Cahaya keemasan yang memancar dari busur itu membuat semua orang yang ada di tempat itu terkesima. Padahal, sebelumnya busur itu tidak pernah memancarkan cahaya. Dan menurut ramalan, busur itu akan memancarkan cahaya keemasan jika dipegang oleh orang yang ditakdirkan untuk memilikinya.
Melihat busur yang bercahaya di tangan Yi Yuen, semua penduduk desa berlutut dan bersujud di depannya. Mereka percaya, jika gadis itu adalah penyelamat yang telah diramalkan hingga menjadi satu cerita legenda turun temurun dari leluhur mereka.
Yi Yuen masih memegang busur itu hingga cahaya keemasan perlahan mulai memudar. Busur yang terlihat besar, nyatanya tidak terlalu berat saat dipegang olehnya. Busur itu terasa ringan, tapi sebenarnya busur itu tidak akan bisa dipegang oleh orang lain karena benda itu tidak akan bisa diangkat jika bukan oleh pemiliknya sendiri.
“Dewi, maafkan kami karena sebelumnya telah menangkapmu. Kami siap untuk dihukum atas kelancangan kami itu.” Pemimpin desa masih menunduk dan diikuti oleh penduduk desa.
“Bangkitlah, aku tidak akan menghukum kalian, tapi izinkan kami untuk menginap di sini malam ini. Dan besok pagi, kami akan melanjutkan perjalanan ke Gunung Taishan.”
“Silakan, Dewi. Desa ini akan menjadi milikmu dan kami akan siap membantumu. Kami tidak akan melarangmu pergi ke Gunung Taishan, tapi kami berharap agar Dewi lebih berhati-hati karena perjalanan menuju gunung itu tidaklah mudah.”
“Aku mengerti dan aku hargai bantuan kalian. Tapi, selesaikan dulu masalah kalian dengan siluman babi agar tidak ada dendam di antara kalian.”
“Dewi, aku sudah mengikhlaskan dan memaafkan mereka. Aku tidak akan lagi mengganggu penduduk desa ini,” ucap siluman babi dengan yakin.
“Syukurlah, itu lebih baik. Sekarang, bubarlah dan kembalilah ke rumah kalian masing-masing.”
Penduduk desa mulai membubarkan diri dan pergi ke rumah mereka. Sementara Yi Yuen, Ling, dan Kangjian diarahkan menuju salah satu rumah untuk beristirahat.
“Istirahatlah di rumah ini. Besok pagi, aku sendiri yang akan mengantar kalian menuju jalan rahasia untuk lebih cepat menuju Gunung Taishan. Tapi, kalian akan menghadapi beberapa rintangan agar bisa sampai di gunung itu.”
“Aku tahu, tapi aku tidak akan mundur. Terima kasih atas bantuan kalian,” ucap Yi Yuen tulus.
Lelaki paruh baya itu kemudian pamit undur diri. Sementara Yi Yuen, Ling, dan Kangjian memilih beristirahat karena perjalanan mereka esok hari akan semakin sulit.
Malam itu, mereka bisa beristirahat dengan tenang. Hingga pagi menjelang, mereka sudah disuguhkan dengan santapan pagi oleh penduduk desa. Tak hanya itu, mereka juga diberi perbekalan.
“Hanya ini yang bisa kami berikan pada kalian. Kami berharap, Dewi mau menerimanya.”
Yi Yuen mengangguk. “Baiklah, aku akan menerimanya dan terima kasih atas bantuan kalian.”
Setelah selesai sarapan pagi, mereka bertiga lantas pamit untuk kembali melanjutkan perjalanan. Pemimpin desa dan dua orang lelaki tampak menunjukan arah jalan yang harus mereka lalui.
Jalan yang mereka lalui rupanya cukup sulit. Jalan rahasia yang harus mereka lalui setelah masuk ke dalam sebuah goa yang cukup gelap. Goa itu menghubungkan antara hutan dengan tempat yang sangat jauh berbeda.
“Dewi, kami hanya bisa mengantarmu sampai di sini. Ini adalah jalan pintas yang lebih dekat, tapi kalian akan menghadapi situasi yang tidak mudah. Aku dan penduduk desa akan menunggu hingga kalian kembali dan berharap kamu bertemu dengan orang yang kamu cari,” ucap lelaki paruh baya itu tulus.
“Terima kasih atas bantuan kalian. Sekarang, kalian sudah boleh pergi.”
Lelaki paruh baya dan dua orang lelaki lainnya kemudian pergi kembali ke desa. Sementara Yi Yuen, menatap sekeliling tempat itu yang sangat jauh berbeda dengan tempat sebelumnya. Di depan mereka, terhampar padang rumput yang sangat luas. Hanya terlihat beberapa pohon yang berdiri kokoh, namun agak berjauhan. Tempat yang cukup menenangkan, tapi tersimpan sesuatu yang sangat mematikan.
“Ayo, kita pergi,” ajak Yi Yuen sambil melangkah terlebih dulu.
Kali ini, mereka bertiga tidak lagi menunggangi kuda. Mereka harus berjalan kaki menyusuri padang rumput setinggi betis mereka. Suasana di tempat itu terlihat sangat tenang. Tidak terdengar suara binatang apalagi kepakan sayap burung yang biasanya beterbangan. Tak ada embusan angin yang bertiup hingga membuat suasana di tempat itu terlihat mencekam.
Walau terlihat tenang, mereka tetap waspada. Karena mereka tahu, ada halang dan rintang yang sudah menunggu mereka. Tinggal menunggu waktu, kapan rintangan itu akan datang menghampiri mereka.
Sudah setengah hari mereka melakukan perjalanan dan mereka tidak menemukan ujung tempat itu. Yang mereka temui hanyalah hamparan rumput dan sebuah pohon yang kini menjadi tempat mereka berteduh.
“Nona, tempat ini sangat aneh. Aku sudah memperhatikan sedari tadi dan kita selalu kembali ke tempat yang sama,” ucap Kangjian yang mulai merasa keanehan dengan tempat itu.
“Aku tahu, tenanglah. Sepertinya, mereka ingin membuat kita lelah setelah berputar-putar di tempat ini. Jika kita menunggu mereka untuk keluar, tidak bisa semudah itu. Mereka akan keluar ketika melihat kita sudah lengah dan kelelahan.”
“Jadi, apa yang harus kita lalukan?”
“Kita kembali berjalan dan menunggu mereka untuk menyerang terlebih dulu. Jika mereka melihat kita kelelahan, aku yakin mereka pasti akan muncul.”
Setelah beristirahat sejenak, mereka kembali berjalan dan lagi-lagi mereka kembali ke tempat yang sama. Kembali ke sebuah pohon pinus yang menjadi tempat mereka berteduh untuk kesekian kalinya.
“Dewi, mereka juga belum menampakkan diri. Jika begini terus, tenaga kita bisa terkuras hanya untuk memancing mereka keluar,” keluh Ling yang terlihat mulai kesal.
“Bibi, bersabarlah. Aku yakin, sebentar lagi mereka akan keluar. Bersiaplah dan jangan sampai mereka melukai kalian.”
Ling sudah bersiap dengan pedang yang disematkan di punggungnya. Begitu juga dengan Kangjian yang sudah bersiap dengan busur dan anak panah. Mereka kembali berjalan hingga hari menjelang senja. Semburat langit jingga tampak indah di cakrawala, tapi keindahan itu terlihat begitu mencekam dengan suara jangkrik yang tiba-tiba berbunyi bersahutan.
Di saat itulah, dari balik rerumputan terlihat sesuatu yang bergerak sangat cepat. Tak hanya di satu tempat saja, tapi pergerakan itu terjadi di dua tempat dan terus mendekat ke arah mereka.
“Bersiaplah, mereka datang!” seru Yi Yuen.
Ling dan Kangjian lantas melindungi Yi Yuen yang kini berada di antara dua sahabatnya itu. Dan seketika, dari balik rerumputan muncul dua ekor ular dengan ukuran yang sangat besar. Dua ekor ular itu meliuk dan bersiap menerkam ke arah Kangjiang dan Ling yang menjadi sasaran mereka.
Melihat ular besar mengarah padanya, Ling dengan sangat gesit melompat dan menghindar, tapi ular itu terus meliuk dan mengejarnya.
Ular dengan ukuran yang sangat besar itu meliuk dengan sangat cepat. Kepala ular yang mengarah pada mangsanya tampak menjulurkan lidah dan bersiap menerkam mangsa di depannya.
Kecepatan ular itu dalam menyerang membuat Kangjian dan Ling cukup kewalahan. Apalagi, mereka sudah terlalu lelah karena sedari tadi berjalan.
Melihat kedua temannya itu mulai terdesak, Yi Yuen memutuskan untuk turun tangan, tapi dia terhenti saat melihat Kangjian melesatkan anak panahnya tepat mengenai mata salah satu ular yang mengejarnya. Seketika saja, ular itu berontak dan semakin beringas. Ular itu tak peduli dengan luka yang mengalirkan darah dan menatap lurus ke arah Kangjian yang terus dikejarnya. Ular itu terlihat marah dan melancarkan pukulan ekornya ke arah Kangjian yang terus menghindar.
Suara desis memecah keheningan di tempat itu. Matahari senja perlahan mulai menghitam dan tidak ada waktu bagi mereka untuk tetap bertahan. Mereka harus mengakhiri pertarungan karena semakin malam, kedua ular itu akan semakin leluasa menyerang mereka. Suasana malam sangat menguntungkan bagi kedua ular itu karena minim penerangan hingga membuat mereka leluasa menyerang mangsanya.
Yi Yuen lantas merangsek maju dan membantu Kangjian yang sudah berhasil menancapkan beberapa anak panah ke bagian tubuh ular itu. Yi Yuen melesat dengan sangat cepat dan berdiri membelakangi Kangjian. “Mundurlah!” perintah Yi Yuen saat dia sudah berdiri tepat di depan ular itu.
Kini, Yi Yuen sudah berdiri dengan pedang yang siap dihantamkan ke arah kepala ular besar itu. Saat ular itu semakin mendekat ke arahnya, Yi Yuen lantas mengayunkan pedangnya dan menghantam bagian kepala ular besar itu hingga terlepas dari badan. Bagian tubuh ular itu menggeliat dan ekornya masih sempat mengarahkan pukulan pada Yi Yuen, tapi sekali lagi pedang gadis itu menghantam bagian ekor ular itu hingga terputus menjadi dua. Kedua penggalan tubuh ular itu terus menggeliat hingga terdiam perlahan dan mati seketika.
Melihat temannya yang sudah terkapar, ular yang menyerang Ling seketika berbalik dan melesat sangat cepat ke arah Yi Yuen. Ular yang memiliki ukuran tubuh lebih besar dari ular yang sudah terkapar mati itu rupanya sangat marah. Dia menyerang dengan sangat cepat dan menyasar tubuh Yi Yuen dengan ekor yang memukul sangat keras.
Kangjian yang melihat ular itu terus menyerang Yi Yuen, lantas melesatkan beberapa anak panah hingga tertancap di tubuh ular itu. Namun, ular itu seakan tidak merasakan sakit dan terus mengejar Yi Yuen yang melompat dari satu tempat ke tempat yang lain.
Ling yang semula menghadapi ular itu ternyata cukup kewalahan. Tubuhnya mengalami beberapa luka yang diakibatkan ganasnya serangan ular itu. Bahkan, pedangnya seakan tidak bisa menghentikan serangan ular itu walau sudah dipenuhi dengan luka akibat tebasan pedangnya.
Melihat serangan ular itu yang membabi buta, Yi Yuen berusaha untuk melawan dengan pedangnya, tapi rupanya ular itu tidak memberikan kesempatan baginya untuk membalas serangan. Yi Yuen tidak bisa mendekat dan hanya bisa menghindar dari serangan ular itu yang terus mengarah padanya.
Rupanya, ular itu memiliki kemampuan yang cukup hebat. Yi Yuen dibuatnya kewalahan dengan serangan yang membabi buta. “Jika aku tidak membalas serangannya, aku bisa saja mati olehnya. Tapi, dia tidak memberiku ruang untuk bisa membalas,” batin Yi Yuen sambil terus menghindar. “Apa mungkin busur dan anak panah yang mereka berikan padaku untuk membunuh ular besar itu?” pikirnya.
Tanpa menunggu lama, Yi Yuen lantas membuka telapak tangannya dan perlahan cahaya keemasan muncul dari telapak tangannya itu. Setelah cahaya keemasan itu memudar, yang terlihat di telapak tangannya kini adalah sepasang busur dan anak panah.
Yi Yuen lantas memegang busur dan anak panah itu sambil terus menghindar dan mencari kesempatan untuk bisa melesatkan anak panah ke arah ular itu. Hingga kesempatan itu muncul saat Ling dan Kangjian menarik perhatian ular besar itu dengan cara mencabik tubuh ular yang tadi telah mati.
Seketika saja, ular besar itu marah dan melesat ke arah mereka. “Dewi, lakukan sekarang!” seru Ling yang berhasil mengalihkan perhatian ular itu. Ling dan Kangjian lantas berlari saat ular besar itu melesat ke arah mereka. Sementara Yi Yuen, sudah menarik anak panah yang dikaitkan di tali senar busur hingga terdengar suara decitan tali yang ditarik. Yi Yuen memfokuskan arah bidikan, hingga dia melepaskan anak panah yang kini melesat cepat dan menancap di kepala ular besar yang mengejar kedua sahabatnya itu.
Seketika saja ular itu terhenti. Tubuhnya diam tak bergerak seakan telah kaku. Anak panah tertancap tepat di belakang kepala hingga tembus ke bagian depan. Kangkian dan Ling melihat keanehan itu. Tubuh ular besar yang sedari tadi mengamuk kini diam tak bergerak. Bahkan, dari luka yang tertancap anak panah tidak keluar darah sedikitpun.
“Apa yang terjadi? Apa ular itu telah mati?” tanya Kangjian sambil berjalan mendekat ke arah ular itu. Hingga tiba-tiba saja, tubuh ular itu hancur menjadi serpihan abu. Anak panah yang menancap di kepala ular itu seketika jatuh ke tanah.
Kangjian dan Ling menatap takjub dengan kehebatan dari anak panah dan busur yang dimilki Yi Yuen saat ini. Sungguh, kekuatan yang membunuh tanpa ampun.
Yi Yuen mengambil kembali anak panah yang tergeletak di atas tanah. Busur dan anak panah itu tiba-tiba menghilang seiring cahaya keemasan yang muncul dibalik telapak tangannya.
Suasana di tempat itu seketika berubah. Langit hitam yang semula tak berbintang, kini menampakkan cahaya kerlap kerlip bak intan di hamparan permadani. Begitupun dengan embusan angin yang perlahan bertiup. Jasad ular yang terbelah tiga, kini telah berubah menjadi abu. Embusan angin meniup kencang dan membawa serpihan abu yang menghilang dibalik cahaya malam.
Malam itu, mereka disuguhkan dengan pemandangan yang sangat indah. Kerlap kerlip cahaya kunang-kunang menari-menari di atas rerumputan. Cahaya bulan tak kalah menyajikan pemandangan yang sangat mengagumkan. Angin bertiup lembut menerpa rerumputan yang bergoyang laksana ombak yang menyapu pesisir pantai. Pemandangan yang tidak pernah tersaji sejak beberapa ratus tahun yang lalu.
Di atas bukit, tampak seseorang sedang menyaksikan pemandangan indah itu. Wajahnya tersenyum sembari menatap keindahan bulan. “Ah, rupanya dia sudah datang. Aku harus menyambutnya.” Terdengar suara seorang lelaki yang bergumam. Lelaki yang masih betah menyaksikan keindahan malam yang sudah lama tak dilihat olehnya.