“Hem. Baiklah kalau begitu.” Kimi mengangguk.
Kimi, Juni dan Bintang kemudian berangkat menuju desa Bambang dengan jeep yang disewa Bintang.
Sepeninggal mereka, Tomo lalu mencoba menelepon Pipit kembali namun tidak diangkat.
“Ayolah Pit, angkat…” Tomo mencoba sekali lagi dengan gemas.
Tidak diangkat. “Sial!” Tomo menendang udara.
Mooo…!
Tomo lalu buru – buru memakai helmnya, menaiki motornya, memacunya sekencang mungkin.
“Oh, sudah berangkat dari tadi ya, Nek.” Tomo bicara pada nenek Pipit di depan rumahnya.
“Coba ditelepon saja…” saran Nenek.
“Baik Nek, akan saya telepon. Kalau begitu permisi, Nek…” Tomo memakai helm dan menaiki motornya lagi. Dia berbohong. Dia tidak ingin membuat nenek Pipit cemas dengan mengatakan bahwa Pipit tidak mengangkat teleponnya.
“Hati – hati…” Nenek pada Tomo.
Tomo mengangguk lalu melajukan motornya.
Tomo mencari di setiap tempat yang mungkin disinggahi Pipit, namun Pipit tidak juga ketemu. Tomo mengecek jam di handphonenya. Sangat terlambat, pikirnya. Dia pun memacu motornya sekencang mungkin, memutuskan untuk menyusul rangers sendirian, tanpa Pipit.
“Maaf, saya sangat terlambat.” Tomo pada Pak Slamet.
“Tidak apa – apa, kamu sempat datang ke sini saja kami sudah senang.”
Jawaban Pak Slamet membuat Tomo semakin tak enak hati.
“Ngomong – ngomong, Pipit mana? Kata Bintang tadi kamu akan menyusul bersama Pipit.” Lanjut Pak Slamet sambil berjalan mengantarkan Tomo ke lokasi pembangunan jembatan.
“Oh iya, Pipit minta maaf tidak bisa datang. Dia dan teman – temannya masih mengerjakan tugas ospek. Dia berusaha menyelesaikan tugas tersebut secepat mungkin namun tetap tidak bisa selesai karena banyak. Akhirnya dia minta saya berangkat sendiri, dan titip salam untuk Pak Slamet dan keluarga.” Tomo bohong. Ospek? Beberapa kampus bahkan baru mulai pendaftaran gelombang duanya.
“Oohh…” Pak Slamet ber-oh saja. Alasan yang dibuat Tomo tadi masuk akal baginya.
“Wah, sudah hampir selesai rupanya. Cepat sekali??” Tomo terkejut melihat jembatan baru yang hampir selesai itu.
“Iya, para warga sangat bersemangat membuat jembatan tersebut, berkat bantuan yang kamu dan teman – temanmu berikan. Harapannya agar segera dapat dimanfaatkan.”
“Amin…” Tomo lalu tersenyum.
“Mari, kita kembali ke rumah. Kamu pasti belum makan siang, kan…”
“Tapi saya belum melakukan apa – apa nih, Pak…” Tomo menunjuk – nunjuk jembatan.
“Hahaha! Kamu mau ikut membangun jembatan? Tidak usaaahh… biar kami saja. Sayang kalau bajumu yang bagus itu kotor.” Pak Slamet seakan tahu maksud Tomo. “Lagipula, kamu dan teman – temanmu kan sudah menyediakan material. Itu merupakan bantuan yang sangat besar…” Pak Slamet mengingatkan Tomo. “Sudah, makan dulu saja. Teman – temanmu mungkin sudah memulai ronde keduanya.” Pak Slamet menarik Tomo.
“Eh, Tomo! Ditunggu – tunggu kok gak datang – datang. Hampir saja jatahmu diambil Bintang.” Canda Bu Slamet saat melihat Tomo.
Tomo cuma nyengir, tak enak hati.
“Ayo, ayo, mumpung nasinya masih hangat!” Bu Slamet mempersilahkannya.
Tomo malu – malu bergabung dengan teman – temannya di meja makan.
“Makan yang banyak, ya… seperti Bintang tuh, tidak usah malu. Nanti kalau kurang ambil sendiri di dapur.” Pesan Bu Slamet.
“Siap!” Bintang menjawab dengan semangat.
“Lho, Ibu dan Bapak tidak ikut makan?” Tanya Tomo.
“Bapak harus kembali bersama warga lain untuk membangun jembatan, dan Ibu harus menyiapkan makanan bersama ibu – ibu yang lain untuk warga yang membangun jembatan.” Jawab Bu Slamet.
“Anggap saja rumah sendiri…” Pak Slamet menambahkan.
“I-Iya, terima kasih…” Tomo tak enak hati.
“Nih.” Dika menyodorkan teh botol pada Pipit.
“Gratis, kan?” Pipit bercanda.
“Haahh… dasar.” Dika geleng – geleng. “Ambilah.” Jawabnya kemudian.
“Asyik! Terima kasih, Dika…” Pipit langsung menyedot teh botolnya.
“Memang ada masalah apa sampai kamu tidak mau mengangkat telepon dari Tomo?” Dika menunjuk handphone di tangan kiri Pipit dengan dagunya. “Kalian putus?” lanjutnya.
“Uhuk! Uhuk!” Pipit tersedak mendengar ucapan Dika barusan. Dia memukul – mukul dadanya dengan tangan kirinya yang masih menggenggam handphone sambil menoleh kanan – kiri, mencari tempat untuk meletakkan teh botolnya.
Dika mengambil teh botol Pipit, meletakkannya di atas lemari pendingin. Warnet tersebut hanya menyediakan kursi tunggu, tidak dengan mejanya.
“Segitunya…” Dika membantu mengusap punggung Pipit setelah kembali duduk di sebelahnya.
“Putus apanya?? Bahkan pacaran pun enggak!” Pipit setelah sembuh dari batuknya.
“Iya, iya… tak perlu galak – galak, Pit…” Dika sedikit menjauhkan badan. “Aku kira kalian pacaran.” Lanjutnya.
“Dari mananya??” Pipit seolah tidak terima.
“Adegan pasangan alay tempo hari. Ditambah lagi kalian sejak SMP sangat dekat, kan?” Jawab Dika.
“Pasangan alay? Enak saja!” Pipit manyun, tidak terima. “Lagipula aku dekat dengan Tomo juga tidak sengaja, gara – gara Ramon…” Jawab Pipit.
“Ramon?” Dika heran.
“He’em…” Pipit mengenang saat dia berkenalan dengan Tomo.
Dulu, Tomo sering dibully karena rambut jamur dan kacamata bundarnya itu. Bullyan tersebut berupa ejekan, tindakan fisik seperti memainkan rambut jamurnya, menyembunyikan kacamata bundarnya, menggembosi ban sepedanya, dan intimidasi. Tak jarang Tomo harus merelakan uang jajannya untuk pajak keamanan.
Pada suatu hari yang terik, pajak keamanan Tomo kurang. Maka digiringlah dia ke samping perpus yang sepi, tempat Geng Rambo biasa mengeksekusi korbannya.
“Apa – apaan ini? Masa cuma 5000?? Kurang!” Ramon, si bos geng melempar uang tersebut ke muka Tomo.
“Ampun Ram, tadi aku pakai jajan es. Habis panas banget sih…”
“Halah! Alasan! Pegang dia!” Ramon mengkomando kedua anak buahnya.
“Jangan – jangan. Please, ampun Ram… “ Tomo yang sudah dipegangi kedua tangannya berusaha berontak sambil mohon ampun.
“Haahh…” Ramon menapasi tinjunya, bersiap – siap.
“Ram… Ram… ampun Ram…” Tomo ketakutan.
“Hiyaaa…!!!” tinju Ramon melayang dan…
“AMPUUUUUNNN… HAHAHAHAHA!! AMPUN RAAAAMM… UDAAAHH!!!”
Sampai ke badan Tomo dalam bentuk gelitikan.
“UDAH, GELI RAM! GELIIII…!!!”
Pipit yang ada di dalam perpus terusik dengan suara ribut di balik tembok sebelahnya. Ia menutup telinga, mencoba konsentrasi. “Gggrrr… apaan sih?!” sampai akhirnya dia tak tahan lagi karena teriakan Tomo, lalu keluar menuju sumber suara.
“Heh! Apa – apaan sih kalian ini? berisik tahu! Gak tahu apa sebelah tuh perpus!”
Adegan gelitik terhenti. Semua terdiam, menoleh ke arah Pipit.
“Kalian ini, mengaku jagoan tapi beraninya keroyokan!” Pipit ke Ramon dan kedua temannya. “Kamu juga!” beralih ke Tomo, “Betah banget dibully, lawan dong! Jadi laki – laki kok lemah!”
“Pipit!” semua menoleh ke sumber suara. “Omelan kamu itu, mengganggu yang lagi belajar di perpus, tahu!”
“Iya bu, maaf. Tapi mereka yang berisik duluan bu, sampai saya keganggu…”
“Sudah – sudah. Ibu sudah tahu ceritanya. Kamu, kamu, dan kamu, ikut ibu ke kantor kedisiplinan!” Bu Maya menunjuk Ramon dan kedua temannya satu per satu. “Kalian berdua…” Bu Maya melotot ke arah Pipit dan Tomo. “Jangan berisik!” sambil menempelkan telunjuk kanan dibibirnya kemudian pergi diikuti Ramon dan kedua temannya.
Pipit langsung balik badan untuk kembali ke perpus.
“Tunggu!” cegah Tomo tanpa menyentuh Pipit.
Pipit menoleh.
“Terima kasih.” Tomo dengan senyum.
“Hem.” Pipit mengangguk saja lalu berbalik lagi, menuju perpus.
“Aku Tomo!” sambil mengajukan tangan saat Pipit hendak melangkah.
Pipit diam saja, tetap memunggungi Tomo walaupun tidak melangkah juga.
“Eee… kamu Pipit, kan?” Tomo menurunkan tangannya. “Salam kenal…” sambil melambaikan tangan pada punggung Pipit.
Pipit pun melanjutkan langkahnya menuju perpus.
“Gara – gara itu jadi dekat?” Dika memastikan.
“Ya enggak, lah… setelah kejadian itu, Ramon jadi sering membullyku. Mungkin dia tidak terima karena dapat hukuman dari Bu Maya gara – gara aku. Kadang aku bisa melawan balik, tapi kadang juga tak bisa… di saat aku kesulitan melawan Ramon, pasti Tomo muncul. Walaupun tetap kalah juga… hahaha! Jadilah kami dibully berdua. Karena itulah kami jadi dekat.” Pipit mengakhiri ceritanya.
“Hmm… pantas saja…” Dika mengangguk – angguk. “Aku tebak nih ya… Ramon berhenti membully kalian pasti sejak ada Kimi!” Dika menunjukkan telunjuknya pada Pipit.
“Hahaha! Benar sekali!” Pipit mengacungkan jempolnya.
“Karena sejak saat itu Ramon jadi membullykuuu…” Dika menempelkan tinju di kedua pipinya seolah menangis.
“Aku tahu perasaanmu.” Pipit menepuk pundak Dika, sok paham.
“Kalian di sini saja, biar aku dan Tomo yang ke jembatan.” Bintang pada Kimi.
“Hem.” Kimi mengangguk.
Bintang kemudian pergi bersama Tomo. Kimi dan Juni membereskan meja makan, lalu ke dapur untuk mencuci peralatan makan yang mereka pakai.
Dalam perjalanan menuju sungai…
“Kamu tak perlu sekasar itu pada Pipit.” Tomo tiba – tiba.
Bintang menghentikan langkahnya. Tomo ikut berhenti, selangkah di depan Bintang.
“Lantas aku harus bagaimana?” Tepat ketika Tomo berbalik. “Membiarkan perasaan Pipit berkembang? Memberi harapan palsu, begitu?” Bintang terlihat tidak suka dengan topik yang diajukan Tomo.
“Setidaknya kamu bisa menolak dengan lebih halus.” Tomo dengan santai.
“Hh!” Bintang tertawa tertahan. “Kamu pikir Pipit akan mundur bila kutolak dengan cara halus?” Bintang tersenyum meremehkan.
Tomo terdiam. Dia tahu Pipit keras kepala. Kecil kemungkinan untuk mundur.
“Kamu tahu kenapa Pipit tiba – tiba suka dengan angry bird? Karena aku yang menjulukinya angry bird.” Bintang menunjuk dirinya sendiri. “Kamu tahu kenapa Pipit tiba – tiba berganti gaya, mengikat rambutnya? Karena aku yang menyarankannya, biar gak gerah.” Bintang menunjuk dirinya lagi.
Tomo teringat kejadian beberapa tahun silam, saat kuncir kuda Pipit bergoyang, saat Pipit mengucapkan ‘biar gak gerah’, saat Pipit bertingkah bagai robot dan tersenyum saat melihat strap HP angry bird.
“Saat itu aku hanya main – main, menggoda Pipit yang terkenal galak.” Lanjut Bintang.
Tangan Tomo terkepal, mulai emosi.
“Tapi tak kusangka kalau hal itu benar – benar berhasil untuk Pipit dan bertahan lama sampai sekarang.” Bintang tertawa kecil.
“Kurang ajar!” Tomo meraih kerah baju Bintang. “Orang sepertimu…” Tomo tidak menemukan kata – kata yang tepat.
“Benar. Maka dari itu aku merasa bersalah dan ingin segera mengakhirinya.” Bintang menyingkirkan tangan Tomo dari kerahnya. “Kamu tahu, daripada kamu habiskan waktumu untuk komplain padaku, lebih baik kamu gunakan waktumu itu untuk belajar bagaimana caranya agar Pipit bisa tahu isi hatimu.” Bintang mendorong dada Tomo dengan telunjuknya, lalu melanjutkan langkahnya yang terhenti.
Tomo menatap punggung Bintang tajam. Napasnya naik turun. Baru dua langkah berjalan, Bintang menoleh.
“Dan satu hal lagi. Sama sepertimu yang ingin jadi engineer, aku ingin jadi musisi. Maka dari itu aku cuma bisa main gitar.” Bintang memberi tekanan lebih pada kata ‘cuma’, lalu melanjutkan jalannya lagi, tanpa menoleh.
“HAH!” Tomo menendang sembarang. Beberapa daun kering dan kerikil terlempar karenanya.
Tomo buru – buru memakai helm, menaiki motor, menyalakan mesin, lalu memutar balik motornya.
“Mau kemana, Tom?” Kimi yang mendengar suara motor berlari dari dalam rumah Pak Slamet.
“Menemui Pipit!” Jawabnya tanpa menengok dan langsung memacu motornya.
Di jalan, dia teringat kata – kata Bintang yang dialamatkan padanya saat berjalan menuju jembatan tadi.
“Sial!” Umpatnya sambil menambah kecepatan motornya, berusaha menghapus memorinya tentang Bintang.
Tomo memarkir motornya di depan sebuah bangunan, mematikan mesinnya, melepas helmnya, lalu segera menerobos masuk ke dalam bangunan tersebut.
Kling!
“Di mana dia?” Tanyanya tanpa basa – basi pada seseorang yang ada di sana.
“Baru pergi 5 menit yang lalu. Kalau kamu susul sekarang, mungkin belum jauh.” Jawabnya.
“Thanks, Dik!” Tomo langsung berlari, meninggalkan motornya di depan warnet.
Tomo berlari ke arah yang berlawanan dari dia datang tadi, karena bila Pipit melewati jalan tersebut, dia pasti melihatnya saat datang tadi. Tomo terus berlari. Berhentilah dia di pertigaan. Kanan jalan ke markas, kiri jalan ke rumah Pipit. Tomo menoleh ke kanan dan ke kiri, menimbang – nimbang. Akhirnya dia putuskan ke kiri. Dia berlari sambil menoleh ke kanan dan kiri karena banyak gang kecil di sepanjang jalan itu. Siapa tahu Pipit lewat jalan lain, pikirnya.
Saat menoleh ke kanan, Tomo menghentikan langkahnya, berbalik arah. Dia memincingkan matanya, melihat sosok di kejauhan yang terlihat sedang menenteng tas plastik. Ekor kudanya bergoyang. Tomo membelalakkan mata, lalu berlari mengejar sosok tersebut.
“Tunggu, Pit!” Tomo meraih pundak pemilik rambut ekor kuda tersebut.
“Tomo?” Pemilik rambut tersebut berbalik. “Kamu lari – larian?” tanyanya saat melihat Tomo terengah.
“Hhh… yah…” Jawabnya masih terengah.
Pipit mengaduk isi tas plastik yang di bawanya, mencari sesuatu. “Nih, minum dulu.” Pipit menyodorkan sekotak susu UHT rasa stroberi. “Adanya ini…” tambah Pipit saat melihat Tomo heran.
Tomo tersenyum menerimanya. “Kamu habis belanja?” lalu meminum susu tersebut.
“He’em.” Pipit mengangguk.
Tomo tertawa tertahan. “Pantas saja…” ucapnya disela minum susunya.
“Pantas apa?” Pipit mendengar ucapan Tomo tersebut.
Pantas tadi aku tak melihatmu, jawab Tomo dalam pikirannya. Namun yang keluar dari mulutnya adalah, “tak apa, lupakan saja.” Sambil senyum lalu menghabiskan susunya. “Ke markas?” Tomo sambil menunjuk arah markas.
“He’em.” Pipit mengangguk.
Mereka pun berjalan beriringan. Tak biasanya, Tomo tampak grogi. Dia menyibukkan diri dengan membuka lipatan kotak susu UHT yang telah dihabiskannya.
Belanjaan yang dibawa Pipit menyenggol kaki Tomo saat mereka berjalan.
“Maaf…” Pipit meminta maaf karenanya.
“Eh, sini aku bawakan.” Tomo mengambil alih tas plastik tersebut dari tangan Pipit.
“Terima kasih.” Jawab Pipit lalu hening kembali.
Tomo membuang bekas kotak susunya ke tempat sampah di pinggir jalan.
“Mmm… kamu tidak ikut meninjau jembatan, Tom?” Pipit setelah menemukan topik pembicaraan.
“Aku dari sana tadi.” Jawab Tomo singkat.
“Ooh… lalu?”
“Pak Slamet menanyakan kenapa kamu tidak ikut.”
Pipit tersenyum getir. “Semestinya aku memberi alasan yang bagus.”
Tomo melirik Pipit. “Eee… jembatannya sudah hampir selesai.” Tomo mengalihkan isu.
“Benarkah? Pasti bagus.” Pipit membayangkan.
“Hem.” Tomo mengiyakan. “Bu Slamet memasak sayur jantung pisang yang sangat enak. Sayang kamu tidak bisa mencicipinya.”
“Waahh… sayang sekali…” Pipit menanggapi. “Bambang bagaimana?” tanyanya kemudian.
Tomo menggeleng. “Aku tidak bertemu Bambang, dia masih sekolah tadi.”
“Ooh… begitu.” Pipit mengangguk.
“Bintang!” Pak Slamet berlari kecil mendekati Bintang yang menoleh di depan pintu.
“Ada apa, Pak?” Tanya Bintang.
“Ini…” Pak Slamet menjejalkan amplop ke tangan Bintang.
“Apa ini Pak?” Kening Bintang berkerut.
“Kembalian uang sewa. Uang yang kalian berikan untuk bayar sewa kamar tempo hari ternyata banyak sekali lebihnya.” Pak Slamet menjelaskan.
“Oohh… kami sengaja, Pak… itu karena servis yang Bapak berikan sangat memuaskan.” Bintang tersenyum sambil mengembalikan amplop tersebut ke tangan Pak Slamet.
“Tapi… ini terlalu banyak…” giliran Pak Slamet yang bingung.
“Pakai saja untuk mengobati Bu Slamet, Pak. Bawa Bu Slamet ke rumah sakit, jangan ke dukun. Biar lebih jelas sakit dan obatnya.” Bintang tersenyum.
“Terima kasih, terima kasih banyak…” Pak Slamet berkaca – kaca.
Bintang, Kimi dan Juni pulang. Pak Slamet dan keluarga melambai di depan rumah.
Din! Bintang membunyikan klaksonnya sambil mengangguk ke arah keluarga kecil tersebut.
“Sampai jumpa, Bambang!” Kimi dari dalam mobil.
Mobil jeep sewaan Bintang itu pun pergi meninggalkan rumah Pak Slamet.
“Tomo kenapa pulang duluan, Kim?” Bintang pada Kimi yang disebelahnya.
“Katanya sih, mau menemui Pipit.” Kimi setelah mengedikkan bahu.
“Oohh…” Bintang tak bertanya lebih jauh.
“Pit!” Tomo menahan lengan Pipit saat akan memasuki halaman markas.
“Ya?” Pipit berbalik, Tomo melepaskan tangannya dari lengan Pipit.
Lidah Tomo kelu, dia gagal menyusun kalimat. Kepalanya hanya dipenuhi oleh suara detak jantungnya sendiri.
1 detik…
2 detik…
3 detik…
4 detik…
Mooo…! Sapi memberi semangat, atau malah mengejek?
Pipit berkedip. Kedipan itu menyadarkan Tomo yang sibuk mengusir suara detak jantung dari dalam kepalanya.
Perlahan Tomo menggerakkan tangan kirinya yang bebas, tidak membawa plastik belanjaan ke arah kepala Pipit, melewati kepala tersebut, menuju belakang kepala, meraih pangkal ekor kudanya, menarik ikat rambutnya.
Rambut panjang Pipit tergerai.
“Jangan ikat rambutmu lagi.” Tomo menatap mata Pipit.
“Kenapa?” Pipit membalas dengan tatapan bingung.
“Karena aku tak suka.” Jawab Tomo singkat.
Pipit terdiam. Sedetik kemudian, “Haha! Ada – ada saja.” Pipit tertawa melihat sikap Tomo.
“Hhh…” Tomo membuang napas, berusaha sabar. “Aku serius, Pit…” lanjutnya.
“Oke, oke… lalu bagaimana kalau aku merasa gerah? Apa aku tak boleh mengikat rambutku?” Pipit menyimpan tawa dalam kalimatnya.
“Potong saja!” Tomo dengan galak, tersinggung.
“Apa – apaan, kamu? Seenaknya saja!” Pipit tak kalah galak.
“Hh!” Tawa Tomo tertahan. “Kenapa kamu tidak mau menurutiku tapi mau menuruti Bintang?” Tomo ketus.
“Apa maksudmu?”
“Ikat rambut.” Jawab Tomo singkat. “Kamu mengikat rambutmu atas saran Bintang, kan?” jelasnya.
“Itu karena sarannya masuk akal. Sedangkan kamu??” Pipit mengembalikan pertanyaan pada Tomo.
“Kalau Bintang yang memintamu, akan kamu lakukan, bukan?” Tomo balik bertanya dengan sinis.
“Jangan berandai – andai!” Pipit membuang muka.
“Cih!” Tomo sinis. “Oke, bagaimana dengan julukan angry bird? Kamu nyaman sekali dengan julukan itu.”
Pipit tak menjawab. Dia membuang muka, menghindari tatapan mata Tomo.
“Bintang, dan hanya Bintang!” Tomo mengejek sinis. “Penuh dengan Bintang!” lanjutnya tetap sinis.
Pipit mengangkat mukanya, menatap Tomo. “Tolong, Tom. Kita sudah bahas masalah ini kemarin.” Tegas Pipit.
“Buka matamu, Pit!” Tomo emosi. “Bintang sudah memilih Kimi…” Tomo merendahkan suaranya.
Pipit membuang mukanya lagi. “Tapi Kimi belum tentu memilih Bintang…” Jawabnya lirih.
“Jangan bohongi diri kamu sendiri, Pit.” Tomo memegang pundak Pipit dengan tangan kirinya yang bebas, menunduk menghampiri mata Pipit. “Kamu tahu itu.” Tomo menemukan mata Pipit.
Pipit menggigit bibir dan menggeleng.
“Pit…” Tomo mulai punya kendali atas dirinya sendiri lagi. “Laki – laki itu bukan cuma Bintang…” Tomo seperti menasehati anak kecil. “Tidakkah kamu melihatku?” lanjutnya.
Pipit mengangkat wajahnya yang menunduk, mencari kebenaran dari mata Tomo. “S-se-sejak kapan?” Pipit terbata, tak menyangka.
“Sejak kamu menyebutku laki – laki lemah karena tidak berani melawan Ramon.” Tomo tersenyum.
“Selama… itu?” mata Pipit membola.
Tomo tersenyum mengangguk.
Pipit melangkah mundur, matanya masih membola. Tomo menurunkan tangan kirinya, menunggu jawaban Pipit.
“M-m-maaf, Tom. Maafkan aku.” Pipit membungkuk lalu berlari meninggalkan Tomo.
Tomo melihat punggung Pipit yang semakin jauh, pedih. Sinar matahari sore tak terasa hangat lagi olehnya. Hatinya sakit, tersayat – sayat. Dia mencengkeram ikat rambut merah di tangan kirinya kuat – kuat untuk mengalihkan rasa sakit itu, namun gagal. Rasa sakit itu tetap ada, semakin kuat dan menjalar ke seluruh tubuhnya.