Kimi tersenyum mendengar pesan lawan bicaranya di telepon tersebut. Wajahnya merona. Entah karena make up yang dipakainya atau karena intensitas darah yang mengalir ke mukanya semakin tinggi, yang jelas dia bahagia mendengarnya. “Oke…” Jawabnya lalu menutup telepon, menyisakan senyum di wajahnya.
‘Bintang?’ Pipit tak sampai hati menanyakan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya. Dia tak tega pada dirinya sendiri. Hanya berusaha menyibukkan diri dengan mengepak buku – buku bacaan yang dia, Kimi dan Juni coba kumpulkan kemarin setelah tengah malam Tomo meneleponnya.
“Lumayan juga ya, bisa dapat satu kardus begini.” Kimi saat berada di sebelah Pipit.
“Yea, begitulah kira – kira.” Pipit sambil memandangi kardus berisi buku tersebut.
Plek. Juni meletakkan piring berisi dua potong sandwich di atas kursi panjang, di sebelah kardus. “Sarapan…” Ucap Juni dengan sepotong sandwich di tangan.
“Terima kasih.” Pipit dan Kimi hampir bersamaan lalu mengambil bagian masing – masing, kemudian ikut lesehan bersama Juni yang sedang menikmati sandwichnya sambil menunduk dalam.
Din din! Terdengar suara klakson dari halaman markas tak lama kemudian.
Kimi berlari sambil membawa separuh sandwichnya. “Masuk dulu saja, Pak Leon!” Kimi pada sopirnya.
Pak Leon lalu masuk ke dalam markas, mengikuti Kimi.
“Ini tolong diangkat ya, Pak…” Kimi menunjuk kardus di atas kursi panjang.
“Siap Non!” Jawab Pak Leon.
Pipit menoleh kemudian batuk, tersedak melihat Pak Leon, sopir Kimi yang ternyata mirip dengan Tukul Arwana. “Uhuk! Uhuk!” Pipit menepuk – nepuk dada.
“Permisi, non…” Pak Leon dengan senyuman yang lebih mirip cengiran campur seringai saat lewat di dekat Pipit.
“Uhuk!” Pipit menutup mulutnya, mau muntah.
Batuk – batuk Pipit mereda setelah Pak Leon pergi membawa kardusnya ke mobil.
“Sepertinya aku alergi sama Pak Leon, deh. Uhuk!” Pipit lalu meminum air putih dari gelas yang disodorkan Kimi. Juni mengelus punggung Pipit.
“Mana ada alergi semacam itu…” Kimi menanggapi.
“Non, mbok saya diberi minum…” Pak Leon tiba – tiba muncul.
Prooottt…!! Air putih yang niatnya mau ditelan Pipit malah tersembur. “Uhuk! Uhuk! Uhuk!” Pipit batuk – batuk lagi. Juni yang semula mengelus jadi menepuk punggung Pipit, diikuti Kimi.
“Temannya Non Kimi sehat?” Tanya Pak Leon.
“Uhuk! Uhuk! Uhuk!” Pipit masih batuk – batuk.
“Duuh… Pak Leon tunggu di mobil saja, deh!” Kimi menjawab pertanyaan Pak Leon dengan perintah.
“Uhuk! Uhuk!”
“Tapi minumnya, Non? Kalau menunggu kan saya haus…”
“Sudah, sana!” Kimi setengah mengusir. Pak Leon lari, pergi.
“Kopi susu, ya Non…” Pak Leon 2 detik kemudian, melongokkan kepalanya dari ruang tamu.
“Iya!” Kimi sambil mengangkat tanggannya, hendak memukul. Pak Leon pun menurut, menunggu di mobil.
“Uhuk!” Pipit lalu meminum air putihnya. Kali ini berhasil dia telan, tidak disemburkan.
“Mungkin ada benarnya juga kamu alergi Pak Leon.” Kimi yang melihat mata merah Pipit akibat batuk – batuk.
Di perjalanan, dalam mobil…
“Oo… jadi Non Pipit ini teman sekelasnya Non Kimi pas SMP?” Pak Leon setelah mendengar cerita Kimi. “I see… I see…” sambil manggut – manggut. “Ngomong – ngomong, kok bisa namanya Pipit? Kalau Non Juni kan jelas, namanya Juni karena lahir di bulan Juni. Nah kalau Pipit? Dulu ibunya ngidam burung pipit atau bagaimana?”
