Zhang Bingjie adalah nama dari lelaki tua yang kini berjalan di depan Yi Yuen. Lelaki yang terlihat bijaksana dengan wajahnya yang teduh. Yi Yuen mengikuti langkah lelaki tua itu yang berjalan menuju suatu tempat yang sama sekali belum pernah dikunjungi olehnya. Tempat yang berada dalam sebuah lingkaran transparan yang menghubungkan antara dua tempat yang memiliki situasi yang berbeda.
Kangjian dan Ling yang juga mengikutinya, hanya bisa menatap kagum dengan tempat yang kini mereka pijak. Tempat yang terlihat begitu nyaman dan tenang. Berbeda dengan tempat yang berada dibalik lingkaran transpran.
Di tempat itu, terlihat hamparan pohon sakura yang sedang berbunga. Embusan angin meniup perlahan hingga menggugurkan kelopak bunga berwarna putih dan berjatuhan bak gumpalan salju di musim dingin.
Ketiga sahabat itu terkesima dan tak jemu menatap keindahan yang terpampang di depan mereka. Embusan angin membawa semerbak harum serbuk sari hingga memanjakan indera penciuman mereka.
Di depan sebuah gubuk sederhana, mereka menghentikan langkah. Zhang Bingjie, sang pemilik rumah sekaligus tempat itu kini berdiri di depan mereka dan menatap wajah ketiga sahabat itu satu-persatu.
Tatapan mata lelaki tua itu kini mengarah pada Yi Yuen. Tanpa sepatah kata yang keluar dari mulutnya, lelaki itu kembali mengalihkan pandangannya ke arah Ling dan setelah itu ke arah Kangjian. Sejenak, dia terdiam dan melangkah masuk ke dalam gubuknya. Tak lama kemudian, dia kembali dengan membawa sebuah bungkusan kecil di tangannya. “Bukalah,” ucapnya pada Yi Yuen sambil mengarahkan bungkusan tersebut pada gadis itu.
Yi Yuen lantas mengambilnya dan membuka bungkusan itu perlahan. Sebuah kitab berwarna merah kini ada di genggaman tangannya. “Tuan, kitab apa ini?”
“Panggil aku Guru karena saat ini kamu adalah muridku!” Lelaki tua itu berucap dengan lantang hingga membuat Yi Yuen tersentak.
“Ba … baik, Guru!” Yi Yuen lantas duduk berlutut di depan lelaki tua itu dan diikuti Kangjian dan Ling bersamaan.
“Mulai saat ini, kamu pelajari apa yang tertulis di dalam kitab itu. Jika kamu sudah bisa menguasainya, aku akan turun langsung mengajarimu.”
“Baik, Guru!”
“Kalian berdua, jangan ada yang membantunya karena kalian juga akan melakukan apa yang aku perintahkan. Mulai saat ini, apa pun yang kalian lakukan adalah atas perintahku, paham?!”
“Paham, Tuan!”
“Lakukan apa yang tertulis di kitab itu sekarang!” perintahnya pada Yi Yuen. “Kalian berdua, ikut aku!” Lelaki tua itu kemudian berjalan meninggalkan tempat itu dan diikuti oleh Kangjian dan Ling di belakangnya. Sebelum pergi, mereka berdua sempat memandangi Yi Yuen yang tersenyum ke arah mereka seakan ingin mengisyaratkan kalau dia akan baik-baik saja.
Setelah mereka pergi, Yi Yuen lantas membuka kitab bersampul merah itu. Sesaat, dia terkejut dengan apa yang dilihatnya. Lembaran kertas di dalam kitab terlihat polos. Tidak ada tulisan di atas lembaran kertas putih itu. “Jika kitab ini kosong, lantas aku harus melakukan apa?” batin Yi Yuen yang sempat heran dengan perintah gurunya itu.
Tak putus asa, Yi Yuen mencoba berpikir untuk melakukan sesuatu yang tidak tertulis di dalam kitab. Pandangan matanya mengitari tempat itu. Bahkan, dia masuk ke salah satu ruangan yang dijadikan dapur utama. Yi Yuen lantas melakukan apa yang saat ini terlintas di dalam pikirannya.
Sementara Ling dan Kangjian, kini berada di sebuah tanah lapang kosong. Mereka berdiri berhadapan dengan lelaki tua yang menatap mereka tajam.
“Kamu sudah melewati masa yang cukup panjang untuk bisa bertemu dengannya. Apa dia seistimewa itu hingga membuatmu menunggu untuk kembali bertemu dengannya?” tanya lelaki itu pada Ling.
Gadis itu tersenyum. Dia tidak menyangka, perjalanan hidupnya yang sangat panjang itu diketahui oleh seseorang yang bahkan tidak dia ketahui namanya.
