Reinkarnasi Dewi Keabadian Episode 39

Chapter 39

Beberapa orang lelaki kini menghalangi jalan di depan mereka sambil mengarahkan anak panah ke arah kereta. Yi Yuen mengintip dari balik jendela dan dia terkejut saat melihat anak panah yang melesat ke arah dinding kereta.

“Ibu, menunduk!” Yi Yuen serentak memerintahkan ibunya untuk segera menunduk dan berlindung di saat anak panah dilesatkan ke arah mereka. Suara lesatan anak panah terdengar dan menancap di dinding kereta hingga tembus hingga ke dalam kereta.

Yi Yuen masih menunduk dan melindungi ibunya dengan tubuhnya. Sementara Wang Wei dengan gerakan yang sangat cepat melesat ke atas udara dengan pedang yang berusaha menghalau anak-anak panah yang melesat cepat.

Pemuda itu berhasil mematahkan serangan mereka. Namun, itu hanya bertahan sementara karena para penghalang itu mulai berpencar. Delapan orang mulai mendekati ke arah Wang Wei dengan cara mengepungnya dan lima orang lagi kini mengarah pada sisi kereta karena mengincar Yi Yuen dan ibunya.

Pada saat salah satu dari penghalang ingin membuka pintu kereta, tiba-tiba saja pintu itu terhempas dengan sangat keras. Lelaki itu terpental saat tendangan Yi Yuen mengarah ke perutnya. Melihat teman mereka diserang, keempat orang itu tidak tinggal diam. Mereka menyerang Yi Yuen dari depan pintu kereta dengan pedang yang terhunus. Yi Yuen berusaha menangkis dengan pedangnya sambil melindungi ibunya yang bersembunyi di belakangnya.

Yi Yuen masih terus menghindar, tapi kekuatannya mulai melemah hingga salah satu pedang yang diarahkan kepadanya berhasil melukai lengan kirinya. Darah mengucur dari balik lengan bajunya yang kini telah robek dan basah oleh darah.

Melihat Yi Yuen terluka, Zhi Ruo menjadi panik. Jiwa keibuannya begitu tersakiti saat melihat buah hatinya itu terluka. Melihat darah yang membasahi lengan putrinya itu, Zhi Ruo menitikkan air mata. “Putriku, hati-hati, Nak” seru Zhi Ruo saat melihat pedang salah satu dari mereka mengarah pada putrinya itu.

Di saat yang bersamaan, tiba-tiba saja angin bertiup dengan sangat kecang, hingga membuat pedang yang mengarah pada Yi Yuen terhempas. Keempat lelaki itu seketika termundur ke belakang. Angin yang cukup kencang membuat tempat itu dipenuhi daun kering yang beterbangan hingga menutupi pandangan mereka.

Empat orang yang sudah terlihat kepayahan itu mencoba menutupi mata karena menghindar dari terpaan angin yang semakin kencang. Terpaan angin itu membawa butiran-butiran debu yang beterbangan hingga membuat penglihatan mereka menjadi kabur. Di saat yang bersamaan, satu per satu dari mereka terpental seakan dihantam sesuatu. Suara erangan terdengar saat tubuh mereka sudah tak berdaya di atas tanah.

Yi Yuen yang masih berada di dalam kereta seketika terkejut saat melihat sekelebat bayangan yang kini berdiri di depan pintu kereta. Bayangan yang terlihat seperti sosok manusia itu tiba-tiba menghempaskan kedua sisi dinding kereta hingga terlepas tak besisa.

“Siapa kamu? Apa yang kamu inginkan?” Yi Yuen mencoba menghunus pedangnya ke arah bayangan itu, tapi pedang itu terlepas dari tangannya karena tubuhnya tiba-tiba melemah. Yi Yuen memegang lukanya yang masih mengeluarkan darah dengan suara rintihan yang perlahan terdengar.

Tatapan mata bayangan itu menatap ke arah luka yang dialami Yi Yuen. Suasana di tempat itu yang masih kacau dengan terpaan angin kencang membuat Wang Wei kesulitan melihat keberadaan Yi Yuen. Pemuda itu berusaha mendekat ke arah kereta, tapi terpaan angin seakan menghalangi langkahnya, hingga membuat dirinya tak bisa mendekati kereta itu. Walau terus berusaha mendekat, nyatanya dia hanya berdiri tak bergerak dari tempatnya berpijak.

Tiba-tiba saja, sesosok bayangan berkelebat dengan sangat cepat dan meraih tubuh Zhi Ruo yang memeluk Yi Yuen. Bayangan itu seketika membawa wanita itu dan menghilang di balik pepohonan.

