Reinkarnasi Dewi Keabadian Episode 10

Chapter 10

Suara kokok ayam hutan terdengar dari kejauhan. Sinar mentari pagi menembus masuk di depan mulut goa. Hawa dingin di pagi hari nyatanya tak membuat kedua insan bergeming dari tidurnya. Berselimutkan kulit beruang yang hangat, nyatanya membuat keduanya betah dalam pelukan.

Perlahan, Zhi Ruo membuka matanya dan mendapati lelaki tampan yang kini mendekapnya. Sejenak, dia tersenyum saat mengelus alis hitam si pemilik wajah yang terlukis dengan rapi. Tak hanya itu, bahkan dengan gemasnya dia mencubit lembut pipi pemilik wajah yang mempunyai tulang rahang yang kokoh.

Si pemilik wajah tampan perlahan membuka matanya dan menatap lurus ke arah Zhi Ruo yang kini terdiam. Karena malu, Zhi Ruo menyembunyikan wajahnya di balik selimut, tetapi terlambat karena dengan cepat bibirnya dikecup si wajah tampan hingga membuatnya merona.

“Istriku, apa kamu bahagia?” tanya Li Quan yang kini memeluk istrinya erat.

“Aku bahagia, karena penantianku tidak sia-sia. Apa kamu juga bahagia?”

Lelaki itu mengangguk sambil mengecup dahi istrinya. “Tentu saja aku bahagia dan aku berjanji akan membahagiakanmu selamanya.”

Kembali, kedua insan yang sedang di mabuk asmara itu saling berpelukan dan berjanji untuk saling mencintai.

“Suamiku, bisakah kamu menemaniku ke rumah sebentar. Aku ingin mengambil beberapa bajuku. Aku takut pergi sendiri karena bisa saja lelaki itu masih menungguku di luar sana,” ucap Zhi Ruo sambil bangkit dari tempat tidur.

“Baiklah, aku akan menemanimu karena aku tidak ingin lelaki itu bertemu denganmu lagi.” Li Quan lantas bergegas. Mereka kemudian menuju ke rumah Zhi Ruo yang tak jauh dari dalam hutan.

Setibanya di depan rumah gubuk nan sederhana, Zhi Ruo menghentikan langkahnya. Sekilas, dia tampak sedih saat melihat rumah yang kini tak lagi terawat. Dengan langkah ragu, dia berjalan menuju pintu kayu yang sudah lapuk. Suara khas pintu kayu terdengar merdu di telinganya. Suara derit daun pintu yang mulai lapuk nyatanya membuat dia menitikan air mata. Li Quan lantas menggenggam tangan istrinya itu dan menuntunnya masuk ke dalam rumah.

Zhi Ruo menatap sekitar ruangan dan lagi-lagi air matanya jatuh saat melihat tempat tidur yang sering ditidurinya bersama sang ibu. Kini, tempat tidur itu tak lagi bertuan karena ibunya telah meninggal dan dia sendiri tidak mungkin tinggal di rumah itu lagi.

Zhi Ruo lantas mendekati sebuah lemari kayu yang terletak di sudut ruangan. Kembali, suara derit pintu lemari terdengar saat dia membuka pintu lemari itu. Terlihat beberapa potong baju tersusun rapi. Gadis itu lantas mengambil beberapa baju yang akan dibawanya, hingga tiba-tiba sebuah lembaran kertas jatuh dari balik baju yang diambilnya itu.

Kertas yang terlipat rapi itu lantas diambilnya. Dengan tangan gemetar, Zhi Ruo membuka lembaran kertas dan mendapati tulisan tangan ibunya. Sontak, dia menangis saat membaca tulisan itu.

Melihat istrinya menangis, Li Quan lantas memeluknya. Rupanya, pesan terakhir ibunya telah membuatnya menitikkan air mata. Bagaimana tidak, walau di saat napas terakhir tanpa kehadiran dirinya, ibunya tetap mengharapkan dirinya baik-baik saja dan selalu bahagia. Ibunya telah pasrah jika mereka ditakdirkan untuk berpisah dan berharap akan dipertemukan kembali sebagai ibu dan anak di kehidupan selanjutnya.

Zhi Ruo menangis di pelukan Li Quan. Air matanya jatuh karena mengingat ibunya yang kini telah meninggalkannya.

“Istriku, jangan menangis lagi. Aku yakin, ibumu sudah tenang di sana. Ayo, sebaiknya ambil baju-bajumu itu dan kita pergi dari sini!” Zhi Ruo mengangguk dan menghapus air matanya. Semua bajunya lantas dikumpulkan di selembar kain hingga berbentuk buntalan dan ditenteng oleh Li Quan.

Zhi Ruo kembali menatap sekeliling ruangan dan mencoba menahan air matanya saat dia akan meninggalkan rumahnya itu.

“Ayo, kita pergi!” ucap Li Quan sambil meraih tangannya dan keluar dari rumah itu.

Zhi Ruo lantas berjalan ke halaman belakang yang dipenuhi dengan tanaman sayur, tapi dia terkejut saat melihat gundukan tanah di belakang rumahnya itu. Zhi Ruo mempercepat langkahnya dan terduduk lemas saat membaca tulisan di papan lapuk yang ditancapkan di atas gundukan tanah itu.

“Ibu!” seru Zhi Ruo menangis di depan gundukan tanah yang merupakan makam ibunya. Dia menangis karena wajah ibunya kembali melintas di ingatannya.

“Maafkan aku, ibu. Aku tidak ada saat ibu pergi dan tidak bisa menemani saat-saat terakhirmu. Aku menyesal karena terlambat bertemu denganmu. Aku …. ”

Zhi Ruo menunduk dengan isakan tangis yang kian menjadi. Li Quan yang ikut sedih hanya bisa mendekap tubuh istrinya itu sambil mencoba menenangkannya. Zhi Ruo memegang papan yang bertuliskan nama ibunya dan memeluknya erat. “Ibu, jangan khawatirkan aku. Aku baik-baik saja karena aku kini tak sendiri lagi. Aku akan bahagia dan tunggu aku di sana.” Zhi Ruo menancapkan kembali papan di atas tanah. Dia lantas memanjatkan doa dan menatap gundukan tanah itu beberapa saat. “Ibu, aku harus pergi!”

Mereka lantas bangkit dan bersiap untuk meninggaalkan tempat itu, tetapi mereka terkejut saat mendengar suara derap kaki yang berjalan ke arah mereka. Dengan cepat, Li Quan meraih tubuh Zhi Ruo dan sekelebat menghilang di antara pepohonan.

Langkah kaki itu berhenti di depan makam dan melihat sekelilingnya seakan sedang mencari sesuatu. “Zhi Ruo, apa tadi kamu datang ke sini?” teriak seorang lelaki yang melihat ke sekitar tempat itu.

Lelaki itu adalah Zu Min yang masih sering datang sekadar untuk mencari keberadaan Zhi Ruo dan berharap bertemu dengannya. Lelaki itu belum bisa menerima kenyataan kalau Zhi Ruo sudah tidak mungkin lagi bisa ditemuinya, tetapi rasa cinta yang memaksanya untuk kembali mencari wanita yang sudah membuatnya jatuh cinta. Dengan perasaan sedih, Zu Min melangkah pergi dengan hati yang kecewa.

“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Li Quan saat mereka baru saja tiba di mulut goa. Lelaki itu tampak cemas karena melihat istrinya yang lelah karena sedari tadi menangis. “Istirahatlah, aku akan membuatkan makan siang untukmu.”

Zhi Ruo lantas memeluk Li Quan saat lelaki itu hendak bergegas keluar dari goa. “Ada apa? Apa kamu ingin aku temani di sini?” tanya Li Quan sambil mengelus lembut puncak kepala istrinya itu.

“Maafkan aku karena sudah membuatmu khawatir. Aku akan baik-baik saja selama kita selalu bersama. Suamiku, aku mencintaimu.” Li Quan tersenyum dan mengecup lembut dahi istrinya dan memeluknya erat.

“Aku juga mencintaimu. Ah, rasanya aku tidak ingin meninggalkanmu. Kalau bukan untuk mencari makan siang kita, aku tidak akan meninggalkanmu sendirian di sini.”

“Kalau begitu, aku akan membantumu mencari ubi dan sayuran. Sementara kamu harus mendapatkan seekor kelinci untuk makan kita hari ini. Ayo, sebaiknya kita cepat karena aku sudah lapar!” Zhi Ruo kembali tersenyum hingga membuat Li Quan ikut tersenyum.

Zhi Ruo tampak antusias saat menyusuri hutan. Tak hanya ubi dan sayuran yang dia dapatkan, tetapi tanaman obat tak luput diambilnya. Kekayaan alam di hutan itu rupanya begitu melimpah. Mereka tak perlu takut untuk kelaparan karena semua sudah tersedia di sana. Mereka hanya perlu mencari dan mengolahnya, maka mereka bisa hidup bertahan tanpa takut kelaparan.

