Reinkarnasi Dewi Keabadian Episode 55

Chapter 55

Dulu, Zhang Bingjie mempunyai dua orang murid. Keduanya mempunyai karakteristik yang sangat jauh berbeda. Keduanya pun memiliki kemampuan yang tak seimbang. Bahkan, salah satu di antara mereka memiliki kekuatan yang dirasa cukup membahayakan. Dialah Dewa Perang, murid Zhang Bingjie yang teramat tamak dengan kekuasaan dan kekuatan. Dia berambisi untuk menguasai Istana Khayangan. Walau sifat tamaknya itu tidak dia tunjukkan, tapi sebagai orang yang mengenalnya, Zhang Bingjie mulai paham kalau muridnya itu memiliki sifat yang sangat buruk.

Sejak mengetahui sifat asli muridnya itu, Zhang Bingjie merasa sangat bersalah karena sudah memberikan hampir seluruh ilmunya pada lelaki itu. Untuk menghukum dirinya, Zhang Bingjie akhirnya mundur dari dunia persilatan dan menyembunyikan diri di atas Gunung Taishan. Walau Dewa Kebijaksanaan berusaha mencarinya, lelaki itu selalu gagal ditemukan.

Dan kini, Yi Yuen dihadapkan pada sosok lelaki itu. Lelaki tua yang selalu berusaha membuatnya terlihat payah. Namun, Yi Yuen tetap bertahan dan berharap suatu hari nanti, Zhang Bingjie benar-benar memperlakukannya sebagai seorang murid.

Sudah hampir seminggu, Yi Yuen melakukan aktifitas yang sama. Yang dilakukannya hanya menimba air, mencari sayur, ikan, dan juga memasak untuk santapan setiap hari bagi mereka. Lelaki tua itu rupanya masih belum puas dengan kinerja Yi Yuen hingga membuat gadis itu terus melakukan aktifitas yang sama di setiap harinya.

Kangjian dan Ling juga tak luput untuk membantunya. Walau lelah karena seharian berlatih, tidak membuat keduanya enggan untuk membantu Yi Yuen. Setiap subuh, mereka sudah membantunya menimba air atau paling tidak, membawakannya seikat sayur atau pun beberapa ekor ikan.

Melihat mereka membantu Yi Yuen, Zhang Bingjie semakin mengacuhkan gadis itu. Dia tidak ingin Yi Yuen terlena dengan bantuan teman-temannya walau dia tahu, persahabatan dan kasih sayang di antara mereka terlalu dalam.

Waktu berlalu dan Yi Yuen masih saja diperlakukan seperti seorang pembantu. Dia bahkan tidak diajari satu jurus pun selama berada hampir satu bulan di tempat itu. Walau begitu, Yi Yuen tidak menyerah. Dia masih setia dalam melakukan aktifitas yang sudah sebulan ini rutin dilakukannya. Bahkan, dia sudah mulai terbiasa dengan jalan menanjak dari tempat di mana mata air berada menuju ke gubuk. Itu bahkan kini terlihat mudah baginya.

Seperti biasa, di saat subuh, Kangjian dan Ling sudah bersiap untuk membantunya. Namun, kali ini mereka kalah cepat karena Yi Yuen sudah selesai melakukan tugasnya.

“Dewi, sejak kapan kamu menyiapkan semua ini?” tanya Ling sambil menatap semua persediaan yang sudah tertata rapi di atas meja.

“Kalian tidak perlu tahu. Sebaiknya, kalian bersiap karena sebentar lagi kalian harus pergi berlatih.”

Yi Yuen lantas membawa keranjang anyaman dari bambu yang berisikan beras untuk dicucinya. Sementara kedua sahabatnya hanya memerhatikannya dengan rasa bersalah.

Yi Yuen dengan telaten mulai melakukan aktifitas yang sama. Bahkan, dia melakukannya dengan hati yang lapang. Tak ada rasa marah atau bosan di dalam hatinya. Dia melakukannya dengan ikhlas dan menikmati setiap aktifitasnya itu.

Menjelang siang, Yi Yuen sudah bersiap dengan bekal makan siang yang harus dibawa pada guru dan kedua sahabatnya. Jalan yang dilalui olehnya tidak terlalu jauh. Bahkan, pemandangan yang disuguhkan di tempat itu membuatnya terkesima.