“Ibu!”

Yi Yuen berteriak histeris memanggil ibunya yang kini hilang dari pandangan matanya. Air matanya jatuh saat tangan ibunya berusaha meraih lengannya dan seketika menghilang dari pandangannya.

Yi Yuen berusaha untuk bangkit dan bermaksud untuk mengejar, tapi tubuhnya seakan tak berdaya hingga membuatnya kembali terduduk dengan tubuh yang kini tergeletak di atas kereta. Bayangan yang masih memerhatikannya itu lantas meraih tubuhnya dan kemudian menghilang.

Angin yang bertiup kencang tiba-tiba terhenti saat bayangan itu menghilang. Daun-daun kering yang beterbangan jatuh kembali ke tanah. Debu yang menggumpal perlahan menghilang, hingga menyisakan pemandangan yang membuat Wang Wei tak percaya.

Kereta telah hancur dan kosong tak berpenghuni. Kedua wanita yang dibawa olehnya telah raib. Para penghalang telah terkapar tak berdaya di atas tanah dengan erangan kesakitan.

“Apa yang sudah terjadi?” Pangeran muda yang baru saja datang tampak terkejut melihat pemandangan di depan matanya. “Di mana Yi Yuen dan ibunya?” lanjutnya sambil turun dari atas kuda.

“Entahlah, Pangeran. Aku tidak tahu. Tadi, kami diserang oleh mereka dan tiba-tiba saja angin kencang datang dan menutupi pandanganku. Saat angin itu menghilang, Yi Yuen dan ibunya juga ikut menghilang,” jelas Wang Wei yang terlihat menyesal karena merasa tidak mampu menjaga kedua wanita itu.

Mendengar penjelasan Wang Wei, pangeran muda mulai merasa khawatir. “Jangan berdiam saja. Ayo, kita cari mereka!”

Kedua pemuda itu kemudian naik ke kuda dan menyusuri tempat itu. Mereka menyusuri jalan sambil berteriak memanggil nama Yi Yuen, tapi kedua pemuda itu harus kecewa karena mereka tidak mendapat petunjuk tentang keberadaan Yi Yuen dan ibunya.

Di saat kedua pemuda itu sibuk mencari, sosok bayangan yang membawa Yi Yuen tampak berdiri memerhatikan Yi Yuen yang kini terbaring tak sadarkan diri. Lengan Yi Yuen yang terluka telah dibalut kain. Wajahnya tampak pucat, hingga membuat sosok itu berjalan mendekatinya. “Maafkan aku karena aku terlambat datang menolongmu. Yi Yuen, maafkan aku.”

Sosok seorang pemuda kini duduk di samping Yi Yuen sambil menggenggam erat tangannya. Tangannya yang kekar membelai lembut pipi Yi Yuen dan menyeka sisa peluh yang membasahil dahi gadis itu.

Di dalam goa, Yi Yuen terbaring lemah, hingga perlahan dia terjaga dan terkejut saat dirinya terbaring di atas sebuah batu datar di dalam goa. Dan, yang lebih membuatnya terkejut, seorang pemuda kini menatap ke arahnya. Sontak, Yi Yuen memaksa untuk bangkit, tapi rasa sakit di lengannya dan tubuh yang masih lemah membuatnya tidak bisa bangkit dari tempat itu.

“Siapa kamu? Apa yang sudah kamu lakukan terhadapku? Jangan mendekat! Jika tidak, aku akan membunuhmu!” Yi Yuen meraih tusuk rambut yang ada di sanggulnya, tapi dia terhenti saat melihat ibunya muncul dari pintu goa.

“Putriku, tenanglah.” Zhi Ruo tersenyum dan berjalan mendekatinya.

“Ibu.” Yi Yuen menangis dan berusaha untuk bangkit, hingga Zhi Ruo membantunya untuk duduk. Gadis itu menangis dalam pelukan ibunya yang kini membelai lembut punggungnya.

“Ibu, jangan tinggalkan aku lagi. Aku mohon, jangan lagi Ibu menghilang dariku. Aku tidak ingin kehilanganmu.” Yi Yuen menangis, begitu pun dengan Zhi Ruo yang menitikkan air mata saat mendengar tangisan anaknya itu.

“Sudahlah, jangan menangis. Ibu janji, Ibu tidak akan meninggalkanmu lagi.”

Yi Yuen mengangguk sambil memeluk ibunya yang tidak ingin dia lepasakan, hingga dia melihat seorang lelaki perlahan berjalan ke arah mereka. “Bu, siapa mereka?”

