Seorang lelaki berjubah putih dengan perawakan yang tenang, tampak memandangi hamparan langit hitam yang dihiasi keindahan cahaya bulan dan bintang yang bersinar indah. Pemandangan yang sudah lama tidak dilihat olehnya. “Ah, suasana malam ini sangat indah. Kedua ular itu pasti sudah mati di tangan gadis yang diramalkan itu. Rupanya, dia sudah berhasil hingga sejauh ini. Aku ingin tahu, apa dia masih bisa melewati ujian selanjutnya?” gumam lelaki itu sambil menatap langit yang membuatnya enggan untuk berpaling.
Sementara di bawah pohon pinus, Yi Yuen juga melihat pemandangan yang sama. Pemandangan yang membuatnya teringat akan seseorang yang telah pergi untuk selamanya. Tak terasa, air matanya jatuh saat keindahan tempat itu membuatnya mengingat kembali kenangan lama yang masih tersimpan indah di lubuk hatinya. Kenangan yang membuatnya tidak sanggup untuk melupakan wajah kekasih yang saat ini sangat dia rindukan.
Bersama, mereka pernah melihat keindahan langit malam yang bertabur cahaya bintang dan rembulan. Sambil menggenggam tangan erat, mereka pernah berjanji untuk selalu bersama. Namun, semua harapan itu telah musnah. Semua telah hancur hingga menyimpan dendam yang bersemayam di dalam dada. Dendam yang membuatnya harus bertahan dan membalas kesakitan yang sudah membuat dia merasa kehilangan.
Malam semakin larut dan Yi Yuen masih betah memandang langit hitam yang membuatnya tetap terjaga. Cahaya kunang-kunang menari indah di atas rerumputan diselingi alunan suara jangkrik yang memecah kesunyian malam.
Di antara keindahan itu, Yi Yuen tersentak saat melihat bayangan seseorang yang berdiri tak jauh dari tempatnya berteduh. Gadis itu lantas bangkit dan bersiap dengan pedang yang kini digenggamnya. “Siapa kamu?” tanya Yi Yuen sambil berjalan perlahan ke arah bayangan itu. Tidak ada jawaban dan bayangan itu tidak beranjak dari tempatnya berdiri.
Yi Yuen terus berjalan dan meninggalkan Kangjian dan Ling yang tengah terlelap. Mereka tidak menyadari kalau saat ini Yi Yuen telah beranjak menjauh dari mereka.
Saat Yi Yuen hampir mendekati bayangan itu, tiba-tiba saja bayangan itu berbalik dan berjalan perlahan meninggalkan Yi Yuen yang kini berjalan di belakangnya. Cahaya bulan yang menyinari tempat itu, samar-samar menerangi sosok bayangan yang tampak tak asing baginya. Yi Yuen lantas semakin mempercepat langkahnya dan meraih bahu bayangan yang kini berdiri menatapnya lekat. “Qiang?”
Yi Yuen terkejut saat melihat sosok pemuda yang kini berdiri di depannya. Wajah pemuda yang masih terlihat sama seperti dulu.
“Ah, tidak mungkin! Itu bukan dia, tidak mungkin dia!”
Yi Yuen lantas berbalik dan bermaksud meninggalkan sosok Qiang yang ada di depannya itu, tapi langkahnya terhenti saat dia merasakan pelukan hangat dari seseorang yang kini memeluknya erat.
“Aku merindukanmu,” ucap sosok yang menyerupai Qiang dengan lembut di belakang telinga Yi Yuen. Embusan napas terdengar begitu lembut dengan kehangatan tubuh yang pernah dia rasakan sebelumnya.
Untuk sesaat, Yi Yuen terlena dengan suara lembut dan kehangatan tubuh yang saat ini dia rasakan hingga membuatnya tak berkutik saat tubuhnya dipeluk. Dia membiarkan sosok itu memeluknya hingga tak terasa air matanya jatuh. Dia menangis karena baginya ini hanyalah ilusi, karena tidak mungkin Qiang benar-benar ada bersamanya saat ini.
Yi Yuen lantas melepaskan tubuhnya dari pelukan sosok Qiang yang kini menatapnya sedih. “Apa kamu tidak merindukanku?” tanya Qiang dengan tatapan mata yang terlihat sedih.
Yi Yuen menatap sosok pemuda itu dan tersenyum padanya. “Aku merindukanmu, tapi saat ini kamu bukanlah dia. Kamu hanyalah ilusi yang datang untuk menggodaku. Pergilah dan jangan perlihatkan dirimu lagi padaku.”
Yi Yuen lantas berbalik dan bermaksud meninggalkan sosok Qiang yang masih menatapnya, hingga dia terkejut saat mendengar seseorang memanggil namanya. “Yi Yuen, putriku.”
Yi Yuen seketika terhenti walau kakinya ingin terus melangkah, tapi suara seorang wanita begitu lembut memanggil namanya. Sontak, Yi Yuen berbalik dan melihat kedua orang tuanya sedang menatapnya sambil tersenyum.
“Ayah, Ibu,” gumam Yi Yuen seiring air mata yang kembali menetes.
“Kami merindukanmu, Nak.” Zhi Ruo kini berdiri di depan Yi Yuen dan memeluknya. Begitupun dengan Li Quan yang memeluk kedua wanita itu.
Yi Yuen menangis di dalam pelukan kedua orang tuanya hingga dia terisak. Sungguh, kerinduan pada orang tuanya membuat dia lupa kalau ketiga sosok yang ada di depannya hanyalah ilusi sesaat. Dia seakan tak peduli dengan tipuan ilusi yang nyatanya terlalu indah untuk dia hempas. Dia memilih hanyut dalam ilusi sesaat yang membuat dia begitu bahagia.
“Ayah, Ibu, aku sangat merindukan kalian,” ucap Yi Yuen dalam isak tangisnya. Dia begitu bahagia karena bisa bertemu dengan orang-orang yang sangat berarti dalam kehidupannya. Mereka yang tiba-tiba hadir dan membalut luka akibat kerinduan yang begitu menyiksa.
Yi Yuen menatap ketiga sosok yang kini berdiri di depannya. Wajah mereka tidak berubah. Wajah mereka masih sama, bahkan terlihat begitu nyata. Yi Yuen perlahan menyentuh wajah ibunya dan dia bisa merasakan kehangatan yang menjalar di sela jari-jarinya. “Ibu, aku sangat merindukanmu.” Kembali, gadis itu menangis karena melihat ibunya yang tersenyum padanya. Tangan seorang ibu yang penuh kelembutan, kini menyentuh puncak kepalanya dengan kasih sayang. Rasanya, itu begitu nyata hingga membuatnya memejamkan matanya untuk merasakan sentuhan yang begitu membuainya. Sentuhan yang sering dia rasakan di masa lalu.
“Ibu, apa boleh aku tidur di pangkuanmu?” tanya Yi Yuen terlihat manja. Wanita itu mengangguk dan mengajaknya duduk di atas hamparan rerumputan.
Kini, Yi Yuen berbaring di atas rerumputan dengan kepala di atas pangkuan sang ibu. Rasanya begitu damai saat sentuhan kasih sayang ibunya membelai lembut kepalanya. Yi Yuen menatap wajah sang ibu sambil tersenyum. Setelah puas memandangi wajah ibunya, dia mengalihkan pandangannya pada hamparan langit hitam yang bertabur bintang. Sejenak, dia merasa damai hingga membuat matanya terpejam. Dia begitu hanyut dalam kasih sayang hingga membuatnya tertidur dalam untaian mimpi yang membuainya. Mimpi yang membuatnya tersenyum di antara kelopak matanya yang terpejam.
Embusan angin bertiup perlahan menerpa wajah Yi Yuen yang masih terpejam. Sayup-sayup terdengar suara kepakan burung yang beterbangan di atasnya. Yi Yuen perlahan membuka matanya dan dia terkejut melihat matahari yang mulai menampakkan sinarnya dari ufuk timur. Seketika, dia bangkit dan melihat sekitar tempat itu.
“Ibu!” teriak Yi Yuen sambil berlari mencari sosok wanita yang semalam bersamanya.
“Ayah!” Kembali dia berteriak memanggil ayahnya yang sudah tidak tampak lagi di depannya.
Seketika Yi Yuen terduduk dan menangis. “Qiang,” ucapnya lirih. Air matanya jatuh membayangkan perpisahan yang kembali harus dia rasakan. Perpisahan yang diawali pertemuan yang sangat singkat.
“Dewi, apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Ling yang terlihat lelah. Begitupun dengan Kangjian yang baru saja datang.
“Nona, Anda ke mana saja? Kenapa Anda bisa ada di sini? Kami sudah mencarimu sedari tadi dan ternyata Anda ada di sini.”
Yi Yuen menatap kedua sahabatnya itu. Dia tidak mampu menjawab pertanyaan mereka. Yi Yuen kemudian bangkit setelah menghapus air matanya. Dia terkejut melihat tempat di mana kini dia berada. Tempat yang jauh dari tempat di mana dia berteduh sebelumnya.
“Dewi, kamu tidak apa-apa?” tanya Ling khawatir dengan Yi Yuen yang terlihat bingung.
“Aku tidak apa-apa, Bi.” Yi Yuen berusaha terlihat tenang, walau dia sendiri tidak bisa menyembunyikan perasaan sedih karena apa yang dia alami semalam hanyalah sebuah mimpi. Mimpi yang rasanya begitu nyata hingga membuatnya tak rela melepaskan orang-orang yang sangat disayanginya itu.
“Ayo, sebaiknya kita kembali melanjutkan perjalanan.” Yi Yuen kemudian melangkah pergi dan diikuti oleh Kangjian dan Ling yang merasa heran dengan sikapnya itu.
Selama perjalanan, Yi Yuen lebih banyak diam. Dia seakan hanyut dalam lamunannya sendiri. Dia tak peduli pada kedua sahabatnya yang merasa terabaikan. Melihat sikap Yi Yuen yang berubah, Ling memberanikan diri untuk kembali bertanya, “Dewi, apa ada sesuatu yang terjadi? Kenapa sedari pagi kamu terlihat aneh?”
Yi Yuen tidak menjawab dan terus berjalan seakan dia tidak mendengar pertanyaan dari gadis itu. Kangjian dan Ling saling memandang karena mereka sadar, saat ini Yi Yuen tidak benar-benar fokus dengan apa yang dia lakukan.
Benar saja, Yi Yuen tiba-tiba berhenti dan menatap Kangjian dan Ling dengan tajam. Tatapan matanya sangat jauh berbeda. “Aku ingin tetap ada di tempat ini. Aku tidak akan lagi pergi ke Gunung Taishan. Karena itu, aku izinkan kalian berdua untuk pergi dari sini.”
Sontak, Kangjian dan Ling terkejut saat mendengar apa yang baru saja dikatakan Yi Yuen pada mereka. Sungguh, itu jauh dari apa yang mereka pikirkan.
“Dewi, apa maksudmu? Apa kamu akan menyerah begitu saja setelah kita melewati semua ini? Tidakkah kamu ingin menemui seseorang di Gunung Taishan agar bisa membantu membalaskan dendammu?”
“Aku tidak butuh lagi karena mereka kini telah bersamaku. Lihatlah, kedua orang tuaku dan Qiang sedang menungguku sekarang.” Yi Yuen menunjuk ke arah tanah kosong yang ada di dekatnya. “Lihatlah, mereka tidak akan pergi lagi meninggalkanku. Dan sebaiknya, kalian kembali saja.” Yi Yuen lantas berbalik dan meninggalkan mereka yang menatapnya tak percaya.
Tempat yang ditunjuk Yi Yuen, terlihat kosong tanpa satu orang pun yang ada di tempat itu. Namun, Yi Yuen bersikap seperti dia sedang bercengkerama dengan seseorang. Ling yang menyadari keanehan itu lantas berlari mengejar Yi Yuen dan menarik tangannya untuk pergi dari tempat itu. “Dewi, jangan ikut mereka! Ayo, tinggalkan tempat ini.”
Yi Yuen menghempaskan tangan Ling yang berusaha mengajaknya pergi. “Aku tidak akan pergi ke mana-mana. Aku akan tinggal di sini bersama orang tuaku dan Qiang. Pergilah dan jangan halangi aku untuk pergi bersama mereka. Jika tidak, aku akan membunuh kalian!”
Ling tersentak mendengar ucapan Yi Yuen yang membuatnya sedih. Walau begitu, dia masih bertahan dan menghalangi Yi Yuen untuk pergi ke tempat di mana dia melihat kedua orang tuanya dan Qiang.
“Dewi, jangan lakukan itu. Jangan pergi!” Ling bersikeras untuk menghadangnya, hingga tiba-tiba saja Yi Yuen menghantamkan satu pukulan ke arah Ling hingga membuat gadis itu terpental ke belakang. Darah segar keluar dari sudut bibirnya, dan Yi Yuen seakan tak merasa bersalah atas perbuatannya itu pada sahabatnya sendiri.
Tak peduli pada Ling yang saat ini sedang merintih kesakitan, Yi Yuen terus berjalan dan dia terhenti saat Kangjian telah berdiri di depannya.
“Nona, tenanglah. Jangan pedulikan mereka. Mereka bukanlah orang tuamu dan Qiang. Orang tuamu tidak akan mungkin memintamu untuk meninggalkan kami apalagi melukai kami. Nona, sadarlah!” Kangjian mencoba memperingatkan Yi Yuen, tapi rasa rindu pada kedua orang tuanya telah membuat dia kehilangan kendali. Seakan, ada satu kekuatan yang memaksanya untuk ikut dengan sosok yang menyerupai orang-orang yang disayanginya itu.
“Minggir! Jangan halangi aku untuk pergi bersama mereka. Jika tidak, jangan salahkan aku jika aku harus membunuhmu.” Yi Yuen tidak main-main dengan ucapannya. Kangjian yang kini berlutut, tak mengelak saat Yi Yuen bersiap mengayunkan pedang ke arahnya.
“Dewi, jangan lakukan itu!”
Ling berlari dan menangkis pedang yang diarahkan Yi Yuen ke arah Kangjian. Suara pedang terdengar beradu. Ling menatap Yi Yuen dengan air mata yang perlahan jatuh. “Dewi, aku mohon, jangan pergi. Lihatlah kami!” Ling terisak dengan kedua tangan yang masih memegang gagang pedang dengan kuat.
Melihat air mata gadis itu, Yi Yuen mengalihkan pandangannya ke arah tiga sosok yang kini menunggunya. Mereka tersenyum dan menganggukkan kepala seraya mengulurkan tangan seakan ingin mengajaknya pergi. Yi Yuen kembali melihat ke arah dua sahabatnya yang mencoba menghalanginya.
“Minggir!” Yi Yuen mendorong kedua sahabatnya itu hingga mereka termundur beberapa langkah. Yi Yuen lantas berjalan menuju tiga sosok yang semakin menyunggingkan senyum.
“Dewi, aku mohon, jangan pergi!” Ling berusaha mengejar, tapi dia terkejut saat Yi Yuen tiba-tiba mengayunkan pedangnya ke arah tiga sosok yang sangat dirindukannya itu. Seketika saja, ketiga sosok itu memudar menjadi pendaran cahaya yang menghilang perlahan.
Yi Yuen terduduk sambil memegang gagang pedang yang tertancap di tanah. Gadis itu terlihat menangis sambil menundukkan wajahnya. Dia terisak karena sosok ketiga orang yang sangat disayanginya itu telah benar-benar pergi.
Ling lantas berlari dan memeluk Yi Yuen yang masih menangis. Dia membelai lembut punggung Yi Yuen, bahkan ikut menangis karena melihat kesedihan yang dirasakan sahabatnya itu.
“Bibi, maafkan aku karena aku hampir saja mencelakai kalian. Maafkan aku.” Yi Yuen membalas pelukan Ling dan menangis di dalam pelukan gadis itu.
“Sudahlah, kami tidak apa-apa. Syukurlah karena Dewi tidak mengikuti mereka.”
Ketiga sosok itu adalah cerminan dari rasa rindu dan sedih yang dirasakan Yi Yuen pada mereka. Mereka muncul menjadi ujian bagi Yi Yuen hingga membuatnya enggan untuk melanjutkan perjalanan dan memilih tinggal bersama mereka. Jika itu terjadi, maka selamanya Yi Yuen akan terperangkap di tempat itu dan tidak akan pernah bisa keluar lagi.
Namun, karena keteguhan dan kasih sayang sahabat-sahabatnya itu, Yi Yuen mulai menyadari kalau itu semua hanyalah ilusi. Ilusi yang membuat hatinya menjadi lemah. Air mata sahabat-sahabatnya itu mampu mengalahkan ilusi yang membuat Yi Yuen akhirnya mengambil keputusan untuk menyingkirkan bayangan tiga sosok yang mencoba membawanya pergi. Karena baginya, mereka telah tersimpan indah di lubuk hatinya. Tersimpan di setiap kenangan yang akan tetap abadi dalam setiap ingatannya.
“Terima kasih, kalian adalah sahabat-sahabatku yang paling berarti.”
Ling dan Kangjian tersenyum dan mengajak Yi Yuen untuk beristirahat sejenak. “Dewi, selama masih ada kami, kamu pasti akan baik-baik saja. Walaupun nanti raga kami telah mati, tapi yakinlah kalau di suatu tempat kami akan selalu mengawasimu. Bukankah, kita adalah sahabat?”
Yi Yuen tersenyum di antara air mata yang perlahan mulai jatuh. “Ya, kita adalah sahabat, bahkan kalian lebih dari sahabat. Bagiku, kalian adalah keluargaku.”
Sekali lagi, mereka berpelukan dan menangis bersama. Sungguh, sahabat sejati akan selalu ada dan bersedia melakukan apa saja untuk kebahagiaan sahabatnya. Sahabat sejati adalah keluarga tanpa ikatan darah.