Di atas sebuah batu, Yi Yuen meletakkan bekal makan siang dan duduk di samping batu itu. Pandangannya kini mengitari tempat yang ditumbuhi pohon sakura berwarna putih. Semilir angin yang berembus membelai wajahnya hingga membuatnya terpejam dan mencoba menikmati keharuman bunga sakura yang dibawa embusan angin. Sesaat, dia begitu dimanjakan dengan keelokkan tempat itu hingga perlahan dia membuka matanya saat terusik dengan kehadiran seseorang yang kini berdiri menatapnya.

“Guru, maafkan aku!” Yi Yuen terkejut saat melihat Zhang Bingjie berdiri di depannya dan menatapnya tajam. Seketika, dia berlutut di depan lelaki itu.

Lelaki itu hanya diam. Yang dilakukannya hanya menatap Yi Yuen tanpa suara.

“Maafkan aku, Guru. Aku bersalah karena …. ”

“Ikut aku!” Lelaki itu menyela ucapan Yi Yuen dan melangkah pergi. Yi Yuen lantas bangkit dan mengambil bekal makan siang yang teronggok di atas batu. Yi Yuen kemudian mengikutinya dan mereka berhenti di sebuah tebing yang berhadapan dengan sebuah jurang yang sangat curam.

Embusan angin yang bertiup di tebing itu cukup kencang. Tebing yang curam itu nyatanya mampu membuat setiap orang yang berdiri di sisinya itu bergidik ketakutan.

Tanpa di nyana, Zhang Bingjie mendorong tubuh Yi Yuen hingga terjatuh dari atas tebing. Yi Yuen terbelalak saat mendapati dirinya yang kini terjatuh. Walau sempat ketakutan, Yi Yuen tidak tinggal diam menerima kematian yang kini ada di depannya. Di sela tubuh yang meluncur bebas, Yi Yuen melihat kesempatan baginya untuk bisa bertahan.

Sebuah ranting kering yang tertancap di dinding tebing lantas diraihnya. Walau sulit, dia akhirnya bisa berpegangan pada ranting itu. Kini, tubuhnya tergantung sambil berpijak pada sebuah batu yang tersembul dari dinding tebing.

Yi Yuen mendongak ke atas dan melihat gurunya yang hanya menatapnya tanpa melakukan apapun. Yi Yuen lantas melihat ke bawah dan dia tidak bisa melihat dasar jurang yang rasanya sangat dalam. “Aku harus bertahan. Aku tidak boleh menyerah!” batinnya.

Yi Yuen lantas memeriksa sekeliling tebing dan dia melihat sebuah goa kecil yang berada tidak jauh dari tempatnya berpijak. “Aku harus bisa ke sana.”

Yi Yuen lantas memijakkan kaki di bebatuan yang tersembul sambil bertahan pada beberapa ranting kering. Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya ternyata sangat berguna hingga membuatnya mampu mencapai mulut goa. Walau tak mudah, nyatanya perjuangannya tak sia-sia. Kini, dia sudah berada di dalam goa yang tidak terlalu besar.

Setelah mengatur napas, Yi Yuen duduk di atas sebuah batu yang menyerupai sebuah tempat duduk bersusun. Diembuskan napasnya dengan lembut dan mencoba mencari cara agar bisa kembali. Namun, dia terkejut saat Zhang Bingjie tiba-tiba berdiri di depannya.

“Guru.” Yi Yuen lantas duduk bersimpuh di depannya.

“Apa kamu membenciku karena sudah berusaha membunuhnu?”

“Tidak, Guru. Aku tidak punya hak untuk membenci Guru. Kalupun Guru memintaku untuk mati, aku akan melakukannya karena bagiku, perintah Guru adalah perintah orang tuaku,” ucap Yi Yuen dengan sungguh-sungguh. Baginya, Zhang Bingjie tak hanya seorang guru, tapi juga sebagai orang tua yang patut untuk dihormati dan dipatuhi.

Lelaki itu hanya tersenyum sinis mendengar ucapan Yi Yuen dan dia tidak ingin hanyut dengan kata pujian dan sanjungan yang nyatanya pernah membuatnya tertipu.

Kembali, Zhang Bingjie memerhatikan Yi Yuen dan dengan mata batinnya, dia bisa melihat satu kekuatan yang ada di tubuh gadis itu. Sebuah pantulan cahaya sebesar mutiara terlihat memancar di sebelah dada kirinya. “Ah, rupanya kekuatan itu kini ada padanya,” batinnya.

“Kalau begitu, kamu tidak akan keberatan jika aku mengambil ini darimu, kan?” Sekelebat, Zhang Bingjie menghantam dada kiri Yi Yuen dan seketika butiran mutiara keluar dari dada kiri gadis itu.

Yi Yuen memegang dadanya yang berdenyut kesakitan. Dan di depannya, dia melihat gurunya telah berdiri sambil memegang sebuah butiran mutiara yang memancarkan cahaya putih di telapak tangannya.

Seketika, Yi Yuen teringat dengan ayahnya yang memberikan cahaya putih itu sebelum wafat. Tak terasa, air matanya jatuh karena melihat mutiara itu di tangan sang guru.

“Kenapa? Apa kamu marah jika aku mengambil kekuatan ini darimu? Atau, kamu tidak rela pemberian ayahmu ini aku ambil?” Zhang Bingjie masih berusaha memanas-manasi Yi Yuen, namun gadis itu hanya tersenyum.

“Guru, jika kekuatan itu milikku, maka dia akan kembali padaku. Jadi, untuk apa aku marah jika Guru mengambilnya dan itu berarti Guru kini adalah pemiliknya.” Yi Yuen berucap dengan tenang dan tanpa beban.

Sekali lagi, Zhang Bingjie dibuat kagum dengan kesabaran dan ketulusan Yi Yuen. Namun, itu belum cukup baginya sebelum dia benar-benar yakin kalau ilmunya kelak pantas dimiliki oleh gadis itu.

“Jika aku memerintahkanmu untuk tetap berada di tempat ini, apa kamu akan melakukannya?”

“Aku akan melakukannya jika itu perintah Guru. Apapun yang Guru perintahkan padaku, aku pasti akan melakukannya,” tegas Yi Yuen tanpa ragu sedikit pun.

“Baiklah jika itu maumu. Aku memerintahkan kepadamu untuk berdiam di goa ini hingga tiga hari ke depan. Jika kamu bisa melewati tiga hari itu dan kembali ke gubuk dengan selamat, maka aku akan menjadikanmu sebagai murid terakhirku dan memberikan semua yang aku miliki padamu. Apa kamu sanggup?”

Yi Yuen terdiam sesaat. Entah apa maksud dari gurunya itu, tapi dia sudah bertekad untuk melakukan apa pun perintah gurunya itu.

“Aku sanggup, Guru!” seru Yi Yuen dengan lantang. Walau dia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya selama tiga hari itu, tapi dia yakin kalau dia pasti bisa melewati tiga hari itu tanpa kendala yang berarti.

“Selama tiga hari, kamu harus bertapa di goa ini. Apapun yang terjadi, jangan pernah membuka matamu atau terpengaruh dengan apa yang akan datang menemuimu nanti. Jika tidak, maka selamanya kamu akan terperangkap di dalam goa ini, paham?!”

Yi Yeun mengangguk. “Aku paham, Guru.”

“Aku akan pergi membawa mutiara ini bersamaku. Aku akan mengembalikannya saat kamu datang tiga hari lagi padaku.”

Tiba-tiba saja, tubuh lelaki tua itu menghilang. Yi Yuen dibuat takjub dengan kehebatan gurunya itu hingga membuatnya bertekad untuk menaklukkan tantangan yang diberikan gurunya itu padanya.

Di atas batu bersusun, Yi Yuen duduk sambil bersila dengan kedua mata yang terpejam. Tak hanya itu, kedua telapak tangannya kini berada di atas lutut dengan posisi seperti seseorang yang sedang bersemedi. Perlahan, Yi Yuen mengatur pernapasannya dan menenangkan pikirannya. Bagaimanapun, dia harus bisa melewati ujian yang diberikan gurunya itu padanya.

Di hari pertama, Yi Yuen tidak mendapatkan gangguan yang cukup berarti. Dia melewati hari itu dengan mulus tanpa gangguan apa pun. Tanpa makan, tanpa minum, Yi Yuen masih mampu bertahan hingga di malam ke dua, dia harus menghadapi suara-suara yang mulai mengganggu indera pendengarannya.

Suara-suara orang berteriak meminta tolong terdengar begitu jelas di telinganya. Sesaat, dia merasa terganggu dengan suara-suara itu. Namun, dia tetap memejamkan kedua matanya dan berusaha untuk tidak terpengaruh walau suara erangan kesakitan begitu nyata didengarnya.

Suara-suara itu mengingatkannya pada kejadian beberapa waktu yang silam. Kejadian di mana dia harus kehilangan orang-orang yang dia sayangi. Entah sudah berapa lama dia harus menahan perasaannya untuk tidak membuka matanya. Rasanya, dia ingin menyingkirkan penyebab suara-suara ketakutan itu. Namun, pesan sang guru nyatanya terlalu ampuh untuk membuat hatinya luluh. Yi Yuen masih tetap dengan pendiriannya. Dia tidak akan tergoda dengan suara-suara yang nyatanya cukup mengganggu konsentrasinya.