“Ya, aku memang menunggunya. Berapapun waktu yang aku butuhkan untuk bertemu dengannya, aku tetap akan menunggu. Bagiku, dia tak hanya sahabat, tapi seorang adik yang harus aku jaga. Karena itu, aku mohon pada Tuan untuk bisa membantunya.”
Lelaki itu hanya tersenyum datar. Kini, pandangannya tertuju ke arah Kangjian. Lagi, dia mengajukan pertanyaan yang membuat pemuda itu terhentak.
“Kamu juga tak jauh beda dengannya. Apa dia seberharga itu hingga membuatmu memaksa semesta untuk mempertemukanmu dengan dirinya? Apa yang dia lakukan padamu hingga membuatmu menjalani kehidupanmu kini dan mengabaikan kehidupan yang sudah ditawarkan semesta padamu?”
Kangjian terdiam. Dia menunduk tanpa bisa berkata apa-apa. Namun, perlahan dia mengangkat wajahnya. “Aku telah berjanji untuk melindunginya. Berapapun kehidupan yang akan kujalani, aku selalu meminta agar dipertemukan dengannya. Walau hanya menjadi anjing peliharaannya, aku rela. Aku akan menerima takdirku, asalkan aku bisa melindunginya.”
Mendengar jawaban mereka, lelaki tua itu tersenyum puas. Dia tahu, Yi Yuen bukanlah gadis sembarangan. Dia mempunyai kharisma yang membuat orang yang ada didekatnya rela melakukan apa saja untuk melindunginya. Itulah ciri seorang pemimpin yang dielukan hingga membuat mereka rela berkorban nyawa untuknya.
“Jika itu yang kalian harapkan, maka jadilah tentara pelindungnya karena kalian tidak bisa melindunginya dengan kemampuan kalian yang tak seberapa ini. Aku tahu, mengajari ilmu beladiri pada siluman rubah dan seorang manusia adalah hal terlarang, tapi itu dulu karena aku sekarang orang yang bebas. Aku tidak terikat dengan peraturan manapun. Karena itu, bersiaplah!”
Tiba-tiba saja, tubuhnya melesat dengan sangat cepat dan mengarah pada Kangjian dan Ling secara bersamaan. Dengan kecepatan yang sangat tinggi, lelaki itu menotok di beberapa bagian tubuh kedua orang yang berdiri didepannya itu. Suara erangan kesakitan terdengar dari mulut keduanya. Hingga lelaki tua itu berhenti, keduanya sudah terduduk sambil memegang beberapa bagian tubuh yang kesakitan.
“Aku sudah membuka jalan darah dan aura kalian. Hanya itu yang bisa aku lakukan pada kalian dan mulai sekarang, berlatihlah.”
Benar saja, setelah tubuh mereka ditotok, Ling dan Kangjian merasakan perubahan yang cukup signifikan pada tubuh mereka. Dengan mudah, mereka mampu melakukan gerakan yang sebelumnya cukup sulit untuk dilakukan. Ling dengan lincahnya mulai melakukan beberapa gerakan menyerang sambil mengayunkan pedangnya. “Kangjian, bersiaplah!”
Tiba-tiba, Ling dengan gerakan menyerang mulai mengarahkan pedangnya ke arah Kangjian. Pemuda itu tak tinggal diam. Dengan busurnya, dia menangkis serangan gadis itu. Tak disangka, Kangjian merasakan kalau tubuhnya saat ini benar-benar ringan hingga membuatnya mampu berlari di atas permukaan tanah.
Kangjian masih menangkis serangan pedang yang diarahkan Ling padanya. Gadis itu terlihat tak main-main hingga membuat Kangjian harus mengeluarkan kemampuannya.
“Kangjian, balas seranganku!” seru Ling di sela-sela pertarungan mereka.
Melihat Kangjian yang hanya mengelak serangannya membuat Ling semakin beringas. Dia tidak segan-segan mengarahkan pedangnya ke arah leher pemuda itu. Melihat kesungguhan Ling, Kangjian lantas mencoba kemampuan barunya itu.
Kangjian kini berbalik menyerang. Kemampuan penglihatannya semakin terasah. Dia bisa melihat setiap gerakan yang dilakukan oleh lawan. Rupanya, totokan yang dilakukan Zhang Bingjie padanya membuka aliran darah di bagian mata hingga membuat penglihatannya semakin tajam.
Setiap gerakan yang dilakukan oleh Ling dapat ditebak olehnya. Hingga satu kesempatan itu muncul. Kangjian dengan mudah menghindar saat Ling mengayunkan pedang ke arahnya. Di atas udara, Kangjian melompat sambil meraih anak panah yang tergantung di punggungnya. Anak panah itu lantas dikaitkan dengan cepat ke tali busur dan saat kakinya menapaki tanah, ujung anak panah sudah terarah ke wajah gadis itu. Dan di saat bersamaan, pedang digenggaman Ling sudah mengarah ke leher Kangjian.
Keduanya kini saling mengarahkan senjata ke arah tubuh mereka masing-masing. Zhang Bingjie hanya melihat pertarungan mereka tanpa mengatakan apapun.
Perlahan, mereka menurunkan pedang dan busur secara bersamaan dan menatap tubuh mereka seakan tak percaya kalau mereka telah memiliki kekuatan sepuluh kali lipat di banding sebelumnya. Kangjian dan Ling lantas duduk bersimpuh di depan Zhang Bingjie yang hanya menatap mereka. “Tuan, terima kasih,” ucap keduanya hampir bersamaan.
Lelaki tua itu hanya tersenyum dan mengangguk. “Itu tak seberapa. Jika kalian bersungguh-sungguh dalam berlatih, maka kalian akan memiliki kekuatan yang cukup hebat. Setidaknya, kekuatan kalian bisa membantu gadis itu nantinya. Sekarang, lanjutkan latihan kalian.”
“Baik, Tuan.”
Kangjian dan Ling kembali berlatih. Sementara Zhang Bingjie terlihat duduk bersila di atas sebuah batu dengan kedua mata yang tertutup. Hingga menjelang senja, mereka akhirnya kembali ke gubuk di mana Yi Yuen sudah menunggu.
Gadis itu terlihat duduk beristirahat di sebuah dipan kayu yang ada di halaman gubuk. Wajahnya tampak lelah dengan sisa peluh yang membasahi wajahnya.
Melihat kedatangan mereka, Yi Yuen lantas bangkit dan menyambut dengan senyuman. Ling yang melihat wajah Yi Yuen tampak lelah, lantas mendekatinya dan menyeka sisa peluh di dahi gadis itu dengan telapak tangannya. “Dewi, kenapa wajahmu tampak lelah seperti itu? Apa yang sudah kamu lakukan?” tanya Ling yang heran dengan kondisi Yi Yuen.
Yi Yuen hanya tersenyum dan menggelang perlahan. “Tidak ada, Bi. Aku tidak melakukan apapun. Aku hanya menyiapkan makan malam untuk kita,” ucap Yi Yuen pelan.
“Mulai sekarang, kalian tempati ruangan itu. Kalian atur sendiri tempat tidur kalian,” ucap Zhang Bingjie sambil menunjuk ke arah sebuah gubuk kecil. “Oh iya, setiap jam tujuh malam, bawakan aku makan malam dan aku tidak peduli bagaimana caranya kamu mendapatkan makan malam itu,” ucapnya pada Yi Yuen. Lelaki tua itu lantas meninggalkan mereka dan masuk ke dalam gubuknya.
“Makan malam? Memangnya, apa yang bisa kita berikan padanya untuk makan malam?” tanya Ling yang merasa heran dengan sikap Zhang Bingjie.
“Tenanglah, Bi. Aku sudah menyiapkan semuanya.”
Ling terkejut saat mendengar jawaban Yi Yuen. Gadis itu lantas bergegas menuju dapur dan melihat tempayan air yang tadinya kosong kini telah terisi penuh. Beberapa aneka masakan juga sudah tersedia di atas meja. Tak hanya itu, beberapa aneka buah juga sudah tersedia di dalam sebuah keranjang bambu.
“Dewi, apa semua ini kamu yang kerjakan? Memangnya, apa yang tertulis di kitab merah itu?”
“Sudahlah, Bi. Jangan hiraukan aku. Kalian berdua fokus saja pada apa yang diajarkan guru pada kalian. Ayo, bergegaslah, sebentar lagi aku akan membawa makan malam pada guru.”
Kitab yang ternyata kosong itu tidak memberikan petunjuk tentang apa yang harus Yi Yuen kerjakan. Karena itu, dia memilih melakukan apa yang sepatutnya dia lakukan.
Siang itu, Yi Yuen memulai pekerjaan dengan mengambil air dari sebuah mata air yang terletak tak jauh dari tempat itu. Dengan dua ember kecil di tangannya, Yi Yuen mengambil air dan mengisi tempayan hingga penuh. Tak hanya itu, Yi Yuen juga mencari sayuran dan beberapa buah yang didapatnya dari sebuah hutan kecil yang berada tak jauh dari mata air tempatnya mengambil air. Beberapa ekor ikan yang ditangkapnya di sekitar mata air juga tak luput dibawa pulang olehnya.
Setelah itu, dengan cekatan dia mulai mengolah apa yang didapatnya untuk makan malam. Hingga dia selesai tak lama sebelum guru dan kedua sahabatnya itu kembali.
Tepat jam tujuh malam, Yi Yuen membawa makan malam untuk Zhang Bingjie yang sudah menunggu di dalam gubuknya. Lelaki tua itu terlihat tenang saat satu persatu piring berisikan lauk pauk disajikan di atas meja.
“Guru, silakan nikmati makan malamnya.”
Yi Yuen lantas keluar tanpa menunggu jawaban gurunya itu. Di halaman, kangjian dan Ling sudah menunggunya. Mereka bertiga lantas duduk di atas dipan sambil menunggu Zhang Bingjie selesai makan.
Tak lama, pintu gubuk terbuka setengah dan nampan kayu berisikan piring kosong diletakkan di depan pintu. Yi Yuen lantas bergegas mengambil nampan itu dan membawanya ke dapur.
“Dewi, biar aku yang membawanya.” Ling berusaha mengambil nampan dari tangan Yi Yuen, tapi gadis itu mengelak.
“Bibi, ini tugasku. Jadi, biarkan aku melakukan tugasku dan kalian fokus saja pada tugas kalian. Ayo, sebaiknya kita makan malam dan setelah itu kita istirahat,” ajak Yi Yuen pada kedua sahabatnya itu.
Mereka lantas makan malam walau ada sedikit rasa enggan. Mereka merasa tidak pantas memakan makanan yang disiapkan langsung oleh Yi Yuen pada mereka.
“Ada apa? Apa makanan yang aku buat rasanya tidak enak?”
“Tidak, Dewi. Ini enak, sangat enak.” Ling lantas mengunyah makanan yang baru saja masuk ke dalam mulutnya walau dia tidak bisa menyembunyikan air mata yang kini menggantung di pelupuk matanya.
Begitupun dengan Kangjian yang merasa bersalah karena tidak bisa membantu Yi Yuen. Namun, dia hanya bisa mengunyah makanan dengan terpaksa karena tidak ingin Yi Yuen kecewa dengan sikapnya.
Sebuah gubuk bambu tempat penyimpanan kayu bakar dan jerami kering menjadi tempat untuk mereka tidur. Di atas jerami, Yi Yuen dan Ling berbaring. Sementara Kangjian memilih tidur di dipan kayu yang ada di halaman.
Kedua gadis itu masih terjaga. Rasanya, kedua mata mereka tak mampu untuk terpejam.
“Dewi, apa yang kamu pikirkan?” tanya Ling sambil memiringkan tubuhnya dan menatap Yi Yuen yang memandangi langit-langit kayu.
Yi Yuen terdiam. Matanya tiba-tiba menutup dengan air mata yang mengalir di sudut matanya. Ling yang menyadari itu lantas memeluknya. “Dewi, tidurlah.” Gadis itu dengan lembut mengelus punggung Yi Yuen yang kini dipelukannya. Dia menyadari kalau saat ini, Yi Yuen merindukan pelukan ibunya. Walau tak sama, setidaknya pelukan darinya bisa membuat Yi Yuen merasa tenang. Pelukan dari seorang kakak pada adiknya.
Yi Yuen terdiam dalam pelukan Ling hingga dirinya tertidur. Rasanya begitu damai hingga membuatnya lupa dengan rasa lelah yang mendera tubuhnya. Rasanya begitu tenang hingga membuatnya larut dalam mimpi yang membuainya.
Hingga di saat matahari pagi belum memancarkan sinarnya, Yi Yuen terbangun dan tidak mendapati Ling di sampingnya. Yi Yuen lantas bergegas keluar dan melihat kedua sahabatnya itu baru saja datang dengan membawa ember di tangan mereka.
“Apa yang kalian lakukan?” tanya Yi Yuen sambil mendekati mereka.
“Ssstttt … tenanglah!” Ling memberi isyarat padanya agar tidak berisik.
“Nona, kami sudah membawakan air hingga tempayan sudah penuh kembali. Dan ini, ikan yang aku dapatkan dan beberapa sayuran. Sebentar, jangan mencari lagi. Pakailah waktumu untuk berlatih,” ucap Kangjian sambil menyerahkan empat ekor ikan dengan ukuran yang cukup besar dengan seikat daun pakis.
Yi Yuen tersenyum dan mengambilnya. “Terima kasih.”
Tanpa mereka sadari, Zhang Bingjie sedang memerhatikan mereka. Wajahnya terlihat datar tanpa ekspresi. Namun, di balik wajah datarnya itu, tersimpan rasa kagum atas kepedulian serta kasih sayang di antara mereka. “Ah, andai saja muridku dulu bersikap seperti kalian, aku mungkin tidak akan berada di tempat ini,” gumamnya sedih.