Suasana di pasar saat panen raya memang selalu ramai dikunjungi oleh warga. Di sana, mereka bisa mendapatkan makanan dan minuman dengan harga yang murah. Begitu pun dengan kedai yang menjajakan baju atau perabot rumah tangga, di saat seperti itu mereka akan menjajakan dagangan mereka dengan harga yang cukup terjangkau. Belum lagi dengan segala macam atraksi yang mengundang decak kagum.
Di saat ramai seperti itu, Zhi Ruo dan Yi Yuen akan turun ke jalan dan menawarkan pengobatan gratis bagi setiap warga yang memerlukan. Di sisi jalan, Kangjian dan Wang Wei membantu menyiapkan meja kecil untuk tempat Zhi Ruo memeriksa pasien. Sementara Ling dan Yi Yuen sudah bersiap dengan obat-obatan yang sudah dipersiapkan dari rumah.
Siang itu, terlihat banyak warga yang ingin berobat. Mereka tahu, Zhi Ruo bukanlah tabib sembarangan, melainkan tabib yang sudah cukup terkenal. Obat-obat yang diberikan olehnya selalu manjur dan terbukti dapat mengobati berbagai macam penyakit.
Di saat mereka sedang sibuk melayani pasien, mereka dikejutkan dengan munculnya beberapa lelaki yang menutupi setengah wajah dengan kain hitam. Para gerombolan lelaki itu ternyata adalah perampok yang biasanya beraksi di saat pasar penuh seperti saat ini.
Melihat kemunculan mereka, Kangjian dan Wang Wei mulai menghadang di depan. Sementara Yi Yuen, membawa ibunya bersembunyi tak jauh dari mereka. Setelah itu, dia dan Ling membantu kedua pemuda itu.
“Ah, kalian mengganggu saja. Apa kalian tidak berpikir untuk mencari pekerjaan lain daripada harus merampok?” Wang Wei berujar sambil mengeluarkan pedang dari balik punggungnya. “Ayo, kita selesaikan ini agar aku bisa segera makan siang. Ah, mereka sudah membuatku marah!”
Pemuda gagah dengan perawakannya yang tampan, tanpa ragu sedikit pun merangsek maju saat perampok-perampok itu mulai menyerang mereka. Pertarungan tak seimbang pun terjadi, di mana empat orang harus berhadapan dengan lima belas perampok. Walau begitu, tidak membuat keempat orang itu bergeming sedikit pun.
Kangjian yang hanya bermodalkan sebuah tongkat kayu nyatanya cukup berhasil melumpuhkan beberapa orang perampok. Wang Wei yang ahli beladiri dan seorang komandan dari prajurit istana, tak kalah hebat saat pedangnya berhasil membuat luka menganga di tubuh beberapa perampok hingga mati terkapar. Baginya, perampok harus ditumpas karena hanya akan meresahkan warga. Tanpa kompromi, mereka berdua melibas tanpa ampun.
Sementara Yi Yuen masih memerhatikan kedua temannya bertarung, hingga dia bergerak saat salah satu perampok hendak mengarahkan anak panah ke arah Kangjian dari atas kudanya. Spontan,Yi Yuen mengambil sebuah kerikil dan melemparkan dengan menggunakan tenaga dalam hingga mengenai lengan perampok itu. Busur ditangannya terlepas, begitu juga dengan anak panah yang melesat tak tentu arah.
Melihat seorang gadis yang mencoba menghalanginya, lelaki itu pun melompat dari atas kuda sambil mengarahkan pedangnya ke arah Yi Yuen. Yi Yuen sama sekali tidak beranjak dari tempatnya berdiri dan bersiap menerima serangan lelaki itu, tapi belum sempat lelaki itu menghunuskan pedang ke arahnya, Ling dengan sigap sudah berdiri di depan Yi Yuen dengan pedang yang beradu dengan pedang perampok itu. “Dewi, pergilah dan lindungi Nyonya, biar aku yang akan menghabisinya,” ucap Ling sambil menatap ke arah perampok itu.
“Berhati-hatilah.” Yi Yuen lantas menemui ibunya yang sedari tadi bersembunyi dan melihat mereka bertarung.
“Gadis sialan!” seru perampok itu yang mulai geram karena dihadang oleh Ling. Lelaki itu semakin tersulut emosi saat melihat Ling yang tersenyum sinis ke arahnya.