Malam kedua kini berlalu. Hingga tiba di malam terakhir di mana menjadi penentuan antara hidup dan matinya. Angin malam tiba-tiba berembus dari luar mulut goa dan membawa kesejukkan malam yang menusuk kulit hingga menembus setiap sendi di dalam tubuhnya. Yi Yuen mencoba untuk tetap bertahan hingga dia terkejut saat mendengar suara yang sangat dikenalnya.

“Putriku.” Suara Zhi Ruo tiba-tiba terdengar begitu jelas di telinganya hingga hampir membuat Yi Yuen membuka kedua matanya.

“Tidak, itu bukan ibu.” Yi Yuen berusaha meyakinkan dirinya sendiri kalau suara itu bukanlah ibunya, melainkan sebuah ilusi yang mencoba mengganggu konsentrasinya.

“Putriku.” Kembali dia mendengar suara ayahnya memanggilnya, dan itu terasa begitu dekat hingga membuatnya menitikkan air mata di antara kelopak mata yang terpejam.

Sungguh, dia mencoba menahan rasa untuk tidak tergoda. Dia mencoba menahan perasaan rindu yang nyatanya masih melekat di dalam dada. Yi Yuen masih bertahan hingga dia kembali mendengar suara seseorang yang begitu familiar di telinganya. Suara yang biasa menyatakan perasaan sayang dan cinta yang mendalam terhadap dirinya.

Sementara itu, kedua sahabatnya masih terjaga. Mereka terlihat begitu khawatir dengan Yi Yuen yang saat ini sedang berjuang melawan perasaan dan hati yang bergejolak menahan rasa rindu yang berkecamuk di dalam dada.

Saat ini, Yi Yuen sedang bertarung dengan hati dan perasaannya yang begitu menginginkan pertemuan dengan orang-orang yang disayanginya. Namun, kembali dia harus bisa menahan godaan yang semakin membuatnya tertekan.

“Aku mohon, jangan ganggu aku. Jika kalian menyayangiku, maka pergilah,” batin Yi Yuen di dalam hati dengan air mata yang tak sanggup lagi untuk ditahan. Yi Yuen menangis di antara mata yang terpejam.

“Yi Yuen, tidakkah kamu merindukanku? Bukalah matamu dan tataplah aku. Aku sangat merindukanmu, Yi Yuen.”

Yi Yuen merasakan wajahnya disentuh dengan lembut. Sentuhan yang biasa dilakukan oleh Qiang padanya. Ingin rasanya dia membuka matanya dan melihat bayangan sang kekasih yang kini berdiri di depannya. Ingin rasanya dia memeluk sekadar meluapkan rasa rindu yang selama ini menderanya. Namun, lagi-lagi dia harus mampu menahan godaan itu. Godaan yang berupa ilusi akan kerinduannya selama ini. Kerinduan yang tersimpan di dalam lubuk hatinya yang paling dalam.

Yi Yuen masih bertahan dengan apa yang kini dihadapi olehnya. Hingga, dia terkejut saat dia melihat tiga sosok yang kini tersenyum padanya. Tiga sosok yang mampu dilihat olehnya dengan keadaan mata yang tertutup.

“Putriku, bersabarlah. Jangan dengarkan mereka yang mencoba mengganggumu. Bersabarlah sedikit, Nak, sebentar kagi matahari akan terbit dan kamu bisa melanjutkan apa yang menjadi tujuanmu.”

Kedua orang tuanya menatapnya dengan senyuman. Mereka berdua terlihat bahagia dengan tangan yang saling menggenggam erat. “Putriku, kami berharap kita akan berjumpa lagi di kehidupan yang lain. Andai saja semesta mengizinkan, maka jadilah putri kami lagi dan biarkan kami menjagamu hingga kami mati. Bagi kami, kamu adalah putri kami yang paling kami sayangi. Kuatkan dirimu, Nak, dan lanjutkan hidupmu dengan baik.”

Yi Yuen menatap di antara mata yang terpejam. Melihat mereka seakan begitu nyata. Bahkan, dia merasakan pelukan hangat dari kedua orang tuanya itu. Hingga pelukan itu perlahan memudar seiring bayangan mereka yang juga menghilang. Melihat mereka telah pergi, Yi Yuen tak mampu menahan tangis. Dia terisak dengan suara yang tertahan.

