Jam 11.45 WITA perayaan sekolah ditutup dengan persembahan rangkaian bunga marwar dari semua siswa kepada orang tuanya. Raisa menghampiriku dengan rangkaian mawar putih kombinasi dengan beberapa tangkai mawar ungu. Segera kuraih dalam dekapanku, air mataku pun tak mampu kubendung. Dan terdengar pula isak tangis dari bibir mungilnya saat ia kudekap dalam pelukanku. Nampak dipojok panggung terlihat Raina hanya bengong, sekilas nampak matanya berkaca-kaca. Segera kugandeng tangan Raisa dan menghampiri Raina
“Kenapa sayang”? Tanyaku sambil membelai kepala Raina
Raina tak menjawab, ia hanya menundukkan kepalanya dan air matanya pun tak mampu lagi ia bendung, segera kuraih dan kudekap ia dalam pelukanku. Kubiarkan ia menangis dalam pelukanku, berlahan isak tangisnya mulai reda.
“Raina sedih karena papa mama nggak datang? kan tadi bunda bilang biar bunda jadi orang tuanya Raina” Ucapku menghiburnya
Sejenak kutatap Raisa dan menganggukan kepala, rupanya kode itu sangat dipahami Raisa, dan Raisa pun menghampiri Raina dan memeluknya. Saat mereka berpelukan kutatap wajah mereka dan benar saja mereka sangatlah mirip dan bahkan mungkin sebagian orang akan menganggap mereka kembar.
*****************************
Kami berjalan beriringan menuju parkiran, suasana sekolah mulai agak sepi, hanya beberapa orang tua siswa dan para panitia membereskan sisa sisa perayaan sekolah.
“Oh ya, Raina tinggal dimana?, biar bunda dan Raisa antar Raina pulang ya?” Ujarku menawarkan tumpangan
“Nggak usah bu, biar Raina jalan kaki aja, rumahnya dekat sini kok” Jawabnya
“Ya udah klo maunya Raina gitu, ini buat Raina jajan” Ujarku sambil menyodorkan beberapa lembaran seratus ribuan
“Nggak usah bu, itu terlalu banyak buat Raina, Raina takut klo papa mama tau Raina bisa dipukulin papa mama lagi” Ujarnya sambil menepis tanganku dan berlari meninggalkan aku dan Raisa.
**********************************************
2 hari telah berlalu perayaan sekolah Raisa, namun bayang bayang Raina masih saja menghantui pikiranku. Tatapan anak itu seolah mengisyaratkan sesuatu, yang belum bisa kupahami.
“oh iyya sayang, Raina apa kabarnya”? Ucapku membuka pembicaraan dengan Raisa ketika kami menyantap makan malam
“Baik baik aja bund, oh iyya tadi Raina kirim salam buat bunda” jawab raisa
“Sekali – kali ajak main kerumah ya, sayang” Ujarku
“Nggak bund Raisa takut, mama Raina orangnya galak”
“Oh iyya, berarti Raisa udah kenal dong mamanya raina, kok nggak pernah cerita kebunda sih” Ujarku
“Maaf bund, kemarin Raisa kerumah Raina, itupun Raina nggak mau tpi Raisa paksa biar bisa ikut, tapi Raisa nyesel kesana bund”
“Lho memangnya kenapa sayang?” tanyaku penuh selidik
“Kasian Raina bund, Raina dimaki – maki, terus diseret seret gitu sama mamanya karena ngajak raisa kerumahnya padahal itu karena raisa maksa ikut aja, Raisa merasa bersalah deh bund, Tapi Raisa udah minta maaf ko’” ujar raisa
“Bunda belum ngerti deh, kok raina diperlakukan gitu sama mamanya, tapi raisa nggak ikut campur kan? “ tanyaku dengan nada kekhawatiran
“Nggak bund, Raisa takut dan buru buru raisa pamit pulang, mamanya melarang Raisa main kerumah itu lagi, untung papanya nggak ada, pasti papanya lebih galak, mamanya aja galak” ujarnya dengan nada agak kesal
“Huuus, Raisa nggak boleh ngomong gitu, kan Raisa belum ketemu papanya Raina, barangkali aja papanya baik beda dengan mamanya, Tapi Raisa nggak diapa apain kan?” Tanyaku penuh kekhawatiran
“Nggak bund, tapi raisa kepikiran raina deh bund, kasian. apa sebaiknya Raina ikut kita ya bund” Ujar Raisa dengan polosnya
“Sayang, bukannya bunda nggak mau peduli dengan raina, tapi kan kita tidak tau raina itu siapa, lagian kan Raisa udah tau klo mamanya galak, kita jangan cari masalah ya sayang” Jawabku
“Tapi kan, kasian raina bund” Ujar Raisa sembari menatapku dan bola matanya nampak berkaca – kaca
Segera kedekap dalam pelukanku
“Sayang, Raina masih punya orang tua kita nggak mungkin mencampuri urusan mereka. Tugas Raisa sekarang adalah bagaimana Raisa untuk tetap menjadi teman yang baik buat Raina, Raisa nggak boleh dendam karena perlakukan tidak menyenangkan orang tuanya, bunda yakin kok Raina itu anak yang baik” Kataku menasehatinya sembari membelai rambutnya
*******************
Jarum jam menunjukan 05.15 WITA, sedikitpun mataku belum terpejam, beberapa laporan laporan kantor yang harus saya cek dan tanda tangani, ditambah dengan percakapanku dengan Raisa semalam menjadi beban pikiran buatku. Cuaca lumayan dingin dan rintik rintik hujan masih terdengar. Sesekali nampak kilat menyambar. Segera kuberanjak dari meja kerja, kusingkap tirai jendela. Pemandangan yang sama terlihat lagi, 2 minggu belakangan ini pemandangan itu kusaksikan. Samar samar nampak dikejauhan seorang wanita separuh baya dan seorang anak perempuan nampak berjalan tergesa gesa. Sesekali perempuan itu menyeret langkah anak perempuan disampingnya. Nampak dipundaknya ada sebuah beban, barangkali itu bakul. Sesekali kilat yang menyambar semakin memperjelas pemandangan itu namun wajah kedua sosok misterius itu tak terlihat olehku. Entah kenapa pemandangan itu belakangan ini menyisakan rasa penasaran dibenakku. Rasa penasaran itu memaksaku menyingkirkan rasa dingin, Raisa masih nampak sangat nyenyak segera kurapikan selimut yang menutupi tubuh mungil Raisa dan mengecup keningnya sebelum kumeninggalkannya. Berlahan kubuka pintu kamar, payung telah kusiapkan, gerimis diluar masih nampak terdengar.
Cuaca diluar rumah sudah mulai agak terang dan rasa dingin semakin terasa, jari jari tanganku terasa kaku. Jaket yang cukup tebal membalut tubuhku dan masker yang kugunakan cukup bisa menolongku dari rasa dingin. Kupercepat langkahku dengan harapan aku tidak kehilangan 2 sosok misterius yang menghantui pikiranku akhir akhir ini. Gang demi gang kulewati, sesekali kuberlari kecil. Sesekali kupermainkan ponselku agar 2 sosok didepanku tak mencurigaiku. Beban dipundak anak kecil itu memperlambat langkah kakinya. Sesekali terdengar perempuan itu membentak dan menyeret tubuh anak perempuan yang disampingnya. Jarakku dengan 2 sosok mesterius itu semakin dekat, namun aku berusaha menjaga langkahku agar dia tak mencurigaiku.
“Dasar anak tak berguna, bawa beban begitu saja nggak bisa” Samar – samar terdengar perempuan itu membentak gadis kecil disebelahnya
“Tapi ma, aku nggak sanggup lagi, capek ma” terdengar suara gadis kecil itu memelas
Seketika perempuan itu mendorong gadis kecil itu, tubuh kecilnya terhuyung dan seketika terhempas ketanah, sayuran segar dari bakul gadis kecil itu pun berhamburan. Seketika pun aku pun bingung, tanpa berfikir panjang segera kuberbelok kanan dan mengambil arah jalan yang lain. Segera kusandarkan tubuhku pada tembok gang dan berharap wanita itu tak mencurigaiku. Kubiarkan beberapa lama, dan sejurus kemudian tampak sepi. Kuberanikan diriku menengok kearah kejadian tadi, namun disana tak lagi terlihat siapa siapa.
“Kamu siapa, kenapa membuntuti kami” tiba tiba terdengar bentakan dari belakangku dan tangannya memegang pundakku
Seketika jantungku terasa hampir copot dan pertanyaan secara tiba tiba itu membuatku bingung untuk menjawabnya. Kutatap wajahnya nampak seperti bekas luka bakar diwajah perempuan itu.
“Dimana anak kecil yang bersamamu tadi” Tanyaku penuh kebingungan dan tanpa menjawab pertanyaanya
“Apa pedulimu?, lagian kamu siapa dan kenapa membuntuti kami”? Tanyanya dengan nada amarah
“Siapa yang membuntuti kamu? aku hanya kebetulan lewat sini juga” Ucapku berusaha berbohong demi membela diri
“Kuperingatkan ya, ini kali terakhir aku melihat kamu membuntuti kami” Ucapnya sembari mendorong tubuhku
Aku tak berdaya dan aku bingung untuk berbuat apa, dan wanita itu pun berlalu meninggalkanku.
******************************
2 minggu berselang kejadian itu aku tak lagi melihat sosok misterius itu melintas didekat rumahku. Dan aku mencoba untuk tidak memikirkan kejadian itu lagi. Setiap hari sabtu dan minggu adalah menyenangkan bagiku dan bagi raisa. Hari dimana kuluangkan waktuku sepenuhnya bersamanya, entah hanya sekedar bercengkrama seharian dirumah atau menghabiskan pekan ditempat wisata. Dan minggu ini kami sepakat untuk menghabiskan waktu dirumah
“Bunda, Raisa punya tugas sekolah, temanin ya” Ucap raisa sore itu
“Tugas apa sayang” tanyakku
“Besok pagi ada tugas wawancara dengan pedagang kecil dipasar tradisional bund, raisa udah siapin daftar pertanyaannya. Raisa udah punya target pedagangnya bunda, bunda tinggl temanin aja ketempat itu” jawabnya
“Emang harus bunda temanin ya? Tanyaku
“Iyya bunda, Raisa takut sendirian”
“Kan bisa sama om wiwin sopirnya Raisa kan?, atau minta temanin tante wiwi” Jawabku
“Raisa ga nyaman jalan dengan mereka bund, lagian klo Raisa hilang gimana? apa bunda ga kasian??please ya bunda, temanin ya bunda” Ujarnya memelas
Dan aku pun luluh, kutatap wajah memelasnya dan segera kupeluk tubuh mungilnya
“Iyya deh, bunda kalah, besok bangunnya jangan telat ya 04.30 WITA wajib bangun, klo telat bunda nggak mau temanin” Ujarku memberinya ultimatum
“Siap bunda, makasih bunda. I Love You” Ujarnya sambil berlari kegirangan menuju kamarnya