Lelaki berpenampilan mewah itu masih berdiri di depan Zhi Ruo yang menatapnya heran. Tak hanya sendiri, tapi lelaki itu datang bersama beberapa pelayan wanita dan dua kereta kuda yang penuh dengan perhiasan dan barang mewah lainnya.
Melihat kedatangan mereka, Yi Yuen segera menghampiri ibunya. “Bu, ada apa? Siapa mereka?”
Lelaki itu menatap Yi Yuen sambil tersenyum. “Maaf, aku ingin melamar ibumu untuk menjadi istriku,” ucap lelaki yang sudah tidak asing baginya. Lelaki yang pernah mencintai ibunya.
Yi Yuen terkejut mendengar ucapan lelaki itu, hingga membuatnya berdiri di depan ibunya sambil memandangi lelaki itu. “Pergilah, ibuku tidak akan pernah menerima lelaki mana pun karena dia mencintai ayahku.”
Zu Min tersenyum kecut mendengar jawaban Yi Yuen. “Zhi Ruo, apa kamu masih mengharapkan lelaki yang tidak jelas itu? Kalau dia mencintaimu, dia pasti ada di sini bersamamu, tapi nyatanya dia telah meninggalkanmu.”
Yi Yuen mencoba menahan amarahnya karena lelaki itu mulai menyudutkan ayahnya. “Tuan, pergilah. Aku dan ibuku tidak butuh pengganti ayah. Walau dia tidak bersama kami, tapi aku yakin di suatu tempat dia masih mengingat kami. Ibuku sampai kapan pun tidak akan bisa melupakan ayahku apalagi menduakannya. Sebaiknya, Tuan pergi dan jangan datang menemui ibuku lagi.”
Yi Yuen meraih tangan ibunya dan membawanya masuk ke dalam kedai. Namun, Zu Min tidak tinggal diam. Dia berusaha mengejar mereka karena tidak ingin kehilangan wanita yang sudah membuatnya patah hati di masa lalu. Dia ingin mendapatkan kembali wanita yang dulu membuat hatinya bergetar hingga saat ini.
“Zhi Ruo, aku mohon dengarkan aku.” Zu Min berusaha mengejar, hingga Zhi Ruo menghentikan langkahnya dan menatap lelaki itu.
“Pergilah, aku rasa tidak ada yang perlu aku jawab karena putriku sudah memberi jawabannya. Aku tidak akan pernah mencintai lelaki mana pun selain ayah dari putriku. Zu Min, jangan lagi buat kesalahan yang sama karena aku tidak ingin membencimu. Aku rasa, kamu tahu siapa yang sudah membuat ibuku menderita dan akhirnya mati tanpa ada aku di sisinya. Mana mungkin aku akan menerima lelaki yang pernah menyakiti hatiku? Pergilah, dan jangan pernah menemuiku lagi!”
Zhi Ruo kemudian pergi meninggalkan Zu Min yang kini merasa kecewa dan penolakan untuk kedua kalinya. Kekecewaan yang membuat air matanya jatuh karena peristiwa silam yang telah membuat luka. Luka yang sudah ditorehkan, hingga membuat wanita yang dicintainya kecewa.
Dengan perasaan kecewa, Zu Min akhirnya meninggalkan tempat itu. Pergi meninggalkan harapan cinta yang nyatanya tak akan pernah bisa terbalas.
Zhi Ruo tampak duduk ditemani Yi Yuen yang menggenggam tangannya erat. Wajah cantik wanita itu masih terukir sempurna walau usianya sudah tak lagi muda. Senyuman perlahan terukir di bibirnya seraya membelai lembut kepala putrinya yang duduk di depannya. “Terima kasih, Nak.” Yi Yuen mengangguk dan memeluk ibunya yang perlahan menitikkan air mata.
Peristiwa tadi telah membuat kerinduannya pada sang suami semakin menjadi. Rasa rindu yang membuatnya tertekan dalam senyum yang dipaksakan. Namun, dia sadar karena itu adalah jalan hidup yang harus ditempuh. Jalan yang sudah dipilih saat dirinya berani memulai kembali hubungan terlarang antara dua dunia.
