang?” Bintang terkejut saat sampai di depan pintu kamar, menyadari bahwa putra semata wayang Pak Slamet itu berada tepat di belakang mereka.
“Hehee…” Bambang meringis. “Main yuk, Kak…” ajaknya.
“Main apa?” Tanya Bintang.
Bambang lalu berlari menerobos masuk ke kamar mendahului Bintang dan Tomo, membuka lemari baju, mengambil mainan yang dia maksud di bawah tumpukan baju. “Ular tangga!” sambil menunjukkan mainan tersebut.
“Boleh, sini naik. Di bawah dingin.” Tomo mengambil posisi bersila di atas kasur.
Bambang menurut dengan semangat, diikuti Bintang dengan biasa saja.
“Mbang, jangan ganggu kakak – kakaknya, biar pada istirahat!” Bu Slamet melongok dari pintu kamar yang dibiarkan terbuka itu.
“Nggak apa – apa kok Bu, kita masih segar berkat masakan Ibu tadi.” Tomo mengakhiri kalimatnya dengan cengiran.
“Maaf ya, Bambang memang suka main.” Bu Slamet masih melongok.
“Namanya juga anak – anak, Bu…” Giliran Bintang yang menjawab.
“Ya sudah. Jangan kemalaman lho, Mbang…” Perintah Bu Slamet pada Bambang.
“Iya, Bu…” jawab Bambang.
Bu Slamet tersenyum menganggukkan kepala yang dibalas oleh Tomo dan Bintang dengan hal serupa, lalu pergi menuju kamar seberang yang tadi diketuknya sebelum makan malam.
Benar apa yang dikatakan Bu Slamet. Hujan tak kunjung reda, malah semakin deras. Tomo, Bintang dan Bambang memainkan ular tangga sambil mengobrol. Atau, tanya jawab lebih tepatnya. Dengan Tomo dan Bintang sebagai penanya, dan Bambang nara sumbernya.
“Jadi sebenarnya ini kamarmu, Mbang?” Bintang setelah menjalankan pionnya.
“Iya. Kalau tidak ada tamu yang menginap, aku tidur sendiri di sini…” jawab Bambang.
“Sendiri? Berani kamu?” Tomo pura – pura kagum.
“Berani, dong! Kan aku sudah besar.” Bambang dengan bangga lalu melempar dadu.
“Wuiiihh… hebat! Berarti yang tinggal di sini cuma tiga, ya? Kamu, bapak sama ibu.” Tomo lagi setelah melempar dadu.
“He’em. Sepi. Makanya kami senang kalau ada tamu yang menginap.” Bambang mengikuti gerakan pion Bintang.
“Minta adik saja Mbang, biar ramai!” canda Bintang.
“Sudah. Tapi bapak bilang, ibu tidak bisa punya adik bayi lagi karena perut ibu sakit.” Jawab Bambang santai sambil menggerakkan pionnya.
Tomo dan Bintang kode – kodean, merasa tak enak hati.
“Ayo, Kak Tomo jalan!”
“I-iya…” Tomo memainkan gilirannya sambil tetap kode – kodean dengan Bintang.
“Kamu… gak apa – apa, Mbang?” akhirnya Bintang yang mencoba memperbaiki atmosfer tak enak hati yang dia rasakan.
“Ha? Memangnya aku kenapa, Kak? Aku sehat kok…” Bambang malah bingung dengan pertanyaan Bintang barusan.
“Mmm… maksud Kak Bintang, kamu gak apa – apa dengan pertanyaan tentang adik tadi? Kita minta maaf ya, kalau membuat kamu sedih…” Tomo membantu menjelaskan.
“Hahaha! Enggaklah, Kak… kata bapak, tidak seharusnya aku sedih karena penyakit ibu. Seharusnya aku bersyukur karena diberi kesempatan untuk lahir di dunia, sebelum ibu sakit.” Bambang menjawab dengan santai sambil melihat Tomo dan Bintang yang melongo mendengar ucapannya barusan.
“Heh, Kak Tomo! Bengong melulu dari tadi. Ayo jalan!” Bambang menggerakkan tanggannya di depan muka Tomo.
“Oh iya, iya.” Tomo tersadar.
“Sudah malam nih Mbang, tidur gih. Besok sekolah, kan? Nanti terlambat lho…” Bintang setelah melempar dadu.
“Besok nggak sekolah, kok…” Bambang sambil mengambil dadu.
“Libur?” Tanya Bintang lagi.
Bambang menggeleng. “Kalau hujan begini, air sungai meluap. Arusnya deras, gak berani menyeberang.” Bambang sambil menggerakkan pionnya.
Kode – kodean antara Tomo dan Bintang kembali terjalin.
“Sekolahmu di seberang sungai?” Tomo sambil melempar dadu.
“He’em. Di desa sebelah.” Bambang sambil melihat pion Tomo yang bergerak.
“Kenapa gak sekolah di desa ini saja? Kan tidak perlu menyeberang sungai.” Bintang lalu menggerakkan pionnya.
“Sekolah di sini mahal. Uang bapak tidak cukup untuk bayar sekolah sama obat ibu.” Bambang setelah melempar dadu.
Kode – kodean Tomo dan Bintang makin intens.
“Baiklah, 8 angka lagi dan aku akan menang!” Tomo berusaha mencairkan suasana. “Aaahh… kurang satu lagi!” Tomo berlagak depresi setelah dadunya dilempar.
“Hahaha!” Bambang tertawa senang. Bintang hanya meringis, memamerkan giginya tanpa suara.
Dan hujan pun tetap konsisten. Tidak bertambah deras, tidak pula mereda.