“Di masa lalu, kamu adalah seorang Dewi. Dewi yang bertugas memberantas kejahatan yang melibatkan roh jahat di antara dua dunia, yaitu manusia dan para Dewa. Kamu terkenal dengan ketegasan dalam membasmi kejahatan dan kemampuanmu dalam bertarung tidak bisa diragukan. Itulah sebabnya, kamu menjadi sasaran dari kelicikan mereka.” Sejenak, Ling menghentikan kalimatnya. Tangannya mengepal jika mengingat peristiwa itu.
“Waktu itu, kamu ditugaskan untuk membawa kembali Dewa Obat yang melarikan diri ke alam manusia, tapi setelah bertemu dengannya, pendirianmu goyah setelah mengetahui kalau Dewa itu telah bahagia dengan kehidupannya yang baru. Dewa itu telah menikah dengan manusia dan memiliki sebuah keluarga kecil hingga membuatmu melupakan misimu itu. Dan, pertemuanmu dengan Qiang kembali menggoyahkan hatimu karena pemuda itu telah menyatakan perasaannya padamu dan kalian mulai saling mencintai. Namun, satu penyakit aneh telah mewabah di desa tempat tinggal mereka, dan itu bukanlah penyakit biasa karena menurut Dewa Obat, penyakit itu berasal dari kekuatan yang hanya ada di Istana Langit. Sebab itulah, kamu kembali ke Istana Langit untuk menyelidikinya, tapi setelah kepergianmu, desa mereka diserang oleh orang-orang yang sudah dirasuki aura jahat hingga membuat istri Dewa Obat meninggal.”
Ling kembali terdiam karena mencoba mengingat kembali peristiwa silam yang tak bisa hilang dari ingatannya. Sementara Yi Yuen, terus mencoba untuk mengingat penggalan kisah itu, tapi nyatanya dia belum mampu untuk mengingatnya.
“Orang-orang yang dirasuki ternyata tak bisa dibunuh dan hanya kekuatanmu yang mampu menghentikan mereka. Karena itu, demi menyelamatkan Qiang dan penduduk desa, kamu rela melanggar peraturan langit di mana seorang Dewa tidak boleh membunuh manusia, tapi kamu melakukannya hingga membuat tubuhmu perlahan menghilang,” lanjut Ling yang perlahan menghapus air matanya karena mengingat peristiwa itu.
“Bibi.” Yi Yuen perlahan memeluk gadis itu. Gadis yang menjadi saksi kehidupannya di masa lalu.
“Dewi Yi, Qiang sangat mencintaimu. Selama sisa hidupnya, dia selalu mengenangmu hingga membuatnya tak peduli pada wanita mana pun. Dia selalu menunggu dan berharap ada keajaiban yang membawamu kembali padanya. Namun, itu semua tak mungkin karena kematian datang menjemputnya. Dia mati dengan ketersiksaan batin karena merasa bersalah padamu. Dia menyesal karena tak mampu menjaga dan melindungimu. Apa kamu tahu apa yang menjadi permintaan terakhirnya? Dia ingin terlahir kembali menjadi seorang dewa agar bisa mencarimu kelak dan menjagamu dengan taruhan nyawanya. Dia berharap, semesta memberikannya kesempatan kedua untuk bisa bersama denganmu lagi.”
Yi Yuen menitikan air mata saat mendengar ucapan Ling yang membuat hatinya tersentuh. Walau wajah Qiang terlihat samar dalam mimpinya, namun dia yakin kalau pemuda itu adalah seseorang yang sangat berarti baginya.
“Dewi Yi, semesta ternyata memihak padamu. Kamu diberi kesempatan untuk membuktikan kalau apa yang kamu lakukan di masa lalu bukanlah suatu kesalahan. Karena itu, aku akan membantumu sama seperti dulu. Kali ini, aku tidak akan tinggal diam dan akan mengorbankan nyawaku untukmu. Aku tahu, ini semua adalah takdir yang diberikan semesta. Karena itu, aku akan membantu menjalani takdir ini bersamamu.”
Ling bersungguh-sungguh dengan ucapannya itu hingga membuat Yi Yuen kembali memeluknya. “Bibi, terima kasih.”
Sementara mimpi yang sama juga dirasakan oleh seorang pemuda yang kini duduk di depan sebuah ruangan sambil memandang ke arah bulan. Pemuda itu tampak resah dengan perasaannya yang tak menentu. Perasaan aneh yang akhir-akhir ini mulai mengganggunya.
Dengan sebilah pedang di tangannya, pemuda itu bangkit dan berjalan menuju halaman kecil yang ada di depan ruangan itu. Perlahan, dia mulai memainkan pedang dengan gerakan-gerakan yang sangat cepat. Gerakannya cukup lincah saat tubuhnya melayang ke udara sambil berputar hingga menimbulkan pusaran angin yang cukup kencang. Pusaran angin yang telah menimbulkan suara berdesing hingga pohon sakura yang tumbuh tak jauh dari tempat itu tampak menggugurkan bunganya hingga terlihat seperti butiran-butiran salju yang jatuh dari atas langit.
Sementara pemuda itu telah mendarat di tanah dengan kedua kakinya yang kokoh. Pemuda yang mengenakan jubah berwarna biru itu terlihat memukau dengan kemampuannya yang sangat mumpuni. Kemampuannya itu didapatnya dari berguru pada Raja Istana Langit.
Sejak bermimpi aneh, pemuda itu memilih menghabiskan malam dengan berlatih. Semua itu karena dia ingin menjernihkan pikirannya yang kalut karena disebabkan mimpi aneh yang sudah menganggunya sejak beberapa hari yang lalu. Mimpi yang membuat hatinya tak tenang karena melihat wajah seorang gadis yang menatapnya sambil menangis dalam diam. Air mata gadis itu jatuh saat melihat ke arahnya. Tangisan yang diiringi dengan sebuah senyuman.
“Ah, kenapa aku merasa aneh jika mengingat mimpi itu lagi? Siapa sebenarnya gadis yang melihatku sambil menangis?” batinnya saat mengingat kembali penggalan mimpi yang selalu mengganggunya.
“Qiang, ada apa? Kenapa kamu melamun?” Seorang gadis cantik berjalan mendekatinya di saat matahari pagi mulai menampakkan diri. Rupanya, pemuda itu benar-benar tidak tidur sejak semalam.
“Tidak, aku hanya sedang menikmati suasana pagi,” elak pemuda itu sambil tersenyum, “Kenapa kamu ke datang sini? Apa Guru memanggilku?” lanjutnya.
Gadis itu menggeleng sambil meraih lengan pemuda itu. “Aku ingin kamu menemaniku turun ke alam manusia,” ucapnya sontak membuat pemuda itu terkejut.
“Apa kamu sudah gila? Apa kamu mau kepalaku dipenggal karena membawamu ke sana? Putri Anchi, aku tahu aku tidak bisa membantah perintahmu, tapi kali ini aku tidak bisa menuruti perintahmu itu.”
Pemuda itu beranjak dan mencoba menghindar dari rengekkan gadis itu yang mulai terdengar, tapi dia sama sekali tidak bisa mengelak saat gadis itu mulai mengancamnya, “Kalau kamu tidak mau mengantarku, aku akan pergi secara sembunyi-sembunyi. Jika aku tertangkap, aku akan dihukum. Aku pasti tidak akan diberi makan atau aku mungkin akan dikutuk. Apa kamu mau melihat ayahku sedih karena melihatku dihukum seperti itu?”
Mendengar ancamannya membuat pemuda yang bernama Qiang itu hanya bisa menghela napas dan mengembuskannya kasar. Gadis itu adalah Putri Anchi, anak dari gurunya dan juga sekaligus penguasa Istana Langit, Li Quan.
“Putri Anchi, kenapa kamu memaksa untuk turun ke bumi di mana manusia tinggal? Kamu tahu kalau kita tidak bisa bebas ke sana karena itu melanggar peraturan langit. Jika ayahmu tahu, aku pasti akan dipenggal. Apa kamu tega melihat kepalaku lepas dari tubuhku karena ulahmu itu?”
Gadis itu tersenyum seakan tidak terpengaruh dengan ucapan Qiang. “Qiang, apa kamu tahu kenapa aku meminta hal ini padamu? Itu karena aku tahu satu-satunya yang bisa mewujudkan keinginanku hanya dirimu dan aku yakin kamu tidak akan membuatku tertangkap. Aku hanya penasaran dengan kehidupan di bumi. Katanya, kehidupan di sana sangat jauh berbeda dengan kehidupan kita. Ayolah Qiang, aku mohon temani aku ke sana.” Gadis itu merengek sambil memegang tangan pemuda itu.
“Baiklah, baiklah, tapi kali ini saja karena aku tidak akan lagi membawamu ke sana. Mengerti?” Gadis itu mengangguk sambil tersenyum.
“Sekarang pulanglah. Siang nanti, aku akan datang pada Guru dan meminta izin darinya. Ah, kamu sudah membuatku dalam masalah.” Dengan kesal, Qiang masuk ke dalam ruangannya meninggalkan Putri Anchi yang tersenyum melihat kepergiannya.
Saat matahari mulai meninggi, Qiang benar-benar datang ke kediaman Li Quan dan meminta izinnya. Tanpa curiga, Li Quan mengizinkan anak gadisnya itu pergi bersama Qiang. Itu bukanlah hal baru baginya, karena Qiang adalah orang kepercayaannya sekaligus murid yang sangat disayanginya.
“Ah, kamu memang yang terbaik,” puji Putri Anchi saat mereka keluar dari kediamannya.
“Jangan senang dulu karena kita belum meninggalkan Istana Langit. Aku melakukan ini karena aku tidak ingin kamu terus menggangguku dengan rengekanmu itu. Putri Anchi, aku akan membawamu ke bumi, tapi aku punya syarat.”
“Apa syaratnya?”
Qiang lantas mengeluarkan sapu tangan dari balik jubahnya. “Aku harus menutup matamu karena aku tidak bisa membiarkanmu melihat jalan rahasia ini. Apa kamu menyanggupinya?”
Tanpa menjawab, gadis itu lantas mengambil sapu tangan dari tangan Qiang dan menutupi kedua matanya. “Sekarang, apa kita sudah bisa pergi dari sini?” tanya Putri Anchi sambil merangkul lengan pemuda itu.
“Baiklah, ayo kita pergi.”
Qiang meraih tubuh Putri Anchi di dalam rangkulannya dan terbang melintasi awan-awan yang mengambang di atas udara. Tapak kaki pemuda itu menyentuh awan yang terlihat lembut bak gumpalan kapas, hingga beberapa saat kemudian, dia menapakkan kakinya di atas tanah.
Di atas sebuah tebing, mereka menapakkan kaki. Semilir angin berembus menerpa wajah keduanya, hingga membuat Putri Anchi tidak sabar untuk melepaskan penutup matanya. Seketika, dia terpesona dengan keindahan di tempat itu. Tatapan matanya seakan tak berkedip saat melihat keindahan yang tak pernah dijumpai sebelumnya.
“Apakah ini adalah bumi?” tanya Putri Anchi yang masih menatap alam sekitarnya. Betapa dia kagum saat melihat hamparan savana hijau dengan liuk-liuk sungai kecil bak seekor ular.
“Ya, ini adalah bumi, tempat manusia tinggal,” jawab Qiang sambil duduk di atas sebuah batu sambil memandang hamparan hijau di depannya.
Putri Anchi melakukan hal yang sama. Sambil duduk di atas batu, mereka menatap keindahan alam yang disuguhkan di depan mereka. Keindahan yang tidak pernah mereka temui di Istana Langit.
Putri Anchi terlihat mengagumi keelokan tempat itu. Suara kicauan burung terdengar syahdu di telinganya saat kumpulan burung-burung beterbangan dengan membentuk satu formasi yang menakjubkan. Desiran angin membawa hawa segar ketika meniup perlahan dan menerpa wajahnya hingga membuatnya tersenyum sambil memejamkan matanya. Sungguh, dia begitu terpesona hingga membuatnya bangkit dengan senyum yang mengembang di sudut bibirnya. “Baiklah, kita akan turun ke bawah,” ucapnya spontan hingga membuat Qiang terperanjat.
“Apa maksudmu turun ke bawah? Kamu tidak bercanda, kan?” tanya Qiang ingin memastikan apa yang baru saja didengar olehya.
“Ayolah, masa kita ke sini hanya untuk berdiri di atas tebing ini saja? Qiang, aku ingin turun ke bawah dan melihat bagaimana kehidupan manusia. Aku janji, setelah itu kita akan kembali pulang.”
Lagi-lagi, Qiang dibuat tak berdaya saat gadis itu terus mendesaknya. Dengan terpaksa, dia akhirnya menuruti keinginan gadis itu. “Baiklah, sekali ini saja, tapi setelah itu kamu tidak akan lagi menginjakkan kaki di sini. Aku tidak akan membiarkanmu datang ke sini lagi, mengerti?”
“Iya, aku mengerti. Sekarang, ayo kita pergi.”
Putri Anchi tersenyum dan berjalan menuruni bukit. Bukit yang cukup terjal itu dengan mudah dilalui oleh mereka. Ilmu meringankan tubuh rupanya sangat berguna hingga tak menunggu waktu lama agar mereka bisa sampai di bawah.
Jalanan hutan yang dipenuhi tanaman bambu membuat Putri Anchi terkesima. Cahaya matahari yang terhalang daun bambu terlukis abstrak di atas tanah. Rumpun bambu yang tumbuh berderetan itu dilaluinya sambil bernyanyi dan sesekali bersiul, hingga mereka tiba di jalan utama di mana penuh dengan orang-orang yang sedang berkumpul menikmati pesta penen raya.
Orang-orang tampak tertawa saat menikmati suguhan dari kelompok atraksi yang sedang menyuguhkan keterampilan mereka. Terlihat juga beberapa penari yang sedang menari di atas sebuah panggung. Aneka makanan dan minuman dijajakan di sisi jalan, hingga membuat Putri Anchi tergiur ingin menikmati hidangan itu.
“Aku mau makan itu.” Tunjuknya pada buah cherry yang sudah diolah menjadi manisan. Buah sebesar biji kelereng itu terlihat menggiurkan dengan warna merah mengkilat dari gula cair yang sudah dicelupkan di permukaan buah dan ditusuk di batang kayu kecil.
Qiang lantas mengeluarkan satu koin dan segera membelinya. “Makanlah.”
Putri Anchi menerimanya dengan senyum sumringah dan melahap buah itu. “Hmm, enak!” serunya sambil mengangkat ibu jarinya ke arah pemuda itu. “Aku tidak menyangka, kalau tempat di mana manusia tinggal ternyata sangat ramai seperti ini. Aku sangat suka dengan tempat ini,” lanjutnya sambil ingin melahap buah cherry yang terakhir, tapi tiba-tiba saja buah itu terjatuh saat seseorang menyenggolnya.
Di depan mereka, orang-orang terlihat lari kocar-kacir, hingga membuat Qiang segera meraih tangan Putri Anchi untuk menghindar dari mereka. Di salah satu sudut kedai, mereka berdua bersembunyi dan mengintip untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi.
Suasana di tempat itu perlahan sunyi. Tidak ada lagi keramaian seperti tadi. Orang-orang telah meninggalkan tempat itu dan hanya tersisa empat orang yang kini berhadapan dengan segerombolan lelaki yang menunggangi kuda. Gerombolan lelaki yang menutup setengah wajah menggunakan kain hitam tampak menatap beringas ke arah empat orang yang tidak menyingkir dari hadapan mereka.
Dari balik dinding kedai, Qiang dan Putri Anchi melihat empat orang yang membelakangi mereka. Keempat orang itu mencoba menghadang gerombolan lelaki yang kini turun dari atas punggung kuda. Sementara itu, dua wanita dan dua pria yang membelakangi mereka itu bergeming saat gerombolan lelaki itu mulai menyerang mereka.
Suara denting pedang yang beradu terdengar memecah kesunyian di tempat itu. Keempat orang yang kini sedang bertarung tampak kompak menghadapi gerombolan yang mulai panik menghadapi mereka, hingga Qiang terkejut saat melihat seorang wanita yang tampak berdiri tak jauh dari tempat pertarungan itu. “Nyonya?” batinnya perlahan.