Zhi Ruo melepaskan pelukan anaknya itu dan menatap lekat ke arahnya. Tangannya yang lembut menyentuh kepala Yi Yuen dengan senyum yang terlihat berbeda. Senyuman yang selama ini tidak pernah dilihat sebelumnya.

“Dia adalah ayahmu.” Zhi Ruo berucap dengan wajah bahagia. Raut kebahagiaan bergitu terpancar dari wajah cantiknya itu. Lelaki yang dimaksud olehnya kini perlahan mendekat dan duduk di sampingnya dengan tangan yang saling menggenggam erat.

“Putriku, maafkan Ayah.”

Ya, lelaki itu adalah Li Quan. Lelaki yang masih terlihat tampan dan gagah itu adalah ayahnya. Ayah yang selama ini sangat ingin dijumpainya. Dan kini, di depannya, ayahnya tersenyum sambil membelai lembut puncak kepalanya.

Air mata Yi Yuen perlahan jatuh karena melihat sosok yang sangat dirindukannya itu. Sontak, gadis itu memeluk sang ayah dengan isak tangis yang perlahan terdengar. “Ayah, aku sangat merindukanmu.” Yi Yuen memeluk ayahnya dengan erat seakan tidak ingin melepaskan. Zhi Ruo yang melihat mereka turut menangis, hingga membuat Li Quan meraih tubuhnya dan memeluk kedua wanita yang berarti dalam hidupnya itu.

Kaluarga kecil yang sempat terpisah, kini telah bersatu dalam pelukan yang enggan untuk dilepaskan. Ketiganya menangis bahagia dan mencurahkan rasa rindu yang selama ini tersimpan dalam diam.

“Ayah, aku mohon, jangan tinggalkan aku dan ibu lagi.” Yi Yuen meminta pada Li Quan yang perlahan melepaskan pelukannya.

“Putriku, Ayah …. ”

“Sudahlah, jangan dibahas dulu. Untuk saat ini, kita fokus saja pada lukamu. Ibu sudah mengobati lukamu itu dan dia akan menjagamu di sini.” Tunjuknya pada Qiang. “Ada hal yang ingin Ibu bicarakan dengan ayahmu. karena itu, tetaplah di sini. Kami akan segera kembali.”

Zhi Ruo melangkah keluar dan diikuti Li Quan yang berjalan mengikutinya. Di depan goa yang tidak asing baginya, Zhi Ruo duduk di bangku kayu yang masih terlihat kokoh di pinggir taman kecil yang sudah tidak terawat. Zhi Ruo menatap kolam yang masih digenangi air dengan gemiricik dari anak air terjun yang mengalir deras.

Li Quan berjalan mendekati Zhi Ruo yang kini memunggunginya. Lelaki yang terlihat gagah itu lantas memeluk istrinya dari belakang. Seketika, Zhi Ruo memejamkan matanya dengan air mata kebahagiaan yang perlahan membasahi pipinya. Kehangatan pelukan dari sang kekasih hati yang sudah lama tak dirasakannya. Bagaikan sebuah mimpi, Zhi Ruo menggenggam tangan Ling Quan dengan erat saat lelaki itu mengecup pipinya.

“Istriku, maafkan aku. Aku sudah membuatmu lama menunggu. Aku sangat merindukanmu.” Li Quan mengeratkan pelukannya seakan tidak ingin melepaskan kekasih yang tak pernah hilang dari ingatannya. Kekasih yang terpisah sejak sekian lama dan akhirnya berjumpa dalam pelukan hangat yang membuatnya enggan untuk berpisah.

“Kembalilah,” ucap Zhi Ruo dengan air mata yang semakin membasahi wajahnya. Li Quan terkejut, tapi tidak membuatnya melepaskan pelukannya.

“Aku akan kembali, tapi tidak sekarang. Aku ingin melepaskan rinduku padamu dan putri kita. Biarkan aku memelukmu dan melepaskan rasa rinduku ini.” Li Quan bergeming, hingga Zhi Ruo melepaskan pelukannya.

“Aku merindukanmu hingga membuatku hampir mati. Aku merindukanmu, tapi aku hanya bisa berharap bertemu denganmu di dalam mimpiku. Dan sekarang, kamu datang dan membuatku bahagia. Li Quan, aku tidak ingin lagi menanggung rindu. Karena itu, kembalilah ke Istana Langit agar aku tidak lagi merasakan kehilangan yang akan kembali menyiksaku. Aku mohon, jika kamu ingin pergi, maka pergilah sekarang.”

Zhi Ruo menangis sambil memukul dada Li Quan pelan. Li Quan lantas meraih tubuh istrinya itu kembali ke dalam pelukannya dan mengecup mesra bibir yang sudah lama tak dijamahnya. Zhi Ruo memejamkan mata karena sentuhan lembut yang kini membuatnya tak berdaya. Saat ini adalah saat paling membahagiakan baginya, tapi juga akan menjadi saat yang menyakitkan jika dia harus kembali mengalami perpisahan.

“Istriku, mulai sat ini, aku akan selalu datang menemuimu. Aku tak ingin lagi menanggung beban kerinduan yang menyiksa kita berdua. Aku akan datang untuk bertemu denganmu dan juga putri kita. Aku tak ingin lagi kita berpisah.”

Zhi Ruo mengangguk dan memeluk tubuh Li Quan dengan erat. Dia pasrah dan menyembunyikan wajahnya di balik dada bidang sang suami yang kini membawanya ke padang rumput tempat di mana mereka pernah memadu kasih. Di dalam pelukan Li Quan, Zhi Ruo tersenyum sambil menyentuh wajah suaminya yang sama sekali tidak berubah.

“Wajahmu masih sama seperti dulu. Kamu masih terlihat tampan, sedang aku …. ”

“Jangan katakan apa pun, karena bagiku wajahmu masih cantik sama seperti dulu. Apa kamu pikir aku akan meninggalkanmu karena rambutmu telah memutih? Istriku, aku ingin mendampingimu hingga kita menua bersama, tapi wajahku ini ditakdirkan tidak akan menua. Walau begitu, kamu tetaplah wanita yang tercantik bagiku.”

Zhi Ruo tersenyum dan kembali menyandarkan kepalanya di dada suaminya itu, hingga mereka tiba di padang rumput yang terlihat masih sama seperti dulu. Embusan angin nan lembut menyambut kedatangan mereka seakan tahu kalau kedua insan itu tengah berbahagia.

Sementara Yi Yuen, masih duduk di atas batu datar yang tak asing baginya. Goa yang menjadi tempat tinggalnya sejak lahir itu masih terlihat sama. Namun, bukan itu yang kini diperhatikan olehnya, melainkan Qiang yang masih berdiri menatapnya dalam. Tatapan pemuda itu seakan menyimpan sejuta pertanyaan, hingga membuat Yi Yuen menundukan wajahnya.

“Apa yang kamu lihat? Apa kamu tidak pernah melihat wanita yang sedang terluka?” tanya Yi Yuen yang masih menundukkan wajahnya.

“Kenapa kamu menunduk? Apa kamu tidak ingin melihatku?”

Yi Yuen mengangkat kepalanya dan kembali menatap pemuda yang terus melihat ke arahnya itu.

“Untuk apa aku harus melihatmu? Ah, apa kamu ingin menagih rasa terima kasih dariku karena sudah membawaku ke sini?” tanya Yi Yuen yang terlihat kesal. “Baiklah, terima kasih karena kamu sudah membawaku ke tempat ini, tapi siapa kamu dan kenapa kamu bisa bersama dengan ayahku? Apa kamu juga seorang dewa?”

“Siapa aku?” Qiang tampak kecewa karena Yi Yuen sama sekali tidak mengingatnya.

“Aku adalah murid ayahmu dan namaku adalah Qiang.”

Sontak, Yi Yuen menatap wajah pemuda itu dalam-dalam. Wajah yang coba untuk diingatnya dengan sebuah nama yang tak asing di telinganya. “Qiang?”


Reinkarnasi Dewi Keabadian

Reinkarnasi Dewi Keabadian

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2020 Native Language: Indonesia
Gemuruh petir menggelegar di atas langit mendung. Rintik air hujan perlahan turun dengan derasnya dan membasahi ranting pepohonan di dalam hutan. Di mulut goa, terlihat seorang gadis sedang berteduh sambil membersihkan rambut dan wajahnya dari percikan air hujan. Wajahnya tampak gelisah karena khawatir hujan tidak akan reda. Melihat langit yang mulai senja dengan mendung yang menyelimutinya, gadis itu mulai memanjatkan doa, berharap hujan yang makin deras itu akan segera reda.   Terlihat, mulut gadis itu komat-kamit sambil memejamkan matanya. Wajahnya yang cantik, tampak anggun saat matanya terpejam. Doa-doa yang dipanjatkan setidaknya menjadi kekuatan tersendiri baginya. Walau doa tak henti dia panjatkan, nyatanya hujan tak juga reda. Bahkan, hujan turun semakin deras dengan suara petir yang menggelegar bersahutan....Penasaran dengan kelanjutannya? yuk segera dibaca ceritanya...

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset