Pertempuran kedua kubu akhirnya pecah. Namun, Dewa Hitam terkejut saat melihat satu persatu pasukannya mati. Dia terkejut saat melihat pasukan lawan yang terdiri dari manusia ternyata mampu melihat dan melukai pasukan hitam miliknya.
“Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Apa yang terjadi pada pasukanku?” gumam Dewa Hitam yang menatap heran ke arah pasukan yang dipimpin Kangjian dan Ling.
Rupanya, Yi Yuen sudah menyiapkan pasukannya itu dengan sangat baik. Sesuai dengan petunjuk yang tertulis di kitab merah, mereka akhirnya bisa mengetahui kelemahan musuh.
Zhang Bingjie mengetahui secara detil apa yang menjadi kelemahan dari pasukan Dewa Hitam, yaitu darah seorang manusia yang memiliki keturunan dari seorang dewa. Itulah kelemahan dari pasukan hitam yang tidak diketahui oleh siapa pun. Karena itu, Yi Yuen sudah menyiapkan semuanya. Dengan tetesan darahnya yang diletakkan di setiap dahi pasukannya, mereka mampu melihat pasukan hitam dan membunuh pasukan itu dengan pedang yang juga sudah dilumuri setetes darah dari Yi Yuen. Dengan begitu, pasukan yang dipimpin Kangjian dan Ling dengan mudah melawan pasukan hitam.
“Ini tidak bisa dibiarkan!”
Dewa Hitam yang terlihat marah seketika melayang dengan sangat cepat dan berdiri di tengah pasukan yang kini berkecamuk. Dengan ganasnya lelaki yang terlihat tua dan mengerikan itu mulai menyerang setiap roh dan siluman yang mencoba menyerangnya. Namun, dia tidak bisa membunuh manusia tanpa adanya perantara. Karena itu, dia memerhatikan setiap orang yang ada di tempat itu dan pandangannya tertuju pada Kangjian yang baginya memiliki kemampuan yang cukup hebat.
“Aku harus bisa masuk ke dalam tubuhnya. Jika dibiarkan, semua pasukanku akan mati!”
Dewa Hitam lantas merangsek maju dan menyasar tubuh Kangjian dan berusaha masuk ke dalam tubuh pemuda itu, tapi tubuh Dewa Hitam terpental karena darah Yi Yuen yang menempel di dahi pemuda itu.
“Sial! Bagaimana bisa aku masuk ke tubuhnya kalau di dahinya ada darah manusia setengah dewa,” batin Dewa Hitam yang kini diserang oleh Kangjian dan Ling secara bersamaan.
Melihat sosok yang berbeda dari pasukan hitam, Ling dan Kangjian mulai menyerangnya. Pedang dan busur yang sudah dilumuri darah Yi Yuen, nyatanya mampu membuat Dewa Hitam mengalami beberapa goresan luka di tubuhnya. Namun, itu tidak cukup untuk membunuhnya karena setiap luka yang dialaminya dengan perlahan mulai menutup dan menghilang tanpa bekas.
“Apa kalian pikir bisa membunuhku hanya dengan pedang kalian itu? Aku tidak sama dengan pasukanku yang bisa kalian bunuh dengan darah manusia setengah dewa, tapi aku tidak akan pernah mati hanya dengan darah itu. Aku akan membuat kalian menyesal karena sudah menghancurkan pasukanku!”
Dewa Hitam dengan beringas mulai maju menyerang Kangjian dan Ling. Kedua sahabat itu nyatanya dibuat kewalahan karena pedang dan anak panah yang mereka arahkan pada lelaki itu sama sekali tidak berfungsi. Lelaki itu masih berdiri tegak tanpa luka sedikit pun di tubuhnya.
“Kangjian, sekarang apa yang harus kita lakukan? Lelaki itu terlalu tangguh untuk kita lawan dan sepertinya kamu harus berhati-hati karena dia mengincar tubuhmu. Kalau tidak ada darah Yi Yuen di dahimu, mungkin saja saat ini kamu sudah dirasuki olehnya,” ucap Ling memperingatkan pemuda itu.
Benar saja, Dewa Hitam berusaha untuk masuk ke dalam tubuh Kangjian. Dia berusaha merasuki tubuh pemuda itu, tapi selalu gagal. Namun, harapannya itu muncul saat suara petir menggelegar tiba-tiba dan membawa awan mendung yang mulai menutupi tempat itu.
“Bagus! Hujan akhirnya turun dan itu adalah kesempatanku. Air hujan akan menghapus darah di dahi mereka. Dengan begitu, mereka pasti tidak akan bisa lagi menyerang pasukanku.”
Senyum sinis seketika terlihat di wajahnya yang hitam legam. Senyum yang baginya adalah senyum kemenangan. Satu persatu titik air hujan mulai turun hingga perlahan tempat itu mulai basah dengan air hujan yang turun semakin deras. Di saat yang sama, Yi Yuen bergegas turun ke bumi dengan sekelebat.
Dewa Perang yang sedari tadi menjadi penonton rupanya telah mengambil bagiannya. Dia telah memerintahkan Dewa Hujan untuk menurunkan hujan ke bumi.
Tak tinggal diam, Yi Yuen akhirnya memutuskan untuk turun ke bumi dan membantu sahabat-sahabatnya. Namun, cukup terlambat baginya karena separuh pasukannya telah mati terbunuh oleh Kangjian yang kini telah dirasuki. Pemuda yang sudah dirasuki itu nyatanya cukup tangguh membunuh siapa pun yang ada di depannya. Hingga dia berhadapan dengan Ling yang kini terdesak saat pedang di tangannya siap diayunkan ke arah gadis itu.
Ling yang terdesak tidak bisa berbuat apa-apa saat pedang di tangan Kangjian siap menebas tubuhnya, tapi pedang itu seketika patah saat Yi Yuen menangkisnya dengan pedang miliknya.
“Bibi, bawa semua pasukan menjauh dari tempat ini. Cepat!” perintah Yi Yuen pada gadis itu.
Ling lantas menyerukan seluruh pasukannya untuk mundur. Mereka lantas mundur walau masih ada serangan dari pasukan hitam, tapi berkat para siluman dan roh yang menghalau serangan itu, semua pasukan akhirnya berhasil mundur.
Di saat mereka sudah menjauh, tiba-tiba saja tempat itu ditutupi cahaya bening yang memisahkan pasukan hitam dengan pasukan manusia. Cahaya bening itu berasal dari Yi Yuen yang kini telah berada di dalam lingkaran cahaya bening itu dan bersiap melawan Dewa Hitam dan pasukannya.
“Oh, jadi, kamu adalah manusia setengah dewa itu? Aku tidak menyangka kemampuanmu ternyata cukup hebat, tapi apa kamu bisa menahan seranganku ini?!”
Dewa Hitam kemudian menyerang Yi Yuen dengan sinar hitam yang keluar dari telapak tangannya. Tak hanya itu, sebuah pedang dengan cahaya hitam terlihat mencuat dari balik punggungnya dan siap menyerang ke arah Yi Yuen.
Yi Yuen melompat menghindar dari cahaya hitam yang diarahkan kepadanya. Cahaya hitam yang diarahkan bertubi-tubi ke tubuhnya itu tak mampu mengenainya dan hanya mengenai ruang hampa. Dan dengan pedangnya, Yu Yuen menangkis pedang hitam hingga membuat tubuh mereka berguncang dan mundur beberapa langkah.
Yi Yuen menatap sosok yang kini dihadapinya. Sosok sahabat yang tidak mungkin dilukainya. “Kangjian, bersabarlah. Aku pasti akan membebaskanmu.”
Tiba-tiba, Yi Yuen maju dan menyerang dengan kecepatan yang sangat tinggi. Namun, sebelum itu, dia telah melukai jari telunjuknya hingga berdarah. Yi Yuen lantas menyasar pada tubuh Kangjian dan menempelkan darahnya ke dahi pemuda itu. Seketika, tubuh Kangjian bergetar dan tiba-tiba terduduk di atas tanah. Sementara Dewa Hitam telah keluar dari tubuh Kangjian dan terpental beberapa meter dari tempatnya berdiri.
Yi Yuen lantas meraih tubuh Kangjian dan membawanya ke tempat yang lebih aman.
“Nona … ”
“Terima kasih karena kamu baik-baik saja. Pergilah, sekarang giliranku untuk melawan mereka.”
Yi Yuen kembali ke medan pertempuran dan dia melihat siluman rubah dan siluman babi yang masih bertarung. Pasukan hitam yang tidak seberapa itu nyatanya tidak ingin menyerah begitu saja.
Yi Yuen lantas masuk ke dalam pertempuran itu dan membantu siluman rubah dan siluman babi. Pasukan hitam yang melihat dirinya, terlihat ketakutan saat pedang gadis itu mulai menebas setiap bayangan hitam yang ada di depannya. Yi Yuen tidak tanggung-tanggung hingga membuat Dewa Hitam semakin meradang.
Lelaki tua itu lantas kembali melakukan serangan. Tak main-main, lelaki itu mengeluarkan cemeti hitam dan memukulkannya ke arah Yi Yuen. Menyadari serangan dari Dewa Hitam, Yi Yuen berusaha menghindar. Pukulan cemeti hitam melesat dari sasaran dan mengenai tanah. Seketika, tempat itu bergetar hingga membuat pasukan hitam ketakutan.
Melihat cambuk di tangan tuannya, pasukan hitam memilih mundur dan membiarkan Dewa Hitam melawan Yi Yuen yang kini berhadapan dengannya.
Mereka sangat tahu persis bagaimana sikap Dewa Hitam apabila telah mengeluarkan senjata mematikan miliknya itu. Sebuah cemeti yang mampu membunuh dalam sekali cambukan.
Dewa Perang yang sedari tadi menyaksikan pertarungan mereka terlihat tersenyum sinis. “Ini yang aku inginkan. Mereka akhirnya berhadapan. Setidaknya, aku tidak perlu mengeluarkan tenagaku untuk melawan gadis itu. Sebaiknya, aku ke Istana Khayangan dan membiarkan Dewa Hitam menghabisinya.”
Dewa Perang lantas meninggalkan tempat itu dan kembai ke Istana Khayangan. Di sana, pertarungan masih berlangsung. Pasukan yang telah terpecah menjadi dua kubu itu nyatanya masih bersikukuh dengan pilihan mereka. Pertarungan yang tidak bisa dielakkan itu akhirnya terjadi.
Putri Mu Rong dan Putri Anchi terlihat bertarung dengan beberapa orang prajurit. Namun, kekuatan yang tak sebanding itu membuat beberapa prajurit akhirnya tewas mengenaskan.
Dewi Bulan yang melihat hal itu tidak tinggal diam. Dengan cepat dia berlari ke arah dua wanita yang sudah bersiap menyerang salah satu prajurit dengan cahaya merah dari telapak tangan mereka. Prajurit yang hampir mati itu lantas ditarik oleh Dewi Bulan dan membawanya menjauh dari tempat itu. Dan dalam sekelebat bayangan, Dewi Bulan kini sudah berdiri berhadapan dengan dua wanita yang tak asing baginya itu.
“Apa kalian tidak malu menyerang prajurit yang tidak berdaya? Kalau berani, lawan aku!” seru Dewi Bulan menantang pasangan ibu dan anak itu.
Melihat Dewi Bulan yang kini berdiri di depan mereka, nyali kedua wanita itu menciut. Bagaimana tidak, Dewi Bulan terkenal dengan ilmunya yang mumpuni. Dewi yang tak hanya memiliki kecantikan yang abadi, tapj juga memiliki kekuatan yang tidak bisa dianggap remeh.
“Kenapa? Apa kalian berdua takut padaku? Atau, kalian pikir aku tidak akan menyerang karena kalian berdua adalah istri dan anak dari putraku? Tenang saja, bagiku kalian bukan siapa-siapa karena aku tidak akan menganggap pengkhianat dan pemberontak sebagai keluargaku. Aku tidak akan menoleransi setiap kejahatan walau dilakukan oleh cucuku sendiri.”
Ucapan Dewi Bulan membuat Putri Mu Rong sakit hati. Dia tidak terima karena tidak diakui oleh mertuanya itu. Walau menyadari ilmunya tidak seberapa jika dibandingkan dengan Dewi Bulan, nyatanya Putri Mu Rong tetap saja melakukan penyerangan. Bersama Putri Anchi, mereka berdua menyerang Dewi Bulan bersama-sama.
Pukulan cahaya merah yang diarahkan kepada Dewi Bulan dengan begitu mudah dapat dihindari oleh wanita itu. Kemampuan ibu dan anak itu masih jauh dibandingkan kemampuan Dewi Bulan. Wanita itu dengan mudah menyerang Putri Mu Rong dan Putri Anchi hampir secara bersamaan. Cahaya putih dari telapak tangannya melesat dengan cepat ke arah Putri Mu Rong hingga membuat tubuh wanita itu terpental ke belakang. Seketika, Putri Mu Rong memuntahkan darah segar hingga membuat Putri Anchi berlari ke arah wanita itu.
“Ibu!” seru Putri Anchi yang terlihat khawatir.
Melihat ibunya memuntahkan darah segar, gadis itu terlihat marah. Dia lantas bangkit dan berlari menyerang Dewi Bulan yang hanya menatapnya tanpa bergerak dari tempatnya berdiri. Gadis itu menyerang dengan cahaya merah yang keluar dari telapak tangannya, tapi serangannya itu selalu gagal dan tidak tepat sasaran. Dewi Bulan tanpa rasa kasihan lantas bersiap menyerang dengan cahaya putih ke arah gadis itu, tapi tiba-tiba saja tubuh Putri Anchi diraih sekelebat bayangan dan membalas serangan dengan cahaya merah yang mengarah pada Dewi Bulan. Serangan yang tiba-tiba itu sontak membuat Dewi Bulan terkejut dan segera menghindar dari cahaya merah itu.
Suara dentuman terdengar begitu keras saat cahaya merah itu menghantam dinding aula. Dewi Bulan terperangah melihat kejadian itu dan pandangannya kini tertuju pada sosok yang telah membantu Putri Anchi.
“Apa itu sikap seorang nenek pada cucunya sendiri? Aku tidak menyangka kamu bisa setega itu pada cucumu sendiri!” Terlihat, Dewa Perang yang sudah berdiri di depan Dewi Bulan. Lelaki itu terlihat marah saat melihat anaknya yang kini terluka dan cucunya yang hampir saja mati karena serangan Dewi Bulan.
“Apa kamu marah jika aku menyakiti mereka? Lantas, bagaimana perasaanku yang melihat putra dan menantuku mati karena ulahmu? Hanya karena keegoisanmu, kamu tega membunuh putraku, putra dari adik seperguruanmu dan juga suami dari putrimu. Jadi, siapa yang lebih kejam, aku atau dirimu?”
Wajah Dewi Bulan memerah saat mengingat kematian Li Quan karena ulah Dewa Perang. Dia mengepalkan kedua tangannya dan menyerang Dewa Perang dengan sebuah pedang yang tiba-tiba muncul dari tangannya. Dengan air mata, Dewi Bulan menyerang Dewa Perang yang berusaha menghindar.
“Orang sepertimu pantas untuk mati!”
Dewi Bulan mengayunkan pedangnya dan mengarahkannya pada tubuh Dewa Perang, tetapi lelaki itu selalu saja berhasil menghindar. Dengan membabi buta, Dewi Bulan terus menyerang. Namun, kemarahannya yang memuncak itu menimbulkan peluang bagi Dewa Perang untuk melancarkan serangan balasan. Lelaki itu lantas meraih pedang di punggungnya dan melayang di udara. Lelaki itu terlihat beringas saat mengayunkan pedangnya ke arah Dewi Bulan yang mulai terpojok. Namun, tiba-tiba saja, Dewa Kebijaksanaan menangkis serangan Dewa Perang dengan sebuah pedang yang kini saling beradu. Sontak, semua orang terpental saat kedua pedang itu saling bertemu. Pedang yang memiliki kekuatan yang sama.
Melihat pedang di tangan Dewa Kebijaksanaan, Dewa Perang terkejut. Pasalnya, pedang yang dimiliki lelaki itu sangat mirip dengan pedang miliknya. Hanya saja, pedang yang dipegang Dewa Kebijaksanaan memancarkan warna kebiruan sedangkan pedang miliknya memancarkan warna merah.
“Istriku, pergi dari sini!” seru Dewa Kebijaksanaan yang meminta Dewi Bulan untuk pergi.
Walau enggan, Dewi Bulan akhirnya pergi dan meninggalkan tempat itu. Melihat kedua orang yang memiliki kekuatan yang sama-sama dahsyat membuat semua orang yang ada di tempat itu segera menyingkir.
Kini, kedua sahabat yang pernah berteman baik itu terlihat saling menatap dengan penuh amarah. Dewa Kebijaksanaan yang tidak terima karena selama ini telah ditipu cukup tersulut emosi saat kebaikannya disalahgunakan oleh orang yang pernah dianggapnya sebagai sahabat dan saudara.
Begitupun dengan Dewa Perang yang nyatanya begitu cemburu saat melihat pedang yang ada di genggaman sahabatnya itu. Pedang yang ternyata memiliki kekuatan yang sama dengan pedang miliknya. Pedang yang pernah dia hancurkan karena tidak ingin tersaingi oleh adik seperguruannya. Nyatanya pedang itu masih utuh dan akan menjadi saingannya.
“Kenapa? Apa kamu terkejut melihat pedang ini? Pedang yang pernah kamu hancurkan karena tidak ingin aku memilikinya ternyata masih utuh. Kamu tahu, guru tidak sebodoh itu. Apa kamu pikir bisa semudah itu menghancurkan pedang ini?”
Ucapan Dewa Kebijaksanaan membuat Dewa Perang naik darah. Tanpa basa basi, lelaki itu lantas maju menyerang Dewa Kebijaksanaan yang sudah bersiap menerima serangannya.
Kedua lelaki itu kini bertarung dan menepis rasa persahabatan dan persaudaraan yang nyatanya sudah lama terkikis. Keduanya terlihat begitu hebat dengan kekuatan yang dimiliki oleh masing-masing. Pertarungan antara hidup dan mati, atau pertarungan untuk hidup terhormat atau mati dengan terhina.