“Gak tahu juga, sih Pak… karena saya kecil kali ya? Jadi diberi nama Pipit.”
“Lho, bagaimana to Non, masa filosofi, silsilah nama sendiri tidak tahu…”
“Memangnya Pak Leon tahu kenapa Bapak diberi nama Leon?” Pipit balik tanya.
“Wooo… jelas… sebenarnya, awalnya, dulunya, nama saya Renaldi. Tapi karena bibir saya ini sering kedutan dan makin maju, akhirnya nama saya diubah jadi Leonaldi di Capprio. Sebab kata kepala suku, saya ini mirip sama yang di film tetanus. Eh, Titanic! Mirip jangkarnya! Hahaha!”
Juni menunduk dalam, entah tidur atau hanya menyembunyikan muka seperti biasa. Kimi mendengkur halus, jelas tidur dengan kepala bersandar di kaca setelah bercerita. Tinggal Pipit seorang, dengan bibir kedutan.
“Nah, seperti itu Non, kedutannya…” Pak Leon melihat dari kaca spion. “Mungkin Non Pipit juga harus ganti nama jadi Pit Winslet.” Saran Pak Leon. “Sebelum terlambat Non, kalau terlambat nanti bibirnya bisa jadi seperti bibir saya…”
Pipit mematung, kedutan di bibirnya berhenti. Dalam hatinya menjerit; TIDAAAAAAKKK!!!
“Itu tadi… serius Pak Leon?” Tomo setelah Pak Leon kembali pulang.
“Menurutmu?” Pipit sensi mendengar nama Leon.
“Well, mungkin ini yang disebut don’t jugde the book by its tittle.” Tomo menaiki motornya, tanpa helm.
Pipit hanya menatap Tomo dengan muka malas, seolah berkata; jayus.
“Hehe…” Tomo nyengir. “Itu pepatah kontemporer, Pit. Aku modifikasi sesuai situasi dan kondisi…” Nyengir lagi.
“Terserah.” Pipit lalu naik ke boncengan Tomo.
5 menit kemudian, mereka sampai di Lapangan Rumputsegar, tempat kontes sapi berlangsung. Juni dan Kimi tadi turun duluan, menonton penjurian bersama Bintang. Sedangkan Tomo mengantarkan Pak Leon ke rumah Pak Slamet untuk menaruh kardus buku. Pipit ikut dengan Tomo dan Pak Leon karena mulas, ingin ke kamar mandi. Mungkin karena sepanjang jalan dia harus mendengar cerita Pak Leon.
“Bagaimana?” Pipit pada Kimi.
“Jurinya sedang berdiskusi, menentukan pemenangnya.” Jawab Kimi.
Tak lama kemudian, para juri naik ke atas panggung. Salah seorang dari mereka maju, meraih mic untuk mengumumkan pemenangnya.
“Cukup sulit menentukan pemenangnya, karena sapi – sapi yang ikut dalam kompetisi ini adalah sapi – sapi terbaik.” Prolog dari bapak juri. “Tapi yang namanya kompetisi, kita mau tidak mau harus memilih yang terbaik diantara yang terbaik. Maka dari itu berdasarkan diskusi yang cukup alot, kami telah memutuskan pemenang untuk kontes sapi kali ini, dimulai dari juara ketiga. Memiliki tubuh proporsional, sehat, tidak ada cacat dan ramah, dengan berat 1,2 ton, juara ketiga diraih oleh…”
Semua peserta berharap.
“Nomor 9. Gede!” Juri menyebutkan juara ketiga. Pendukungnya bersorak. Selainnya kecewa tapi masih penuh harap untuk dua posisi yang tersisa. “Juara dua, dengan kriteria yang sama namun berat berbeda, yakni 1,4 ton, diraih oleh…”
Harapan makin kuat.
“Nomor 2. Momo!” sorakan senang dari pendukungnya bercampur kekecewaan dari tim lain mengikuti hasil pengumuman tersebut. “Lalu untuk juara satu, bersaing ketat dengan juara dua karena kriteria dan beratnya sama, yakni 1,4 ton, namun akhirnya kami memutuskan dia yang berhak menduduki peringkat pertama karena memiliki mata yang sangat jernih dan indah, dan dia adalah…”
“Ranger, please…” Kimi berharap, pun yang lain.
Juri sengaja menggantung pengumumannya lebih lama, membuat para peserta semakin berharap.
“No…mo…r li… ma…” pengumuman tersebut terdengar slow motion mode di telinga Pipit.
“Hah? Apa?” Pipit menggosok – gosok telinganya, tak percaya.
“Nomor lima belas! Sayang!” setelah pendengaran Pipit kembali ke mode normal.
“Haah… gagal deh, tinggal gratisnya.” Pipit menghela napas.
Tuk! Tomo yang ada di belakang mengetuk kepala Pipit.
“Aduh!” Pipit menoleh dengan kesal.
Tomo nyengir. “Kan niatnya mewujudkan mimpi pemilik sapi, bukan tinggal gratis.” Lalu mengakhirinya dengan senyum.
“Iya, iya…” Pipit masih manyun, mengusap – usap kepalanya, lalu berbalik, membelakangi Tomo lagi.
“Hahaha!” Tomo lalu ikut mengusap kepala Pipit dengan kasar, mengacak rambutnya lebih tepatnya.
“Hih!” Pipit memukul tangan Tomo tanpa menoleh. Tomo hanya terkikik senang berhasil membuat Pipit kesal.
“5. Ranger!” pengumuman juri yang sayup didengar Pipit saat dia membenahi rambut ekor kudanya yang diacak Tomo barusan.
“Yay!” Kimi bersorak, high-five dengan Bintang dan Juni, bertepuk tangan.
“Hah? Apaan?” Pipit bingung saat Kimi mengajaknya high-five.
“Si Ranger jadi juara favorit karena selain sehat dia juga sangat ramah dan wangi!” Kimi menjelaskan.
“Wangi??!” Pipit meyakinkan dirinya tidak salah dengar.
Kimi mengangguk lalu berlari menuju panggung, menyusul Bintang. Dia tak lupa menarik Juni agar ikut berlari.
“Wangi??” Pipit masih tidak percaya. Tapi kakinya melangkah mengikuti jejak Kimi.
Mooo…! Sapi super besar dengan name tag ’15. Sayang’ yang melintas ditarik pemiliknya, mengagetkannya. Ia lalu membalas lambaian tangan Kimi padanya yang seolah berkata, ‘Pit, lihat! Ranger menang!’
Di atas panggung, Kimi melambai dengan semangat. Di sampingnya ada Juni yang berdiri menunduk malu, dan Bintang yang mengangkat piala tinggi – tinggi dengan kedua tangannya.
“Yeah!” Tomo bertepuk tangan, juga Pipit.
“Selamat, ya! Sapinya juara!” Bu Slamet meletakkan dua piring pisang goreng di atas meja ruang tamu rumahnya.
“Terima kasih, wah… tidak usah repot – repot, Bu…” Tomo pada Bu Slamet.
“Ini ndak repot, ayok dimakan. Mumpung masih hangat.” Bu Slamet lalu undur diri.
Tak lama kemudian, Bambang muncul membawa nampan berisi 5 gelas teh. Pipit dan Kimi membantunya menaruh gelas – gelas tersebut di atas meja.
“Terima kasih, Mbang.” Bintang dengan pisang goreng di tangan.
“Iya.” Jawab Bambang singkat lalu buru – buru pergi.
“Eh, mau kemana?” Tomo menahannya. “Di sini saja…” masih memegang lengan Bambang.
“Mmm… aku kembalikan ini dulu.” Bambang menunjukkan nampan yang dibawanya.
“Oke…” Tomo melepaskan genggamannnya.
Bambang berlari menuju dapur, lalu segera kembali ke ruang tamu. Ia menempel pada Tomo.
“Haha! Kenapa? Kamu malu?” Tomo pada Bambang. Bambang menjawabnya dengan gelengan. “O iya kenalkan, ini Kak Kimi, Kak Pipit, sama Kak Juni.” Tomo menunjuk mereka satu per satu. “Nah, ini Bambang…” Tomo mendorong Bambang tapi Bambang bertahan, menolak dorongan Tomo.
“Halo Bambang, aku Kimi…” Kimi mengajak salaman. Bambang tidak membalasnya, malah semakin menempel pada Tomo.
“Haha! Sepertinya dia malu.” Tomo kemudian.
“Mbang, kita ingin lihat sungai yang kamu ceritakan kemarin malam, nih… kamu bisa antar?” Bintang tanpa basa – basi.
Bambang mengangguk. Mereka lalu berangkat menuju sungai yang dimaksud.
“Cukup jauh juga, ya…” Bintang saat sampai di lokasi. Tak ada yang menanggapi.
“Kamu kalau sekolah mesti lewat jembatan bambu ini, Mbang?” pertanyaan Pipit tidak dijawab. “Ngeri…” lanjutnya dengan menatap jembatan bambu di atas sungai yang meluap tersebut.
“Ini Mbang, ada buku – buku bacaan. Buat kamu sama teman – teman kamu…” Pipit membuka kardus, menunjukkan isinya pada Bambang dan teman – temannya yang berkumpul di depan rumah Bambang.
“Waa…”, “Hore!”, “Asyik!” kata – kata yang diucapkan oleh Bambang dan teman – temannya.
“Jangan berebut!” Pipit sambil tertawa melihat mereka bersemangat.
“Ribut – ribut apa, ini?” Bintang tiba – tiba muncul bersama Kimi. “Ada monster jahat, kah? Kami siap membantu.” Mereka berdua bergaya dengan topeng buatan Kimi.
Krik… krik… krik… keributan terhenti. Hening, mereka termasuk Pipit shock dengan apa yang dilakukan Bintang dan Kimi.
“Haah… pada gak seru. Aku kan sudah keren – keren memakai topeng ini…” Bintang menggoyangkan topeng yang dilepasnya dengan kedua tangannya, menunjukkannya ke Bambang dan teman – temannya.
Wek!
“Eh?” ada sobekan kecil yang tak sengaja dibuat oleh Bintang.
Seketika itu pula Kimi menoleh tajam. “Bintang…! Hya!”
Dan Bintang pun terbanting di tanah. “Wow!” Komentar shock dari BIntang.
“Apa yang kamu lakukan? Jangan sekali – kali merusak hasil karyaku!” Kimi marah – marah.
“Whoa, Kimi yang sangar bangkit kembali.” Pipit melihat Kimi mengomel pada Bintang yang memandangi langit, terkapar di tanah.
“Ahahahaha!” Bambang tertawa, diikuti teman – temannya.
Pipit bingung melihat mereka tertawa. Mungkin mereka pikir Bintang dan Kimi hanya bersandiwara.
“Eh?” Kimi yang merasa ditertawakan menghentikan omelannya. Dia melihat ke anak – anak yang tertawa, lalu ke Bintang. “Astaga, Bintang! Maaf – maaf. Aku khilaf!” Kimi membantu Bintang untuk bangkit.
“Kini aku tahu rasanya jadi Ramon.” Bintang sambil membersihkan bajunya.
“Maaf…” Kimi membantunya.
Bintang tersenyum, namun Pipit yang melihat senyuman itu, bukan Kimi.
“Kamu menggemaskan!” Bintang tiba – tiba mencubit kedua pipi Kimi yang sedang membersihkan bajunya.
“Aduuuhh… apaan, sih??! Sakit!” Kimi kesal.
Bintang menghentikan aksinya, nyengir, lalu mengulangi perbuatannya lagi. Kali ini dengan tertawa.
“Bintaaaaang…!!!” Kimi berusaha melepaskan diri, memukul – mukul tangan Bintang yang mencubit pipinya.
“Hahahaha!” Anak – anak tertawa melihat tingkah mereka.
Pipit melengos, membuang muka. Dia melihat Tomo dan Pak Slamet datang, memasuki halaman rumah Bambang sambil mengobrol. Juni walaupun berada di tengah keriuhan tersebut, hanya duduk menyendiri sambil menunduk seperti biasa.
“Menginap lagi saja, pulangnya besok pagi…” Bu Slamet pada rombongan Rangers.
“Tidak Bu, kami sudah banyak merepotkan.” Bintang dengan sopan.
“Kalian ini lho… merepotkan apanya? Kita malah senang, kok. Iya kan, Mbang?” Bu Slamet mencari dukungan Bambang.
“Hem.” Bambang mengangguk mantap.
“Kapan – kapan kami main lagi.” Kimi tersenyum pada Bambang.
“Terima kasih atas bantuannya. Nanti kalau air sungai sudah surut, saya kabari kalian.” Pak Slamet menyalami Tomo.
