Yi Yuen terbaring di dalam sebuah ruangan. Sudah dua hari gadis itu tidak sadarkan diri. Ling yang duduk di sampingnya terlihat begitu sedih karena Yi Yuen selalu mengigau menyebut nama kedua orang tuanya. Keringat membasahi wajah Yi Yuen. Demam yang dideritanya sejak malam peristiwa itu belum juga menurun. Tubuhnya menggigil dengan bibir yang memucat.
“Bagaimana keadaannya?” tanya Pangeran Muda saat Ling baru saja keluar dari ruangan itu.
“Entahlah, aku sendiri bingung dengan apa yang dialaminya,” jawab Ling yang terlihat cemas.
“Ayolah, teman-teman. Kalian harus percaya kalau Yi Yuen tidak akan mudah menyerah. Aku yakin, dia pasti akan segera siuman dan kita akan membantunya.” Wang Wei terlihat lebih optimis dan semangat itulah yang membuat mereka semua yakin kalau Yi Yuen akan baik-baik saja.
Sementara Yi Yuen, mengalami mimpi yang membuatnya tiba-tiba terjaga. Napasnya turun naik. Matanya menatap sekitar ruangan yang terlihat asing baginya. Perlahan, dia kembali memejamkan matanya dan mencoba mengingat kembali penggalan mimpi yang melintas di kepalanya. Tanpa menunggu lama, gadis itu kemudian turun dari atas tempat tidur, tapi rasa pusing membuat kakinya tidak kuat menopang tubuhnya sendiri hingga membuatnya terjatuh di atas lantai.
Mendengar suara orang terjatuh, Ling bergegas masuk ke dalam ruangan dan diikuti sahabat-sahabatnya. Mereka terkejut saat melihat Yi Yuen terduduk di atas lantai. Mereka lantas membantunya untuk duduk kembali di atas tempat tidur.
Melihat Yi Yuen yang telah sadar membuat Ling segera memeluk gadis itu. “Dewi, syukurlah kamu sudah sadar.” Ling menangis hingga membuat Yi Yuen ikut menangis.
“Bibi.” Yi Yuen membalas pelukan Ling dan menangis di dalam pelukan gadis itu. Dia menangis karena mengingat kedua orang tuanya dan juga Qiang yang telah meninggalkannya. Melihatnya menangis membuat Wang Wei, Kangjian, dan Pangeran Muda yang juga ada di ruangan itu turut menangis. Sesaat, mereka hanyut dalam kesedihan, tapi itu tidak berlangsung lama. Yi Yuen perlahan melepaskan pelukan dari Ling dan menatap sahabatnya satu persatu. “Terima kasih karena kalian sudah bersamaku hingga kini. Aku tidak akan pernah melupakan kalian.”
“Yi Yuen, apa maksudmu? Apa kamu juga bermaksud pergi meninggalkan kami?” tanya Wang Wei yang curiga dengan ucapan gadis itu.
Yi Yuen seketika menunduk dan menyembunyikan air matanya. Sungguh, dia merasakan sedih yang teramat dalam karena perlahan, ingatan di masa lalunya telah muncul. Di dalam mimpi, semua kejadian di masa lalunya hadir kembali. Dia sadar, kerena dirinyalah banyak orang yang telah mati. Tak hanya penduduk, tapi orang-orang yang dekat dengannya juga akan terluka.
“Yi Yuen, tenanglah. Kami tidak akan meninggalkanmu.” Pangeran Muda berucap dengan sungguh-sungguh dan diaminkan sahabatnya yang lain.
Yi Yuen mengangkat wajahnya dan menatap semua sahabatnya itu. “Maafkan aku. Aku hanya tidak ingin kalian bernasib sama seperti orang-orang yang telah pergi karena diriku. Aku tidak bisa terus berada di dekat kalian karena kalian bisa saja mati.” Yi Yuen menitikkan air mata saat mengatakan itu semua. “Aku berjanji, akan membuat mereka menyesal karena telah mengambil orang-orang yang aku cintai dari sisiku dan aku mohon, biarkan aku pergi agar kalian tidak tersakiti,” lanjut Yi Yuen.
Sesaat, mereka terdiam. Namun, Kangjian yang sedari tadi tidak bersuara perlahan mendekatinya. “Nona, kemanapun kamu pergi, aku akan ikut. Walau aku tahu aku tidak bisa membunuh mereka, tapi setidaknya biarkan aku menunaikan janjiku pada ibumu. Aku tidak bisa mengingkari janjiku padanya yang memintaku untuk selalu ada untuk melindungi dan membantumu. Nona, tolong bantu aku menunaikan janjiku.” Kangjian lantas berlutut di depan Yi Yuen. Melihatnya, Yi Yuen kembali menitikkan air mata.
“Yi Yuen, aku juga akan melakukan hal yang sama karena aku tidak ingin penduduk negeri ini menjadi korban mereka. Apapun yang kamu butuhkan, katakan saja padaku, aku akan memberikannya untukmu,” ucap Pangeran Muda menambahkan.
Melihat ketulusan teman-temannya, Yi Yuen akhirnya luluh. Dan sejak saat itu, dia telah memutuskan untuk tidak meninggalkan teman-temannya. Yi Yuen diperkenankan untuk menempati salah satu ruangan yang ada di dalam istana atas perintah Pangeran Muda. Bersama Ling, mereka berdua menempati ruangan itu dan mulai membaca kitab yang diberikan Dewi Bulan padanya.
Rupanya, Dewi Bulan sudah mempersiapkan kitab itu sejak lama. Kitab yang berisikan tentang kejadian di masa kalu yang membuat Dewi Keabadian menghilang dan siapa saja yang menjadi tersangka yang dicurigainya. Tak hanya itu, Dewi Bulan juga menuliskan tentang kekuatan dan kelemahan dari orang yang dicurigainya itu.
Yi Yuen begitu serius membaca apa yang tertulis di dalam kitab hingga dia akhirnya tahu siapa yang kini menjadi musuhnya.
Dewa Perang adalah salah satu dewa yang sangat ditakuti di masa lalu. Dialah yang telah mengusir Dewa Hitam keluar dari Istana Khayangan. Apapun yang berkaitan dengan kejahatan, dialah yang akan mengurusnya. Penghuni Istana Khayangan sangat segan padanya. Kekuatan dan ketegasannya dalam membasmi kejahatan di Istana Khayangan tidaklah main-main. Bahkan, dia tidak akan segan-segan membunuh pelaku kejahatan tanpa diinterogasi terlebih dulu. Namun, kekuatan dan kekuasaan yang dimilki olehnya dalam membasmi kejahatan telah membuatnya besar kepala. Lelaki itu mulai bersikap angkuh dan bertindak sesuai apa yang dia inginkan, hingga dia melakukan kesalahan yang membuat kekuasaannya itu dicabut.
Saat itulah, Dewi Keabadian terpilih untuk menggantikannya. Kekuatan dan sikap Dewi Keabadian dinilai mampu untuk mengemban tugas sebagai pembasmi kejahatan di Istana Khayangan ataupun di alam roh. Karena itulah, Dewa Perang sangat membencinya. Tak hanya itu, Dewi Keabadian rupanya mampu mengemban setiap tugas yang diberikan padanya dengan sangat baik. Walau tegas dan tidak kenal ampun, tapi Dewi Keabadian tidak bersikap sesuka hatinya. Karena itulah, dia menjadi mata-mata yang dipercaya oleh Raja Istana Khayangan yang berkuasa di saat itu.
Yi Yuen masih terus membaca dan perlahan-lahan dia mulai mengingat semuanya. Dia ingat di saat terakhirnya dulu, dia sempat mencurigai Dewa Perang. Lelaki itu akan melakukan pemberontakan di Istana Khayangan dan berkomplot dengan makhluk menyeramkan.
Yi Yuen mengepalkan kedua tangannya saat penggalan peristiwa di masa lalu kembali diingat olehnya. Matanya memerah menahan amarah dan juga air mata atas kejadian di masa lalu. Dan kini, semua telah diingatnya, tapi kekuatannya saat ini tidak cukup untuk melawan Dewa Perang yang memiliki kekuatan yang dahsyat. Lelaki itu memiliki senjata yang sangat mematikan. Sebuah cambuk berwarna hitam, mampu menghancurkan apa saja yang ada di depannya dalam sekali cambukan.
Yi Yuen kembali membaca tulisan yang ada di dalam kitab itu dan pandangan matanya tertuju pada satu kalimat yang membuatnya memiliki kesempatan untuk bisa membalaskan dendamnya. “Jadi, ada seseorang yang bisa membantuku untuk mengalahkan Dewa Perang? Tapi, apa mungkin orang itu mau bertemu denganku?”
Yi Yuen menutup kitab dan bangkit menuju halaman yang saat itu dipenuhi guguran daun-daun kering. Daun pohon sakura betebaran dan menutupi jalan setapak di halaman ruangan itu. Kembali, dia teringat akan kebersamaannya dengan ibunya saat musim gugur yang lalu. Mereka terlihat bahagia saat menikmati minum teh bersama dan menyicipi kue bulan buatan ibunya. Sepenggal kenangan bersama ibunya, kembali membuat air bening menggantung di pelupuk matanya.
Suasana kekeluargaan yang pernah dia rasakan, kini tak akan lagi dia rasakan. Semua telah hilang bersama kepedihan yang kembali merasuk di hatinya. Sejenak, Yi Yuen menunduk dan air bening itu jatuh membasahi tangannya.
“Apa yang kamu lakukan di sini? Ayo masuk.”
Yi Yuen mengangkat kepalanya saat mendengar suara Pangeran Muda yang berseru di depannya.
“Kenapa? Ayo masuk! Kita akan minum teh dan makan kue bulan bersama,” lanjut Pangeran Muda yang juga datang bersama Kangjian, Wang Wei, dan Ling yang meraih tangannya dan mengajaknya duduk di dalam ruangan.
Dua orang pelayan tampak menyiapkan aneka kudapan dan minuman teh di atas meja. Setelah selesai menyiapakn sesuai yang diperintahkan Pangeran Muda, kedua pelayan itu kemudian pergi.
Di depan sebuah meja bundar, kelima sahabat itu duduk. Pangeran Muda lantas menuangkan setiap cangkir yang ada di atas meja dengan minuman teh melati yang sudan disiapkan. “Ayo, kita bersulang untuk menghormati setiap orang yang tewas pada saat itu.” Pangeran Muda mengangkat cangkirnya dan diikuti oleh teman-temannya, tak terkecuali Yi Yuen.
Dalam sekali tegukan, teh di dalam cangkir telah habis. Ling lantas menuangkan kembali setiap cangkir yang telah kosong.
“Teman-teman, ada yang ingin aku bicarakan dengan kalian,” ucap Yi Yuen sambil menatap sahabat-sahabatnya itu.
“Katakan saja, apa yang ingin kamu bicarakan dengan kami,” jawab Pangeran Muda yang terlihat penasaran.
“Aku harus pergi.”
“Dewi, apa ada petunjuk dari kitab itu?” tanya Ling seakan paham dengan ucapan Yi Yuen.
Yi Yuen mengangguk. “Aku harus mencari seseorang yang bisa membantuku mengalahkan Dewa Perang. Jika aku ingin membalaskan dendam, aku harus bertemu dengannya karena dia yang tahu semua kelemahan dari Dewa Perang. Jika tidak, sampai kapanpun aku tidak akan bisa membalaskan dendam untuk orangtuaku dan Qiang.”
“Lalu, kamu akan mencarinya ke mana?” tanya Wang Wei.
“Menurut yang tertulis di kitab, aku bisa saja menemukannya di Gunung Taishan, tapi itu jika aku beruntung. Jika tidak, maka aku harus tetap bertahan di atas gunung itu hingga berhasil bertemu dengannya.”
Untuk sesaat, mereka terdiam. Karena itu berarti, peluang bertemu dengan orang yang di maksud di dalam kitab tidaklah mudah. Jika tidak beruntung, Yi Yuen bisa saja menunggu hingga seumur hidupnya dan itu berarti kesempatan untuk membalas dendam semakin menipis.
“Jangan khawatir, karena aku yakin pasti bisa menemukannya.” Yi Yuen berusaha meyakinkan teman-temannya atas keputusannya itu.
“Lalu, kapan kamu akan pergi?” tanya Pangeran Muda.
“Besok pagi.”
“Nona, izinkan aku ikut denganmu!” Kangjian tiba-tiba berlutut di depan Yi Yuen.
“Kangjian, bangkitlah. Aku tahu kamu peduli padaku, tapi kali ini aku tidak bisa membawamu ikut bersamaku.”
“Aku mohon, Nona. Biarkan aku ikut. Aku janji tidak akan meyusahkanmu. Aku mohon, biarkan aku ikut, Nona!” Kangjian semakin menunduk hingga kepalanya menyentuh dasar lantai.
