Di depan pintu, Dewi Yi berdiri ragu-ragu. Dia ingin mengetuk pintu, tapi dia mengurungkan niatnya itu. “Ah, kenapa aku harus peduli padanya?”
Gadis itu terlihat bimbang hingga membuatnya ingin meninggalkan tempat itu, tapi tiba-tiba saja pintu ruangan itu terbuka.
“Kamu mau ke mana?” tanya Dewi Yi saat melihat pemuda itu bersiap untuk pergi.
“Kenapa? Aku ingin meninggalkan tempat ini. Apa kamu mau ikut denganku?”
Pemuda itu berjalan meninggalkan Dewi Yi yang mengikutinya dari belakang.
“Apa hanya karena ucapan kakakmu itu kamu ingin meninggalkan mereka? Apa kamu selemah itu?”
Qiang tak peduli dengan ucapannya. Dia bergegas naik ke atas punggung kuda miliknya.
“Hei, apa kamu tidak menyayangi mereka hingga ingin pergi meninggalkan mereka? Bagaimana kalau Zhi Ruo tahu kalau kamu sudah meninggalkan tempat ini? Apa kamu tidak memikirkan perasaan mereka?” Dewi Yi berdiri merentangkan kedua tangannya untuk menghalangi kepergian pemuda itu.
“Itu bukan urusanmu! Cepat minggir dan biarkan aku pergi!”
“Tidak!” teriak Dewi Yi yang masih merentangkan kedua tangannya.
“Baiklah jika itu maumu.” Qiang memacu kudanya dan menerobos Dewi Yi yang berdiri di depannya. Gadis itu terkejut karena tiba-tiba saja tubuhnya diraih oleh Qiang dan duduk tepat di depan pemuda itu.
“Hei, apa yang kamu lakukan? Cepat turunkan aku!” perintah Dewi Yi, tapi tidak digubris olehnya.
“Jika tidak ingin aku pergi, maka diamlah dan ikuti saja kemana aku akan membawamu.”
“Kamu …. ” Dewi Yi terlihat kesal, tapi dia terpaksa mengikuti permintaan pemuda itu.
Saat itu, langit malam terlihat begitu indah dengan pancaran cahaya bulan purnama yang bersinar terang. Tak hanya itu, suara jangkrik terdengar mengiringi perjalanan mereka. Setelah beberapa saat, mereka tiba di sebuah padang rumput yang sangat luas.
Qiang kemudian turun dari atas punggung kuda dan meraih tubuh Dewi Yi dan menurunkannya. Walau enggan, tapi gadis itu hanya menurut tanpa menolak saat tangan pemuda itu meraih tubuhnya.
Di atas sebuah batu, Qiang duduk dan memandang ke atas langit hitam yang terlukis indah. Dia begitu takjub dengan keindahan langit yang disuguhkan di malam itu. Tatapan matanya tak berpaling saat melihat cahaya bulan purnama yang bersinar terang. Bahkan, dia terpana saat melihat cahaya kerlap-kerlip yang beterbangan di sekeliling mereka.
Sementara Dewi Yi, memilih duduk tak jauh dari pemuda itu. Dia ikut menikmati suasana malam yang terlihat menenangkan jiwanya. Tatapan matanya menatap lurus ke arah bulan yang memancarkan cahaya indah, hingga menerangi padang rumput yang dikelilingi pendaran cahaya kunang-kunang yang menari-nari di sekitar mereka. Sesaat, dia memejamkan matanya dan mencoba menikmati keindahan dan ketenangan melalui mata hatinya.
Rupanya, keindahan cahaya bulan purnama tak membuat Qiang menatapnya berlama-lama. Pasalnya, tatapan matanya kini teralihkan pada sosok wanita cantik yang tersenyum dengan mata yang terpejam. Sebuah senyuman terukir di sudut bibir yang ranum, hingga membuat jantungnya berdetak hebat. Seketika, dia memalingkan pandangannya dan kembali menatap purnama yang nyatanya tak lagi menarik perhatiannya. Kembali, dia menyaksikan sebuah keindahan tiada tara dari wajah cantik yang membuatnya terpana.
“Ah, apa dirinya memang seorang dewi?” Gumamnya pelan dan tak melepaskan pandangannya. Seketika dia terkejut saat gadis itu membuka matanya dan menatap ke arahnya.
“Apa yang kamu lihat? Apa wajahku terlihat aneh?” tanya gadis itu sambil menyentuh wajahnya sendiri.