“Kenapa? Apa kamu marah karena wanita sepertiku mampu menangkis seranganmu? Ah, kalian bukan tandinganku. Sebaiknya, kamu harus banyak belajar bertarung agar bisa menang melawanku.” Usai berucap, Ling dengan pedang di tangannya mulai maju menyerang perampok yang semakin terlihat kesal padanya. Dia merasa diremehkan, tapi apa yang diucapkan Ling bukanlah sebuah isapan jempol belaka.
Dengan kemampuannya itu, Ling mampu membuat perampok itu tak berkutik. Serangannya selalu saja mengenai sasaran, tapi tidak dengan serangan perampok itu yang selalu meleset dalam menyasar serangannya pada Ling, hingga tiba di mana perampok itu tidak bisa menghindar saat serangan yang cukup mematikan menghantam dadanya. Telapak tangan Ling yang dialiri tenaga dalam menghantam keras dada perampok itu hingga membuatnya tersungkur. Seketika saja dia terhempas dengan darah segar yang keluar dari mulutnya.
Di saat perampok itu mulai tak berdaya, Ling dengan tanpa ampun menghunuskan pedang tepat di dadanya hingga tubuhnya lemah tak berkutik dengan mata yang terbuka.
Sementara Kangjian dan Wang Wei sudah berhasil melumpuhkan beberapa orang yang kini terkapar di atas tanah. Salah seorang perampok yang cukup sulit dikalahkan tampak memerhatikan teman-temannya yang mulai kewalahan. Di saat seperti itu, dia masih memikirkan cara untuk bisa melawan.
“Mereka sangat tangguh. Aku harus meminta bantuan.” Lelaki itu lantas meraih sebuah peluit kecil dari balik jubahnya. Seketika, beberapa orang yang berpenampilan sama seperti dirinya bermunculan di belakangnya saat dia meniup peluit itu dengan keras.
Kali ini, bala bantuan yang datang membantunya tidaklah sedikit. Hampir tiga puluh orang yang kini berdiri di belakangnya. Melihat mereka, Kangjian dan Wang Wei saling memandang dan melempar senyum. “Kangjian, sepertinya hari ini kita akan bekerja keras. Kali ini, jangan beri ampun dan bunuh saja mereka!”
Kangjian mengangguk dan mengambil sebilah pedang yang teronggok di atas tanah. Kedua pemuda itu berdiri berdampingan sambil menatap ke arah para perampok yang sudah siap menyerang mereka. Begitu pun dengan Ling yang segera bergabung dengan kedua pemuda itu.
Kini, mereka bertiga telah dikepung. Mereka berada di tengah-tengah perampok yang mengelilingi mereka sambil tertawa. “Kalian telah mengganggu kesenangan kami, karena itu kalian pantas untuk mati!” seru salah satu perampok sambil maju menyerang ke arah Ling terlebih dulu. Di saat yang sama, teman-temannya juga melakukan serangan ke arah Kangjian dan Wang Wei hingga mereka berdua berpencar.
Kali ini, musuh yang mereka hadapi cukup menguras tenaga. Kangjian harus mengeluarkan hampir seluruh kemampuannya untuk melawan para perampok itu.
Melihat teman-temannya diserang, membuat Yi Yuen ingin membantu mereka. “Ibu, aku akan membantu mereka. Sebaiknya, Ibu bersembunyi saja di sini. Jangan khawatir, aku akan menyelesaikan semuanya.”
Zhi Ruo mengangguk dan membiarkan putrinya itu pergi. Tanpa mereka sadari, salah seorang perampok sedari tadi memerhatikan mereka. Dia tahu kalau wanita yang sedang bersembunyi itu adalah kelemahan mereka. “Sepertinya, aku harus membunuh wanita itu.”
Perampok itu terus memerhatikan dan menunggu hingga perhatian Yi Yuen sudah tidak terfokus lagi pada ibunya dan di saat itulah, perampok itu berjalan perlahan dan berniat mendekat ke arah Zhi Ruo. Sementara Qiang dan Putri Anchi masih terus memerhatikan hingga Qiang terkejut saat melihat Zhi Ruo yang kini sudah terdesak karena dihadang salah satu perampok. Seketika saja dia menutupi setengah wajahnya dan bersiap menghalau perampok itu.
“Tunggu aku di sini! Aku akan segera kembali,” ucapnya pada Putri Anchi.
“Qiang, jangan lakukan itu! Jika ada yang mati karenamu, kamu akan dihukum dan tubuhmu bisa menghilang selamanya.” Gadis itu mencoba melarang Qiang untuk pergi. Tangannya dengan kuat menarik jubah pemuda itu untuk tidak beranjak, tapi sudah terlambat karena Qiang dengan cepat melesat ke arah perampok itu dan berdiri tepat di depan Zhi Ruo.
“Nyonya, cepat sembunyi!”
Tanpa bertanya, Zhi Ruo berlari ke belakang dan tanpa diduga, Putri Anchi meraih tangannya dan membawanya ke tempat persembunyiannya. “Jangan khawatir, aku akan menolongmu.”
Zhi Ruo menatap wajah gadis itu yang tampak cantik dan ikut kemana gadis itu akan membawanya.
Sementara Qiang, dengan tangan kosong mulai menyerang perampok itu. Sebagai seorang dewa, dia tidak dibenarkan untuk membunuh manusia. Karena itu, dia hanya menyerang bagian tertentu saja dengan cara menotok, hingga pergerakan tubuh mereka terkunci. Alhasil, perampok itu terkapar di tanah dengan tubuh yang tak mampu untuk bergerak.
Setelah selesai dengan perampok itu, Qiang mulai maju dan membantu Yi Yuen yang saat ini diserang secara bersamaan oleh dua orang perampok. Bukan hal yang sulit bagi Yi Yuen untuk melawan mereka, tapi saat ini pikirannya sedang tertuju pada ibunya yang tidak lagi tampak di depan matanya. Dia begitu khawatir hingga tidak memerhatikan serangan seorang perampok yang hampir saja melukainya andai saja Qiang tidak menolongnya.
“Jangan khawatirkan ibumu. Saat ini dia sudah aman. Fokus saja pada mereka,” ucap Qiang sambil menyerang perampok itu. Mendengar ucapan pemuda itu, Yi Yuen mulai berkonsentrasi dan kembali menyerang.
Yi Yuen cukup tangguh hingga beberapa perampok tumbang di tangannya. Dan tak butuh waktu lama, para perampok itu akhirnya berhasil mereka kalahkan. Perampok-perampok itu terkapar tak berdaya.
“Wang Wei, aku serahkan mereka padamu. Aku harus pergi.” Yi Yuen lantas pergi karena tidak lagi melihat sosok pemuda yang tadi membantunya. Dia berjalan sambil melihat ke arah sekitar untuk mencari pemuda itu, tapi yang ditemuinya hanyalah ibunya yang tiba-tiba muncul dari balik tikungan sebuah kedai.
“Ibu tidak apa-apa, kan?” tanya Yi Yuen sambil memeluk ibunya. Zhi Ruo mengangguk pelan dan tak lama kemudian Ling dan Kangjian berlari ke arah mereka.
“Nyonya, kenapa Nyonya bisa ada di sini? Bukankah, seharusnya Nyonya berada di sana?” tunjuknya ke arah tempat di mana Zhi Ruo bersembunyi sejak awal.
“Ling, tolong jaga ibuku. Aku harus pergi.” Yi Yuen berlari kecil sambil menyusuri tempat itu dan berharap bertemu dengan pemuda yang sudah membantunya.
Setelah mencari di beberapa tempat, dia akhirnya melihat seorang pemuda dan seorang gadis yang berjalan bersama. Yi Yuen lantas mengejar keduanya dan bermaksud untuk menyapa, “Maaf, tunggu sebentar, Tuan,” ucap Yi Yuen yang kini berdiri di depan mereka.
Pemuda itu menatapnya heran. Begitu pun dengan gadis yang bersamanya. Mereka berdua menatap Yi Yuen dengan heran. “Ada apa? Kenapa kamu menghentikan kami?” tanya gadis itu sambil melingkarkan tangannya di lengan pemuda yang ada di sampingnya.
“Maaf, aku hanya ingin bertanya sesuatu. Apa Tuan yang tadi sudah menolongku?”
Gadis itu tersenyum kecut dan mengeratkan tangannya di lengan pemuda itu. “Apa kamu suka dengan pacarku hingga membuatmu harus melakukan ini? Bagaimana bisa dia menolongmu sedangkan dari tadi kami sedang bersama? Apa kamu bermaksud ingin membuatku cemburu?”
“Maaf, bukan begitu maksudku, tapi aku yakin aku tidak mungkin salah mengenali orang. Baiklah, siapa pun kalian, aku ucapkan terima kasih atas bantuan kalian.”
Yi Yuen menundukan kepalanya sebagai rasa terima kasih dan saat mengangkat kepalanya, pandangan matanya tak sengaja bertatapan dengan pemuda yang juga kini menatapnya lekat.
Sesaat, ada perasaan aneh yang tiba-tiba Yi Yuen rasakan. Perasaan yang seakan mengenal tatapan mata dan segurat wajah yang perlahan mulai mengganggu hatinya. Wajah yang tiba-tiba mengingatkannya pada sepenggal mimpinya.
“Ayo, kita pergi!” Putri Anchi lantas menarik tangan pemuda itu dan berjalan meninggalkan Yi Yuen yang masih menatap kepergian mereka. Sementara Qiang, tak bisa mengelak saat Putri Anchi meraih tangannya. Walau di hatinya, dia mulai merasakan sesuatu yang mengganggu pikirannya. Wajah gadis yang ada di depannya seakan pernah dikenalnya. Wajah yang perlahan mulai membayangi di dalam pikirannya.
“Ada apa? Apa kamu mulai memikirkan gadis itu? Aku tahu dia cantik, tapi ingatlah kalau seorang dewa tidak bisa mencintai manusia.”
Ucapan Putri Anchi sontak membuyarkan lamunannya. Sejak bertemu dengan Yi Yuen, pemuda itu mulai merasakan keanehan. Sejak tadi, dia lebih banyak diam hingga membuat Putri Anchi merasa diabaikan.
“Kenapa mengucapkan hal seperti itu? Apa kamu pikir aku bisa semudah itu jatuh cinta pada seorang wanita? Apalagi, dia itu hanya seorang manusia biasa. Ah, sudahlah, jangan dibahas lagi. Sebaiknya, kita segera kembali.”
Mendengar ucapan Qiang, sejurus Putri Anchi tersenyum. Dia merasa lega karena ternyata Qiang tidak menyukai gadis yang baru saja mereka temui. Walau dia sadar, gadis itu mempunyai paras wajah yang sangat cantik. Tak hanya itu, dia juga memerhatikan kemampuan bertarung dari gadis itu hingga membuatnya cukup terpukau dengan kemampuan beladirinya.
Sejak saat itu, Putri Anchi sudah tidak pernah lagi mengajak Qiang turun ke bumi. Dia tidak menyangka, kalau ada manusia yang mempunyai kecantikan layaknya seorang dewi. Untuk sesaat, dia merasakan cemburu saat melihat Qiang menatap gadis itu.
“Ah, aku tidak akan membiarkanmu dimiliki wanita lain. Qiang, apa selama ini kamu tidak sadar kalau aku mencintaimu?” batin Putri Anchi saat duduk di depan cermin rias di dalam kamarnya. Matanya tajam melihat lurus ke depan sambil mengelus pipinya yang merona. “Apa di matamu aku tidak menarik hingga aku hanya kamu anggap seperti seorang adik?”
Sementara Qiang, tengah berlatih di depan halaman kamarnya. Dia ingin mengalihkan pikirannya yang saat ini selalu tertuju pada seorang gadis yang belum lama ini ditemuinya. Walau dia sadar, itu bukanlah pertemuan pertama mereka dan dia tahu kalau gadis itu bukanlah gadis biasa, melainkan putri dari gurunya sendiri. Seorang putri yang harus dijaga olehnya atas perintah sang guru atau penguasa Istana Langit.
“Aku tidak boleh seperti ini. Mana bisa aku terus memikirkannya. Tidak! Aku harus bisa melupakannya!”
Qiang kembali berlatih dan mencoba mengalihkan pikirannya, tapi nyatanya itu terlalu sulit. Namun, dia masih saja terus berlatih hingga peluh membasahi wajahnya. Gerakannya semakin cepat hingga membuat napasnya tersengal karena kelelahan. Di saat matahari senja mulai tampak, dia berhenti dan berjalan dengan langkah yang mulai goyah. Di atas pembaringan, dia menghempaskan tubuhnya dan sesaat dia terpejam dengan buaian mimpi yang kembali terulang.