Zhi Ruo begitu bahagia karena memiliki seorang pendamping hidup yang sangat memanjakannya. Li Quan selalu bersikap lembut padanya. Tak pernah sekali pun lelaki itu marah atau membentaknya. Setiap ucapannya terdengar begitu lembut dengan perlakuan-perlakuan romantis yang tentu saja membuat Zhi Ruo semakin mencintainya.

Walau hanya tinggal berdua di dalam hutan, Zhi Ruo tidak pernah merasa kesepian. Suara burung berkicau, suara gemiricik air, hingga kunang-kunang di waktu malam dan kupu-kupu yang beterbangan di taman bunga sudah cukup membuatnya bahagia.

Pemandangan-pemandangan indah yang selalu terpampang di depan matanya selalu disuguhkan oleh Li Quan. Lelaki itu sangat paham kalau istrinya sangat menyukai pemandangan dari atas tebing.

Terkadang, mereka sering menghabiskan waktu bersama di atas tebing sekadar untuk menikmati semilir angin yang berembus lembut. Kepakan sayap burung bahkan bisa terdengar saat burung-burung terbang membentuk satu formasi yang tentu saja sangat mengagumkan. Semua itu membuat dirinya begitu dimanjakan. Hingga tak terasa sudah hampir tiga bulan mereka tinggal di hutan itu.

Sejak kehadiran Zhi Ruo, Li Quan terlihat lebih bersemangat. Bahkan, lelaki itu tak pernah lagi menampakkan wujud sosok bayangan hitam yang sering berubah pada dirinya ketika marah. Dia terlihat lebih menawan dengan pesona wajah surgawi yang begitu menyejukkan mata. Kehadiran Zhi Ruo juga rupanya telah membuatnya lupa kalau tak lama lagi masa hukumannya akan berakhir dan itu berarti dia harus kembali ke Istana Langit dan meninggalkan alam dunia untuk waktu yang lama.

“Istriku, tunggulah di sini! Aku akan mencari buah-buahan segar untukmu.” Li Quan mengecup dahi istrinya yang tersenyum padanya.

“Baiklah, aku akan menunggu. Suamiku, jangan pergi terlalu lama, cepatlah kembali!” Li Quan mengangguk dan melangkah pergi keluar dari goa.

Zhi Ruo lantas menyiapkan makan malam untuk mereka. Dengan cekatan, dia memasak dan menyiapkan makanan untuk suaminya. Dia cukup beruntung, karena semua keperluannya sudah terpenuhi. Alat-alat masak sederhana sudah disiapkan oleh Li Quan. Begitu pun dengan bahan makanan yang begitu melimpah di dalam hutan. Apalagi, Zhi Ruo sangat menyukai berkebun. Tanaman sayur miliknya tumbuh dengan subur, hingga membuatnya betah berlama-lama berada di kebun yang tidak terlalu luas itu.

Terkadang di saat lelah setelah berkebun, Zhi Ruo suka duduk di ayunan yang sengaja dibuat oleh Li Quan untuknya. Ayunan yang bertengger di atas dahan pohon yang cukup besar itu adalah tempat favoritnya. Di tempat itu, dia sering tertawa bersama suaminya yang sering mendorong ayunan yang didudukinya.

Kehidupan Zhi Ruo sangat membahagiakan. Dia sangat beruntung karena cintanya telah kembali. Cinta yang membuatnya bertualang di setiap dimensi kehidupan dan akhirnya bertemu dan dipersatukan dalam ikatan pernikahan.

Suasana hampir gelap dan Li Quan belum juga kembali. Biasanya, lelaki itu tidak pernah berlama-lama meninggalkannya. Zhi Ruo yang tampak khawatir terlihat mondar-mandir di depan mulut goa. Matahari senja mulai tampak dengan gurat kemerahan di cakrawala.

“Suamiku, kenapa kamu belum juga kembali?” batin Zhi Ruo yang kini duduk di atas batu dengan perasaan cemas.

Sementara itu, jauh di dalam hutan, Li Quan tengah berhadapan dengan dua sosok makhluk menyeramkan dengan tubuh yang sangat besar. Lelaki itu merasa terganggu dengan tingkah makhluk menyeramkan yang memasuki kawasannya dan mengganggu semua penghuni di dalam hutan.

Tak hanya manusia yang dilarang masuk ke dalam hutan itu, tetapi makhluk jahat tak kasat mata juga dilarang memasukinya. Jika mereka berani membangkang, maka Li Quan akan bertindak dan mengusir mereka. Bahkan jika perlu, dia akan membunuh setiap makhluk jahat yang mencoba menerobos hutan larangan.

“Tuan, sepertinya kekuatan Tuan untuk melindungi hutan ini mulai berkurang. Apa mungkin itu karena Tuan telah mencintai manusia itu?” Seorang gadis remaja tampak berdiri di belakang Li Quan sambil menatap punggungnya.

“Jangan pernah mengatakan hal itu! Dia bukan kelemahanku melainkan kekuatanku. Ling, pergilah ke goa dan lindungi istriku. Mulai saat ini, kamu adalah pelindungnya. Aku percayakan nyawa istriku di tanganmu. Sekarang pergilah, aku akan menyusul setelah menyingkirkan kedua makhluk menyebalkan ini!”

Tanpa membantah, gadis muda yang terlihat cantik itu lantas berubah wujud menjadi seekor rubah putih dan berlari dengan lincah menuju goa.

Kedua makhluk menyeramkan itu menyeringai saat melihat rubah putih yang telah pergi. Mata merah dengan tatapan yang sangat tajam kini terarah pada Li Quan.

Seketika, tubuh Li Quan tiba-tiba berubah menjadi sosok hitam dengan matanya yang memerah. Taring tajam mencuat dari sela mulutnya dan menyeringai menatap makhluk besar di depannya. “Rupanya kalian tidak pantang menyerah. Setelah kematian ketua kalian, apa kalian masih ingin merebut kekuatan surgawi dariku?”

“Kami tidak akan menyerah. Bagaimanapun caranya, kami harus mendapatkan kekuatan itu dan membalaskan dendam atas kematian ketua kami.”

Kedua makhluk itu lantas menyerang Li Quan secara bersamaan. Kegesitan Li Quan membuat kedua makhluk itu menjadi geram karena serangan mereka selalu salah sasaran. Cahaya hitam yang diarahkan pada Li Quan nyatanya meleset dan mengenai sebatang pohon yang kini hangus dan mengering.

“Ah, rupanya kalian sungguh-sungguh ingin mati di tanganku. Baiklah, rasakan seranganku ini!”

Li Quan merangsek maju dan menyerang kedua makhluk yang mulai kewalahan. Serangan-serangannya cukup membuat mereka kewalahan dengan pukulan-pukulan yang tepat sasaran. Bunyi gedebuk dan erangan kedua makhluk besar itu terdengar menyeramkan saat cahaya putih menghantam tubuh keduanya hingga terbelah menjadi dua. Tak butuh waktu lama untuk menghabisi kedua makhluk yang nekat masuk ke hutan larangan karena kekuatan mereka tak sebanding dengan kekuatan Li Quan yang merupakan sosok seorang dewa.

Mayat kedua makhluk yang teronggok di atas tanah seketika berubah menjadi abu hitam yang beterbangan di udara. Li Quan hanya menatap dan perlahan wujudnya kembali ke wujud semula. “Terimalah hukuman kalian karena itu memang pantas kalian dapatkan. Aku tidak akan pernah membiarkan kekuatan surgawi menjadi milik kalian!” Li Quan lantas meninggalkan tempat itu dan kembali ke goa menemui sang istri yang kini menantinya dalam kecemasan.


Reinkarnasi Dewi Keabadian

Reinkarnasi Dewi Keabadian

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2020 Native Language: Indonesia
Gemuruh petir menggelegar di atas langit mendung. Rintik air hujan perlahan turun dengan derasnya dan membasahi ranting pepohonan di dalam hutan. Di mulut goa, terlihat seorang gadis sedang berteduh sambil membersihkan rambut dan wajahnya dari percikan air hujan. Wajahnya tampak gelisah karena khawatir hujan tidak akan reda. Melihat langit yang mulai senja dengan mendung yang menyelimutinya, gadis itu mulai memanjatkan doa, berharap hujan yang makin deras itu akan segera reda.   Terlihat, mulut gadis itu komat-kamit sambil memejamkan matanya. Wajahnya yang cantik, tampak anggun saat matanya terpejam. Doa-doa yang dipanjatkan setidaknya menjadi kekuatan tersendiri baginya. Walau doa tak henti dia panjatkan, nyatanya hujan tak juga reda. Bahkan, hujan turun semakin deras dengan suara petir yang menggelegar bersahutan.... Penasaran dengan kelanjutannya? yuk segera dibaca ceritanya...

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset