Sudah dua purnama sejak peristiwa dimana Li Quan menghilang dan tampuk kepemimpinan di Istana Khayangan dibiarkan kosong. Itu sengaja dilakukan untuk menghormati mendiang raja yang telah wafat. Dua purnama adalah waktu berkabung yang sudah ditetapkan sejak zaman dulu. Dan kini, masa berkabung untuk Li Quan telah berakhir.
Di aula istana, para dewa dan dewi sudah berkumpul. Mereka berkumpul untuk menentukan siapa yang akan menduduki singgasana Istana Khayangan selanjutnya.
Terlihat, Dewa Perang hanya berdiri mendengarkan riuh suara yang sedang membicarakan tentang calon pemimpin Istana Khayangan. Sementara di sampingnya, Putri Mu Rong tampak acuh dengan situasi yang baginya tidak terlalu penting karena dia sudah yakin dengan apa yang akan terjadi di dalam rapat itu.
Dewa Perang dan Putri Mu Rong terlihat lebih santai seakan tidak menanggung beban apapun. Rupanya, mereka sudah sangat yakin kalau yang berhak menduduki singgasana adalah Putri Anchi yang merupakan keturunan langsung dari raja sebelumnya, yaitu Li Quan.
Benar saja, mayoritas yang hadir saat itu telah memilih Putri Anchi sebagai penerus selanjutnya. Walau mereka tahu kalau syarat utama untuk bisa menduduki singgasana Istana Khayangan adalah memiliki kekuatan mutiara putih yang sebelumnya dimiliki oleh Li Quan. Walau begitu, tidak ada yang bisa menentang mayoritas suara yang memilih Putri Anchi dan itu otomatis menjadikannya sebagai Ratu Istana Khayangan.
Dewi Bulan terlihat kecewa saat suaminya selaku Dewa Kebijaksanaan mengetuk palu yang menandakan kalau Putri Anchi telah terpilih menjadi Ratu Istana Khayangan. Wanita itu kemudian keluar tanpa menunggu berakhirnya rapat. Dia kecewa karena dia tahu siapa yang lebih pantas menjadi pemimpin selanjutnya. Pemimpin yang memiliki kekuatan mutiara putih yang diberikan langsung oleh Li Quan selaku raja sebelumnya.
Dewi Bulan duduk di ruangannya dan memikirkan nasib Yi Yuen. Dia berharap agar gadis itu mengikuti apa yang tertulis di dalam kitab yang dia berikan. Setidaknya, hanya itu yang bisa dia lakukan. Dan hanya itu yang bisa menentukan berhasil atau tidaknya rencana untuk pembalasan dendam atas kematian putranya.
Yi Yuen yang kini sudah bersiap, tampak menunggangi seekor kuda yang diberikan Pangeran Muda padanya. Semua yang diperlukan selama perjalanan, sudah disiapkan oleh Ling sejak semalam. Kangjian dan Ling juga sudah bersiap di atas kuda tunggangan mereka. Sementara Wang Wei dan Pangeran Muda akan mengantar mereka hingga di perbatasan kota.
Selama dua jam melakukan perjalanan, akhirnya mereka sampai di gerbang perbatasan kota. Yi Yuen menghentikan laju kudanya, begitupun dengan teman-temannya.
“Terima kasih karena kalian berdua sudah mengantarkan kami. Wang Wei, selama kami pergi, bantulah Pangeran Muda untuk mengurus negeri.”
“Jangan khawatirkan aku. Ingatlah, perjalanan kalian masih panjang dan kami berdua akan menunggu hingga kalian kembali,” ucap Pangeran Muda yang berusaha bersikap tenang walau sebenarmya dia begitu mengkhawatirkan sahabat-sahabatnya itu.
“Kangjian, tolong jaga dan lindungi Yi Yuen. Di depan sana, pasti akan ada yang menghalangi perjalanan kalian. Karena itu, lakukan apapun agar kalian bisa selamat dan berhasil menemukan orang yang Yi Yuen cari,” ucap Wang Wei yang tahu betul dengan keadaan di luar sana.
Apa yang dikatakan Wang Wei bukan tanpa alasan. Kawasan di luar perbatasan kota dikenal dengan kawasan yang menakutkan. Hutan-hutan diluar sana dipenuhi dengan para perampok yang bisa muncul kapan saja. Karena itu, Wang Wei memperingatkan sahabat-sahabatnya itu untuk selalu berhati-hati.
“Jangan khawatir, aku akan menjaga Nona dengan baik.” Kangjian terlihat percaya diri karena dia sudah berjanji untuk melindungi Yi Yuen walau harus mengorbankan nyawanya sendiri.
Setelah berpamitan, mereka lantas pergi. Pangeran Muda dan Wang Wei masih berdiri menatap kepergian mereka hingga kedua sahabat itu kembali saat teman-temannya telah menghilang di ujung jalan.
Gunung Taishan yang berada di bagian utara dari kota akan ditempuh dalam perjalanan yang cukup panjang. Mereka harus melewati hutan dan lereng gunung yang menanjak. Tak hanya itu, hutan yang akan mereka lewati adalah hutan yang cukup berbahaya. Pasalnya, hutan itu diketahui sebagai hutan yang di tempati beberapa suku pedalaman. Dan setelah melalui perjalanan yang cukup melelahkan, Yi Yuen dan teman-temannya lantas memutuskan untuk bermalam di hutan itu karena langit mulai terlihat senja.
“Bibi, kita akan bermalam di sini. Sepertinya, tempat ini cukup nyaman untuk kita bermalam. Esok pagi, kita akan melanjutkan perjalanan kembali.”
“Baik, Dewi.”
Kangjian mulai mengumpulkan ranting kering untuk dijadikan api unggun. Suasana malam di dalam hutan itu sangat sepi. Yang terdengar hanyalah suara jangkrik dan lolongan anjing liar dari kejauhan.
Kangjian mulai menyiapkan santap malam. Ubi yang mereka dapatkan selama perjalanan rupanya cukup membantu untuk mengganjal perut mereka. Bekal yang disiapkan sejak awal sudah mulai menipis hingga membuat mereka harus pandai-pandai mencari hasil hutan yang layak untuk dimakan.
Kangjian rupanya sangat pandai dalam hal berburu dan mencari tanaman yang layak untuk dimakan. Di sela perjalanan, pemuda itu masih sempat memanah dua ekor kelinci untuk dijadikan bekal makan malam mereka. Dan hasil buruannya itu kini sedang dipanggang hingga semerbak harum aroma daging panggang menyeruak memenuhi tempat itu.
“Nona, makanlah.” Kangjian menyerahkan daging panggang yang baru saja diangkat dari panggangan pada Yi Yuen. Gadis itu menerimanya dan mulai menyantap daging panggang itu.
Ling yang juga diberi oleh Kangjian kemudian ikut menyantap. Mereka bertiga terlihat akrab. Setelah menghabiskan makan malam, mereka kemudian beristirahat.
“Kalian tidurlah, biar malam ini aku yang akan berjaga,” ucap Kangjian yang sudah bersiap dengan pedang di tangannya.
“Tidurlah, untuk malam ini biar aku yang berjaga. Kamu pasti kelelahan setelah beberapa malam ini terus berjaga. Tenanglah, aku akan baik-baik saja,” ucap Yi Yuen yang menyadari kalau Kangjian sudah terlalu lelah. Pemuda itu rela begadang semalam suntuk hanya untuk berjaga di saat Yi Yuen dan Ling terlelap. Dan kini, pemuda itu tidak bisa mengelak saat kedua matanya tak kuasa untuk terpejam. Rasa kantuk dan lelah membuatnya terlena dalam tidur.
Yi Yuen masih duduk dan menyandarkan punggungnya di batang pohon. Pandangan matanya tertuju pada cahaya bulan separuh yang terlihat di balik pepohonan yang menjulang.
“Dewi, apa yang kamu pikirkan?” tanya Ling yang tiba-tiba duduk di dekatnya sambil menyandarkan punggungnya di pohon yang sama dengan Yi Yuen.
Keduanya kini memandang ke arah yang sama. Bulan sabit yang terlihat cantik dibalik ranting pepohonan. Cahaya bulan malam itu terlihat indah walau tak seterang bulan purnama.
“Bibi, apa kedua orangtuaku dan Qiang di sana baik-baik saja? Apa mereka merindukanku seperti aku yang saat ini merimdukan mereka?” tanya Yi Yuen yang terlihat sedih.
Kesunyian di malam itu membuat Yi Yuen mengingat kembali kebersamaannya bersama orang-orang yang dia cintai. Kebersamaan yang membuatnya sulit untuk melupakan mereka.
“Dewi, yakinlah kalau di sana mereka baik-baik saja. Aku juga yakin kalau mereka pasti merindukanmu sama seperti yang kamu rasakan. Dewi, kuatkan hatimu dan yakinlah kalau kamu pasti bisa membalaskan dendam untuk mereka. Aku yakin, kamu pasti bisa melakukannya.”
Yi Yuen menatap Ling yang tersenyum padanya. Yi Yuen membalas dengan senyum dan anggukan. Dia kembali menatap langit yang dipenuhi pendaran cahaya bintang dan bulan. Dia bersyukur karena memilki sahabat yang peduli dan menyayanginya tulus.
Malam makin larut dan Yi Yuen masih terjaga. Sementara Ling dan Kangjian sudah tertidur pulas. Yi Yuen seakan tak bosan memandangi langit yang menyuguhkan pemandangan yang sangat indah. Hingga dia merasa terusik saat mendengar suara semak seperti diinjak seseorang.
Suara semak yang diinjak tidak membuat Yi Yuen mengalihkan perhatiannya dari menatap keindahan langit. Dia seakan sengaja tidak menggubris suara itu, walau dia tahu suara yang ditimbulkan bukan dari kaki binatang buas atau binatang lainnya. Dia menyadari kalau saat ini dirinya sedang diawasi. Walau begitu, dia tidak beranjak dari tempat duduknya atau mengalihkan pandangannya ke arah semak.
Yi Yuen masih menatap langit dan terus terjaga. Dia menunggu hingga seseorang dibalik semak itu keluar menunjukkan wujudnya, tapi hingga matahari pagi mulai terlihat, tidak ada satupun yang menampakkan diri di depannya.
Pagi itu, Yi Yuen memutuskan untuk memeriksa tempat di mana suara itu terdegar. Yang dilihatnya hanyalah patahan semak bekas terinjak oleh seseorang. Yi Yuen semakin yakin kalau perjalanan mereka kali ini tidak akan berjalan dengan mudah.
“Dewi, ada apa?” tanya Ling saat melihat Yi Yuen yang memperhatikan tempat itu.
“Tidak ada apa-apa. Ayo, sebaiknya kita bergegas.”
Setelah menyantap sarapan pagi yang sudah disiapkan Kangjian, mereka akhirnya kembali melanjutkan perjalanan. Mereka akan memasuki kawasan hutan lebih dalam lagi. Selama perjalanan, Yi Yuen menatap sekitar tempat itu dan dia mulai menyadari ada tatapan mata yang mengarah pada mereka. Tak hanya Yi Yuen, Ling juga merasakan hal yang sama.
“Dewi, apa yang harus kita lakukan?” tanya Ling yang kini berjalan sejajar dengan Yi Yuen.
“Tenanglah, selama mereka belum menunjukkan diri, kita biarkan saja. Terus saja berjalan dan pura-puralah tidak mengetahui keberadaan mereka.”
“Baiklah.” Ling kemudian mendekati Kangjian dan memperingatkan pemuda itu untuk berhati-hati.
Menyadari sedang diawasi, Kangjian sudah bersiap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Begitupun dengan Ling dan Yi Yuen. Namun, saat mereka semakin masuk ke dalam hutan, tiba-tiba saja mereka dihadang oleh beberapa orang lelaki dengan wajah yang ditutupi tinta hitam. Penampilan dari para penghadang itu jauh berbeda dengan penduduk kebanyakan. Mereka mengenakan jubah yang terbuat dari kulit beruang. Kulit mereka berwarna kecoklatan dan memiliki rambut ikal kemerahan.
Beberapa orang lelaki itu terlihat mengarahkan anak panah ke arah Yi Yuen dan teman-temannya. “Turun!” seru salah satu lelaki yang berjalan perlahan mendekati Kangjian dan menarik pemuda itu hingga terjatuh terjerembab di atas tanah.
Kangjian berusaha untuk tetap tenang karena itu yang diperintahkan Yi Yuen padanya. Walau diperlakukan kasar, Kangjian tidak berontak atau melawan. Sementara Yi Yuen dan Ling juga dipaksa turun dari atas kuda. Tangan ketiganya lantas diikat dan dipaksa untuk mengikuti mereka.
Setelah berjalan beberapa meter, mereka melihat satu pemukiman yang tidak terlalu besar. Pemukiman itu terlihat tak biasa. Rumah mereka sangat sederhana dengan atap dari jerami yang telah kering. Rumah berbentuk bundar itu berdiri melingkari satu halaman kosong yang biasa dipakai untuk mereka berkumpul. Dan kini, Yi Yuen dan kedua temannya telah berada di halaman kosong itu dengan posisi terduduk dan terikat kedua tangan.
Mereka kini dikelilingi oleh penduduk desa yang menatap tajam. Anak-anak kecil turut melihat ke arah mereka. Begitupun dengan para wanita. Wajah penduduk itu terlihat berbeda karena tidak tertutup tinta hitam seperti para lelaki yang menangkap mereka.
Yi Yuen menatap para penduduk yang masih mengerubungi dan memperhatikan mereka hingga para penduduk itu membuka jalan saat seorang lelaki paruh baya datang mendekat.
Di depan Yi Yuen, lelaki paruh baya itu berdiri dan memperhatikan mereka bertiga dengan seksama. “Siapa kalian dan kenapa kalian berani masuk ke kawasan hutan milik kami? Apa kalian tidak tahu kalau kami tidak suka diganggu oleh orang luar?” tanya lelaki itu yang menatap lekat ke arah Yi Yuen.
Yi Yuen memperhatikan lelaki itu dan dia bisa tahu kalau lelaki paruh baya itu adalah pemimpin di tempat itu. “Kami tidak bermaksud mengganggu kalian. Hanya saja, kami terpaksa melewati desa kalian karena kami harus pergi ke Gunung Taishan.”
Mendengar Yi Yuen menyebut Gunung Taishan, sontak saja membuat semua orang yang ada di tempat itu saling memandang dan terdengar suara bisik-bisik di antara mereka.
“Gunung Taishan? Apa yang akan kalian lakukan di atas gunung itu? Apa kalian ingin cari mati?” tanya seorang pemuda yang terkejut saat mendengar jawaban Yi Yuen yang terdengar meremehkan Gunung Taishan, gunung yang dianggap tempat keramat bagi mereka.
“Kami harus ke gunung itu karena ada seseorang yang harus aku temui di sana.” Yi Yuen kembali berucap hingga membuat pemuda itu menampar wajahnya. Kangjian dan Ling terkejut saat melihat pemuda itu menampar wajah Yi Yuen. Mereka berdua kemudian berontak ingin melepaskan ikatan dari tangan mereka, tapi Yi Yuen segera menenangkan kedua temannya itu. “Tenanglah, jangan lakukan apapun.”
Kangjian mengepalkan kedua tangannya karena menahan amarah. Begitupun dengan Ling yang berusaha menahan diri. Kalau bukan atas perintah Yi Yuen, saat ini keduanya pasti sudah melawan mereka karena itu bukanlah hal yang sulit bagi keduanya.
“Apa kamu pikir bisa semudah itu sampai di sana? Kami tidak akan membiarkan siapapun pergi ke gunung itu. Apabila kalian bersikeras untuk tetap pergi, itu berarti kalian telah melanggar aturan yang sudah kami buat sejak dulu. Dan hukuman bagi yang melanggar aturan adalah mati. Kalian harus bersiap karena kalian akan mati di tempat ini!” Lelaki paruh baya itu lantas memerintahkan untuk mengurung mereka, tapi tiba-tiba saja, Yi Yuen bangkit dengan ikatan tali yang sudah terlepas. Begitupun dengan Ling dan Kangjian yang kini bangkit sambil memegang pedang yang ada di tangan mereka.
“Aku tidak akan membiarkan siapapun menghalangi jalanku untuk pergi ke Gunung Taishan. Jika ada yang berani menghalangiku, jangan salahkan aku jika aku akan melawan kalian!”
Yi Yuen berucap dengan lantang karena dia sudah mencoba untuk bersabar, tapi dia tidak bisa berkompromi jika mereka berani menghalangi jalannya. Dia tidak akan mundur karena perjalanan menuju Gunung Taishan adalah jalan awal baginya untuk bisa membalaskan dendamnya.