Qiang menggeleng sambil tersenyum. “Tidak! Aku hanya tak percaya kalau saat ini aku duduk dengan seorang wanita yang memiliki kecantikan bak seorang dewi.” Sekilas dia tersenyum sambil mendongakkan kepalanya menatap ke atas langit. “Apa mungkin kamu memang benar seorang dewi? Ah, apa itu mungkin?” ucapnya sambil memandang langit.
Dewi Yi tersenyum melihat sikap pemuda itu. “Jika aku seorang dewi, apa yang akan kamu lakukan?”
Qiang kembali menatap ke arah gadis yang masih memandangi langit. Sungguh, dia merasakan sesuatu yang membuat hatinya berdebar. Sesuatu yang tak bisa diartikan dengan kata-kata.
“Aku akan melindungimu. Aku akan menjagamu dengan nyawaku. Aku tahu, aku hanya pemuda biasa yang tak punya apa-apa jika dibandingkan dengan para dewa di khayangan, tapi aku akan pastikan kalau jiwa dan ragaku akan aku korbankan untuk melindungimu.” Pemuda itu berucap dengan tulus. Tatapan matanya terlihat teduh dengan penuh rasa cinta.
Mendengar ucapannya Dewi Yi tersenyum, hingga membuat wajahnya terlihat memesona. “Apakah ucapanmu itu hanya sebuah kata-kata rayuan? Apa kamu pikir dewi sepertiku mengharapkan perlindungan dari manusia biasa yang kapan saja bisa mati?”
“Aku tak peduli! Walau harus mati untuk melindungimu, aku rela. Aku akan meminta pada semesta untuk mempertemukan kita kembali jika aku mati. Aku akan meminta untuk terlahir dan melindungimu walau aku akan menjalani kematian dan kelahiran berulang kali asalkan aku bisa bersama denganmu, aku rela.”
Dewi Yi kembali tersenyum saat melihat kesungguhan di wajah pemuda itu. “Simpan saja perasaanmu itu karena sampai kapan pun, kita tidak akan pernah bisa bersama. Qiang, aku sama sekali tidak mengerti dengan perasaan yang kamu utarakan padaku, tapi bagiku kita hanya dua orang yang memiliki perbedaan dan tidak mungkin perbedaan itu bisa menjadi sama. Aku menghargai apa yang kamu rasakan, tapi aku tidak mungkin menerimanya karena aku tidak bisa.”
“Kenapa? Apa karena aku manusia dan kamu seorang dewi? Ataukah karena aku yang tiba-tiba mengutarakan perasaanku padamu? Dewi Yi, aku tulus mencintaimu dan aku ingin bersamamu. Apa kamu pikir aku tidak tahu siapa kakak iparku sebenarnya? Aku tahu dia adalah seorang dewa dan dia mencintai kakakku dan rela meninggalan kedewaannya demi cintanya pada kakakku. Apa kamu tidak bisa melakukan hal yang sama terhadapku?”
Dewi Yi bangkit dari tempat duduknya dan melangkah meninggalkan Qiang yang perlahan mengikutinya. Sungguh, hatinya kini sedang dilema. Sebelumnya, dia tidak pernah merasakan debaran di dalam dadanya. Walau banyak dewa pernah menyatakan cinta padanya, tapi hatinya bergeming hingga membuat mereka kecewa. Namun kini, seorang manusia biasa telah membuat hatinya bergetar dengan ungkapan cinta yang tiba-tiba.
“Sebaiknya kita kembali. Saat ini mereka pasti mengkhawatirkanmu.” Dewi Yi kemudian berjalan kembali ke arah kuda yang diikat di sebatang pohon. Namun, dia terkejut saat sentuhan hangat menyelimuti tubuhnya. Jantungnya semakin berdebar saat pelukan itu semakin dieratkan dengan embusan nafas yang memburu di telinganya.
“Apa yang kamu lakukan? Lepaskan pelukanmu itu!” pinta Dewi Yi pada Qiang yang kini memeluknya dari belakang. Pemuda itu bergeming, bahkan kedua tangannya memeluk semakin erat.
“Aku mohon, biarkan aku memelukmu sejenak. Aku tahu aku egois karena memaksakan rasa cintaku padamu, tapi sekali saja biarkan aku memelukmu. Setelah itu, aku tidak akan meminta apa pun lagi darimu. Aku akan menunggu hingga kamu mau menerimaku walau aku tahu hidupku takkan abadi, wajahku akan menua, dan aku akan mati, tapi cintaku akan selalu abadi untukmu.”
Dewi Yi terdiam. Jantungnya berdetak cepat. Hatinya gelisah dengan perasaan tak menentu. Dia seakan tak percaya dengan apa yang kini dirasakannya. Qiang, pemuda tampan yang selama ini terlihat acuh padanya dengan jujur telah mengungkapkan perasaannya. Perasaan yang entah harus dibalas dengan cara apa.
Selama perjalanan pulang, mereka terdiam. Tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulut keduanya. Hanya saja, Qiang mulai memberi perhatian lebih. Pemuda itu merangkulkan tangan kirinya di pinggang Dewi Yi yang hanya terdiam.
“Kenapa perasaanku jadi seperti ini? Apa yang terjadi padaku?” batin Dewi Yi yang terlihat gelisah.
“Ada apa? Apa aku sudah membuatmu merasa tidak nyaman?” tanya Qiang sambil menghentikan jalan kudanya.
Dewi Yi menundukkan wajahnya seakan ingin menyembunyikan perasaannya yang tak menentu. Tiba-tiba saja pemuda itu turun dari atas punggung kuda sambil memegang tali kekang dan mulai berjalan mengiringi kuda di mana Dewi Yi masih duduk dan menatapnya heran. “Apa yang kamu lakukan? Cepat naik!”
“Jangan pedulikan aku. Maaf, jika aku sudah membuatmu tak nyaman. Karena itu, lebih baik aku berjalan kaki saja.”
“Qiang, jangan seperti itu. Ayo, naik! Jika tidak, aku juga akan turun dan berjalan di sampingmu.”
Mendengar ucapannya, Qiang tersenyum dan menghentikan jalan kudanya. “Kalau begitu, ayo turun dan berjalanlah di sampingku.”
Dewi Yi terlihat kesal dan memalingkan wajahnya. “Apa kamu kira aku sebodoh itu. Kalau kamu tidak mau naik, ya sudah. Jalan saja sampai ke desa karena aku takkan peduli.”
Qiang kembali tersenyum dan berjalan sambil memegang tali kekang kuda di tangannya. Walau kesal, gadis itu tidak benar-benar serius dengan ucapannya. Kini, hatinya semakin gelisah karena sudah hampir setengah jam pemuda itu berjalan kaki tanpa beristirahat. “Ah, pemuda bodoh! Apa dia ingin menguji kesabaranku?” batin Dewi Yi yang mulai luluh. Ditatapnya Qiang yang masih berjalan, hingga akhirnya dia meminta pemuda itu untuk naik ke atas kuda, “Ayo, naik!”
“Kenapa? Apa kamu mulai kasihan padaku?”
Dewi Yi menatpanya kesal. “Apa kamu tidak kasihan padaku jika aku harus berjalan kaki hingga kita sampai di desa? Baiklah, jika itu maumu!” Gadis itu berniat untuk turun, tapi Qiang segera bergegas naik dan duduk di belakangnya sambil merangkulnya mesra.
“Baiklah, aku akan turuti permintaanmu. Ah, bukankah lebih baik seperti ini.” Qiang merangkulnya dan lagi-lagi gadis itu hanya terdiam.
Malam itu adalah malam yang sangat berkesan bagi Qiang. Cintanya yang selama ini terpendam, telah dia utarakan walau harus menerima penolakan yang cukup membingungkan baginya. Namun, rasa cintanya tak berkurang walau Dewi Yi terlihat mengacuhkan dirinya. Baginya, cinta yang dia rasakan benar-benar tulus. Cinta yang datang menggodanya entah sejak kapan. Cinta yang tiba-tiba datang seiring pertemuan yang membuatnya merasakan debar-debar asmara di dalam dada.
Sementara Dewi Yi yang menyadari kalau Qiang mulai mencintainya, tidak membuat hatinya luluh begitu saja. Dia sadar, tidak selamanya dia akan berada di alam manusia karena dia harus kembali ke Istana Langit.
Walau dia tahu kebaikan, cinta, dan perhatian Qiang padanya sangatlah besar, tapi dia tidak ingin membuat pemuda itu terluka saat dia akan pergi. Bagaimana mungkin, seorang manusia dan seorang dewi dapat hidup bersama karena itu adalah hal terlarang dan mustahil untuk mereka jalani.
Selama berada di alam manusia, Dewi Yi mulai banyak belajar tentang kehidupan. Bahkan, dia mulai merasakan kedamaian saat berada di tengah-tengah mereka. Bagaimana manusia hidup saling membantu walau tak sedikit yang terlihat egois. Bagaimana kasih sayang antara teman, saudara, bahkan pasangan hidup yang begitu saling menjaga walau tak jarang kasih sayang itu ada yang semu dan palsu. Namun, itu tidak membuatnya berhenti mengagumi kehidupan manusia. Baginya, kehidupan manusia lebih bermakna daripada hidup di Istana Langit yang terkekang dengan bermacam peraturan.
“Dewi Yi, aku berterima kasih karena kamu telah mengizinkanku tetap tinggal di sini bersama keluargaku. Maafkan aku jika aku sudah membuatmu mengalami kesulitan. Aku berjanji akan membalas kebaikanmu itu. Jika semesta mengizinkan, aku dan keturunanku akan menjadi orang terdepan yang akan membantumu. Terima kasih.” Zhi Yan, Dewa Obat yang memilih menghabiskan hidupnya di alam manusia bersama keluarganya tampak menunduk di depan Dewi Yi.
Saat ini, Dewi Yi memilih untuk kembali ke Istana Langit. Dia tidak akan membawa Zhi Yan kembali ke Istana Langit dan akan bertanggung jawab atas keputusannya itu. Walau dia tahu, mungkin saja dia akan ditentang, tapi itu adalah keputusannya.
“Zhi Yan, aku pasti akan mencari tahu tentang penyakit aneh itu. Untuk sementara ini cobalah untuk bertahan, hingga aku mendapat petunjuk. Jika benar penyakit itu adalah sebuah konspirasi, maka aku akan membongkar kejahatan mereka.” Lelaki itu mengangguk.
Dewi Yi menatap mereka satu per satu, hingga pandangannya tertuju pada Zhi Ruo yang mulai menangis. “Hei, kenapa menangis? Ayolah, aku tidak pergi untuk selamanya. Aku pasti akan kembali menengok kalian lagi. Sudah, jangan menagis lagi.” Zhi Ruo menangis dalam pelukannya. Entah mengapa, setitik air bening jatuh di pelupuk mata Dewi Yi. Padahal, tak sekali pun dia pernah menitikkan air mata. Namun kini, air bening itu seakan jatuh tanpa disadarinya.
“Ling, aku mohon jagalah keluarga ini selama aku pergi. Aku tahu kamu ingin menjagaku, tapi aku tidak bisa mengajakmu ke Istana Langit. Jangan khawatir, aku pasti akan kembali lagi ke sini.”
“Dewi, aku akan mengikuti perintahmu. Aku akan menjaga mereka sesuai perintahmu. Dewi, aku mohon, segeralah kembali.” Dewi Yi mengangguk dan memeluknya.
Kini, perhatiannya tertuju pada Qiang yang telah menunggunya di depan gerbang desa. Pemuda itu yang akan mengantarnya menuju tempat di mana pintu langit penghubung antara bumi dan Istana Langit berada.
Selama perjalanan, mereka hanya diam. Qiang hanya mengeratkan rangkulannya, seakan dia tidak rela melihat gadis yang dicintainya pergi meninggalkannya. “Aku akan menunggumu.” Tiba-tiba saja pemuda itu berucap hingga membuat Dewi Yi tersenyum.
Di dalam sebuah hutan, mereka berhenti. Hutan itu adalah tempat di mana pintu langit berada. Dewi Yi turun dari atas punggung kuda dengan bantuan Qiang. Untuk sesaat mereka saling menatap. Tiba-tiba Qiang memeluknya sambil mengecup bibir ranumnya, hingga membuatnya terdiam. Sejenak, matanya terpejam saat pemuda itu mengecup bibirnya. Jantungnya berdegup kencang saat wajahnya disentuh dengan lembutnya.
“Aku mencintaimu dan aku akan menunggumu. Yi Yuen, aku akan menunggumu dan selamanya akan selalu menunggumu.”
Dewi Yi perlahan membuka matanya dan melihat air mata yang jatuh di wajah pemuda itu. “Aku tahu dan aku pasti akan kembali. Jika aku kembali, aku janji kita akan bersama. Aku …. ” Ucapannya terhenti saat Qiang kembali mengecup bibirnya, seakan dia bahagia karena cintanya ternyata tidak bertepuk sebelah tangan.
Kali ini, Dewi Yi tidak hanya diam. Kedua tangannya memeluk pemuda itu dengan erat dan menikmati sentuhan lembut di bibirnya. Rasanya, Qiang tidak ingin melepaskan, tapi dia tidak mungkin melarang kepergian gadis yang semakin membuatnya jatuh cinta.
Dengan terpaksa, dia melepaskan saat Dewi Yi melambaikan tangan padanya dengan sebuah senyum yang terukir di wajahnya dan menghilang di balik pendaran cahaya yang perlahan lenyap tak bersisa.