Mooo…! Sambut sapi yang berhasil menjadi juara favorit dalam kontes sapi.
Pemilik bibir merah muda dan rambut panjang terurai tidak menghiraukan sambutan sapi tersebut. Dia terus berjalan masuk ke rumah, menuju suara gaduh di balik partisi pembatas ruangan.
“Pipit??” Tomo yang sedang menyeduh kopi menghentikan kegiatannya.
Bintang menghentikan nyanyian dan petikan gitarnya, lalu menoleh mengikuti arah pandangan Tomo. Juni hanya melirik dalam tunduknya, tidak bergeming dari posisi duduk dengan kedua kaki ditekuk di depan badannya, di atas kursi panjang.
Kantor kecil tersebut hanya dipenuhi oleh suara TV.
“Hai…” Pipit sedikit canggung.
Bintang berdiri dari duduk lesehannya, meninggalkan gitarnya untuk menghampiri Pipit.
Sooorrr… suara kloset disiram terdengar di sela suara TV.
“Pipit?! Kamu cantik sekali!” Pekik Kimi saat keluar dari kamar mandi. Dia melihat Pipit mengenakan dress selutut dengan rambut terurai dan berponi. Pipit juga membubuhkan make up sederhana di wajah, mengganti kacamatanya dengan lensa kontak dan menyematkan bando angry bird di kepalanya. Kimi pun menghampiri Pipit.
“Kamu terlihat…” Bintang tepat di hadapan Pipit. “Aneh.” Lanjutnya.
Kimi yang sampai di dekat mereka menutup mulutnya, tak percaya dengan apa yang didengarnya dari mulut Bintang barusan.
Pipit yang semula tersenyum malu, kini terbelalak. Antara percaya dan tak percaya dengan apa yang didengarnya. Dia balas menatap Bintang, melirik Kimi, menatap Bintang lagi, melirik Kimi lagi, menatap Bintang, menggigit bibir lalu berbalik, berlari pergi. Melihat Kimi yang menutup mulutnya, membuat Pipit percaya dengan apa yang didengarnya.
“Pipit!” panggil Kimi. Tangannya menggantung di udara. Dia perlahan menurunkan tangannya setelah tahu Pipit tidak akan kembali, setidaknya untuk saat ini.
Bugh! Tinju Tomo mendarat di tulang pipi Bintang. Kimi kembali menutup mulutnya, terkejut.
“Keterlaluan kamu, Bin!” Tomo lalu pergi menyusul Pipit.
Bintang memegangi rahang bawahnya sambil menggerak – gerakannya. Kimi masih menutup mulut, Juni masih dalam posisi semula, sedari tadi memperhatikan dalam diam.
Pipit merasa pegal di kaki. Dia tidak terbiasa berlari menggunakan sepatu hak tinggi. Dia pun berhenti untuk beristirahat sambil memijat – mijat kakinya.
“Haahh… sialan! Kaki sakit, mata ikutan risih pula! Pokoknya sial!” Pipit melepas bandonya, mengomel seorang diri. “Tidak ada kamar mandi, apa ya??” Pipit dengan kesal dan melihat sekitar. Dia mencari tempat yang kemungkinan memiliki kamar mandi. Pilihannya jatuh pada sebuah warnet karena letaknya paling dekat dengan tempat berdirinya sekarang. Pipit berjalan terseok menuju warnet tersebut.
“Pit!” sebuah tangan meraihnya. “Kamu tidak apa – apa?” Tomo, pemilik tangan tersebut tiba – tiba sudah ada di depannya.
“Menurutmu?” jawab PIpit sok judes walaupun sebenarnya kaget dengan kehadiran Tomo tersebut.
“Oke, sekarang kamu mau ke mana?” Tomo menghadapinya dengan penuh ketenangan dan kesabaran.
“Warnet.”
“Warnet? Untuk apa?”
“Hhs! Banyak tanya ya kamu?!” Pipit menatap Tomo dengan sebal.
Tomo mengangkat kedua tangannya tanda menyerah sambil berkata ‘oke’ tanpa suara.
Pipit lanjut berjalan, Tomo menyingkir dengan suka rela.
“Tunggu, Pit!” Tomo setelah melihat Pipit berjalan tertatih.
“Apa lagi??” Pipit dengan sebal dan malas.
Tomo berlari kecil ke hadapan Pipit.
“Pakailah.” Tomo melepas sandalnya, lalu memutar arahnya agar mudah dipakai Pipit.
Pipit diam saja, terkejut dengan tindakan Tomo.
“Cepatlah…” Tomo tak sabar. Ia lalu berjongkok, melepas sepatu hak tinggi yang dipakai Pipit, menuntun kaki Pipit untuk memakai sandalnya, lalu berlari membawa sepasang sepatu Pipit tersebut.
Pipit bingung, tak mengerti jalan pikiran Tomo. Namun tak lama kemudian dia tersenyum setelah tahu ke mana Tomo berlari.
“Ayo cepat Pit! panas nih!” sambil berjingkat – jingkat.
Tomo berlari menuju bayangan, mencari tempat teduh untuk mengamankan telapak kakinya dari jalanan yang panas akibat teriknya matahari.
Pipit berlari dengan sedikit tertatih menahan sisa rasa sakit di kakinya.
“Kamu baik sekali sama aku, Tom.” Pipit saat berhasil menyusul Tomo. “Terima kasih.” Lanjutnya dengan mata berkaca – kaca.
“Eh, jangan menangis Pit!” Tomo malah bingung.
“Siapa yang nangis?? Ini lensa kontaknya saja yang bikin risih, mataku jadi berair gini!” Protes Pipit kemudian berjalan menuju warnet.
“Iya, iya… percaya.” Tomo dengan gaya bercandanya menyusul Pipit
Pipit menatapnya tajam, kesal. Tomo nyengir.
“Sini, aku bantu lepas.” Tomo bersiap melepas lensa kontak Pipit.
“Tangan kamu kotor, kan?” Pipit menolak sambil menjauhkan kepalanya dari Tomo.
Tomo membuka mulut tapi tidak mampu bersuara, kalah telak. Pipit benar.
Sampailah mereka di warnet.
Kling… suara lonceng saat pintu warnet dibuka.
“Selamat datang, masih ada bilik kosong…” penjaga warnet dengan ramah.
“Oh, cuma mau numpang ke kamar mandi saja kok, Mas…” jawab Pipit tanpa rasa bersalah dan langsung menuju toilet sesuai petunjuk arah yang dilihatnya.
Penjaga warnet jelas terkejut namun dia berusaha sabar.
Kling…
“Selamat datang, masih ada bilik kosong…” penjaga warnet pada pelanggan berikutnya.
“Oh, saya cuma menemani yang numpang ke kamar mandi tadi kok, Mas…” lalu dengan santai Tomo duduk di kursi tunggu yang disediakan.
Penjaga warnet lalu kembali duduk sambil komat – kamit. Tak jelas apa yang diucapkannya. Yang jelas dia terlihat sebal.
“Sudah?” Tomo yang melihat Pipit berjalan ke arahnya.
Pipit menggeleng. “Di kamar mandi tidak ada kacanya, aku tidak bisa melepasnya tanpa kaca.”
“Aku cuci tangan dulu deh…” Tomo lalu menuju kamar mandi.
Pipit mengangguk walau Tomo tidak melihatnya.
“Oke, siap.” Tomo membuka mata Pipit lebar – lebar lalu mengambil lensa kontaknya. Pipit diam saja, tidak melawan.
“Dasar pasangan alay!” komentar penjaga warnet tanpa didengar oleh yang dikomentari.
Pipit mengedip – ngedipkan mata. “Terima kasih, Tom.” Sambil senyum.
“Santailah…” balas tersenyum lebar.
“Tunggu dulu!” teriak penjaga warnet pada pasangan alay tersebut. “Tom? Jangan bilang kamu Tomo.” Penjaga warnet menunjuk Tomo sambil berdiri dari duduknya.
“Iya, saya memang Tomo…” Tomo menjawab dengan bingung.
“Sudah kuduga. Kamu tidak banyak berubah. Dunia ini sempit ternyata! Ini aku, Dika…” penjaga warnet bersemangat.
“Oohh… Dika?” Tomo manggut – manggut. “Dika siapa, ya?” lanjutnya kemudian. Penjaga warnet hampir jatuh mendengarnya.
“Ah! Mahardika Jaya!” Pipit sambil menunjuk penjaga warnet.
“Iya, benar!” penjaga warnet bahagia ada yang mengenalinya.
“Aaahh…” Tomo manggut – manggut lagi. “Ngomong – ngomong, Mahardika Jaya tuh siapa, ya?” Tomo benar – benar tidak ingat.
“Itu… koordinator dekor pensi kita dulu…” jawab Pipit.
“Ooh… ya, ya…” Tomo ingat. Dika mengangguk mengiyakan. “Kamu tampak lebih tua, sih… aku jadi tidak mengenalimu.” Tomo kemudian.
“Hahaha!” Dika hanya tertawa. “Tapi ngomong – ngomong, kamu siapa? Teman SMP kita juga?” Dika pada Pipit.
“Hehehe…” Pipit tertawa misterius lalu menunjukkan bando angry bird yang dibawanya.
“Pipit??! Pipit yang itu??” Dika belum bisa percaya.
“Yang apa??!” Pipit dengan galak.
“TIDAK MUNGKIIIIINN…!!!” dengan gaya khasnya, kedua tangan memegangi kepalanya yang menengadah. Kini dia percaya kalau yang dihadapannya sekarang adalah Pipit. Pipit yang ‘itu’ lebih tepatnya.
Setelah peristiwa transformasi Pipit tersebut, kegiatan kumpul Project Rangers di markas tetap berjalan. Pipit kembali ke Pipit yang semula, namun dia membiarkan rambutnya tetap tergerai, tidak dikuncir kuda. Pipit pun berusaha mencairkan suasana aneh antara dirinya dan Bintang. Hanya saja, Bintang selalu menghindarinya.
Rangers yang lain pun merasakan atmosfir aneh tersebut. Namun, mereka tidak berani ikut campur dalam masalah Pipit dan Bintang. Di tengah suasana aneh tersebut, telepon markas berbunyi.
“Halo…” Angkat Kimi. “Iya, benar. Baik, baik. Dengan senang hati.” Kimi setelah mendengarkan lawan bicaranya. “Iya, salam untuk semuanya ya, Pak…” Kimi menutup teleponnya setelah lawan bicaranya mengiyakan.
“Pembuatan jembatan di desa Bambang sudah dimulai!” Kimi mengabarkan berita yang baru didapatkannya lewat telepon tadi pada teman – temannya. “Pak Slamet meminta kita untuk datang besok.” Lanjutnya.
“Siap!” Tomo bersemangat.
Bintang meletakkan gitarnya. “Kalian berangkatlah, aku carikan mobil. Aku tidak ikut.” Lalu beranjak dari duduknya.
“Tunggu!” Pipit menahan lengan Bintang yang mau pergi. “Kamu mau kemana? Ikutlah… kalau aku membuatmu tak nyaman, aku akan menguncir rambutku lagi.” Pipit bersungguh – sungguh. “Aku juga akan berangkat sendiri, tidak bersama kalian. Aku akan menjaga jarak denganmu…” lanjut Pipit. “Jadi… ikutlah…” Pipit memohon.
Bintang melepaskan diri dari Pipit. Dia pun menjawab tepat di depan Pipit yang memohon, “kamu sadar tidak, Pit? Tindakanmu ini, membuat posisiku dan juga Kimi…” Bintang menunjuk Kimi lalu kembali menatap Pipit, “jadi tidak nyaman!” lalu pergi.
“Bin!” Kimi memanggil Bintang, bingung. Dia lalu melihat Pipit, melihat Tomo, dan Tomo pun mengangguk.
Kimi menggigit bibirnya lalu berlari mengejar Bintang.
Tomo mendekati Pipit yang masih berdiri mematung, menunduk. Dia lalu melihat Juni yang duduk di kursi panjang tempat favoritnya seperti biasa, hanya saja kali ini dia tidak menunduk. Dia memperhatikan dengan kepala tegak, dengan poni menutupi sebagian matanya.
Juni bangkit dari duduknya, beranjak pergi, menepuk pundak Tomo ketika melewatinya, menuju kamar berstiker figur wanita, dan menutup pintunya.
“Pit…” Tomo menyentuh pundak Pipit pelan – pelan. “Pit…” panggilnya lagi namun tetap tidak ada tanggapan.
“Hh!” Tomo membuang napas, menarik tangannya kembali, berkacak pinggang, tak habis pikir. “Lihat dirimu sendiri, Pit. Ini sama sekali bukan kamu! Kamu jadi melankolis begini…” Tomo tak bisa menahan emosinya. “Menyedihkan.” Lanjutnya.
Pipit tak bergeming. Dia hanya mengepalkan kedua tangannya mendengar ucapan Tomo barusan.
“Apa sih yang kamu lihat dari seorang Bintang?? Pakai logikamu Pit… apa yang kamu harapkan dari seorang anak yang cuma bisa main gitar dan bersenang – senang dengan uang dari orang tuanya??!”
Pipit langsung balik badan setelah mendengar ucapan Tomo barusan.
Tomo terkejut Pipit balik badan tiba – tiba lalu menatapnya dengan kedua matanya yang mengalirkan air mata di pipi.
“Iya, Bintang cuma bisa main gitar. Iya, Bintang cuma bisa bersenang – senang. Tapi aku tahu, Tom…” Pipit berhenti karena terisak. “Aku tahu Bintang tidak bodoh… dia pasti punya alasan melakukan semua itu…”
Tomo kehabisan kata – kata.
“Kamu tahu, bagaimana rasanya menjadi tulang punggung keluarga? Kamu pikir aku senang selalu dapat beasiswa? Tidak, Tom. Tidak! Aku harus belajar mati – matian, berusaha segala macam cara untuk menyokong hidup nenekku, adik – adikku, dan hidupku sendiri.” Pipit mengeluarkan semua uneg – unegnya dengan emosi. “Tidak seperti kamu yang dapat dengan mudah menemukan apa yang kamu impikan, menjadi seorang engineer. Aku bahkan tidak sempat memikirkan apa yang akan aku lakukan kelak. Yang aku pikirkan hanya satu. Bagaimana caranya agar aku, nenekku, dan adik – adikku tetap bisa hidup. Apa itu menyenangkan?? Tidak! Hidupku membosankan, dan melelahkan!” Pipit terisak. “Dan kamu bertanya apa yang aku lihat dari seorang Bintang? Bintang menjalani hidupnya dengan santai. Karena itulah aku mengaguminya. Aku mau Bintang membawaku ke dunianya yang santai itu!”
Air mata Pipit mengalir deras setelah mengeluarkan uneg – unegnya itu. Ia terisak hebat. Telunjuk kanannya dia tempatkan di bawah lubang hidungnya untuk menahan ingusnya yang iri, ingin turun bersama air mata.
Tomo yang kehabisan kata – kata memilih menenangkan Pipit dengan cara menyentuh pundaknya. Namun belum sempat tangan itu mendarat di pundak Pipit, tangan kiri Pipit menangkisnya. Tomo pun akhirnya hanya diam, melihat Pipit yang menangis di hadapannya.
Di ruang tamu, Bintang terduduk melamun di kursi setelah mendengar uneg – uneg Pipit. Kimi yang duduk di sampingnya memperhatikannya dengan cemas.
Di dalam kamar, Juni yang duduk di atas kasur dengan kepala yang bertumpu di atas kedua lututnya mendengar jelas tiap detil percakapan Tomo dan Pipit barusan.
Malam harinya, Juni mengetikkan kejadian siang tadi. Dia menceritakan konflik yang terjadi akibat cinta segitiga antara Pipit, Bintang dan Kimi. Dia pun menambahkan bahwa kemungkinan besar Tomo menaruh hati pada Pipit.
Selesai, email pun dikirim pada teman dunia mayanya, Ibu Linda.