“Sama – sama, Pak.” Balas Tomo.
Mereka lalu saling bersalaman satu – satu, pamit. Kemudian menuju kendaraan masing – masing. Tomo menuju motornya, Bintang menuju mobil sewaannya diikuti Kimi dan Juni.
“Tom!” Pipi meraih lengan Tomo yang berdiri di samping motornya.
“Ya?”
“Aku pulang sama kamu.” Pipit menatap langsung mata Tomo.
Kening Tomo berkerut, “tapi…”
“Pokoknya aku pulang sama kamu.” Pipit berkeras.
“Pit! ayo masuk!” Panggil Kimi dari dalam mobil. Bintang dan Juni juga sudah menunggunya di dalam mobil.
Pipit tak bergeming. Dia tetap menatap Tomo. Tomo bingung, dia beralih dari Kimi ke Pipit yang masih menatapnya. Sedetik kemudian, Tomo membuang napas. “Baiklah…” lalu beralih ke Kimi lagi yang melongokkan kepalanya keluar jendela mobil.
“Pipit pulang dengan aku.” Jawab Tomo.
“Lho, kenapa?” Kimi mengerutkan kening.
“Dia mau lihat – lihat lokasi kampus dulu biar besok pas daftar ulang tidak nyasar.” Tomo berbohong.
“Tapi Pipit kan tidak bawa helm…” Kening Kimi masih berkerut.
“Tenang… aku tahu jalan tikusnya.” Tomo mengakhirinya dengan senyum.
“Oh, baiklah kalau begitu.” Kimi memasukkan kepalanya ke mobil.
Tak lama kemudian mobil yang dikendarai Bintang mundur sedikit untuk putar balik. Berenti sebentar di depan keluarga Pak Slamet. “Kami pulang dulu…” Pamit mereka dari dalam mobil dengan kaca terbuka.
“Hati – hati…” Jawab Pak Slamet beserta keluarga sambil melambai.
“Kami duluan, ya… hati – hati.” Kimi saat mobilnya tepat di samping Tomo dan Pipit.
“Ya.” Tomo mengangguk dan melambai. Pipit diam saja.
Mobil pun berlalu.
“Kami juga pulang ya, Pak, Bu, Mbang…” Tomo sambil memakai helmnya.
“Ya, hati – hati.”
Tin! Tomo membunyikan klaksonnya sambil mengangguk ke arah keluarga Pak Slamet. Pipit yang duduk di boncengannya juga melakukan hal yang sama, menoleh sambil mengangguk.
Keluarga Pak Slamet membalas dengan lambaian tangan.
Motor Tomo melaju. Melewati jalan desa, melewati Lapangan Rumputsegar, melewati suasana sore di pedesaan.
Tomo menghentikan motornya di ujung jalan sebelum memasuki jalan besar, mematikannya.
“Turun, Pit.” ucapnya kemudian.
Pipit menurut saja.
Tomo ikut turun dan melepas helmnya, menaruhnya di atas motor.
“Kamu kenapa sih, Pit? Ada apa lagi?”
Pipit tidak menjawab. Menunduk membuang muka untuk menghindari tatapan Tomo.
“Hhhh…” Tomo membuang napas lalu membuka jok motornya, mengambil mantol kemudian memakainya.
Pipit bingung dengan tindakan Tomo, tapi dia tetap menunduk diam saja.
Tomo kemudian memakai helmnya lagi, menaiki motor dan menyalakan mesinnya.
“Kamu sembunyi saja di balik mantol. Biar tidak ditilang polisi gara – gara tidak pakai helm.”
Pipit mengikuti perintah Tomo, dan motor pun melaju. Sore itu tidak mendung, apalagi hujan. Tentu saja mereka jadi tontonan pengguna jalan lainnya.
“Haahh… ini memalukan tahu, Pit. Kamu sih enak mukamu tidak terlihat, sedangkan aku?? Pokoknya kamu harus trak…” Tomo tidak melanjutkan ocehannya. Dia terkejut karena di balik mantol, Pipit memeluknya.
Tidak ada kata – kata. Perjalanan pulang itu hanya diiringi oleh suasana lalu lintas sore dan tatapan heran dari sekitarnya. Tomo merasa hangat. Entah karena cahaya matahari sore yang menerpanya, entah karena Pipit memeluknya, entah keduanya.