Melihat Kangjian yang kokoh dengan pendiriannya itu, Ling akhirnya ikut berlutut di depan Yi Yuen. “Aku juga akan ikut bersamamu. Setidaknya, biarkan aku menemanimu. Kami berdua akan selalu siap menjaga dan melindungimu. Dewi, mohon pertimbangkan untuk membawa kami ikut bersamamu.” Ling kembali menunduk seperti yang dilakukan Kangjian.
Melihat mereka, Yi Yuen akhirnya luluh. “Baiklah, baiklah. Kalian berdua boleh ikut,” ucap Yi Yuen sambil meneguk teh di cangkirnya dengan kasar. Walau begitu, mereka tahu kalau gadis itu sengaja menyembunyikan rasa terharu melalui sikapnya yang terlihat marah.
Kangjian dan Ling lantas bangkit dan kembali duduk di depan meja. Mereka terlihat bahagia saat mendapat persetujuan Yi Yuen untuk membawa mereka bersamanya.
“Karena besok pagi kalian sudah harus pergi, maka kita habiskan hari ini bersama. Ayo, kita bersulang untuk keberhasilan perjalanan kalian.”
Kembali, mereka bersulang dan memanjatkan doa demi keberhasilan perjalanan mereka. Di saat menjelang malam, kebersamaan mereka harus berakhir. Pangeran Muda kembali ke kediamannya. Begitupun dengan Wang Wei dan Kangjian yang juga kembali ke kamar mereka. Kini, yang ada di ruangan itu hanyalah Yi Yuen dan Ling yang masih duduk di depan meja.
“Sebaiknya, aku mempersiapkan semua keperluan kita untuk perjalanan besok,” ucap Ling sambil menuju sebuah lemari kecil.
Yi Yuen hanya memperhatikannya hingga pandangannya teralihkan pada kitab yang kini dibuka olehnya. “Aku harus bisa menemukan orang itu. Apapun yang terjadi, aku harus menemukannya.”
Sementara di Istana Khayangan, Dewi Bulan tampak termenung. Wanita itu sedang mengenang putranya dan memikirkan Yi Yuen hingga membuatnya tidak menyadari kehadiran suaminya yang baru saja masuk ke dalam ruangan.
“Istriku, apa yang kamu pikirkan?” tanya lelaki yang terlihat tenang dan berkharisma itu.
Dewi Bulan menatapnya dan tak lama kemudian memalingkan wajahnya ke tempat lain. Melihat istrinya yang menghindar darinya, membuat lelaki itu menghampiri istrinya itu.
“Apa kamu masih marah padaku?” tanya lelaki itu yang kini duduk di depan istrinya.
Dewi Bulan menatap suaminya itu dengan air mata yang jatuh membasahi wajahnya. “Apa kamu bisa setenang ini setelah kehilangan putramu? Apa kamu tidak ingin mencari penyebab kejadian di waktu itu?” tanya Dewi Bulan dengan tatapan matanya yang memerah.
Lelaki itu terdiam saat melihat tatapan istrinya yang terlihat sedih. Sudah dua purnama sejak kejadian waktu itu dan istrinya masih belum bisa memaafkan dirinya yang dianggap tidak peduli dengan kejadian yang telah merenggut putra mereka.
“Apa kamu juga akan membiarkan Putri Anchi menduduki tahta menggantikan Li Quan? Suamiku, apa kamu tidak bisa membuka hatimu yang sudah tertutup dengan persahabatan walau kamu tahu sahabatmu sendiri yang telah merencanakan semua ini?” Dewi Bulan semakin marah karena melihat suaminya yang hanya terdiam.
Lelaki itu masih terdiam dan tidak membantah apa yang diucapkan istrinya. Dia seakan menerima ungkapan kemarahan istrinya hingga membuatnya memeluk tubuh istrinya yang kini menangis dalam pelukannya. “Maafkan aku.” Hanya itu yang mampu dia ucapkan hingga membuat Dewi Bulan menangis atas ketidakberdayaan suaminya itu.
Tanpa disadari oleh Dewi Bulan, lelaki itu menitikkan air mata karena semua ucapan istrinya itu bagaikan sebuah sembilu yang mengiris hatinya yang kini merasakan sakit atas kepergian putra yang paling disayanginya. Sakit yang harus bisa dia tahan. Dan sakit yang akan terobati, setelah dia menemukan kesempatan untuk bisa membalaskan rasa sakitnya itu.