Yi Yuen menyadari kegelisahan hati ibunya. Dengan lembut, gadis itu menghapus air mata ibunya yang kini membasahi wajah. Air mata karena menahan kerinduan yang teramat menyiksa.
“Ibu, istirahatlah. Hari ini, biar aku dan bibi yang akan melayani pasien. Sebaiknya, Ibu istirahat saja dan jangan memikirkan apa pun.”
Yi Yuen kemudian memapah ibunya masuk ke dalam kamar. Wanita setengah baya itu kemudian berbaring dan menatap putrinya yang perlahan meninggalkan kamar setelah menyelimuti tubuhnya dengan selimut.
“Putriku, andai saja Ibu masih punya waktu, sekali saja, Ibu ingin bertemu dengan ayahmu. Ibu ingin memeluknya dan menceritakan tentang dirimu. Andai semesta mengizinkan, Ibu ingin meninggalkan dunia ini di dalam pelukannya.” Zhi Ruo menangis mengingat wajah suaminya yang tak pernah hilang dari ingatannya. Wajah tampan nan rupawan dan penuh kasih sayang.
Dalam tangis, Zhi Ruo memejamkan matanya dan berharap bertemu sang kekasih hati di dalam mimpinya.
Sementara Qiang yang menyaksikan peristiwa itu, mulai mendapat jawaban. Dia akhirnya tahu, kalau ibu dan anak itu sangat merindukan sang ayah. Rindu untuk dapat kembali bersua dan saling mencinta. Tanpa sadar, air matanya jatuh saat melihat kesetiaan seorang wanita yang menanggung kerinduan dan penantian cinta yang tak kunjung berakhir.
Tak hanya itu, diam-diam Qiang memerhatikan Yi Yuen yang terlihat terampil saat melayani pasien yang datang berobat. Seakan tak punya beban, gadis itu bersikap biasa saja walau sebenarnya ada perasaan sedih yang menggelayut di benaknya.
“Dewi Yi, ada apa? Apa Dewi masih memikirkan masalah tadi?” tanya Ling yang sadar dengan sikap Yi Yuen. Gadis itu terkadang termenung dan tidak fokus dengan pekerjaannya.
“Aku memikirkan ibu. Aku tahu, ibu sangat sedih karena merindukan ayah. Andai aku mampu, aku akan mencarinya dan membawanya untuk menemui ibu.” Yi Yuen terlihat sedih hingga dia memaksa tersenyum saat Li, bocah lelaki itu menuju ke arahnya.
“Li, apa kamu juga merindukan orang tuamu? Ah, aku sangat merindukan ayahku. Sekali saja, aku ingin bertemu dengannya dan memeluknya.” Yi Yuen menghapus air matanya dan kembali berusaha untuk tersenyum di depan bocah itu.
Sekali lagi, Qiang tersenyum dan meraih tangan gadis itu. “Semoga keinginanmu dapat segera terwujud.” Yi Yuen mengangguk dan kembali mengucek lembut rambut bocah itu.
Setelah kejadian itu, Qiang akhirnya pergi menemui Li Quan yang sudah menunggunya di taman langit. Lelaki itu seakan tak sabar untuk mendengar kabar dari muridnya itu.
“Apa? Jadi, istri dan anakku masih menungguku? Apakah mereka tidak membenciku?” Li Quan seakan tak percaya saat mendengar penuturan muridnya itu.
“Guru, nyonya sangat mencintai Guru dan selalu menunggu kedatangan Guru, hingga membuatnya menolak lamaran yang datang padanya.”
Seketika, kening Li Quan mengerut. “Lamaran?”
“Kemarin, ada seorang lelaki yang datang untuk melamar nyonya dan mereka sepertinya saling mengenal. Yang aku tahu, lelaki itu sudah mencintai nyonya sejak dulu. Namun, nyonya menolak karena tidak ingin mengkhianati Guru. Baginya, Guru adalah lelaki pertama dan terakhir untuknya.”
Air mata Li Quan perlahan jatuh. Dia tidak menyangka, ternyata Zhi Ruo masih setia menunggunya. Bahkan, wanita itu rela hidup dalam kesendirian demi cinta dan kesetiaan yang diperuntukkan baginya. Sementara dirinya, telah mengkhianati dengan menikahi wanita lain dan bahkan memiliki seorang anak dari pernikahannya itu. Li Quan mengepalkan kedua tangannya karena menahan rasa penyesalan yang teramat dalam.
“Qiang, besok aku akan menemui mereka. Bersiaplah, karena aku tidak ingin menyesal karena sudah membuat mereka menunggu. Aku harus menemui mereka.”
Qiang mengangguk dan meminta undur diri. Sebelum kembali, dia memutuskan singgah di kediamannya untuk beristirahat sejenak. Baru saja dia menapakkan kaki di depan halaman, dia dikejutkan dengan kehadiran Putri Anchi yang kini tersenyum ke arahnya.
Gadis itu berjalan perlahan sambil membawa kotak makanan yang dibungkus kain sutera. Sambil tersenyum dengan sikapnya yang manja, gadis itu meraih tangan Qiang dan mengajaknya duduk di serambi depan rumah. Kotak makan lantas dibuka dan mempersilakan pemuda itu untuk mencicipinya. “Makanlah, aku sendiri yang membuatkannya untukmu. Kamu pasti lelah karena harus mengerjakan perintah ayahku,” ucapnya sambil mengambil beberapa potong kue dan meletakkannya di sebuah piring kecil.
Qiang tersenyum dan menerima piring berisikan potongan kue dan mulai mencicipinya. “Wah, ternyata kamu tak hanya cantik, tapi kamu juga rupanya pandai memasak. Suamimu kelak pasti akan sangat bahagia.”
Putri Anchi tersenyum malu. Gadis itu terus memerhatikan pemuda yang kini duduk di depannya. Pemuda yang sudah membuatnya jatuh cinta dalam diam.
Setelah bercengkerama sebentar, Putri Anchi memutuskan untuk kembali. Qiang mengantarnya, hingga di depan pintu gerbang dan kembali masuk ke dalam rumahnya setelah gadis itu pergi. Rumah sederhana yang sudah ditempatinya sejak dulu dalam kesendirian tanpa keluarga.
Di atas pembaringan, pemuda itu menghempaskan tubuhnya dan memejamkan mata. Perlahan, dia menyentuh rambutnya dan menguceknya pelan sama seperti yang biasa dilakukan Yi Yuen padanya. Seuntai senyum terukir di bibirnya dengan mata yang masih terpejam. Wajah seorang gadis manis mulai bermain di pikirannya. Wajah yang membuatnya melupakan mimpi yang selama ini terus mengganggunya.
“Yi Yuen, apakah aku mulai menyukaimu? Apakah aku juga harus bernasib sama seperti ayahmu yang mencintai seorang manusia dan terpaksa melepaskan cintanya itu?”
Kembali perasaannya terusik saat benih-benih cinta perlahan mulai tumbuh seiring kebersamaan mereka. Sudah cukup baginya untuk mengetahui siapa Yi Yuen sebenarnya. Gadis baik hati yang selalu ramah pada setiap orang. Gadis manis yang selalu tersenyum ke arahnya dan mengucek lembut rambutnya yang ikal. Entah mengapa, saat bersama gadis itu, hatinya merasa tenang dan tak memikirkan apa pun. Seakan ada perasaan ingin melindungi, hingga membuatnya bingung dengan apa yang dia rasakan.
Bahkan, mimpi tentang seorang gadis yang terlihat samar-samar menangis di depannya, kini berganti dengan wajah seorang gadis yang tersenyum padanya. Gadis yang nyatanya begitu dekat, hingga membuat jantungnya berdetak hebat karena senyuman itu.
Qiang perlahan menyentuh dadanya sambil bangkit dan duduk di atas ranjang. Bibirnya menyunggingkan senyum tatkala mengingat Yi Yuen yang tak bisa lepas dari ingatannya. “Ah, apa ini yang dinamakan cinta? Apa mungkin, aku telah jatuh cinta pada putri guruku sendiri?”
Pemuda itu kemudian bangkit dan bermaksud untuk berlatih di halaman rumahnya. Dia harus mengasah kemampuannya agar bisa melindungi seseorang yang pantas untuk dia lindungi. Seseorang yang kini telah hadir di dalam relung jiwanya.
Selang beberapa jam kemudian, Qiang memutuskan untuk kembali. Rasanya, dia tidak ingin berlama-lama meninggalkan bumi, di mana gadis yang dikaguminya itu tinggal. Qiang yang sudah mengubah wujudnya menjadi bocah lelaki tampak berlari riang saat menuju ke kedai. Namun, langkahnya terhenti saat tangannya diraih oleh seseorang. Seketika, bocah itu tersenyum saat melihat Yi Yuen yang kini berdiri memandanginya.
“Kamu dari mana saja? Aku sudah lelah mencarimu karena kamu pergi tidak pamit padaku.” Yi Yuen terlihat kesal, tapi tidak bagi Qiang.
“Maaf, aku hanya …. ”
“Sudahlah, seharusnya aku yang minta maaf, karena aku sudah memarahimu. Apa kamu pergi untuk mencari keluargamu? Jika benar, aku tidak akan menahanmu lagi. Pergilah.” Yi Yuen lantas berbalik dan pergi meninggalkan Qiang yang perlahan mengikuti langkahnya dari belakang, hingga mereka tiba di satu bukit kecil yang dipenuhi rumput hijau dan beberapa tanaman bunga.
Di atas hamparan rumput hijau, Yi Yuen duduk dan menyandarkan punggungnya di sebatang pohon pinus yang tidak terlalu besar. Tatapannya tertuju pada hamparan rumput yang bergoyang tertiup angin.
“Li, apa kamu rindu ingin bertemu dengan orang tuamu? Apa mereka juga merindukanmu?”
Pertanyaan Yi Yuen membuat Qiang menatapnya lekat dan dia bisa melihat ada kesedihan di raut wajah gadis itu. Benar saja, air mata gadis itu perlahan jatuh, hingga membasahi wajahnya yang kini menunduk.
“Jangan menangis.” Tangan mungil bocah itu meraih tangan Yi Yuen dan menggenggamnya erat. “Aku yakin, ayahmu juga sangat merindukanmu. Bersabarlah, suatu hari nanti kalian pasti akan bertemu.”
Mendengar ucapan bocah itu, Yi Yuen mengangkat wajahnya dan menatapnya lekat. Air matanya membasahi pipinya dengan isakan tangis yang kini terdengar. Ada perasaan aneh yang kembali Qiang rasakan saat melihat air mata yang basah di wajah Yi Yuen. Wajah yang terlihat sama di dalam mimpinya. Suara tangisan yang terdengar sama. Seketika, dia melepaskan tangannya dan mengalihkan pandangannya ke tempat lain.
“Apa ini? Kenapa aku tiba-tiba menjadi sedih saat melihat dia menangis? Kenapa aku merasa kalau dia bukanlah seseorang yang asing bagiku?” Qiang mencoba mengelak perasaannya, tapi nyatanya rasa itu semakin kuat, hingga membuatnya bangkit dan berlari meninggalkan Yi Yuen yang kini menatap kepergiannya.
Qiang terus berlari dan berhenti di bawah pohon sakura sambil menyandarkan tubuhnya. Kini, dia tidak lagi berwujud sebagai seorang bocah melainkan seorang pemuda tampan yang sedang merasakan dilema. Bayang-bayang masa lalu mulai menyiksa dengan kilasan peristiwa yang terlihat samar-samar. Qiang memegang kepalanya dengan mata yang terpejam, hingga dia membuka matanya saat peristiwa silam melintas di depan matanya.
Seketika, air matanya jatuh saat mengingat seorang gadis yang menangis dan tersenyum ke arahnya. Senyuman dan tangisan dengan sebuah kata cinta yang terucap dari bibirnya. Kata yang menjadi akhir dari sebuah kisah cinta yang harus kandas karena goresan takdir yang tak ingin mereka bersama.
Wajah gadis itu sangatlah nyata. Yi Yuen, wajah gadis yang dilihatnya. Wajah yang perlahan berpendar menjadi butiran cahaya yang menghilang di angkasa.
Qiang terduduk dengan napas tersengal. Air matanya jatuh hingga membuatnya terisak. Kisah di kehidupan masa lalu perlahan terkuak dengan membawa sejuta harapan yang masih tersisa. Harapan yang akan membuatnya meraih kebahagiaan dan membahagiakan seseorang yang ternyata begitu berharga baginya. Entah di saat lalu, ataupun di saat kini.