Zu Min memasuki hutan larangan setelah hampir setengah jam dia melakukan perjalanan. Dengan obor di tangannya, dia menyusuri hutan sambil berteriak memanggil Zhi Ruo. Teriakan lelaki itu memecah kesunyian di dalam hutan. Pandangan matanya liar sambil melihat sekelilingnya. Yang dilihatnya hanya pohon-pohon besar dengan cahaya bulan yang terlihat samar-samar.
“Zhi Ruo!” Kembali Zu Min berteriak, tapi sama sekali tak ada balasan atau jejak dari gadis itu.
“Tuan Muda, sebaiknya kita kembali, ini sudah menjelang malam. Besok pagi kita akan mencari gadis itu lagi.” Salah seorang anak buahnya yang baru datang tampak khawatir pada tuannya itu.
“Bagaimana aku bisa pulang sementara Zhi Ruo masih ada di dalam hutan ini? Sungguh aku menyesal karena sudah meninggalkannya sendiri.” Zu Min terlihat menyesali diri. Walau Zhi Ruo gadis yang baru dikenalnya, tapi gadis itu mampu meraih hatinya hingga membuatnya tidak ingin kehilangannya.
“Zhi Ruo! Kembalilah, aku akan membawamu pulang!” Zu Min terus berseru memanggil nama gadis itu, tapi sama sekali tidak ada jawaban. Yang terdengar hanya suara binatang malam yang membuat bulu kuduk merinding.
“Tuan Muda, tidakkah Tuan Muda merasa aneh dengan hutan ini? Bukankah, tempat ini sudah kita lewati tadi?”
Zu Min melihat sekelilingnya dan dia menyadari kalau tempat itu memang sudah dilaluinya beberapa kali.
“Tuan, sebaiknya kita kembali saja dan besok kita akan mencari gadis itu lagi.”
Zu Min akhirnya kembali dengan membawa rasa penyesalan dan kekecewaan. Sungguh, dia tidak rela jika Zhi Ruo pergi meninggalkannya tanpa mengucapkan sepatah kata.
Sementara di dalam hutan larangan, Zhi Ruo terlihat berbaring di dalam goa. Tampak api unggun menerangi hingga ruangan di dalam goa terang benderang.
Bayangan hitam yang telah berwujud menjadi sosok manusia tampak berdiri menatap Zhi Ruo yang terbaring tak berdaya. Tatapan matanya terlihat sendu. Perlahan, sosok itu berjalan mendekati Zhi Ruo dan duduk di sampingnya sambil menutupi tubuh gadis itu dengan selembar kulit harimau.
“Takdir baik ternyata tak berpihak padamu. Sahabatmu mati di depan matamu dan ibumu mati karena kehilanganmu. Ah, kenapa aku harus bertemu denganmu di saat aku tak lama lagi akan pergi?”
Sosok yang berwujud seorang lelaki itu masih menatap Zhi Ruo, hingga perlahan gadis itu membuka matanya dan terkejut saat melihat lelaki asing yang kini duduk di sampingnya.
“Siapa kamu? Kenapa aku ada di sini?” Zhi Ruo berusaha untuk duduk, tapi kepalanya begitu berat hingga membuatnya memegang kepalanya yang kini berdenyut. “Ah, kepalaku.”
“Sebaiknya, kamu istirahat saja. Jangan khawatir, aku tidak akan melukaimu. Aku hanya seorang pemburu yang kebetulan melewati tempat ini dan melihatmu terbaring tak sadarkan diri. Oh, iya. Ada jasad seorang pemuda di sampingmu saat aku menemukanmu. Jasad pemuda itu sudah aku makamkan tak jauh dari tempat ini.”
Zhi Ruo masih memegang kepalanya dan mencoba untuk mengingat kajadian buruk yang menimpanya. Seketika, dia menangis saat mengingat Yuen yang rela mati untuknya. “Yuen, maafkan aku.” Zhi Ruo menangis mengingat sahabatnya itu. Sahabat yang bahkan rela berkorban nyawa demi menyelamatkan dirinya.
Zhi Ruo menangis mengingat Yuen dan ibunya hingga membuatnya sesenggukan. Dia begitu sedih karena sekarang dia hidup sebatang kara. Dia bingung harus pergi ke mana karena tidak memiliki tempat untuk kembali.
“Ibu, apa yang harus aku lakukan? Aku merindukanmu ibu.” Zhi Ruo menangis hingga membuat lelaki itu menatapnya iba. Walau begitu, dia tidak bisa berbuat apa-apa selain duduk dan mendengar tangisan Zhi Ruo hingga gadis itu terdiam dengan sendirinya.
“Maaf, jika tangisanku sudah mengganggumu.” Zhi Ruo menatap lelaki itu dari balik cahaya goa yang remang-remang.
“Tidak masalah. Sebaiknya, kamu beristirahat saja. Aku akan menyiapkan makan malam untuk kita.”
Lelaki itu kemudian keluar dari goa dan tak lama kemudian, dia sudah kembali dengan membawa seekor kelinci dan beberapa buah di tangannya. Buah-buahan itu lantas diletakkan di dekat Zhi Ruo. “Makanlah buah-buahan ini sementara aku akan memanggang kelinci buat makan malam kita.”
“Terima kasih.” Zhi Ruo tersenyum sambil mengambil salah satu buah dan mulai memakannya. Sementara lelaki itu dengan telaten mulai memanggang kelinci di atas api unggun yang sudah dibuatnya.
Semerbak bau harum daging panggang menyeruak di dalam goa, hingga membuat Zhi Ruo tertegun dan duduk di depan api unggun. Tatapan matanya berbinar saat melihat lelaki itu membolak-balikkan daging kelinci di atas panggangan. Melihatnya, lelaki itu tersenyum hingga memperlihatkan deretan giginya yang putih dengan senyuman yang begitu menggoda.
Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya makan malam mereka telah siap. Zhi Ruo tersenyum saat disodorkan potongan daging panggang yang baginya terlalu banyak. “Tidakkah ini terlalu banyak buatku? Kenapa bagianmu hanya sedikit itu?” Zhi Ruo lantas memberikan beberapa potong pada lelaki itu, tetapi dengan tersenyum dia menolak.
“Makanlah, ini sudah cukup buatku. Lagipula, tadi aku sudah makan. Makanlah agar kamu bisa kembali bugar.” Lelaki itu menolak dengan halus dan memberikan kembali potongan daging itu pada Zhi Ruo.
Sejenak, suasana menjadi hening karena Zhi Ruo terlihat makan dengan lahap. Sejak tadi siang, dia belum mengisi perutnya hingga saat melihat daging panggang di depannya membuat dirinya kalap. Melihat tingkah Zhi Ruo, lelaki itu kembali tersenyum.
“Setelah ini, apa yang akan kamu lakukan?” Pertanyaan lelaki itu sontak membuat Zhi Ruo menghentikan kunyahan di mulutnya.
“Aku tidak tahu karena aku sudah kehilangan orang-orang yang aku cintai. Jika aku keluar dari hutan ini, aku pasti akan dicari oleh orang-orang suruhan wanita itu. Ah, andai Tuan tidak menolongku, mungkin saja aku juga sudah mati di tangan mereka.” Zhi Ruo perlahan menghapus air matanya, hingga membuat lelaki itu menyesal atas pertanyaannya.
“Tuan, apa Tuan akan pergi dari hutan ini? Jika Tuan mengizinkan, apa boleh aku ikut dengan Tuan? Setelah aku rasa aman dari kejaran mereka, aku akan pergi dan tidak lagi mengikuti Tuan. Apa Tuan tidak keberatan?” Zhi Ruo menatap lelaki itu dan mengharapkan jawabannya, tetapi lelaki itu hanya tersenyum.
“Aku tidak bisa meninggalkan hutan ini karena aku sudah bahagia tinggal di sini. Hutan ini adalah rumahku dan aku tidak punya rumah lain untuk pulang. Kalau kamu mau, kamu boleh tinggal di sini.”
Sekilas, Zhi Ruo merasa kecewa karena dia tidak ingin tinggal di dalam hutan. Dia ingin menjalani kehidupan seperti orang-orang pada umumnya.
“Kalau kamu tidak ingin tinggal di sini aku tidak akan memaksa. Besok, aku akan mengantarmu ke perbatasan hutan dan kamu bisa meninggalkan hutan ini dengan aman.” Zhi Ruo lantas tersenyum dan mengangguk. Dengan lahap, dia kembali menyantap daging panggang yang masih tersisa.
“Tidurlah di sini, aku akan tidur di luar. Jangan khawatir, tempat ini sangat aman dari jangkauan manusia atau binatang buas. Tidurlah.”
Lelaki itu lantas meninggalkan Zhi Ruo yang perlahan membaringkan tubuhnya di atas lantai goa yang sudah dialasi daun-daun lembut yang hangat.
Tak menunggu lama, Zhi Ruo kini terbuai dalam mimpinya. Dia tidur dengan lelap karena kehangatan di dalam goa. Sementara di mulut goa, lelaki itu masih berdiri tak bergerak dari tempatnya. Wajahnya diterpa cahaya bulan purnama yang saat itu bersinar dengan terang. Sosok lelaki yang terlihat gagah dengan rupa wajah yang sangat menawan. Wajah yang memukau dengan ketampanan bak seorang dewa.
Sekitar seribu tahun yang lalu, lelaki itu terkurung di dalam hutan karena dosa yang sudah diperbuat olehnya. Dosa yang tak patut dilakukan oleh seorang dewa. Dosa yang memaksanya untuk menjalani hukuman selama seribu tahun dan merenungi atas semua kesalahannya.
“Li Quan, jalanilah hukumanmu di hutan ini selama seribu tahun. Jangan pernah kamu membunuh karena sudah terlalu banyak manusia yang telah kamu bunuh. Kamu tidak akan pernah keluar dari hutan ini dan selama kamu di sini, renungkanlah kesalahanmu itu.”
Seorang lelaki paruh baya dengan jenggot putih yang menjuntai tampak berdiri di atas bayangan putih seperti gumpalan awan. Lelaki yang sangat dihargai seluruh penduduk langit itu terlihat sangat berwibawa.
“Ayah, tidakkah Ayah kasihan padaku? Aku hanya mencintai wanita dari kalangan manusia dan apa karena itu Ayah menghukumku?”
“Li Quan! Hanya karena wanita itu kamu telah membunuh manusia. Bukankah kamu tahu kalau kita tidak boleh membunuh manusia?” Lelaki itu terlihat marah.
“Ayah, bagaimana bisa aku dihukum karena membela kehormatan wanita? Dia wanita yang aku cintai dan apa mungkin aku hanya bisa melihat manusia-manusia laknat itu menyakitinya?”
Kembali penggalan-penggalan masa lalu melintas di ingatannya. Penggalan masa lalu yang membuatnya dihukum atas tindakannya membunuh manusia yang akan menodai kekasih hatinya. Perlahan, air mata jatuh di sudut matanya karena mengingat wajah wanita yang tak pernah hilang dari ingatannya. Sejenak, dia memalingkan wajahnya menuju mulut goa dan tersenyum dengan air mata. “Apakah, kamu masih ingat padaku, Zhi Ruo?”
Rupanya, Zhi Ruo mempunyai wajah yang sangat mirip dengan wanita yang dicintai Li Quan di masa lalu. Itulah mengapa, Zhi Ruo selalu bisa selamat saat memasuki hutan larangan. Padahal, tidak satu pun manusia yang bisa keluar dari hutan larangan dengan kondisi normal. Walau tidak mati, tetapi mereka pasti akan ditemukan dalam keadaan gila dan juga lupa ingatan di sekitar hutan larangan.
Li Quan, adalah anak seorang dewa. Ketampanan wajahnya sudah sangat terkenal di Istana Langit. Banyak dewa-dewa yang iri atas ketampanannya itu dan tak sedikit para dewi yang menyanjungnya dalam diam.
Dengan ketampanannya itu, Li Quan bisa dengan mudah mendapat dewi mana pun untuk menjadi pendampingnya, tetapi sayang Li Quan sudah terlanjur jatuh hati pada sosok manusia. Wanita muda dengan kecantikan alami dan kelembuatan yang baginya sangat memukau.
Dengan diam-diam, Li Quan sering mengikuti gadis itu dalam bentuk rupa-rupa. Terkadang, dia menjadi wanita tua yang sedang kesulitan dan gadis itu selalu saja membuatnya jatuh hati dengan kebaikannya yang selalu menolong siapa saja.
Ada kalanya, dia menjadi seorang anak kecil yang menangis sendirian, dan lagi-lagi gadis itu membantu tanpa pamrih. Sungguh, tak hanya cantik, tetapi gadis itu juga memiliki hati yang sangat baik dan lembut. Itulah mengapa, dia begitu murka saat melihat wanita itu hampir diperkosa oleh sekelompok lelaki yang memandangnya dengan penuh nafsu. Seketika, wujud aslinya muncul. Tanpa ragu, dengan pukulan cahaya putih dari tangannya, sekelompok pria itu seketika mati dengan tragis.
“Nona, apa kamu baik-baik saja?” Li Quan mendekati gadis itu yang menangis ketakutan. Spontan, gadis itu lantas memeluknya dan menangis dalam pelukannya.
“Terima kasih, Tuan. Terima kasih.” Gadis itu menangis dan perlahan Li Quan membalas pelukannya.
Sejak saat itu, mereka mulai dekat. Bahkan, mereka menjalin kasih walau gadis itu tidak mengetahui identitas dari lelaki yang sudah menolongnya itu, hingga suatu hari mereka harus berpisah karena tiba-tiba saja beberapa orang lelaki dengan jubah putih datang dan membawa paksa Li Quan pergi. Sambil menangis, gadis itu melihat Li Quan menghilang dengan orang-orang yang baginya terlihat aneh.
Gadis itu terus menangis karena kekasih hatinya telah pergi. Walau begitu, dia tetap menunggu di tempat terakhir mereka berpisah. Setiap hari, dia selalu datang ke tempat itu dan berharap akan bertemu dengan kekasihnya. Namun, hingga ajal menjemputnya mereka tidak pernah bertemu lagi, hingga dia ditemukan tak bernyawa di bawah pohon sakura yang biasa mereka jadikan tempat untuk bertemu.
Penggalan kisah di masa lalu kembali mengusiknya. Walau Zhi Ruo tak lagi mengingatnya, tapi wajah gadis itu tak pernah hilang dari ingatannya. Walau begitu, dia tidak akan membuka jati dirinya atau membuat Zhi Ruo mengingat akan dirinya. Dia sudah bertekad untuk mengeluarkan Zhi Ruo dari hutan larangan dengan selamat walau dia harus kembali merasa kehilangan.
“Maafkan aku karena kita tidak harus bersama. Aku akan melepasmu dan hiduplah dengan selayaknya. Memang takdir kita bukan untuk bersama karena dunia kita jauh berbeda.” Li Quan menitikkan air mata dan menatap bulan purnama yang memancar indah di atas langit hitam.
Tanpa dia sadari, Zhi Ruo sudah berdiri di belakangnya dan ikut menatap bulan purnama. Seketika, Li Quan terkejut karena kilasan peristiwa lama kembali mengusik jiwanya. Kilasan memori indah yang pernah mereka lewati bersama. Berdua, mereka terpaku menatap keindahan bulan yang memancar cahaya indah dengan sebuah ungkapan kata cinta yang pernah terucap. “Zhi Ruo, aku mencintaimu.”