Di antara tangis dan air mata, Yi Yuen melihat sosok Qiang yang berjalan perlahan ke arahnya. Sang pemilik wajah tampan yang tak bisa hilang dari ingatannya.

“Yi Yuen, bertahanlah. Jadilah wanitaku yang hebat. Jangan biarkan mereka merenggut kebahagiaanmu lagi.”

Yi Yuen mengangguk dengan tetas air mata dan isak tangis yang tak mampu dia tahan. Pemuda itu semakin mendekatinya dan menyentuh puncak kepala Yi Yuen dan perlahan beralih menyentuh pipinya dengan lembut. “Aku mencintaimu dan selamanya akan tetap mencintaimu. Aku berharap, suatu saat nanti kita akan bertemu lagi. Yi Yuen, jangan membebani hatimu dengan kesedihan karena kehilangan aku dan orang tuamu. Percayalah, berapa pun kehidupan yang kami jalani, kami berharap kita akan bersua kembali dan bagiku, aku tidak akan berhenti mencarimu hingga kita dipersatukan kembali. Percayalah padaku, aku akan tetap terus mencarimu dan berharap kamu masih mengingatku. Yi Yuen, andai nanti kita bertemu dan aku tidak mengenalimu, maka ingatkan aku. Ingatkan aku tentang cinta kita dan pengorbanan cinta yang sudah kita alami. Ingatkan aku betapa aku sangat mencintaimu.”

Mendengar ucapan Qiang, Yi Yuen semakin tak kuasa menahan tangis. Hingga dia merasakan ketenangan, sangat tangannya digenggam oleh pemuda itu. “Jangan menangis. Bersabarlah dan jadilah wanita yang kuat. Simpanlah aku di dalam hatimu dan biarkan aku menemanimu hingga malam ini berlalu dan setelah itu, tataplah kehidupanmu yang baru.”

Yi Yuen terdiam dan hanya bisa merasakan genggaman tangan yang rasanya begitu nyata. Qiang kini duduk di sampingnya dan menemani sang kekasih melewati malam tanpa kesendirian. Hingga perlahan, suara ayam hutan berkokok terdengar dari kejauhan. Pemuda itu tiba-tiba bangkit dan duduk tepat di depan Yi Yuen yang masih terpejam.

Tangannya yang lembut membelai sudut bibir Yi Yuen dan perlahan mengecupnya dengan mesra. Kecupan lembut yang sudah lama tidak dirasakan oleh gadis itu hingga membuatnya terlena. Satu detik, dua detik hingga satu menit kemudian kecupan itu perlahan memudar dengan satu senyuman yang terlukis di wajah pemuda itu. “Aku mencintaimu.”

Bayangan Qiang perlahan menghilang hingga membuat Yi Yuen tak kuasa untuk membuka matanya. Dia terkejut saat mendapati dirinya yang terbaring di atas batu. Sinar matahari terlihat sudah meninggi dan masuk ke dalam ruangan goa.

Yi Yuen merasakan sudut matanya basah dengan air mata dan apa yang dialaminya hanyalah sebuah mimpi yang rasanya terlalu nyata. Mimpi yang merupakan pertemuan untuk yang terakhir. Pertemuan untuk menyampaikan pesan terakhir yang belum sempat terucap. Pesan yang mengisyaratkan kalau cinta mereka tidak akan pernah mati dan selamanya akan tetap terpatri di dalam sanubari.


Reinkarnasi Dewi Keabadian

Reinkarnasi Dewi Keabadian

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2020 Native Language: Indonesia
Gemuruh petir menggelegar di atas langit mendung. Rintik air hujan perlahan turun dengan derasnya dan membasahi ranting pepohonan di dalam hutan. Di mulut goa, terlihat seorang gadis sedang berteduh sambil membersihkan rambut dan wajahnya dari percikan air hujan. Wajahnya tampak gelisah karena khawatir hujan tidak akan reda. Melihat langit yang mulai senja dengan mendung yang menyelimutinya, gadis itu mulai memanjatkan doa, berharap hujan yang makin deras itu akan segera reda.   Terlihat, mulut gadis itu komat-kamit sambil memejamkan matanya. Wajahnya yang cantik, tampak anggun saat matanya terpejam. Doa-doa yang dipanjatkan setidaknya menjadi kekuatan tersendiri baginya. Walau doa tak henti dia panjatkan, nyatanya hujan tak juga reda. Bahkan, hujan turun semakin deras dengan suara petir yang menggelegar bersahutan.... Penasaran dengan kelanjutannya? yuk segera dibaca ceritanya...

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset